Selasa, 16 April 2013

Temuan dan Pembahasan Hasil Penelitian

B.   Pembahasan Hasil Penelitian
1.    Ma’rifatullah sebagai Tujuan Akhir Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian temuan penelitian di atas, bahwa tujuan yang ingin dicapai dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA itu ialah: (1) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama  dan berakhlak mulia  yaitu manusia yang berpengetahuan, disiplin, dan bersemangat dalam  beribadah, cakap, kreatif, jujur, adil, pandai mengalah dan pandai bersyukur, serta mengembangkan ajaran Islam sebagai agama tauhid dalam komunitas apa saja, kapan saja dan dimana saja dalam hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam lingkungan untuk proses pulang kembali kepada Allah dengan selamat bertemu lagi dengan Diri-Nya Ilahi, (2) Menjanjikan kesiapan insan masa depan sebagai hamba Allah yang ’Arifun Billah atau mengenal Tuhannya Dzat Al-GhaibAllah Asma-Nya, supaya menjadi sumber daya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Silabus Ke-Lilmuqarrabinan).
Tujuan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA  yang dikemukakan di atas terdiri atas beberapa hal, namun yang menjadi tujuan akhir ialah menjadi hamba Allah yang ’Arifun Billah.  Yang dimaksud ‘Arifun Billah  yaitu mengenal Jati Diri Allah (Dzat Allah) yang Al-Ghaibyang keberadaan-Nya sangat dekat dengan kita, sehingga dengan mengenal Dzat Allah itu kita akan bisa melihat Allah dengan mata hati kita dan  benar-benar akan merasakan kedekatan dengan-Nya.
Dalam pandangan umum,  seperti yang  dikemukakan oleh Dahlan  (Isma’il, 2008: 794)  dalam kajian teori bahwa yang dimaksud ma’rifatullah itu ialah pengetahuan tentang Allah”. Menurut Athaillah (2010: 95), ma’rifatullah itu ialah “Mengenal Allah swt dengan penglihatan hati, yang merupakan terbukanya hijab untuk mengetahui rahasia-rahasia Tuhan”.
Pemahaman ma’rifatullah yang dikemukakan oleh Athaillah di atas, sejalan dengan pandangan yang diajarkan dalam tasawuf di SMA POMOSDA, yaitu bahwa ma’rifatullah itu ialah mengenal Allah dengan mata hati. Hanya saja, mengenal Allah dalam pandangan Athaillah, tidak menjelaskan tentang mengenal Dzat-Nya. 
Berdasarkan kajian peneliti bahwa dalam pandangan umat Islam pada umumnya, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh Maududi (1975: 56) bahwa Dzat Allah itu tidak bisa dikenali, karena Dzat Allah itu merupakan Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan makhluk-Nya dan juga tidak bisa digambarkan. Pandangan itu tidaklah salah, dan itu sesuai dengan firman Allah:  “Laisa kamitslihi syaiun”. Yang perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud mengenal Dzat Allah dalam pandangan tasawuf di POMOSDA itu ialah mengenal Dzat Allah dalam rasa yang ada dalam hati, sehingga rasa tersebut bisa merasakan kedekatan dan kehadiran Allah dalam dirinya. Oleh karena itu, untuk bisa sampai ke arah sana, maka kita harus memenuhi perintah Allah dalam Al-qur’an yaitu bertanya kepada ahli dzikir. Allah berfirman: “Fas-alu ahladzdzikri in kuntum la ta’lamun” (Bertanyalah kepada Ahli dzikir jika kamu tidak tahu (tentang Tuhan) (QS. Al-anbiya: 7).
Untuk dapat mengenal Allah, selain kita harus bertanya kepada ahlinya,  menurut pandangan tasawuf di POMOSDA, sebagaimanan telah dijelaskan pada temuan penelitian di atas yang diperoleh melalui wawancara dengan Guru Ke-Lilmuqarrabinan), juga harus dengan cara  “memahami  fitrah jati diri manusia yang berasal dari fitrah Allah itu sendiri”, sesuai dengan firman Allah:
“Hadapkanlah wajahmu kepada agama secara lurus. Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.  Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS.30: 30).
                                    
Fitrah manusia adalah inti manusia itu sendiri, dan inti manusia  ialah rasa. Di dalam rasa itu ada Nur Muhammad (cahaya Allah Yang Terpuji). Antara Allah dan cahaya itu ialah menyatu bagaikan lampu dan sinarnya atau bagaikan matahari dan sinarnya. Oleh karena itu, bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah itu ialah Allah itu sendiri yang ada di dalam rasa. Dengan demikian, bagi siapa yang memahami fitrah jati dirinya, maka ia akan kenal Tuhannya. 
Adapun dalam pandangan umum seperti yang telah dijelaskan pada kajian teori, di antaranya Hawa  (2008:11) menjelaskan bahwa: “Cara yang tepat untuk mengenal Allah adalah dengan menganalisa dan meneliti tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menjadi tanda keberadaan-Nya”. Akal,  pikiran,  dan ilmu pengetahuan merupakan syarat fundamental bagi orang yang ingin mengenal Allah dengan menggunakan metode ini. Sebab, tanpa akal kita tidak akan bisa mengetahui ayat (tanda bukti) kekuasaan-Nya. Tanpa pikiran, maka Sang Pencipta ayat itu tidak akan bisa dikenal. Demikian pula tanpa ilmu pengetahuan, maka pengetahuan tentang ayat atau Penciptanya tidak akan tercapai.
Pandangan Said Hawa tersebut tidaklah salah, bahwa untuk dapat mengenal Allah itu dengan mengenali tanda-tanda kekuasaan Allah dengan akal. Namun, apabila hanya dengan menggunakan metode itu, maka yang akan lahir hanyalah percaya akan adanya Allah, tidak akan sampai kepada mengenal Dzat-Nya. Padahal, Allah itu ismu Dzat (nama dari Dzat) yang Ghoib. Jadi yang harus kita kenali bukan haya namanya, dan bukan hanya percaya akan keberadaan Allah, tapi harus mengenal Dzat-Nya. Dan sebenarnya, sebagaimana di jelaskan di dalam Al-qur’an bahwa keberadaan Allah itu sangat dekat dengan kita, dan bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher kita, yaitu adanya di dalam rasa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Hadits  Qudsi: “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di dalam shadr itu ada qalb, di dalam qalb itu ada fuad, di dalam fuad itu ada syanghf, di dalam syanghf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr, di dalam sirr itu ada Aku (Tafsir, 2010: 28). Dalam Hadits Qudsi ini dijelaskan bahwa Aku (Allah) itu ada dalam sirr (rasa) dan sirr (rasa) itu merupakan  inti manusia, dan itulah fitrah manusia. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa barangsiapa mengenal dirinya (fitrah jati dirinya), maka akan kenal pada Tuhannya, karena fitrah manusia itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri.    
Untuk dapat mencapai ma’rifah itu memang tidaklah mudah, karena pada dasarnya  ma’rifah itu merupakan anugerah Ilahi bagi siapa pun yang dikehendaki oleh-Nya. Karena itu, siapa pun orangnya  harus melepaskan asumsi bahwa ma'rifah yang diberikan Allah swt itu merupakan akibat dari perenungan dan amal kebaikannya, sebab jika hanya dengan perenungan dan amal ibadah, tidak akan sampai kepada ma’rifatullah, melainkan hanya akan sampai meyakini adanya Allah. 
Apabila kita berbicara ma’rifatullah lebih jauh lagi, sesungguhnya ma’rifatullah itu memiliki kedudukan yang sangat esensial dalam kehidupan umat Islam,  sebab tanpa ma’rifatullah hidup ini akan hampa. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hawa (2008: 1) bahwa: “Tanpa ma'rifatullah, setiap amal tidak ada nilainya. Amal-amal tersebut akan kehilangan ruhnya. Pendapat ini dikuatkan juga oleh  Al-Ghazali  (1986: 7) yang menjelaskan bahwa: “Ibadah tanpa ilmu dan tanpa ma’rifah tidak ada artinya.  Ilmu dan  ma’rifah merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh seseorang dalam beribadah, karena kalau tidak dia akan celaka. Artinya, ia harus belajar supaya bisa beribadah dengan baik, menempuh jalan ini sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan merenungkan sepenuhnya. Dengan belajar, bertanya kepada para ulama tentang akhirat, kepada petunjuk-petunjuk jalan, para pemuka umat, para imam, mudah-mudahan dengan demikian dapat berhasil mencapai ilmu yakin.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang dimaksud ma’rifatullah itu, Bya (2006: 268) menjelaskan beberapa pandangan para tokoh tentang apa sebenarnya ma’rifatullah itu. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq ditanya tentang ma’rifatullah yang ada pada dirinya, ia berkata: Sangat mustahil datangnya ma’rifat masuk ke hati sanubari seorang hamba, kecuali karena ma’unah Allah. Beliau mengatakan bahwa ma’unah itu tidak akan ditemukan pada panca indera manusia, tidak ada ukurannya. Ma’rifat itu dekat tapi jauh, dan jauh tapi dekat. Tidak dapat diucapkan dan dinyatakan. Di bawahnya ada sesuatu dan berada di depan segala sesuatu. Dialah Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiada sesuatu yang ada pada sesuatu yang lain. Tiada yang sama seperti itu, hanyalah Dia Dzat Yang Suci itu, yakni Allah swt.
Imam Ja’far ash-Shadiq, salah seorang keturunan Rasulullah saw  juga pernah ditanya: Apakah anda melihat Allah? Beliau menjawab: Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihat. Ia pun ditanya lagi, lalu bagaimana anda melihatnya, sementara Ia tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Imam Ja’far kembali menjawab: Aku tidak akan mampu melihat-Nya dengan pandangan mata, tetapi melihat-Nya dengan mata hati melalui hakikat keimanan. Dia tidak kasat indera dan tidak pula dapat diukur oleh manusia.
Dalam pandangan para sufi, pemahaman ma’rifatullah itu berbeda dengan pandangan pada umumnya. Di antaranya, Dahlan menjelaskan, bahwa  dalam kajian tasawuf,  ma'rifatullah itu memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma’rifah yang dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma’rifah hakiki. Dan orang-orang yang telah memperoleh ma’rifah itu disebut Arifun billah" (Isma’il, 2008: 794).
Dahlan lebih lanjut menjelaskan bahwa munculnya gagasan tentang ma'rifat hakiki itu menjadi tahapan penting bagi perubahan tujuan dari ibadah para zahid dan ahli ibadah di kalangan kaum muslimin.  Sebelumnya para zahid dan ahli ibadah sampai pertengahan abad ke dua Hijriyah memilih jalan zuhudpada dunia karena dorongan mencari kehidupan yang lebih sesuai dengan corak kehidupan Nabi Muhammad saw yang diridhai Tuhan atau sangat terdorong oleh emosi takut pada neraka sebagai akibat penghayatan yang sungguh-sungguh atas peringatan-peringatan keras dari ayat-ayat suci Al-qur’an dan Hadits-hadits Nabi atau sangat berharap mendapatkan surga sesuai dengan janji-janji yang dinyatakan kedua sumber pokok ajaran Islam itu.
Pada paruh kedua abad dua Hijriah, muncul di kalangan mereka zahidah terkenal, Rabi'ah al-Adawiyah yang di hatinya sangat bergelora emosi cinta pada Tuhan. Dengan cinta itu, tampak bahwa sang pencinta sebagai zahidah, sama sekali tidak dikuasai emosi takut pada neraka atau oleh harapan pada surga, tetapi oleh emosi cinta yang bergelora memenuhi hati. Pencinta Tuhan itu tidak mengharapkan surga dari Tuhan atau keterhindaran dari neraka, tetapi mengharapkan cintanya pada Tuhan berbalas pula dengan cinta Tuhan kepadanya. Pada paruh pertama abad tiga Hijriyah barulah muncul gagasan dan perbincangan tentang ma’rifah hakiki.
Sejak abad tiga Hijriyah itulah gerakan zuhud (asketisme) memperoleh tujuan yang baru  yaitu ma’rifah hakiki, dan dengan demikian asketisme meningkat kualitasnya menjadi tasawuf. Para zahid yang berhasil memperoleh ma’rifah hakiki selain disebut "arif", juga disebut sufi atau waliyullah.
Gagasan adanya ma’rifah hakiki dimunculkan oleh Dzunnun Al-Misri, karena itu ia dapat disebut sebagai bapak gagasan ma’rifah dalam tasawuf. Menurut Dzunnun Al-Misri, ada tiga macam ma’rifah. Pertama, ma’rifah di kalangan awam, yaitu mereka mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat. Kedua, ma’rifah di kalangan ulama dan para filusuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini; mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, ma’rifah di kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifah tingkat ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma’rifah hakiki dan tertinggi.
Sebelum Dzunnun Al-Misri,  sebenarnya sudah muncul satu dua ungkapan dari zahid yang mendahuluinya, yang bisa mengilhaminya untuk melahirkan pandangan  yang penting tentag ma’rifah. Pertama, ungkapan Rabi'ah Al-Adawiyah tentang terbukanya hijab sehingga dapat melihat Tuhan dengan hatinya. Kedua, ungkapan yang muncul dari Abu Sulaiman Ad-Darani, ia berkata: Sesungguhnya Allah membukakan bagi sang arif yang sedang berbaring tidur, sesuatu yang tidak dibukakan kepada yang lain, meskipun yang lain itu sedang menegakkan shalat.
Ma’rifah hakiki selain sering dibicarakan Dzunnun Al-Misri, juga sering dibicarakan oleh para zahid dan sufi sesudahnya, kendati pembicaraan mereka baru dalam bentuk butir-butir ungkapan yang berserakan. Ma’rifah dan sang arif dalam tebaran ungkapan para sufi itu antara lain sebagai berikut. Dzunnun Al-Misri menuturkan antara lain: "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku; kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku". Manusia yang paling mengenal Tuhan adalah yang paling terpesona pada-Nya. Ada tiga tanda sang arif, yaitu cahaya ma’rifahnya tidaklah memadamkan cahaya kewara'annya, ia tidak percaya bahwa aspek batin hukum bertentangan dengan aspek lahirnya, dan keberlimpahan nikmat Tuhan bagi dirinya tidak mendorongnya untuk mengoyak tirai yang menutup kawasan sakral Tuhan. Arwah para Nabi berlomba di padang ma’rifah, dan ruh Nabi kita Muhammad saw memimpin mereka semuanya menuju taman wasal (perjumpaan dengan Tuhan). Pergaulan sang arif seperti pergaulan Tuhan, ia pemurah dan lapang dada kepada orang lain, karena ia berakhlak dengan akhlak Allah. Bagi setiap orang ada bentuk hukuman tertentu dan hukuman bagi sang arif adalah terputus dzikir kepada Allah.
Menurut Abu Yazid, sang arif tidak melihat sesuatu pun selain Allah dalam tidurnya, tidak pula melihat sesuatu dalam jaganya kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak memandang kecuali kepada Allah. Manusia biasa mempunyai keadaan-keadaan (ahwal), tetapi sang arif tidak; sifat-sifat manusiawinya telah sirna, dan Dzatnya telah berobah menjadi Dzat yang lain; sifatnya telah sirna karena sifat-sifat selain dirinya telah menggatikannya. Ketika Abu Yazid ditanya, dengan apa ia mencapai ma’rifah, ia menjawab, dengan perut yang lapar dan tubuh tanpa pakaian. Para arif mencapai ma’rifah dengan menghilangkan (tidak memperdulikan) apa saja yang mereka miliki, dan tinggal dengan apa yang dimiliki Allah.
Menurut Al-Hallaj, bila seseorang mencapai maqam ma’rifah, Allah akan mengilhamkan baginya lintasan-lintasan ide dan Ia menjaga hatinya agar tidak muncul pada hatinya itu selain lintasan kebenaran. Tanda sang arif adalah kosong perhatian hatinya kepada dunia dan akhirat. Sejalan dengan itu, Asy-Syibli menyatakan, bahwa sang arif tidak memperhatikan sesuatu selain Allah, tidak berbicara dengan kalam selain-Nya, dan tidak melihat satu pun bagi dirinya selain Dia sebagai pelindung. Abu Utsman Al-Maghribi menuturkan, bahwa sinar-sinar pengetahuan menerangi sang arif, sehingga ia melihat hal-hal ghaib yang menakjubkan dengan pengetahuan itu. Abu Tayyib Al-Samarri mengatakan, ma’rifah adalah terbitnya kebenaran atas batin seseorang dengan cahaya yang terus menerus.
Dari sejumlah penuturan tentang ma’rifah dan sang arif di atas, jelaslah pada kita bahwa para sufi sejak dari Dzunnun Al-Misri dan para sufi sesudahnya memberikan deskripsi yang istimewa tentang ma’rifah dan sang sufi, yang pada intinya ma’rifah adalah keterbukaan hijab pada hati, melihat Tuhan dengan hati, dan karena itu ia mengenal Tuhan dengan hatinya itu.                    
Dengan demikian, dapatlah dipahami  bahwa mengenal Allah (ma'rifatullah) merupakan dasar yang paling utama dalam beragama Islam. Kenapa dalam kajian tauhid ada ungkapan bahwa “Pertama kali yang wajib bagi manusia ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa mengenal Allah merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, karena tanpa mengenal Allah keimanan seseorang belumlah sempurna. Sehubungan dengan itu, Imam Ali menjelaskan bahwa pokok agama adalah ma’rifat tentang Allah. Kesempurnaan ma’rifat tentang Allah adalah dengan tashdiq (membenarkan) terhadap-Nya. Kesempurnaan tashdiq terhadap Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, dan kesempurnaan tauhid kepada-Nya yaitu dengan ikhlas kepada-Nya (Al-Hariri, 2009: 7). Sejalan dengan itu, Al-Jailani (2010:71) mengemukakan: Wahai orang-orang, kenalilah Allah dan janganlah engkau tidak mengenal-Nya, taatlah kepada-Nya dan janganlah sekali-kali bermaksiat kepada-Nya, ridhalah kepada takdir-Nya dan jangan menentang-Nya. Kenalilah al-Haq ‘Azza wa Jalla dengan segala sifat-Nya. Dia Maha Pencipta dan Maha Pemberi Rizki, Dia Yang Awal dan Yang Terakhir, Dialah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Yang Qadim, Yang Abadi dan Maha Berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia adalah Tuhan yang menjadikan kaya dan miskin, Yang memberikan manfaat, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang memberi balasan, Yang dijadikan tempat pengharapan. Takutlah kepada-Nya, dan tidak perlu takut kepada apa pun selain Dia, berharaplah kepada-Nya dan jangan menyimpan harapan kepada selain Dia, berjalanlah bersama dengan takdir dan hikmah-Nya hingga kodrat melampauai hikmah. Terapkanlah adab dengan berpegang penuh pada kitab pedoman, hingga datang apa yang menghalangi antara engkau dengan-Nya. Engkau akan terpelihara dari panasnya batas syari'at. Tidak ada yang dapat mencapai derajat ini  kecuali sebagian kecil dari orang-orang yang shalih.  
Menurut Ar-Rumi, Ma’rifah yaitu pengetahuan tentang Tuhan yang dirasakan hati secara langsung oleh seseorang  apabila  hatinya bersih dari noda. Namun, tidak semua orang bisa mencapai ma’rifah, karena ma’rifah itu bukan merupakan hasil usaha, tetapi merupakan anugerah dari Allah (Isma’il, 2008: 632).
Dalam sebuah tamsil, Ar-Rumi mengumpamakan para pencari ma’rifah dengan para pencari mutiara yang terdiri atas tiga kelompok. Pertama, orang yang senang dengan perhiasan mutiara, dan mereka menginginkan mutiara itu. Karena itu, mereka pergi ke pantai untuk mengambil mutiara dari laut; akan tetapi mereka tidak bisa berenang, apalagi menyelam ke dasar laut di tempat mutiara berada, sementara peralatan untuk menyelam pun tidak mereka miliki. Karena itu, mereka hanya bisa melihat orang lain berenang dan menyelam, dan kemudian kembali ke tempat semula dengan tangan kosong. Kedua, orang-orang yang memiliki keterampilan berenang dan mereka memiliki alat untuk menyelam ke dasar laut. Sebab itu, tidak ada hambatan bagi mereka untuk meraut lokan-lokan yang ada di dasar laut untuk dibawa ke daratan; akan tetapi setelah lokan-lokan itu diangkut ke atas, lalu dipecahkan, mereka tidak menemukan satu butir mutiara pun, dan mereka pun pulang dengan tangan hampa. Ketiga, orang-orang yang memiliki keterampilan berenang dan dilengkapi peralatan yang cukup untuk menyelam ke dasar laut. Mereka memungut lokan-lokan di dasar laut untuk diangkut ke daratan. Setelah lokan-lokan itu terkumpul, mereka memecahkannya satu demi satu. Dan dengan berkah dari Allah mereka mendapatkan mutiara berharga. Mereka inilah dalam tamsil Ar-Rumi orang yang beruntung. Karena anugerah Allah, mereka mencapai ma’rifah kepada-Nya.
Puncak ma’rifah ialah ketika seorang sufi mencapai mahabbah, dan puncak mahabbah ialah ketika seorang sufi mencapai fana selakigus baqa bersama Tuhan. Baginya, mahabbah belum tercapai sepenuhnya sebelum dia lebur (fana) ke dalam Yang Dicintainya dan sekaligus baqa bersama sang Kekasih (Tuhan). Ketika manusia telah benar-benar dapat memusnahkan kesadaran tentang dirinya (fana al-fana), niscaya ia akan mencapai baqa. Di sini jarak antara "aku" dan "Engkau" sudah tidak ada, sehingga aku sirna dalam "Aku" mutlak. Dalam persatuan demikian, esensi manusia tidak sirna, tapi kualitasnya sudah hilang dan berganti dengan kualitas Ilahiah, laksana besi dan api ketika dibakar. Besi adalah besi dan api adalah api, tetapi kualitas besi sudah hilang dan berganti dengan kualitas api, meskipun esensi besi masih tetap ada.
Seseorang yang telah mengenal Allah (ma'rifatullah) dan mencapai hakikat akan merasakan dampak positif dalam kehidupannya.  Paling tidak ada  sembilan nilai  positif yang akan dirasakan oleh seseorang yang telah mengenal Allah dan mencapai hakikat. Kesembilan nilai tersebut adalah sebagai berikut: (1) Merasakan kebenaran atas kedekatan Allah pada dirinya, (2) Merasakan Kenikmatan Akibat Terbebas dari Kesyirikan, (3) Merasakan Nikmat Dapat Selalu Bersamanya, (4) merasakan Keamanan dan Ketenteraman Hati, (5) Dapat Merasakan Keindahan dan Keserasian dalam Setiap Firman-firman Allah, (6) Merasakan Kemudahan dalam Memahami  Hakikat Firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an, (7) Merasakan Kemudahan dalam menjalani Hidup dan Kehidupannya dengan Tanpa Beban, (8) Merasakan Nikmat, Ringan, dan Khusyu’ dalam Beribadah kepada-Nya, (9) Merasakan Tidak Memiliki Daya dan Upaya dalam Menjalani Kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah (Al-Kadiri, 2010: 225).
Pertama, merasakan kebenaran atas kedekatan Allah pada dirinya. Seseorang yang telah mencapai ma’rifat akan merasakan bahwa Allah itu sangat dekat dengan dirinya, bahkan kedekatan tersebut tidak bisa digambarkan, sehingga hampir tidak bisa membedakan mana Tuhan dan mana makhluk. 
Seseorang yang telah mencapai hakikat dan ma’rifat akan paham bahwa kekuasaan Allah itu meliputi segala sesuatu yang tidak terbatas pada lahir, hidup, mati, kaya, miskin, dan jodoh saja,  melainkan berpikirnya juga berada dalam liputan Allah, ibadahnya,  bekerjanya, berkeluarganya, dan lain-lainnya semuanya berada dalam liputan Allah. Demikian juga pada perasaan, tingkah laku, pandangan, pembicaraan, pendengaran, penciuman, semuanya berada pada liputan Allah.
Seseorang yang mencapai hakikat dan ma’rifat tidak akan muncul lagi dalam dirinya perasaan ke-aku-an, ego, ataupun nafsu dalam diri pribadi. Semuanya telah terganti dengan kepemilikan Tuhannya, semuanya telah menjadi af’al Tuhannya. Dalam diri seseorang yang telah berhakikat telah terjadi revolusi dalam hati, jiwa, dan perasaannya, sehingga timbullah kesadaran bahwa sifatnya menjadi sifat Allah, Asmanya menjadi Asma Allah, dan af’alnya menjadi af’al Allah.
Dengan demikian, apabila dia berjalan, ia yakin bahwa itu berjalannya Tuhan, apabila ia melirik berarti itu adalah lirikan Tuhan, apabila ia memandang itu adalah pandangan Tuhan, apabila ia mendengar itu adalah pendengaran Tuhan, apabila ia berbicara itu adalah pembicaraan Tuhan, apabila ia merasa itu adalah perasaan Tuhan. Demikian juga segala gerak gerik dan urusannya semua itu gerak gerik dan urusan Tuhan.
Kedua, dapat merasakan kenikmatan akibat terbebas dari kesyirikan. Seseorang yang telah mencapai hakikat akan menyadari bahwa perbuatan syirik adalah sangat berbahaya, karena perbuatan syirik merupakan dosa besar dan tidak akan diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) orang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka  sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisa: 116).
   
Dengan memahami ayat tersebut, maka seseorang yang telah mencapai hakikat merasa tidak mungkin dan tidak mampu melanggarnya, karena dia merasa bahwa dia tidak memiliki apa pun. Nyawanya, jiwanya, fisik tubuhnya, segala ibadahnya, segala prilakunya, dan bahkan keberadaannya pun terfanakan. Yang ada hanyalah keberadaan Tuhan sendiri, dan semuanya adalah mutlak milik Allah. Apabila sudah demikian, apa yang akan disekutukan dengan-Nya, sehingga akhirnya berbahagialah dia karena telah terbebas dari kesyirikan itu.
Ketiga,  dapat merasakan nikmat dapat selalu bersamanya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa nikmat dalam kehidupannya, karena dia tidak terbebani apa pun. Semua sudah tergantung dengan kehendak Tuhannya, semua sudah menjadi af’al-Nya, sehingga akan merasa nyaman apa yang dijalani dalam hidup dan kehidupannya.
 Seseorang akan merasa nikmat apabila dia bergerak adalah sebagai kehendak gerak-Nya Tuhan,  apabila dia tersenyum sebagai kehendak senyum-Nya Tuhan, apabila dia berani sebagai kehendak keberanian-Nya Tuhan, apabila dia ibadah sebagai kehendak ibadah-Nya Tuhan, apabila dia shalat sebagai kehendak shalat-Nya Tuhan, apabila dia puasa sebagai kehendak puasa-Nya Tuhan. Demikianlah segala yang dilakukan hingga yang dirasakan, semuanya adalah sebagai kehendak-Nya Tuhan, sebagai af’al-Nya Tuhan.
Keempat,  dapat merasakan keamanan dan ketenteraman hati. Seseorang yang telah mencapai hakikat akan merasa aman dan tenteram dalam hati dan perasaannya. Betapa tidak, Dia telah terbebas dari kekhawatiran akan kesyirikan, sehingga tidak ada lagi rasa ketakutan menghadapi kehidupan keakhiratan. Kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat, tidak menjadi perhatian lagi, karena semuanya sudah bergantung kehendak Tuhan sendiri yang selama ini telah menggerakkan hati, pikiran, kelakuan, dan ibadahnya. Sementara pribadinya telah tiada, tergantikan dengan keberadaan-Nya. Dengan demikian, tidak ada lagi syirik walaupun sekecil apa pun. Seorang yang berhakikat akan selalu tenteram hatinya, tenteram jiwanya, tenteram perilakunya, tenteram imannya, tenteram ibadahnya, tenteram shalatnya, tenteram puasanya, tenteram zakatnya, tenteram amalnya, dan lain sebagainya.
Kelima,  dapat merasakan keindahan dan keserasian dalam setiap firman-firman Allah. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasakan betapa indahnya firman-firman Allah dalam Al-qur’an. Indah dalam bunyinya, indah dalam susunannya, indah dalam arti dan kedalamannya. Salah satu contoh surat al-Ikhlas. Betapa indah bunyinya kalau dibaca, dan indah pula susunan kata-katanya. Singkat sekali firman Allah dalam surat al-Ikhlas tersebut. Namun, tiada terukur betapa dalam dan luas maknanya.
Keenam, dapat merasakan kemudahan dalam memahami hakikat firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa mudah dan jelas dalam memaknai ayat-ayat dalam Al-qur’an.  Dirasakannya sedemikian terang dan logisnya ayat-ayat tersebut sehingga tidak tersisa lagi keraguan atas kebenarannya.  Seorang yang mencapai hakikat memiliki keimanan yang mendalam kepada Tuhannya, dia akan larut dalam setiap ayat Al-qur’an yang dibacanya, sehingga dia hanya mengangguk-angguk membenarkan dengan sepenuh hati dan perasaannya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa lebih mudah memahami dan menguraikan ayat-ayat dalam Al-qur’an. Dia akan mampu memahami yang tersirat, apalagi yang tersurat. Karena semuanya dipahami atas akal, logika berpikir, dan pengertiannya, bukan atas hafalan atau sekedar katanya.
Ketujuh,  dapat merasakan kemudahan dalam menjalani hidup dan kehidupannya dengan tanpa beban. Seorang yang telah mencapai hakikat tidak memiliki kekhawatiran akan beban hidupnya. Keyakinan pada Tuhannya menjadikan dia sedemikian yakin akan selalu berada dalam lindungan-Nya, selalu dalam perhatian-Nya. Orang yang telah mencapai hakikat demikian besar keyakinan terhadap firman-firman  Tuhannya, sehingga keimanannya tidak akan terkikis oleh waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Kefanaan dirinya menjadikannya tidak dapat terpengaruhi oleh badai bagaimanapun besarnya. Kehidupannya dirasakan menjadi nyaman dan tenteram selamanya. Apabila Allah menentukan kedukaan, dia hanya bersabat atasnya; dan apabila Allah menentukan kegembiraan, dia akan bersyukur karenanya. Karena dia telah memahami bahwa kesabaran dan kesyukurannya pun tidak lain merupakan kehendak-Nya pula.
Kedelapan,  dapat merasakan nikmat, ringan, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya. Seorang yang telah berhakikat akan merasakan nikmat dalam ibadahnya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka akan merasakan nikmatnya shalat tersebut. Dia mendapatkan kenikmatan dalam gerakan, ucapan, ketundukan hati, dan dalam ketenangan jiwanya. Kefanaannya meliputi seluruh lahir batinnya, sehingga dia menjadi khusyu karenanya. Tidak ada gangguan syetan yang dapat memasuki wilayah ibadah seorang yang telah mencapai hakikat. Di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, tidak ada celah yang dapat dimasuki setan pada dirinya.
Kesembilan, dapat merasakan tidak memiliki daya dan upaya dalam menjalani kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah”. Seorang yang telah mencapai hakikat akan tumbuh kesadaran bahwa dia tidak memiliki daya dan upaya apa pun kecuali bersama Allah. Apabila kemudian dia terlihat melakukan peribadatan misalnya, maka itu merupakan daya dan kekuatan  Allah sendiri, atas keinginan dan kehendak Allah sendiri. Semangat “la haula wala quwwata illa billah” tidak hanya berlaku dalam ibadah semata, tetapi berlaku pula dalam segala tindakannya, segala kesibukannya, segala usahanya, segala prosesnya, dan segala hasilnya. Jadi, berlaku pada segala kegiatan dalam hidup dan kehidupannya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasakan apa yang dilakukannya adalah realitas rencana Tuhan, realitas kehendak-Nya, realitas keinginan-Nya, Sedangkan dia sendiri tidak ikut serta dalam apa yang dilakukannya tersebut.
Dari beberapa ungkapan tentang kondisi spiritual orang yang telah ma’rifatullah seperti diungkapkan di atas, dapat dipahami bahwa ma’rifatullah itu ialah mengenal Allah dengan mata hati kita, sehingga kita merasakan kehadiran Allah dalam diri kita, yang secara hakiki Allah itu dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher. Ma’rifatullah sangat penting bagi seseorang, karena ma’rifatullah merupakan esensi dari ajaran Islam. Tanpa mengenal Allah hidup ini akan hampa dan tidak jelas siapa yang kita tuju, baik dalam ibadah maupun dalam melakukan aktivitas-aktivitas lainnya  dalam  hidup ini. Ibadah, baik shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya  tanpa dibarengi dengan ma’rifatullah akan sia-sia. Begitu juga,  segala  aktifitas yang baik yang dilakukan kita dalam kehidupan sehari-hari akan bernilai  ibadah apabila didasari dengan ma’rifatullah.
Orang yang mencapai ma’rifatullah yang haqiqi akan menjadikan orang itu selalu fana billah. Apa yang menjadi sifat dalam hidup dan kehidupannya, tidak lain adalah realitas dari sifat Tuhan. Apa pun yang dia lafalkan, yang dia dzikirkan, yang dia ucapkan, yang dia suarakan, tiada lain adalah realitas Asma-Nya. Apa yang dia lakukan dan yang dia alami merupakan realitas af’al-Nya semata.

2.    Program Pendidikan Keimanan  di SMA POMOSDA
a.    Silabus Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA  
Mata pelajaran Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yang diberi nama Ke-Lilmuqarrabinan (tauhid), Silabus Pendidikan Keimanan (Ke-Lilmuqarrabinan) sebagaimana yang telah dijelaskan pada temuan penelitian di atas, kajiannya lebih banyak menekankan kepada kajian tasawuf yang menekankan kepada kajian hati.
 Adapun silabus Pendidikan Keimanan yang dirancang di sekolah-sekolah pada umumnya, khususnya di Madrasah Aliyah sebagaimana yang telah dijelaskan pada kajian teori yaitu hanya menekankan kepada kajian keimanan, agar peserta didik beriman kepada Allah, dan masalah ketauhidan, agar peserta didik terhindar dari kemusyrikan, sedangkan masalah tasawuf tidak disinggung sama sekali.
   Melihat silabus yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA dan silabus yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah lainnya, khususnya di Madrasah Aliyah terdapat perbedaan yang sangat jauh. Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yang diberi nama “Ke-Lilmuqarrabinan” lebih berorientasi kepada kajian tasawuf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA merupakan Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf.
Tasawuf yang di ajarkan di SMA POMOSDA, diarahkan untuk membimbing para siswa/santri agar menjadi Al-’Arif Billah, yakni manusia yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, memiliki hati yang bersih, akhlak yang baik, sehingga merasakan kehadiran Allah dalam dirinya dan merasakan kedekatan dengan-Nya, yang tujuan akhirnya  dapat  kembali sampai kepada-Nya. Dan inilah yang menjadi ciri khas dari Pondok Modern Sumber Daya At-taqwa (POMOSDA) yang berbeda dengan pondok-pondok pada umumnya.
Adapun secara umum, sebagaimana yang telah dijelaskan kajian teori pada kajian teori bahwa tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah (Nasution, 1995: 56). Agak berbeda dengan pendapat Nasution, Al-Nuri (Isma’il, 2008: 90) menjelaskan bahwa tasawuf itu merupakan ilmu yang  erat kaitannya dengan akhlak, dan ia tidak dapat diperoleh sampai orang itu dapat memperaktekkan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari.  
Pemahaman tasawuf yang dikemukakan oleh Nasution dan Al-Nuri pada dasarnya sejalan dengan ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA, yaitu bahwa tasawuf itu merupakan ilmu yang mempelajari bagaimanan seseorang agar dekat dengan Allah, dan berakhlak baik. Hanya saja, Nasution dan Al-Nuri tidak menjelaskan bahwa tasawuf itu dapat mengantarkan seseorang agar dapat merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
Untuk dapat merasakan kehadiran Allah dalam diri kita, sebagaimana dijelaskan dalam temuan penelitian di atas, yaitu seorang murid harus berguru kepada Guru Wasithah. Dalam proses berguru itu ada sebuah proses yang disebut dengan talqin. Dalam proses talqin itulah Guru Wasithah menanamkan nilai keimanan kepada hati seorang murid dengan membisikkan Dzat Allah melalui telinga kirinya. Mulai dari sanalah seorang murid dapat mengenal Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.  Setelah mengenal Allah, seorang murid harus berusaha memerangi nafsunya (jihadunnafsi) yang dibarengi dengan memperbagus akhlak dan menjernihkan hati (tashfiyatul qalbi) dari berbagai pikiran selain Allah. Itulah inti ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA.  
Untuk dapat mengetahui lebih jauh, apa sebenarnya  yang dimaksud tasawuf itu? Berikut ini akan dijelaskan tentang pandangan-pandangan para ahli tentang tasawuf.  Al-Kurdi menjelaskan bahwa tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa, baik maupun buruk, kemudian bertekad untuk mensucikan jiwa tersebut dari sifat-sifat buruk, diisi dengan sifat-sifat yang baik, serta berusaha merambah jalan (suluk) untuk berada dekat di sisi Allah (Isma’il, 2008: 1289). Sejalan dengan itu, Al-Kabbani (2007: 28) mengemukakan bahwa tasawuf adalah ilmu untuk mempelajari bagaimana membersihkan jiwa dari hasrat yang buruk, seperti dengki, tipu daya, ria, ingin dupuji, sombong, angkuh, marah, tamak, kikir, menghormati yang kaya dan menyingkirkan yang fakir, sebagaimana setiap orang harus membersihkan jasad lahiriahnya.
Ilmu tasawuf mengajari seseorang agar melihat pada diri sendiri, membersihkannya sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan sunnah Nabi saw, serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat sempurna, seperti taubat, taqwa, istiqamah, shidq, ikhlas, zuhud, wara', tawakkal, berperilaku baik (adab), mahabbah, dzikr, muraqabah,  dan sifat-sifat baik lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu  berfungsi untuk menjernihkan hati, yang merupakan esensi paling berharga dan sumber hidup keislaman seseorang.         
Tasawuf yaitu suatu ilmu untuk menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat. Jadi, tasawuf adalah usaha menaklukkan dimensi jasmani manusia agar tunduk kepada dimensi ruhani (nafs), dengan berbagai cara, sambil bergerak menuju kesempurnaan akhlak, seperti dinyatakan kaum sufi; dan meraih pengetahuan atau ma`rifat tentang Dzat Ilahi dan kesempurnaan-Nya (Isma'il, 2002: 19).  
Berkaitan dengan masalah tasawuf, ada beberapa definisi  yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu sebagai berikut:
Menurut Al-Qashshab, tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang muncul di zaman yang mulia dari tangan seorang yang mulia bersama kaum yang mulia pula. Menurut Ruwaim, tasawuf adalah melepaskan jiwa bersama Allah sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Menurut Al-Jariri, tasawuf yaitu masuk dalam lingkaran akhlak mulia dan keluar dari akhlak yang rendah. Menurut Al-Makki, tasawuf hendaknya seorang hamba setiap saat berada pada sesuatu yang lebih utama dalam waktu tersebut. Menurut Al-Qannad, tasawuf ialah menyebarkan kedudukan spiritual dan melanggengkan komunikasi dengan Allah (As-Sarraj, 2002: 53).  Al-Ghazali, menjelaskan, bahwa tasawuf  merupakan  perpaduan antara ilmu dan amal, sehingga sufi memiliki ketulusan tujuan, dan betul-betul mengalami ketenteraman dan kepuasan karena mendapat pencerahan dari Allah. Ia mengatakan: aku  mengetahui dengan yakin bahwa para sufi adalah betul-betul para salik menuju Allah semata. Perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, jalan mereka adalah jalan terbenar, dan akhlak mereka adalah akhlak terbersih.  Andaikata akal para intelektual, filsafat para filusuf dan ilmu para ulama bersatu untuk mengubah sedikit saja perjalanan dan akhlak mereka serta menggantinya dengan suatu yang lebih baik dari itu, niscaya tak ada jalan untuk itu. Pasalnya,  semua gerak dan diam mereka, lahir dan batin diperoleh dari sinar nubuwwah cahaya kenabian. Dan tak ada sinar yang bisa menerangi di muka bumi ini selain sinar nubuwwah. Menurut Al-Ghazali  ilmu yang dicapai para sufi bisa mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan moral atau sifatnya yang buruk dan tercela, sehingga mengantarkannya pada keterbatasan qalbu dari segala sesuatu selain Allah serta menghiasinya dengan ingat kepada Allah. Seorang murid yang menempuh jalan sufi harus konsisten menjalani hidup, menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur pada malam hari untuk membina qalbu-nya. Manfaat hidup menyendiri adalah untuk mengosongkan qalbu-nya dari pesona duniawi. Adapun diam adalah untuk menyuburkan akal budi, membangkitkan rendah hati, dan mendekatkan ketaqwaan. Rasa lapar untuk mencerahkan qalbu, sementara terjaga pada malam hari adalah untuk menjernihkan dan mencemerlangkan qalbu.
Al-Ghazali membedakan tasawuf sebagai ilmu mu'amalah dan tasawuf sebagai ilmu mukasyafah. Menurutnya, tasawuf sebagai ilmu mukasyafah tidak bisa diungkapkan kecuali secara simbolis dan tidak diperkenankan untuk diungkapkan kepada sembarang orang. Puncak tasawuf bagi al-Ghazali adalah al-qurb (kedekatan dengan Allah) atau dengan istilah lain al-fana bilkulliyat fillah  (fana secara total di dalam Allah). Dan inilah suatu tingkatan tauhid tertinggi, sehingga dia tidak melihat dalam yang Wujud kecuali Dzat Yang Maha Esa, yaitu syuhud (kesaksian batin) orang-orang siddiq. Para sufi menamakannya dengan fana dalam tauhid karena dia tidak melihat kecuali Dzat Yang Esa, bahkan dia juga tidak melihat dirinya. Apabila dia tidak melihat dirinya karena tenggelam dalam pandangan tauhid, maka dia fana dari dirinya sendiri dalam pandangan tauhidnya, dengan pengertian bahwa dia fana dari melihat dirinya dan segala makhluk (Isma’il, 2008: 132).
   Tasawuf pada dasarnya merupakan ajaran yang sudah ada pada zaman Rasulullah Muhammad saw dan para sahabatnya termasuk juga para tabi’in. Namun, pada saat itu tidak menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi dalam prakteknya mereka adalah sufi yang sesungguhnya. Mereka adalah orang yang hidupnya mengabdi hanya untuk Tuhannya, mereka menghiasi dirinya dengan hidup zuhud, tekun melaksanakan ibadah, berakhlak mulia, dan mereka terkenal sebagai orang yang bersih hatinya. Mereka terkenal sebagai orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, menghindari hal-hal yang bersifat makruh di samping yang haram, sehingga terpancar dari hati nurani mereka butiran-butiran hikmah, dan rahasia-rahasia ketuhanan melimpah dalam jiwa mereka. Itulah sebenarnya yang disebut sufi sejati, dan itu semua dicontohkan oleh Rasulullah.
Setelah era itu, seperti yang dikemukakan oleh Al-Wasyi, beragam bangsa mulai memeluk Islam. Bidang ilmu pengetahuan juga semakin luas dan terbagi-bagi di antara para spesialis. Setiap kelompok berusaha mengkodifikasikan ilmu yang mereka geluti dan mereka kuasai. Di antaranya muncul ilmu nahwu, ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu faraidh, dan ilmu-ilmu lainnya.  Setelah fase ini, pengaruh spiritualitas Islam sedikit demi sedikit melemah. Manusia mulai lupa akan pentingnya bertaqarrub kepada Allah melalui ibadah, hati, dan  tekad. Hal inilah yang mendorong para zahid (ahli zuhud) untuk mengkodifikasikan ilmu tasawuf, serta menerangkan kemuliaan dan keutamaannya di antara ilmu-ilmu lainnya.  Mereka melakukan itu, bukan sebagai reaksi terhadap apa yang dilakukan oleh kalangan ulama lain, melainkan mereka melakukan itu untuk menutupi kekurangan dan menyempurnakan agama dari segala aspeknya (Isa, 2010: 9).  
Ilmu tasawuf itu mulai muncul dan berkembang pada sekitar tahun 700  sampai 1000 Masehi atau kira-kira tahun 80 sampai 400 Hijriah. Namun begitu, di antara jaran-ajaran tasawuf itu tidak semuanya berjalan sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para penerus-penerusnya. Banyak orang yang berpura-pura berperilaku tasawuf dan bertindak seakan-akan diri mereka seorang sufi. Mereka berbicara dan berani memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentang tasawuf, padahal secara hakiki mereka hanya menipu diri dan berpura-pura memahami hakikat tasawuf. Kemudian muncullah kitab-kitab tasawuf yang diditulis oleh para ahli. Salah satu di antara kitab tentang  tasawuf yaitu kitab al-Luma’ karya Abu Nashr As-Sarraj ath-Thusi. Dalam kitabnya ia mengajukan dua alasan utama mengapa kitab ini ditulis, yaitu: (1) Untuk menunjukkan kepada mereka yang punya kepedulian membaca buku ini mengenai apa sejatinya tasawuf itu, (2) Menyampaikan protes keras terhadap sejumlah malpraktek (praktek berkehidupan tasawuf yang salah) dari para pelaku yang berpura-pura dan menipu, sehingga bagi mereka yang tidak punya cukup waktu mendalami tasawuf dan mereka yang tidak punya keinginan mengikuti jalan tasawuf  yang sesungguhnya benar-benar tasawuf, paling tidak terbantu dapat membongkar topeng-topeng kepalsuan yang melekat pada para pelaku yang berpura-pura tasawuf.
Salah satu penulis lainnya yaitu Abu Bakr al-Khalabadhi yang menulis Kitab at-Ta’aruf li Madzhab Ahlit Tasawuf. Dalam bukunya ia membuat pernyataan bahwa akhirnya makna yang sejati dari tasawuf hilang dan yang tertinggal tak lain hanya sekedar sebutan. Pemahaman terhadap hakekat tasawuf lenyap didesak dan diganti oleh gumpalan asap pekat tanpa makna karena keluar dari mulut yang pintar bicara. Al-Kalabi amat prihatin atas munculnya orang-orang yang berpura-pura tasawuf. Makna sejati tasawuf telah hilang, dan yang tertinggal hanyalah sebutan. Ia menjelaskan sebagai berikut:
(1)   Maka terjadilah perubahan, apa yang hakiki menjadi sekedar ungkapan bibir, apa yang benar menjadi kata-kata hiasan;
(2)   Mereka yang tidak mengerti tasawuf mengaku dirinya ahli tasawuf dan tasawuf dijadikan hiasan bibir oleh mereka yang sebenarnya tidak memiliki karakter kepribadian tasawuf;
(3)   Perbuatannya mengingkari ucapan lisannya;
(4)   Ke dalam dunia tasawuf mereka memasukkan segala sesuatu yang seharusnya tidak patut ada di dalamnya. Akibatnya, apa yang hak dalam tasawuf menjadi batal, Orang yang punya ilmu tentang tasawuf dipandang sebagai orang yang bodoh, dan orang-orang yang layak berbicara apa yang hak (benar) dalam tasawuf tersisih, menyendiri dan bersembunyi.
(5)   Orang yang punya wawasan tasawuf berdiam diri karena tersudut oleh mereka yang menonjolkan diri  mengaku-aku, kemudian banyak hati yang lari dari dunia tasawuf dan banyak yang meninggalkan tasawuf.
(6)   Kemuliaan, ilmu dan ahlinya pergi menghilang, akibatnya orang-orang bodoh disebut ulama, sebaliknya ulamanya menjadi hina, rendah, dihinakan dan direndahkan.
Kondisi seperti itulah yang mengundang al-Kalabadhi menyusun buku tentang tasawuf yang diberi judul “At-Ta’aruf li Madzhab Ahl Tasawuf”. Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf itu ada yang betul-betul berakar dari ajaran Rasulullah dan penerus-penerusnya yang hak dan sah, tapi ada juga tasawuf yang sudah menyimpang dari ajaran Rasulullah. Maka tidaklah heran kalau ada orang yang anti tasawuf dan menganggap tasawuf sebagai suatu ajaran yang bid’ah. Padahal, kalau kita pelajari dengan cermat dan teliti, sesungguhnya ajaran tasawuf itu merupakan ajaran yang berasal dari Rasulullah, sehingga tidak ada yang perlu diragukan kebenarannya (Afandi (2009: 8).   
Walaupun pada masa Nabi Muhammad saw istilah tasawuf belum dipergunakan, tetapi secara substansial telah dilaksanakan, dan istilah yang dikenal pada masa Rasulullah Muhammad saw bagi orang yang mengamalkan tasawuf disebut zuhud. Berkaitan dengan kezuhudan, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, sebagai berikut:
Ali Syari'ati menjelaskan bahwa hidup sufistik, secara tradisional dan historis sudah terdapat pada masa Nabi. Nabi beserta keluarganya sehari-harinya selalu hidup sederhana dan apa adanya, di samping beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah dan berjihad dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tradisi serupa diwarisi oleh keluarga beliau (ahlulbait), yakni Ali r.a. dan Fatimah r.a. beserta anak-anaknya.  Hampir semua penulis sepakat  bahwa dalam sejarah hidup Rasulullah didapati suatu kondis kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan keterbatasan aspek duniawi dalam rumah tangganya sehari-hari. Itulah fakta yang tertulis dalam sejarah kehidupan Nabi dan keluarganya.
Imam Bukhari  menceriterakan bahwa Rasulullah sendiri menegaskan, "Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar, dan jika kami makan, maka tidaklah sampai kenyang". Dan dalam riwayat yang lain  Rasulullah juga bersabda, "Kefakiran adalah kebanggaanku".  Yang dimaksud fakir di sini, yaitu perasaan tidak membutuhkan segala sesuatu kecuali terhadap Allah, sehingga segala dunia ini dipahami sebagai bentuk amanat, yang penyerahannya pasti disesuaikan dengan kesanggupan sang makhluk untuk menerimanya.
Sahabat Anas  meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata, "Ketakutanku kepada Tuhan lebih daripada orang lain, dan kegentaranku kepada-Nya tidak ada tolok bandingannya. Kadang-kadang aku lalui tiga puluh hari lamanya dengan tidak mempunyai simpanan makaan di rumah, sehingga Bilal datang mengepit sepotong roti yang kami makan bersama-sama.
Rasulullah sendiri pernah berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah kehidupan dan kenabianku fakir, dan bangkitkanlah aku dari kematian di antara orang-orang fakir".  Pada hari kebangkitan Allah akan berfirman: "Hadapkanlah kepada-Ku hamba-hamba-Ku yang tercinta". Maka para malaikat berkata: "Siapakah hamba-hamba yang Engkau cintai"?, Allah menjawab: "Mereka yang fakir dan teraniaya".
Kefakiran akan mendorong seseorang untuk berpantang dari segala yang diharamkan, dan akan mendekatkan dirinya kepada Allah dalam keimanannya. Dibalik kefakiran, tersimpan daya kekuatan dahsyat keimanan mereka. Rasulullah bersabda: "Jika engkau benar-benar beriman kepada Allah, Dia akan menyaantunimu, sebagaimana Dia menyantuni burung-burung. Di pagi hari mereka dengan perut lapar, di sore hari mereka kembali dengan perut kenyang.
Keyakinan dalam bentuk ikhlas ini yang mengubah kecemasan alami di hati seseorang menjadi penuh harapan akan rahmat dan ampuna Allah. Dengan keyakinan penuh, maka emosi spiritual seorang sufi membawanya "menyatu" dengan iradah Tuhan, sehingga ia menggapai rasa cinta, di mana keadaan ini diawali dengan keadaan serupa oleh Tuhan.
Tentang hal ini, Nabi juga bersabda, bahwa Allah berfirman: Hamba-Ku tidak akan bisa mendekati-Ku, bila hanya menunaikan kewajiban-kewajiban yang Aku fardhukan atasnya. Dan hamba-Ku akan kian dekat dengan-Ku bila mengerjakan pula amalan-amalan sunnah, hingga Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya, maka ia akan mendengar melalui-Ku, dan Aku akan menjadi matanya, maka ia akan melihat melalui-Ku, dan menjadi lidahnya, maka ia akan berkata melalui-Ku, dan menjadi tangannya, maka ia akan berbuat melalui-Ku (Sholikhin (2004: 47). .
Dari kenyataan historis di atas, jelaslah kepada kita bahwa kehidupan sufi sudah dimasyarakatkan semenjak masa Rasulullah dan para sahabatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad  dan para sahabatnya adalah sebagai contoh dalam berbuat zuhudyang menjadi sikap utama para sufi.
Sejalan dengan itu, Solikhin (2004: 50) bahwa perilaku kehidupan zuhudsangat kental dengan diri para sahabat terkemuka, seperti Abu Bakar yang hanya mengenakan bajunya hanya dengan peniti, sehingga ia dikenal sebagai "si dua peniti". Umar, walaupun menjadi khalifah, ia hanya hidup dari roti dan minyak zaitun. Pakaiannya yang seberapa banyak, sebagian ada yang bertambal dua belas tempat. Utsman bin Affan berpakaian yang sama dengan para pembantunya, walaupun ia seorang yang kaya raya. Bahkan suatu hari, saat sudah menjadi khalifah, ia mencari kayu bakar sendiri ke kebunnya. Demikian pula sahabat Ali r.a. yang hanya memiliki sebuah gubuk kecil untuk tempat tinggalnya.
Perilaku keshalihan dan kezuhudan itu memudar dan hilang pada masa kekhalifahan bani Umayyah yang secara licik merebut tahta dari rakyat. Demikian kesaksian Al-Kharraz, seorang sufi terkemuka abad ke-3 Hijriyah. Tradisi-tradisi sufistik itu dapat kita telaah dan kita peroleh dari kumpulan khutbah para sahabat, terutama Umar bin Al-Khaththab, dan yang paling masyhur adalah kumpulan kata-kata hikmah  Ali r.a. dalam Nahjul Balaghah yang mengemukakan prinsip tauhid sufistik.
Pada masa Rasulullah masih hidup, juga dikenal seorang sahabat terkemuka dan zahid, namanya Hudzaifah bin Yaman, yang banyak dikenal para sahabat dan menjadi tempat bertanya tentang berbagai ilmu yang hanya diberikan Rasulullah kepada Hudzaifah,  termasuk sahabat Umar dan Utsman.
Hasan Al-Bashri adalah murid Hudzaifah, seorang penasihat dan pembimbing kehidupan sufi yang ulung, yang bersama-sama muridnya di masa tabi'in, menjadikan wacana kehidupan sufi menjadi wacana massal. Ia adalah seorang tabi'in yang menjadi guru pertama sufi dan mengajarkan sufi serta ilmu Al-hikmah kepada masyarakat. Menurut para pelaku sufi, Hasan Al-Bashri merupakan orang yang menjadi teladan dan peletak doktrin sabar, khusyu' dan iffah (menjaga kehormatan dan integritas pribadi), sehingga hidupnya hamper menyamai kehidupan Nabi Ibrahim.
Semasa dengan Al-Bashri, di Baghdad terdapat seorang sufi besar, namanya Abu Hamzah yang sangat giat membina madzhab tasawuf, terutama dalam kebersihan dzikir, menetapkan hikmah, mempertebal kecintaan kepada Allah, memperhalus rasa, memperbanyak ibadah, dan memperindah budi pekerti mausia.
Selain Hasan Al-Bashri, pada periode ini juga terdapat seorang sufi-penyair pertama,  yaitu Ahmad bin Ashim yang lahir di Wasit (Irak) tahun 140 H./757 M. dan wafat di Damaskus 215 H./830 M. Dialah pengarang sufi terkemuka abad ke-3 H./9 M., juga seorang guru ruhani, suatu sisi tasawuf yang sampai sekarang ini sangat penting terutama dalam tasawuf thariqaty, yang meniscayakan adanya seorang guru ruhani (syaikh atau mursyid). Perumus dan perintis tasawuf thariqaty adalah Ibnu Ashim ini.
Di provinsi Khurasan pada paruh kedua abad ke-2 H./8 M., hiduplah Ibrahim Ibnu Adham, pangeran dari negeri Balkhah -  tokoh yang kisah peralihannya kepada kezuhudan menjadi tema favorit para sufi.
Madzhab kezuhudan Khurasan dilanjutkan oleh murid Ibnu Adham, yaitu Syaqiq Al-Balkhi – ada yang menyebutnya dengan Abu Sa'id Al-Balkhi. Tokoh ini juga dikenal sebagai seorang sejarawan dan arkeolog yang menguasai huruf paku dari Mesir kuno, dan rahasia piramid dan patung Spinx di Mesir berdasarkan perhitungan astronomis sesuai keahliannya sebagai seorang astronom, yang menyatakan bahwa itu dibangun sejak 70.000 tahun sebelum hijrah. Menurut beberapa pengarang, ia adalah orang pertama yang mendefinisikan keimanan kepada Allah.
Di Persia, kita mendapati para zahid yang pertama di antaranya   Abdullah bin Al-Mubarak yang disebutkan pernah menulis kitab zuhudyang pertama. Tokoh lain adalah Al-Bisyri bin Al-Harits Al-Hafi (si kaki telanjang) yang sangat kontroversial pada masanya yang mengaku dirinya sebagai bekas berandalan, dan mengajarkan ketersembunyian (sir) amal shalih, dan membiarkan persangkaan buruk orang lain terhadap dirinya.
Di Irak muncul tokoh tandingan Al-Bisyri,  yakni Al-Fudhail bin Al-Iyadh, yang berasal dari Khurasan, namun pernah tinggal di Kufah dan Mekkah, dan tidak pernah tersenyum kecuali ketika anaknya Ali meninggal dunia, sambil menyatakan bahwa "apa yang menjadi kehendak Allah adalah apa yang menjadi kehendaknya pula".  Dalam arti penantian sesuatu yang telah diketahuinya semenjak dua tahun bahwa anaknya akan wafat sudah sampai, sehingga menjadi lega, tidak menanggung pemikiran beban tentang kematian anaknya itu.
Di Bashrah juga muncul wanita zuhud pertama, yaitu Rabi'ah al-Adawiyah dengan doktrin cinta Ilahinya, yang tidak mau menikah karena kecintaannya kepada Allah. Tokoh inilah yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menformulasikan tentang idealitas seorang sufi dalam mengintegrasikan kecintaannya kepada Allah.
Melihat ajaran tasawuf yang dilaksanakan di POMOSDA pada dasarnya merupakan ajaran tasawuf yang berakar dari Rasulullah, kemudian setelah Rasulullah meninggal ajaran tersebut dilanjutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan, Imam Husen, Imam Zainal Abidin dan penerus-penerusnya sampai sekarang yang diyakini penerus tersebut akan terus ada sampai hari kiamat. Hal ini didasarkan kepada pidato Nabi Muhammad yang disampaikan pada peristiwa Ghodir Khum, disaksikan oleh kurang lebih 100 ribu orang pengikut Nabi, dan diyakini sebagai Hadits yang sangat mutawatir seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dan penerus ajaran tasawuf yang ada saat ini yang dianggap sebagai mursyid atau istilah di POMOSDA “Guru Wasithah” yaitu ada di Jawa Timur, yakni Kyai Muhammad Anwar Muttaqin sebagai pelanjut Guru Wasithah sebelumnya yaitu KH. Muhammad Munawwar Afandi yang wafat pada tanggal 17 Ramadhan 1413 H./2012 M.

b.    Materi Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA Lain Daripada yang Lain
1)   Makna Tauhidullah
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian temuan penelitian di atas, bahwa yang dimaksud tauhidullah yang diajarkan dalam Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yaitu menafikan segala sesuatu selain Allah, “la maujuda illallah”. Dalam arti, bahwa secara hakiki tidak ada yang ada di alam ini kecuali Allah.
Sedangkan tauhidullah dalam pandangan umum biasa diartikan dengan mengesakan Allah, meyakini bahwa “la ilaha illa Allah” (tiada Tuhan kecuali Allah).  tiada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah. Dialah satu-satu-Nya yang harus kita jadikan tujuan dalam hidup ini, dan Dialah satu-satu-Nya tempat kita berlindung dan memohon.           
Melihat kedua pemahaman antara tauhidullah yang diajarkan di SMA POMOSDA  dengan tauhidullah dalam pandangan umum terdapat perbedaan yang sangat prinsip. Tauhidullah dalam pandangan tasawuf di POMOSDA yaitu menafikan segala sesuatu selain Allah, maksudnya bahwa secara hakiki tidak ada yang ada kecuali Allah. Manusia, binatang, bumi, langit, dan yang lainnya semua akan hancur, dan yang kekal dan abadi hanya Allah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah: “Kullu syaiin halikun illa wajhah” (segala sesuatu itu aka hancur kecuali Dzat Allah) (QS.Al-qashash: 88). Dalam ayat yang lain, Allah menjelaskan: “Kullu man ‘alaiha fanin wa yabqa wajhu rabbik” (setiap orang dan apa saja yang melekat padanya semuanya fan (tidak ada), dan yang kekak adalah Dzat Tuhanmu) (QS.Ar-rahman: 26-27). Oleh karena itu, kalau kita masih merasa wujud, maka  itu termasuk kepada dosa besar. Dalam sebuah keterangan yang sering dijadikan rujukan dalam tasawuf  dijelaskan: “Wujuduka dzanbun kabirun wala yunqashu dzanbun akhor” (wujud-mu yang kamu aku (merasa wujud) itu merupakan dosa besar, dan tidak ada dosa lain yang lebih besar dari  itu). Manusia itu pada dasarnya tidak bisa apa-apa kalau tidak bersama Allah. “la haula wala quwwata illa billah”. Kalau kita bergerak, pada dasarnya itu adalah gerak Allah. Kalau kita melempar, pada dasarnya Allahlah yang melempar, dan lain-lainnya. Itulah inti ajaran tasawuf yang diajarkan di POMOSDA, dan itulah sebenarnya tauhid yang murni.
Dalam ajaran Islam, kalimat "la ilaha illa Allah" itu biasa disebut dengan kalimat tauhid, karena di dalamnya mengandung keyakinan akan keesaan Allah. Ia disebut kalimat tauhid karena menunjukkan adanya penolakan terhadap semua bentuk kemusyrikan secara mutlak. Athaillah dalam bukunya Rahasia Kecerdasan Tauhid (2011: 137) mengungkapkan bahwa para ahli makrifah memberi tafsiran yang beragam terhadap kalimah "la ilaha illa Allah". Pertama, dalam pandangan Ibn Abbas, "la ilaha illa Allah" maknanya bahwa tidak ada yang memberikan manfaat, tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya, tidak ada yang dapat memuliakan, tidak ada yang dapat menghinakan, tidak ada yang dapat memberi, dan tidak ada pula yang dapat menolak kecuali Allah. Kedua, makna "la ilaha illa Allah" ada yang mengartikan bahwa tidak ada yang diharapkan anugerahnya, tidak ada yang patut ditakuti siksanya, tidak ada yang patut diharapkan perlindungannya, tidak ada yang patut diyakini kemurahannya, tidak ada yang patut dilaksanakan perintahnya, tidak ada yang layak dimintai ampunannya, tidak ada yang patut dijauhi larangannya, serta tidak ada yang dihormati kemuliannya selain Allah.  Ketiga, kalimat "la ilaha illa Allah" ada juga yang memaknai sebagai pertanda adanya makrifat dan tauhid dalam diri seseorang lewat lisan yang memuji dan mengakui Penguasa Yang Agung. Jika seorang hamba mengucapkan la ilaha illa Allah, berarti mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang memiliki kenikmatan, anugerah, karunia, kekuatan, keabadian, keagungan, keluhuran, keterpaksaan, pujian, murka, da ridha selain Allah. Dialah yang menguasai alam semesta ini, Pencipta generasi terdahulu dan generasi akhir zaman, Dialah yang memeberi pembalasan di hari kemudian. Keempat, ada juga yang memberi makna kalimah la ilaha illa Allah  bahwa hanya kepada Allah sajalah kita berharap dan menaruh rasa cemas. Hanya Dia yang mampu melapangkan kesempitan dan kesulitan.
Selain itu, menurut Ibn Athaillah ada juga yang ulama yang berpendapat bahwa kalimat "la ilaha illa Allah" itu terdiri atas dua belas huruf. Itu mengandung makna bahwa  kita diwajibkan untuk melaksanakan dua belas kewajiban. Enam di antaranya berupa aktivitas lahiriyah, sedangkan enam lainnya berupa aktivitas batiniah. Yang bersifat lahiriah yaitu bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Sedangkan yang bersifat batiniah adalah tawakkal, pasrah, sabar, ridha, zuhud, dan taubat.      
Lebih lanjut, Athaillah dalam buku yang sama (2011: 25) menjelaskan bahwa “Kalimah la ilaha illa Allah itu dapat menyelamatkan makhluk dari siksaan ringan di dunia dan siksaan berat di akhirat. Mengucapkannya menjadi landasan Islam, pengamalannya menjadi landasan iman, dan penggabungan keduanya menjadi landasan ihsan. Dengan menyaksikan kemuliannya, tercapailah pokok-pokok keyakinan. Jadi,  mengucapkannya adalah Islam, mengamalkannya adalah iman, memahaminya adalah ihsan, dan kesadaran terhadapnya adalah keyakinan. Aspek lahirnya merupakan simbol kebahagiaan di alam ini dan sebagai permulaan kesaksian, sedangkan aspek batinnya adalah memahami tujuan di alam malakut dan hamparan ma'rifat, sementara hakikatnya adalah ketersingkapan makna rahasianya di alam jabarut sebagai puncak kesaksian.
Di dunia, kalimat tersebut menjadi akad surga sebagai konsekuensi iman, sedangkan di akhirat berupa ketersingkapan dan penyaksian sebagai konsekuensi keyakinan. Di dunia ia menjadi pelindung darah dan harta, sedangkan di akhirat ia menjadi pelindung nasib akhir. Barangsiapa mengucap bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, ia telah melindungi harta dan darahnya kecuali sesuai dengan haknya. Barangsiapa meninggal dunia dalam kondisi meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, niscaya ia masuk surga. Rahasia makna tauhid dan pengetahuan dalam mengesakan-Nya terkumpul dalam kalimah itu.
Yang dimaksud  mengucapkan la ilaha illa Allah di atas, tentu bukan hanya sekedar ucapan dalam lisan, melainkan ucapan yang disertai dengan keyakinan dalam hati bahwa sesungguhnya tidak ada yang maujud kecuali Dzat Allah Yang Maha Esa. Dzat Yang Ghoib yang wajib Wujud-Nya yang  keberadaannya sangat dekat dengan kita, bahkan  lebih dekat daripada urat nadi yang di leher. Oleh karena itu,  memahami tauhid tidak bisa hanya atas dasar pemikiran sendiri, melainkan harus berdasarkan petunjuk Rasul Allah. Kalau memahami tauhid didasarkan kepada pemikiran sendiri, maka pasti akan sesat.
Sehubungan dengan itu, Athaillah lebih lanjut mengatakan bahwa  barang siapa menuju Allah tanpa meneladani rasul-Nya, tauhidnya tidak benar dan menyimpang,  sedangkan barang siapa yang menuju Allah berdasarkan tuntunan-Nya dan tuntunan Rasul-Nya, maka tauhidnya benar dan lurus.  Barang siapa mengenal Allah dengan landasan iman, ia tentu menaati-Nya. Barang siapa mengenal Allah dengan landasan keyakinan, ia tentu mengutamakan-Nya. Dan barang siapa mengenal Allah dengan landasan tauhid, ia tentu mengangungkan-Nya. Adapun orang yang ma'rifatnya tidak membuat dirinya semakin mengenal Allah dan sifat-Nya serta tidak menambah hakikat tauhid baginya, ia terhijab. Orang yang terhijab adalah orang yang kehilangan. Dan keimanan para ulama  bersumber dari ilmu yang yakin.
Kalimah la ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah harus dimiliki oleh seorang hamba, baik dalam bentuk keyakinan di hati, pengakuan secara lisan maupun pemenuhan lewat pengetahuan. Apabila iman terletak dipermukaan hati, niscaya hamba masih mencintai dunia dan akhirat. Kondisi ini kadang baik untuknya dan kadang berbahaya baginya. Sedangkan apabila iman merasuk dalam hati, niscaya hamba membenci dunia, mencintai akhirat, dan meninggalkan hawa nafsu. Lalu, ketika iman sudah menyentuh lubuk hati, niscaya hamba berpaling dari selain Allah.
Kalimah la ilaha illa Allah merupakan kalimah penafian dan penetapan. Ia merupakan penafian yang meniadakan seluruh sifat baru (bermula), cacat, dan fana, serta penetapan yang mengharuskan keberadaan seluruh sifat suci, sempurna dan tak bermula. Barang siapa yang melihat eksistensi Allah sebagai Dzat yang bermula dan melihat segala sesuatu selain-Nya sebagai makhluk yang bermula, ia telah melihat keazalian-Nya serta berkata: Aku tidak melihat sesuatu pun melainkan Allah telah ada sebelumnya. Barang siapa yang melihat Allah sebagai Dzat yang abadi dan melihat makhluk sebagai sesuatu yang fana, ia telah menyaksikan rasasia keabadian-Nya seraya berkata, aku tidak melihat sesuatu pun melainkan Allah tetap ada sesudahnya. Barang siapa melihat Allah sebagai Dzat yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan serta melihat makhluk sebagai sesuatu yang bodoh, lemah, dan terbata, maka ia telah menyaksikan perbuatan dan pengetahuan-Nya yang komprehensif seraya berkata, aku tidak melihat sesuatu pun melainkan Allah ada bersamanya.
Penyaksian itu menurut Ibn Athaillah terbagi tiga: penyaksian perbuatan dengan perbuatan, penyaksian sifat dengan sifat, dan penyaksian Dzat dengan Dzat. Barang siapa melihat al-Haq dengan al-Haq, tampaklah baginya nama dan sifat-Nya berikut keberadaan-Nya dalam seluruh entitas dan ilmu-Nya dalam seluruh pengatahuan. Barang siapa melihat seluruh entitas dengan ilmu-Nya, tampaklah baginya kreasi-Nya dalam seluruh ciptaan dan tindakan-Nya pada seluruh perbuatan makhluk. Barang siapa melihat Allah dengan Allah semata, bukan dengan dirinya, terputuslah seluruh penisbahan, lenyaplah seluruh makhluk, serta hilanglah seluruh ibarat dan ungkapan.
Tauhid adalah penetapan sifat-Nya yang tak bermula, mengesakan sifat-Nya sebagai pencipta, dan menafikan ketiadaan-Nya. Ma'rifat tentang tauhid adalah pengesaan namanya, sedangkan pemahaman tentang tajrid (penunggalan) adalah penyucian berdasarkan pengetahuan. Pagkal la ilaha illa Allah adalah penetapan nama Tuhan, mengikhlaskan upaya mengesakan-Nya, menafikan sifat-Nya dari segala sesuatu selain-Nya serta mensucikan-Nya dari segala sekutu. Dengan memahami makna dan rahasia itulah keislaman menjadi benar, dengan kesaksian atas itulah iman menjadi penuh, serta dengan kaidah dan pilar itulah ihsan menjadi sempurna. Berkaitan dengan keutamaan tauhid,  Al-Jailani (2010: 225) dalam nasihatnya menjelaskan:
Wahai manusia,  siksalah setan-setan kalian dengan keikhlasan dari dalam hati ketika mengucapkan la ilaha illa Allah. Kalimah tersebut merupakan kalimah tauhid yang dapat membakar syetan manusia dan juga syetan jin, sebab lafadz tersebut merupakan api yang membakar bagi para syetan dan menjadi cahaya penerang bagi orang-orang yang bertauhid.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengucapkan kalimah tersebut di dalam hatinya harus meniadakan segala sesuatu selain Allah, karena menurut bagaimana lidah kita bisa mengucapkan la ilaha illa Allah, kalau di dalam hatinya sekian banyak Tuhan yang dijadikan sebagai sandaran. Sia-sia saja lafadz tauhid yang diucapkan dengan lisan, sedangkan di dalam hatinya terjadi kemusyrikan. Sia-sia saja kita membersihkan badan, sedangkan hati dipenuhi oleh najis. Seorang muwahhid sejati dapat menyiksa syetannya, sedangkan orang yang musyrik akan disiksa oleh syetannya sendiri.
Keikhlasan adalah intisari dari setiap perkataan dan perbuatan. Jika itu ditinggalkan, maka yang ada adalah kulit tanpa isi. Kulit hanya layak dilalap oleh api. Keikhlasan dalam tauhid dapat memadamkan kerakusanmu dan dapat mematahkan brutalnya nafsumu. Jangan menghadiri tempat yang dapat mengobarkan api watakmu, sehingga dapat menghanguskan rumah agama dan keimananmu. Jangan mendatangi tempat-tempat yang mengakibatkan kelakuan keji hawa nafsu dan syetan, karena itu dapat menghilangkan agama, keimanan, dan keyakinanmu.
Dari beberapa pandangan para ahli tentang tauhidullah seperti yang diungkapkan di atas, dapat dipahami bahwa tahuhidullah itu ialah menafikan segala sesuatu selain Allah dengan menanamkan keyakinan dalam hati bahwa sesungguhnya “la maujuda illa Allah” (tidak ada ada yang ada kecuali Allah). Dalam arti bahwa kita harus berusaha menafikan segala sesuatu dalam hati kita selain dari Allah. Dengan demikian, konsekuensinya: (1) bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, (2) tidak ada yang dituju dalam hidup ini, kecuali Allah. Maksudnya, bahwa ibadah kita hidup kita, mati kita, dan segala aktivitas kita harus ditujukan kepada Allah, dan semata-mata karena mengharap ridha Allah, (3) tidak ada yang berhak dijadikan tempat berlindung dan memohon sesuatu kecuali Allah, (4) tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah daya dan kekuatan Allah, dalam arti bahwa manusia itu tidak punya daya dan kekuatan apa pun kecuali bersama Allah (la haula wala quwwata illa billah). Dan apabila keyakinan seperti itu sudah tertanam dalam hati setiap orang Islam, maka akan terhindar dari prilaku musyrik dan akan menjadi hamba yang mukhlis, yakni hamba yang menyembah Allah dengan penuh keikhlasan. Mengikhlashkan semua pengabdiannya, shalatnya, zakatnya, puasanya, dan segala perbuatannya semata-mata hanyalah untuk Allah dan semata-mata mencari ridha Allah.  Dan hamba yang mukhlis itulah sebagai hamba Allah yang tidak akan tergelincirkan  oleh godaan Iblis, atau dengan kata lain mereka itulah orang yang akan selamat dari tipu daya iblis di dunia ini, seperti yang dikemukakan Allah dalam Al-qur’an:
Iblis berkata: Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memadang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlish di antara mereka (QS. Al-hijr: 39-40). 


2)   Makna Rukun Iman   
Rukun iman yang diajarkan di SMA POMOSDA pada dasarnya sama dengan rukun iman yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya yaitu meliputi enam hal, yakni iman kepada Allah, iman kepada Malaikat,  iman kepada Kitabullah, iman kepada Rasulullah,  iman kepada Hari Akhir, dan  iman kepada Takdir.  Hanya saja penjelasannya yang berbeda, dan perbedaan tersebut sangat prinsip.
Rukun iman pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dalam pemahaman tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA,  iman itu Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, ialah “ma’rifatun wa tashdiqun”. Yang dimaksud ma’rifatun ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya mengenal, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya, dan bahkan dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Dan yang dimaksud wa tashdiqun ialah membenarkan bahwa yang telah secara hak dan sah mengenalkan Allah itu ialah utusan-Nya. Mengenal Allah dalam pandangan ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA, bukan hanya mengenal Asma dan  Af’al-Nya saja, melainkan mengenal Dzat-Nya atau mengenal Jati Diri-Nya. Allah itu adalah nama dari Dzat Yang Ghaib, yang wajib Wujud-Nya dan sangat dekat keberadaan-Nya dengan manusia. 
Iman secara umum  sebagaimana telah dijelaskan pada kajian teori, diartikan sebagai ketetapan hati atau pembenaran. Sedangkan secara  terminologis, iman ialah ungkapan dan amal perbuatan. Dengan demikian, secara rinci dapatlah  dikatakan  bahwa iman itu merupakan ungkapan hati dan lisan, amal perbuatan hati dan lisan, serta anggota badan. Ia menetapkan bahwa hati memiliki ucapan dan amal perbuatan, dan menjadikan lisan memiliki ucapan dan amal perbuatan.
Ucapan lisan yaitu berupa pembicaraan, sedangkan amal perbuatannya adalah semua geraknya. Ucapan hati adalah pengakuan dan pembenarannya, sedangkan amal perbuatannya adalah ungkapan tentang gerak dan kehendaknya, seperti keikhlasan dalam berbuat, tawakkal, takut, dan penuh harap. Sedangkan amal perbuatan anggota badan, contohnya  yaitu ruku’, sujud, berdiri, dan duduk. Amal perbuatan anggota badan itu dikatakan keimanan, karena yang mendorong amal perbuatan itu ialah iman.
Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Utsaimin (2007: 675), mengemukakan bahwa iman itu merupakan ketetapan hati dan selain itu bukanlah iman. Oleh karena itu, menurut Murjiah iman itu tidak bertambah dan berkurang, karena iman merupakan ketetapan dalam hati. Manusia dalam hal ini sama, dalam arti bahwa manusia yang menyembah Tuhan di tengah malam dan siang sama dengan orang yang berbuat maksiat kepada Tuhan di tengah malam dan siang menurut mereka, selama kemaksiatan yang ia lakukan tidak mengeluarkannya dari agama.  Hampir sama dengan pendapat Al-Utsaimin, Al-Maududi (1975: 25), menjelaskan bahwa iman itu ialah keyakinan di dalam hati akan adaya Allah swt, mengetahui sifat-sifat-Nya, mengetahui bahwa Allah itu Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya, yakin dalam hatinya bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Mengetahui,  dan Maha Melihat segala sesuatu. Itulah arti iman yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam itu sudah ada di dalam hati seseorang, maka ia adalah seorang mu’min. Dari uraian tentang makna iman di atas, dapat dipahami bahwa iman itu merupakan suatu keyakinan kepada Allah yang ada di dalam hati, kemudian diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan melihat dua pandangan tentang iman kepada Allah seperti di atas, terdapat suatu perbedaan yang prinsip. Iman dalam pandangan ajaran tasawuf di POMOSDA bukan hanya sekedar mengenal Asma dan af’alnya, melainkan mengenal Dzat-Nya, yakni Dzat Allah itu sendiri.
Adapun kebanyakan dalam pandangan umum,  mengenal Allah itu hanya mengenal Asma dan Af’al-Nya saja. Padahal, Allah itu hanya nama dari Dzat Yang Ghaib yang wajib Wujud-Nya. Beriman kepada Allah, bukan beriman kepada nama Allah, melainkan beriman kepada Dzat pemilik nama itu sendiri,  Dzat yang wajib Wujud-Nya yang sangat dekat keberadaan-Nya dengan manusia bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher, sesuai denganfirman  Allah sendiri: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (QS.Qaf: 16).
Untuk dapat mengenal Dzat Allah itu tidak bisa dipikirkan melalui akal, karena akal manusia tidak akan sampai kepadanya. Di dalam sebuah Hadits yang sangat populer disebutkan: “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang Dzat Allah, maka kamu akan celaka”. Oleh karena itu, untuk dapat mengenal Dzat Allah itu harus sesuai dengan perintah Allah dalam Al-qur’an, yaitu bertanya kepada ahli dzikir. Allah berfirman: “Maka bertanyalah kamu kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui (Dzat Tuhan)” (QS. Al-anbiya: 7). Dengan bertanya kepada ahli dzikir (orang yang sudah mampu mengingat Tuhan dalam hidupnya) karena sudah mengenal-Nya, maka kita akan mengetahui-Nya, dan akan bisa mengingat-ingat-Nya dalam rasa hati kita. 
Kalau kita bertanya kepada diri kita, mengapa banyak orang yang menyembah matahari, berhala, api, dan lain-lain-lainnya. Karena mereka berpikir tentang Tuhan berdasarkan pikiran mereka sendiri, tidak berdasarkan petunjuk Tuhan, karenanya maka mereka menjadi sesat. Nabi Ibrahim sendiri dalam kisahnya mencari Tuhan, kalau tidak berdasarkan petunjuk Allah, maka ia pun akan sesat. Kisah tersebut, diabadikan dalam Al-qur’an sebagai berikut:
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:  “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: Inikah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhankuini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (QS. Al-An’am: 76-78).

Dari kisah di atas, dapat kita pahami bahwa kalau bukan karena petunjuk Tuhan, Nabi Ibrahim sendiri dalam kisahnya mencari Tuhan akan tersesat. Maka oleh karena itu, kalau kita ingin mengenal Tuhan dengan seyakin-yakinnya bukan hanya mengenal nama dan af’a-Nya, maka harus kembali kepada petunjuk Tuhan yaitu harus bertanya kepada ahlinya, yaitu ahli dzikir. Ahli dzikir yaitu orang yang diberi kemampuan oleh Allah untuk selalu mengingat-ingat-Nya, karena telah mengenal-Nya. Beliau itu ialah pelanjut dan pengganti Rasulullah yang hak dan sah.           
Rukun iman yang kedua, yaitu beriman kepada malaikat Allah. Beriman kepada malaikat Allah dalam tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA, bukan hanya percaya bahwa Allah telah menciptakan malaikat  dari cahaya, dan mempunyai tugas-tugas tertentu, serta  merupakan makhluk yang patuh kepada Allah dalam menjalankan tugasnya, melainkan harus memiliki sifat seperti malaikat yang telah mau tunduk dan patuh kepada Allah ketika diperintah sujud kepada Adam sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi.
Beriman kepada malaikat Allah dalam pandangan umum sebagaimana yang dijelaskan pada kajian teori yaitu bahwa kita harus percaya bahwa Allah itu telah menciptakan malaikat yang terbuat dari cahaya, dan memiliki sifat patuh kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat. Selalu melaksanakan apa saja yang diperitahkan oleh Allah dan tidak pernah mendurhakainya.
Melihat kedua pandangan di atas, sangat jelas sekali perbedaannya. Dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa malaikat itu bukan diartikan hanya sebagai makhluk yang selalu taat kepada Allah saja, tetapi pada dasarnya malaikat itu merupakan makhluk yang memiliki sifat yang selalu tunduk kepada Allah dan sekaligus sebagai tamsil bagi kita yang harus kita ikuti. Maksudnya, kita selaku orang yang beriman harus mau tunduk dan patuh kepada wakil Allah yang ada di muka bumi saat ini, yakni “Guru Wasithah” sebagai pelanjut Rasulullah dan sekaligus sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Yang dimaksud tunduk dan patuh di sini  adalah tunduk dan patuh sepenuhnya “kalmayyiti baina yadilghasyili” (seperti mayit yang dimandikan oleh kedua tangan orang yang memandikannya), karena, tanpa Guru Wasithah seseorang tidak akan bisa sampai kepada Allah. Hal ini didasarkan kepada suatu keterangan yang sering dikemukakan  oleh Guru Wasithah, yaitu: “la biwushulin ilaihi illa biwasithatin” (tidak akan sampai kepada Allah kecuali bersama Wasithah). Oleh karena itu, keberadaan Guru Wasithah sangatlah penting. Dengan demikian, konsekuensinya bahwa orang yang beriman kepada malaikat Allah itu harus mau tunduk dan patuh mengikuti ajaran-ajaran yang dicontohkan oleh guru Wasithah seperti malaikat sujud kepada Adam.   
Rukun iman yang ketiga, yaitu beriman kepada kitab Allah. Beriman kepada kitab Allah dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bukan beriman kepada tulisan Al-qur’an yang ada saat ini, melainkan beriman kepada kitab Allah yang ada di lauh mahfudz. Sedangkan beriman kepada kitab Allah dalam pandangan umum berarti  beriman kepada Al-qur’an yang diturunkan oleh Allah, dan bagaimana kita menjadikan Al-qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan kita.
Dari sini terlihat sekali perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan pemahaman tentang kalimat dzalikal kitabu yang diartikan Al-kitab itu, bukan Al-kitab ini. Makkna dzalikal kitabu berarti bukan Al-kitab yang ada saat ini, melainkan yang ada di lauh mahfudz yang tidak bisa disentuh kandungannya oleh siapapun kecuali oleh orang yang disucikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “La yamassuhu illal muthahharun” (QS. Al-waqi’ah: 79), dan orang-orang yang disucikan itu ialah para Rasul-Nya. Jadi, beriman kepada kitab Allah berarti beriman kepada kitab yang ada di lauh mahfudz yang tidak  bisa disentuh makna dan kandungannya kecuali oleh para Rasul-Nya dan juga penerus-penerusnya, termasuk Guru Wasithah yang ada saat ini.  
Rukun iman yang keempat, yaitu beriman kepada Rasulullah. Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa beriman kepada Rasulullah itu bukan beriman kepada Rasulullah yang sudah tidak ada, melainkan beriman kepada Rasullah yang ada saat ini sebagai pelanjut dari Nabi Muhammad saw. Adapun beriman kepada Rasulullah dalam pandangan umum yaitu beriman kepada para Rasul yang diutus oleh Allah mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, dan diyakini bahwa Nabi Muhammad itu merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang harus dijadikan sebagai teladan dan panutan dalam hidup kita.
Dari dua pandangan di atas, terdapat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu bahwa dalam pandangan ajaran tasawuf di SMA POMOSDA, Nabi Muhammad itu bukan Rasul terakhir, dan hal ini didasarkan kepada firman   Allah:“Wa’lamu anna fikum Rasul”, (ketauhilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu itu ada Rasul). Maksudnya, Rasul sebagai pengganti dan pelanjut Nabi Muhammad. Nabi Muhammad itu jasadnya sudah meninggal, tetapi Nur Muhammad yang ada di dadanya terus mengalir kepada pengganti-penggantinya yang akan terus ada sampai hari kiamat. Pengganti-penggantinya itulah yang harus dijadikan sebagai panutan dan uswatun hasanah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didasarkan kepada Hadits Nabi: ‘Alaikum bisunnati wa sunnatil khulafa ar-rasyidin al-mahdiyyin  (Hendaklah  kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah penggati-penggantiku yang lurus dan mendapat petunjuk)  (HR. Muslim).  
Rukun iman yang kelima, yaitu beriman kepada hari akhir. Beriman kepada hari akhir dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA, yaitu beriman kepada tempat kembali asal manusia itu sendiri, dan tempat kembali asal manusia yaitu Tuhan sendiri. Beriman kepada hari akhir dalam pandangan umum  ialah beriman kepada hari akhirat yang akan terjadi setelah kematian.
Dari dua pandangan di atas terdapat perbedaan yang mendasar, yakni bahwa dalam pandangan tasawuf di SMA POMOSDA, hari akhir itu adalah tempat pulang kembali hamba kepada asalnya, yaitu sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surat Al-qamar: 55:  “Fi maq’adi shidqin inda malikin muqtadirin” (di tempat yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa).  Oleh karena itu, apabila telah secara benar mengenali Diri-Nya Dzat Al-Ghaib ini, lalu berusaha untuk mengingat-ingat-Nya dalam rasa hati, maka mereka inilah yang tergolong beriman kepada hari akhir.
Rukun iman yang keenam, ialah beriman  kepada taqdir Allah.  Beriman kepada takdir Allah dalam pandangan umum ialah meyakini nasib baik dan buruk itu semuanya berasal dari Allah. Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa beriman kepada taqdir Allah itu, selain meyakini bahwa nasib baik dan buruk itu  ditentukan oleh Allah,  juga  yang terpenting bagaimana supaya secara yakin tahu dan kenal pada Sang Pembuat nasib baik dan buruk tersebut, sebab Dia adalah segala-galanya. Bagi hamba yang rasa hatinya selalu lengket dengan Diri-Nya Ilahi, apa pun yang dialami dan ditemui dalam hidup ini merupakan ujian dan cobaan dari Allah. Karena itu, meskipun dilanda cobaan yang seberat apa pun, maka hatinya akan tetap selalu ingat pada Allah dan bahkan semakin bertambah ingatnya, bahkan ujian dan cobaan itu dianggapnya sebagai pembebas dosa-dosanya. Selain itu, juga akan tumbuh kesadaran bahwa ternyata manusia itu merupakan hamba yang apes, hina, dan tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, dan tidak tahu apa-apa, sehingga dengan demikian akan menjadikan dirinya selalu bersandar kepada Tuhan Yang Maha Segala-gala-Nya.
Apabila sedang mendapatkan nasib baik dalam kehidupan ini, maka  akan tetap memandang bahwa hal itu juga merupakan ujian dan cobaan dari Allah, dan ia akan merasa takut apabila menjadi hamba yang ingkar kepada Allah. Dengan demikian, akan bangkitlah rasa syukurnya kepada Allah dan akan lebih banyak lagi melaksanakan amal ibadah kepada Allah guna mencapai tujuan hidupnya memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak.             


3) Makna Rukun Islam 
Sebagaimana yang dikemukakan pada bagian temuan penelitian di atas, bahwa  rukun Islam yang diajarkan di POMOSDA sama seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya, yaitu meliputi: (1) syahadat, (2) shalat, (3) zakat, (4) puasa, dan (5) haji ke baitullah bagi yang mampu. Hanya saja penjelasannya yang berbeda, dan perbedaan tersebut sangat prinsip.
Perbedaan yang sangat prinsip ini terletak pada makna syahadatain, yaitu “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. 
Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa yang dimaksud saya bersaksi itu ialah hatinya betul-betul menyaksikan “Dzat Al-Ghaib yang Wajibul Wujud (Allah namanya). Kata saya bersaksi, seperti kata saya bersepatu, saya berkopiah, saya berpakaian, saya bersepeda, yakni sesuatu yang melekat dengan pelaku. Ungkapan saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, berarti suatu kesaksian yang melekat di hati karena terbukanya mata hati setelah melalui “proses pemberkahan” oleh Guru Wasithah.
Itulah sebabnya, ada syahadat yang kedua, “Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”. Bagaimana kita mengatakan saya bersaksi, padahal kita tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad. Oleh karena itu, yang harus kita pahami bahwa hakikat Nabi Muhammad itu ialah “Nur Muhammad”. Nabi Muhammad itu jasadnya telah mati,  tetapi Nur Muhammad (cahaya terpuji-Nya Allah)  itu tidak mati, dan terus mengalir kepada penerus-penerusnya. Oleh karena itu, makna saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, yaitu bersaksi kepada penerus atau pengganti Nabi Muhammad yang ada saat ini, yakni Guru Wasithah yang hak dan sah.
Dalam pandangan umum syahadatain itu cukup diucapkan dan diyakini dalam hati bahwa tidak ada Tuhan yang harus kita sembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad itu adalah utusan-Nya.
Dari dua pandangan di atas, sangat jelas sekali perbedaannya. Dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa saya bersaksi itu harus betul-betul menyaksikan, yakni menyaksikan Dzat Allah  dengan mata hatinya, sehingga beriman kepada itu betul-betul disertai dengan pembuktian. Begitu juga dengan syahadat kedua, yakni saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah. Bagaimana kita dapat bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah, padahal kita tidak se zaman dengan Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad itu sudah meninggal. Oleh karena itu, dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa yang dimaksud Muhammad itu ialah Nur Muhammad yang terus mengalir kepada pengganti-penggantinya. Dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa Nabi Muhammad itu sebagai Nabi terakhir, tapi bukan Rasulullah terakhir, karena di dalam Al-qur’an pun dijelaskan: “Wa’lamu ana fikum Rasul” (Ketahuihilah olehmu bahwa di tengah-tengah kita itu ada Rasul). Jadi, Rasulullah itu ada saat ini, dan itulah yang kita saksikan ketika kita bersyahadat.

4) Makna masuk Islam secara kaffah.
Dalam ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah kita harus kembali kepada unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Dalam ajaran tasawuf di POMOSDA, bahwa manusia itu terdiri dari empat unsur kejadian, yaitu jasad, hati nurani, ruh, dan rasa.  Yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah bahwa jasad yang dijadikan tunggangan hati nurani, ruh, dan rasa untuk mendekat kepada Tuhan hingga selamat sampai kepada-Nya harus menjalankan kewajiban syari’at yang tiangnya shalat dengan khusyu’. Hati nurani kewajibannya melaksanakan tarekat. Tarekat adalah jalan menuju Tuhan. Dan karena yang dituju adalah Tuhan, maka hati ini harus mengenal Diri-Nya Tuhan Dzat yang Ghaib, lalu berusaha terus menerus mengingat-Nya serta dengan sungguh-sungguh memerangi nafsunya agar mau tunduk dan patuh memenuhi petunjuk dan perintah Guru Wasithah. Ruh kewajibannya mencapai hakikat. Jika ingin sampai kepada hakikat, maka harus dapat memenuhi kewajiban syari’at dan menjalankan tarekat. Rasa adalah inti  atau dasar (fitrah) manusia. Rasa ini mempunyai tugas merasakan kehadiran Tuhan, sehingga apabila telah sampai ajalnya dapat merasakan betapa nikmat, indah, dan bahagia merasakan pertemuan dengan Tuhannya kembali. Itulah yang dimaksud “Udkhulu fissilmi kaffah” dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di POMOSDA.
Dalam pandangan umum, yang dimaksud dengan masuk Islam secara kaffah itu ialah masuk Islam secara totalitas, baik akidahnya, ibadahnya maupun akhlaknya sesuai dengan ajaran Islam. Dari sini terlihat jelas perbedaan yang sangat jauh. Bahkan apabila dibandingkan dengan  pendapat para ulama yang dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir juga terdapat perbedaan. Ibnu Katsir (1988: 255) menjelaskan beberapa pendapat para ulama, yaitu sebagai berikut: Menurut Mujahid, bahwa kaffah itu ialah melaksanakah semua amal atas dasar ajaran Islam. Menurut Dhahak, kaffah itu ialah menjalankan semua syari’at Islam. Dan sebagian para mufassir ada juga yang mengatakan bahwa  bahwa kaffah itu ialah mengerjakan semua cabang-cabang iman dan semua syari’at Islam. 
Dari dua pandangan antara pemahaman masuk Islam secara kaffah dalam tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA dengan pandangan umat Islam pada umumnya terdapat perbedaan yang sangat jauh. Dalam pandangan tasawuf di SMA POMOSDA makna kaffah itu bukan hanya sekedar menjalankan keseluruhan syari’at  seperti yang dijelaskan dalam pandangan umum, melainkan kaffah itu meliputi seluruh unsur manusia lahir dan batin. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam pandangan para ahli unsur-unsur manusia itu berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur, yakni jasmani dan ruhani, dan semua para ahli nampaknya sepakat tentang hal itu. Namun, tatkala berbicara masalah ruhani para ahli berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa ruhani itu terdiri dari ruh, hati, dan akal. Ada juga yang mengatakan bahwa ruhani manusia itu terdiri dari qalb, ruh, nafs, dan akal.
Sedangkan dalam pandangan tasawuf di SMA POMOSDA bahwa manusia itu terdiri dari jasad, hati, ruh, dan rasa. Sehingga yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah keseluruhan unsur-unsur yang ada pada manusia itu sendiri. Jasad tugasnya menjalankan syari’at yang ditetapkan oleh Guru Wasithah, seperti memperbanyak shalat, puasa, membayar zakat, melaksanakan haji bagi yang mampu, membaca Al-qur’an dan ibadah-ibadah lainnya yang diteteapkan oleh Guru Wasithah. Hati itu tugasnya menjalankan tarekat, ruh itu tugasnya mencapai hakikat, dan rasa itu merasa-rasakan keberadaan Wujud Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan masuk Islam secara kaffah itu.
    


5) Keharusan Adaya  Imamah.
Dalam ajaran tasawuf yang diajarkan kepada para santri/siswa di SMA POMOSDA yaitu mengharuskan adanya imam yang dijadikan panutan, yang dalam hal ini adalah Guru Wasithah.  Karena Guru Wasithah itu merupakan pengganti Rasulullah Muhammad saw, maka itba’ kepada  Guru Wasithah harus seperti itba’ kepada Nabi Muhammad bagi umat Islam pada zamannya.
Dalam pandagan umum, khususnya dalam pandangan sunni tidak mengharuskan adanya imam dalam menjalankan agama. Sedangkan dalam pandangan syi’ah masalah imamah merupakan suatu keharusan. Namun begitu, antara syi’ah dan ajaran tasawuf di POMOSDA itu berbeda. Dalam syi’ah itu imam hanya sampai kepada imam yang ke dua belas, dan setelah itu tidak ada lagi. Berbeda dengan ajaran tasawuf di POMOSDA bahwa imam itu akan terus ada sampai hari kiamat. Imam itu harus merupakan pengganti Nabi Muhammad, dan kita diperintah harus itba kepada imam tersebut. Imam yang dimaksud adalah guru Wasithah atau mursyid dalam istilah lain.
Keharusan itba’ kepada imam itu didasarkan kepada  firman Allah: “Qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uni, yuhbibkumullah” (Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu) QS. Ali Imran: 31). Yang dimaksud ikutilah aku dalam ayat ini difahami bukan hanya mengikuti Nabi Muhammad saja, melainkan mengikuti penerus-penerusnya yang hak dan sah yang terus silih berganti hingga kini dan sampai kiamat nanti.
Selain didasari oleh ayat Al-qur’an, juga didasari oleh Hadits Nabi yang sangat populer: “Alaikum bisunnati wasunnatil khulafa ar-rasyidin al-mahdiyyin”   (Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah pengganti-pengganti (ku) yang lurus dan mendapatkan petunjuk). Karena Guru Wasithah itu diyakini sebagai pengganti Nabi yang hak dan sah, maka mau tidak mau harus mengikuti apa pun yang dicontohkan oleh Guru Wasithah. Selain itu, ada juga keterangan yang sangat populer di kalangan ahlul bait, seperti yang dikemukakan oleh Afandi (2002: 37), bahwa “Seseorang sama sekali tidak akan dapat mencapai derajat muqarrabin, kecuali apabila seseorang itu itba’ sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw (dan kepada wakilnya yang hak dan sah setelah beliau tidak ada), baik ucapan dan perbuatannya, ilmu dan amalnya, lahir dan batinnya. Lalu diikuti dengan rasa hati yang senantiasa mengingat-ingat  satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya.
Selain harus itba’ kepada Guru Wasithah, juga seorang murid berbai’at kepadanya.  Berbai’at kepada Guru Wasithah (imam) merupakan suatu kemutlakan, karena ada Hadits yang menjelaskan: “Barangsiapa yang mati dan tidak mengetahui imam di zamannya, maka matinya adalah mati jahiliyah” (HR.Muslim). Dalam Hadits yang lain, dijelaskan pula: “Barangsiapa yang mati dan ketika hidupnya tidak ada ikatan bai’at, maka ia matinya mati jahiliyah” (HR. Muslim).
Dari Hadits itu menunjukkan bahwa bai’at kepada imam itu merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim. Jika tidak, maka konsekuensinya akan mati dalam keadaan jahiliyah. Dan Rasulullah semasa hidupnya pernah beberapa kali melakukan pembai’atan kepada para pengikut-pengikutnya. Apa pentingnya imam dalam hidup ini? Keberadaan imam itu sangat penting, karena imam adalah wasilah (perantara) yang dapat menuntun kita untuk bisa sampai kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Wabtaghu ilaihil wasilah”, carilah olehmu untuk bisa sampai kepada Allah itu wasilah. “Wasilah” dalam tafsir umum sering diartikan “al-amalush shalih”. Jadi, untuk bisa sampai kepada Allah itu harus melakukan amal shaleh. Padahal, kalau kita cermati kata “wasilah” itu adalah isim fa’il, yakni orang yang dapat menjadi perantara. Oleh karena itu, makna yang tepat dari ayat itu ialah “carilah olehmu (orang yang menjadi) perantara untuk  untuk bisa sampai kepada Allah. Hal itu dikuatkan oleh sebuah keterangan dari Guru Wasithah bahwa: “La biwushulin ilaihi illa bi wasithatin” (tidak akan sampai kepada Allah, kecuali dengan Wasithah”).
Selain itu, di dalam ajaran tasawuf ada sebuah keterangan yang sangat populer, yakni: Bahwa seseorang itu tidak akan sampai kepada derajat muqarrabin, kecuali dengan mengikuti Nabi Muhammad (dan penerus-penerusnya), baik ucapan dan perbuatannya, ilmu dan amalnya, maupun lahir dan batinnya, yang disertai dengan selalu mengingat-mengingat Allah dalam rasa hatinya. 
Imam dalam istilah tasawuf disebut mursyid. Keberadaan mursyid dalam tasawuf adalah hal yang sangat mutlak. Berkaitan dengan perlunya mursyid ini,  Al-Ghazali mengatakan bahwa bagi  seorang murid yang berkehendak untuk bertemu dengan Tuhannya, maka wajib mempunyai mursyid. Al-Ghazali berkata:  Di antara hal yang wajib bagi seorang yang menempuh jalan kebenaran ialah  bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya suatu petunjuk dalam perjalanannya, serta menghilangka akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang mulia. Seorang pendidik spiritual hendaknya menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung berinisiatif untuk mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu merawat tanamannya dengan menyiraminya agar dapat tumbuh dengan baik,  sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau juga akan mengetahui bahwa seorang yang menempuh tasawuf  harus mempunyai seorang mursyid. Sebab, Allah mengutus para rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Muhammad  Sallallahu Alaihi wa Sallam  wafat, beliau telah menetapkan penggantinya untuk menuntun manusia ke arah jalan yang lurus, dan  begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.
Pada tempat lain  Al-Ghazali berkata, bahwa seorang murid membutuhkan seorang mursyid yang dapat diikutinya agar dia menunjukkan ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar, dan jalan setan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai syaikh yang membimbingnya, maka pasti setan akan menggiringnya menuju jalannya. Barangsiapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri, dimana pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berbuah. Karenanya, bagi seorang murid yang hendak menuju Tuhannya agar tetap berada pada jalan yang benar, maka yang harus menjadi  pegangannya adalah syaikh-nya, dan hendaklah ia berpegang teguh kepadanya.
Di samping itu, Al-Ghazali juga  pernah menyatakan, apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barangsiapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakitnya. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun, mayoritas manusia tidak mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya, tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barangsiapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus mau duduk di hadapan mursyid yang mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyid-nya itu dalam bermujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyid-nya. Dengan demikian, mursyid akan dapat mengenalkannya terhadap penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan memberikan cara-cara pengobatannya (Isa, 2010: 36-38).           
Pada tempat yang lain lagi, Al-Ghazali berkata: Pada awalnya aku merupakan  orang yang tidak percaya terhadap kondisi spiritual orang-orang shaleh dan derajat yang dicapai oleh ahli ma’rifat. Hal ini terus berlanjut padaku sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an-Nasaj. Ia menyarankan aku agar terus melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia  Ilahi. Dalam sebuah mimpi aku melihat Tuhan, dan Dia berkata kepadaku.  Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah  kesibukanmu tentang dunia, bergaullah dengan orang-orang yang Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka itu adalah orang-orang yang telah menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai-Ku. Aku berkata: Demi kemuliaan-Mu aku tidak akan melakukan hal itu, kecuali jika Engkau menjadikan aku bisa merasakan nikmatnya berbaik sangka kepada mereka. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka  adalah  kesibukanmu tentang urusan dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu tentang  dunia dengan rela hati sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Mahasuci. Kemudian setelah itu aku bangun dengan penuh gembira, lalu aku mendatangi syaikh-ku, Yusuf An-Nasaj, dan menceriterakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata: Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di awal  perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatimu akan semakin tajam (Isa, 2010: 38).      
Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Al-Jurjani menjelaskan  bahwa: “Mursyid itu merupakan  orang yang menunjukkan ke jalan yang lurus sebelum sesat. Orang yang tidak mempunyai syaikh, maka syaikh-nya adalah syaitan". Ibn Arabi dalam sumber yang sama juga  mengatakan bahwa “Seorang murid harus mempunyai syaikh (mursyid)” (Isma’il, 2008: 896).   
Mursyid itu merupakan orang yang dapat menuntun muridnya menuju jalan yang lurus, oleh karena itu seorang mursyid haruslah orang yang betul memiliki syarat-syarat tertentu.  Al-Baghdadi mengemukakan bahwa  seorang syaikh (mursyid) itu harus menguasai syari'at, menghindari yang haram, zuhudtentang dunia, dapat mengobati murid yang menderita penyakit hati, dan mampu memberikan fatwa tentang masalah-masalah fiqh. Selain itu, seorang syaikh juga harus qonaah, takut terhadap kemaksiatan, perbuatannya tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadits. Al-Baghdadi mengatakan, janganlah mengikuti syaikh yang tidak memiliki sifat-sifat yang telah disebutkan, karena syaikh yang demikian adalah termasuk golongan syetan. Timbanglah ucapan dan perbuatannya dengan syari'at dan tarekat, kalau engkau melihat tingkah lakunya bertentangan syari'at, tinggalkanlah dia, sekalipun kelihatannya orang baik (shaleh). Menurut Syari'at,  tidak ada dosa bagimu untuk meninggalkannya dan jangan jadikan dia sebagai mursyid (Isma’il, 2008: 896).
Sejalan dengan itu, Al-Ghazali mengemukakan bahwa syarat mursyid ialah tidak cinta kepada harta dan penghargaan dan telah mendapatkan pendidikan berupa bimbingan dari seorang mursyid sebelumnya, sehingga namanya tercantum dalam silsilah yang menghubungkannya dengan Nabi Muhammad. Seorang mursyid harus telah melakukan riyadhah, seperti sedikit makan, sedikit minum, tidak banyak tidur, banyak shalat, banyak sedekah, dan banyak puasa. Mursyid menjadikan Nabi sebagai contoh teladan, sehingga ia berakhlak mulia, yaitu sabar, syukur, tawakal, yakin, tuma'ninah, qana'ah, amanah, hilm, tawadhu’, ma’rifah, sidiq, dan haya. Selain memiliki sifat terpuji, mursyid harus menjauhi sifat-sifat tercela, seperti takabbur, bakhil, hasud, dan lain-lainnya. Lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mursyid yang memenuhi persyaratan yang telah disebutkan, tidak banyak diketemukan saat ini, karena banyak mursyid yang mengajak kepada lahwun (permainan) dan laghw (perbuatan tidak berguna). Bahkan ada mursyid yang menuntun orang kepada hal-hal yang bertentangan dengan syari'at. Kalau seorang mursyid memiliki sifat-sifat terpuji seperti yang telah dikemukakan, maka itulah mursyid haqiqi (mursyid yang benar), maka wajiblah ia dihormati. Al-Ghazali menjelaskan bahwa mursyid itu bukan mengajar, tetapi hanya membimbing dan mengarahkan sang murid untuk bermeditasi, karena setiap orang mempunyai pengalaman ruhani yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tasawuf mustahil dipelajari, melainkan harus dicapai melalui  pengalaman langsung dan transformasi batin (Isma’il, 2008: 897).
Al-Jailani juga mengatakan bahwa syaikh itu membimbing seorang murid hanya karena Allah, bukan karena kepentingan pribadi. Ia bergaul dengan murid-muridnya dengan penuh kasih sayang, banyak memberikan nasihat, tidak memberatkan murid dalam riyadhah, tetapi ia memperlakukan muridnya dengan lemah lembut, bagaikan seorang ibu terhadap anaknya. Syaikh tidak memberikan tugas kepada muridnya yang tidak mampu dilaksanakannya, tetapi ia memberikan latihan ruhani sedikit demi sedikit sampai murid dapat menjalankannya. Syaikh tidak mengharapkan imbalan dari muridnya, tetapi ia mendidiknya hanya karena mencari ridha Allah (Isma’il, 2008: 897).
Menurut Al-Kurdi bahwa  seorang syaikh atau mursyid harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: (1) Mengetahui fiqh dan tauhid yang diperlukan oleh para murid, sehingga mereka tidak perlu bertanya kepada orang lain, (2) Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kesempurnaan hati, penyakit hati, dan cara memeliharanya, (3) Bersikap kasih sayang kepada semua orang muslim, terutama kepada para murid, dan tidak memaksakan muridnya meninggalkan perbuatan yang bertentangan dengan hawa nafsunya, tetapi ia tetap berbelas kasihan sampai muridnya memperoleh petunjuk, (4) Menyimpan rahasia para murid yang diketahuinya, (5) Tidak mengharapkan sesuatu dari muridnya, termasuk hartanya, (6) Mengerjakan sendiri apa yang pernah ia perintahkan, dan menjauhi apa yang pernah dilarang kepada para muridnya, sehingga ucapannya didengar, (7) Tidak duduk bersama murid, kecuali dalam suatu keperluan, dan mengingatkan pentingnya syari'at, termasuk membaca buku "Tanwir al-Qulub, (8) Ucapannya bersih dari senda gurau, olok-olok, dan omong kosong, (9) Tidak menuntut penghormatan dan penghargaan, tidak memaksakan sesuatu yang membosankan mereka, tidak sering-sering bersuka cita dan berduka cita, dan mempersulit mereka, (10) Memerintahkan murid yang berubah penghormatannya karena pengaruh persahabatan untuk duduk menyepi, tetapi tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, (11) Apabila syaikh mengetahui bahwa prestisenya jatuh di mata muridnya, maka ia memalingkannya dengan cara lemah lembut,  (12) Ia selalu memberikan bimbingan, sehingga para murid berada dalam kebaikan, (13) Tidak mengomentari pengalaman ruhani seorang murid, seperti "ru'ya" (penglihatan),  mukasyafah (ketersingkapan), dan musyahadah (penyaksian), karena hal itu dapat menyebabkan murid merasa mulia dan hebat, yang menyebabkabkan jatuh martabatnya, (14) Tidak membolehkan murid menceriterakan pengalaman ruhaninya kepada ikhwannya, kecuali terpaksa, karena hal itu dapat menimbulkan kesombongan, (15) Membuat tempat khalwat untuk sendiri dan untuk jama’ah, dan tidak membolehkan ada yang masuk  termasuk anaknya, kecuali orang-orang tertentu, (16) Tidak membolehkan murid mengetahui aktivitas syaikh-nya, seperti tidur, minum dan makannya, karena hal itu dapat menyebabkan rasa  hormat kepada  syaikh-nya semakin berkurang, (17) Tidak membolehkan murid banyak makan, karena hal itu akan merusak upaya pembinaan mental yang dilakukan syaikh kepada murid, sebab banyak orang yang menjadi hamba perutnya, (18) Tidak membolehkan muridnya duduk bersama dengan murid syaikh yang lain karena dapat menimbulkan madharat. Akan tetapi, kalau cinta mereka tidak tergoyahkan terhadap syaikh-nya dan tidak dikhawatirkan tergelincir, maka hal itu dibolehkan, (19) Tidak sering mendatangi penguasa, supaya ia tidak diikuti oleh muridnya, (20) Diupayakan murid berbicara dengan mempergunakan kata-kata yang sopan. Jangan mengumpat, mencaci, dan menyakiti orang lain supaya tidak menimbulkan kebencian, (21) Menerima undangan para murid sebagai tanda memuliakan mereka, (22) Syaikh duduk dengan murid dengan tenang dan merunduk, ia tidak melemparkan pandangan pada mereka dan tidak tidur di dekat mereka, dan tidak menjulurkan kaki pada saat duduk dengan mereka, (23) Perlihatkanlah muka yang cerah kalau ada murid yang menghadap, (24) Tanyakanlah murid yang tidak hadir, dan kalau ia tidak hadir karena sakit, maka kunjungilah, dan kalau murid mendapatkan kesulitan, maka bantulah dia. Al-Kurdi menyimpulkan bahwa seorang syaikh dalam membimbing murid-muridnya bagaikan Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam terhadap sahabat-sahabatnya (Isma’il, 2008: 898). 
Sehubungan dengan itu, Al-Jaelani mengatakan bahwa “Barangsiapa yang tidak memiliki syaikh (guru mursyid), maka iblislah gurunya”. Ia juga  mengatakan:  
Wajib bagi seorang murid terus menerus berada di bawah bimbingan Syeikh (Guru Murstid) dan mengikuti bimbingannya dan meyakininya sebagai wasilah dan wasitha (perantara) antara dia dan Tuhan Azaa wa Jalla, sekaligus sebagai thariqah (jalan) dan menjadi sebab dapat mengantarkannya sampai bertemu Tuhannya. Ibarat seorang yang berkeinginan bertemu Raja dan dia sendiri tidak mengenal raja tersebut, maka sudah barang tentu dia akan menghadapi hijab  (rintangan, menemui tembok penghalang). Hendaklah seseorang masuk (untuk bertemu Raja) melalui pintu dan jangan sekali-kali memanjat tembok dari belakang. Cara ini tidak akan membawanya bertemu Raja.
Syeikh  (mursyid) adalah jalan menuju kepada Tuhan dan petunjuk serta pintu masuk untuk bertemu dengan-Nya. Karena itu, seorang murid tidak boleh  tidak harus memiliki syaikh (Khozin, 2009: 55).


Selain itu, pada tempat yang lainnya Al-Jaelani  juga mengatakan:
Wahai hamba Allah, kalau kamu semua hendak berada dalam “darul hikmah”, maka wajib mempunyai Wasithah. Carilah (dengan meminta pertolongan) Tuhan yang kamu sembah, seorang tabib (dokter) yang mengobati penyakit hatimu, carilah petunjuk yang dapat menunjukkanmu dan menuntu tanganmu (Khozin, 2009: 56). 

Hampir sejalan dengan Al-Jailani, Athaillah juga berkata tentang pentingnya syaikh (guru mursyid). Menurutnya:
Tidak boleh tidak bagi seorang salik yang menjalani tasawuf harus memperoleh bimbingan guru, yakni guru yang mengenal jalan menuju Allah. Karena itu, wajib atas murid mencari guru yang ahli tahqiq (yang berjalan menempuh jalan itu), yakni jalan tasawuf .

Athaillah berkata bahwa syaikh (guru mursyid) itu adalah orang yang mengeluarkan kamu dari penjara hawa nafsu dan membawamu masuk bertemu Maula (yakni Allah swt). Jadi, dapatlah dikatakan bahwa imam atau mursyid itu adalah orang yang dapat menunjukkan kita kepada jalan yang lurus (shirathal mustaqim”). Untuk menempuh jalan yang lurus itu tentu banyak godaan, tantangan, dan rintangannya, karenanya harus ada orang yang menuntunnya, kalau tidak,  pasti akan tersesat.  
Godaan dan rintangan hidup di dunia ini begitu banyak. Godaan yang pertama datang dari diri sendiri, yaitu berupa hawa nafsu. Hawa nafsu itu sifatnya “yajri ilassu”, selalu mengajak kepada yang jelek. Godaan yang kedua yaitu datangnya dari luar, yaitu iblis (syaithan). Iblis itu di dalam Al-qur’an dijelaskan akan selalu menggoda manusia dengan berbagai cara agar manusia terjerus ke dalam kesesatan ikut bersama mereka (Khozin, 2009: 58).
Di antara godaan iblis itu ialah dijelaskan oleh Allah dalam Al-qur’an surat al-A’raf ayat 16-17:
Iblis berkata: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.

Pada tempat yang lain, Allah swt dalam Al-qur’an surat al-Hijr ayat 39-40,  menjelaskan pula:
Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku aka menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.

Dalam ayat di atas, jelaslah bagi kita bagaimana iblis akan berusaha menggelincirkan manusia dari jalan yang lurus, sehingga hampir semua manusia tergelincir ke jurang yang sesat, kecuali hanya hamba Allah yang mukhlish. Untuk menjadi hamba Allah yang mukhlis, sehingga selamat dari godaan iblis, maka perlu ada orang yang membimbing dan menuntun kita ke jalan itu, dan orang itu adalah mursyid, atau istilah lain yang sering digunakan di POMOSDA yaitu Guru Wasithah.
Siapakah orang yang harus dijadikan mursyid saat ini, bagaimanakah menemukannya, dan bagaimana cara mengenalinya? Seorang mursyid itu haruslah pewaris para Nabi. Dan untuk menemukan dan mengenalinya ada beberapa poin yang akan dijelaskan.
Pertama, tatkala  murid membutuhkan seorang mursyid, seperti pasien membutuhkan seorang dokter. Hendaklah dia meluruskan tekad dan memperbaiki niatnya, lalu hendaklah dia menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, menyeru-Nya di tengah kegelapan malam, dan berdo’a kepada-Nya. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku orang yang dapat menunjukkan jalan untuk bisa sampai kepada-Mu, dan pertemukanlah aku dengan orang yang dapat mengantarkanku menuju-Mu.
Kedua, hendaklah dia mencari, mengamati, dan bertanya dengan teliti tentang mursyid tersebut di negerinya. Dan janganlah terkecoh dengan apa yang dikabarkan sebagian kalangan bahwa mursyid kamil sudah tidak dapat ditemukan lagi pada zaman sekarang.
Apabila tidak menjumpai seorang mursyid kamil di kota tempat tinggalnya, maka hendaklah dia mencarinya di kota lain, seperti seorang pasien yang pergi ke negara lain untuk berobat ketika dia tidak menemukan seorang dokter spesialis atau ketika para dokter di negaranya tidak dapat mendiagnosa penyakitnya dan tidak mengetahui obatnya. Dan pengobatan jiwa membutuhkan  dokter yang lebih pandai  dibandingkan dengan  dokter  yang mengobati penyakit-penyakit jasmani. Lebih lanjut Syekh Abdul Qadir Isa menjejelaskan bahwa seorang mursyid itu harus memenuhi empat syarat. Keempat syarat tersebut yaitu:
Pertama, seorang mursyid harus mengetahui semua hukum fardhu ‘ain, seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat, mu’amalah, dan hukum-hukum Islam lainnya. Di samping itu, ia harus mengetahui aqidah ahli sunnah, masalah keimanan,  dan masalah tauhid.
Kedua, seorang mursyid harus mengaktualisasikan aqidah ahlussunnah dalam perbuatan dan perasaannya setelah ia mengetahuinya sebagai ilmu. Dia harus mengakui di dalam hati dan jiwanya kebenaran aqidah tersebut. Dia harus bersaksi bahwa Allah itu Esa di dalam Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Af-‘al-Nya. Di samping itu, dia juga harus mengetahui kehadiran nama-nama Allah, baik dengan cita rasa spiritualnya maupun dengan pandangan mata hatinya, lalu mengembalikannya kepada kehadiran yang tunggal yang mencakup semuanya. Dia tidak meragukan banyaknya nama-nama Allah, sebab banyaknya nama tidak mengindikasikan banyaknya Dzat.
Ketiga, seorang mursyid harus mensucikan jiwanya terlebih dahulu di bawah bimbingan seorang pendidik spiritual atau mursyid sebelumnya. Dengan demikian, dia mengetahui tingkatan-tingkatan jiwa, penyakit-penyakitnya,  dan godaan-godaannya. Dia mengetahui sarana-sarana yang digunakan oleh syetan dan tempat-tempat masuknya. Dia mengetahui penghalang bagi setiap fase perjalanan dan cara menanganinya sesuai dengan kondisi setiap orang.
Keempat, seorang mursyid hendaknya sudah memperoleh ijazah dari syaikh-nya untuk melakukan pendidikan spiritual. Apabila dia belum memperoleh pengakuan atas ilmu yang diklaimnya, maka dia tidak layak untuk melakukan bimbingan. Yang dimaksud dengan ijazah adalah pengakuan atas keahliannya untuk memberikan bimbingan dan kesucian sifat-sifat jiwanya. Seseorang tidak boleh melakukan bimbingan spiritual tanpa mendapat izin dari para mursyid sebelumnya yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah (Isa, 2010: 47).
Selain itu, tanda-tanda mursyid kamil dapat diperhatikan dari hal-hal berikut ini: (1) Jika engkau duduk bersamanya, maka engkau akan merasa adanya hembusan iman dan aroma jiwa. Dia tidak berbicara selain tentang Allah, tidak mengucapkan selain kebaikan dan tidak bercakap selain tentang nasehat. Engkau dapat mengambil manfaat dari pergaulan dengannya, sebagaimana dari pembicaraannya. Engkau dapat mengambil manfaat saat berada di dekatnya, sebagaimana saat jauh darinya. Dan engkau dapat mengambil manfaat dengan memandangnya, sebagaimana dengan mendengar ucapannya; (2) Engkau mendapatkan potret keimanan, keikhlasan, ketaqwaan, dan kerendahan hati pada diri para sahabat dan muridnya. Ketika engkau bergaul dengan mereka, engkau teringat dengan sifat-sifat mulia, seperti cinta kasih, kejujuran, altruisme, dan persaudaraan yang tulus. Banyak atau sedikitnya jumlah murid yang belajar kepada seorang mursyid bukan ukuran, tapi yang menjadi ukuran adalah kesalehan dan ketaqwaan para murid, terbebasnya mereka dari noda-noda dan penyakit-penyakit jiwa dan istiqamah mereka dalam menjalankan syari’at Allah; (3) Engkau melihat para muridnya berasal dari status sosial yang berbeda-beda, seperti halnya para sahabat Rasulullah Muhammad saw (Isa (2010: 50).
Setelah seseorang salik atau murid (orang yang berkehendak untuk bertemu dengan Allah) menemukan seorang mursyid yang hak dan sah, maka kewajiban berikutnya yaitu berbai’at kepada mursyid. Dalam ajaran tasawuf, berbai’at kepada mursyid itu merupakan suatu keharusan. Seorang murid harus berbai’at kepada mursyid-nya dan berjanji setia kepadanya untuk berjalan bersamanya dalam rangka mengosongkan jiwa dari segala penyakit-penyakitnya dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, serta merealisasikan rukun ihsan dan mendaki maqam-maqamnya.              

6) Masalah dzikir.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian temuan hasil penelitian, bahwa Dzikir yang dilakukan   dalam ajaran tasawuf di POMOSDA  itu ada dua macam, yaitu dzikir hati dan dzikir lisan. Dzikir hati yaitu dzikir yang dilakukan dalam hati dengan tanpa bersuara dengan cara mengingat-ingat Dzat Allah (isinya “Hu”)  yang dibisikkan oleh Guru Wasithah pada proses pentalqinan atau pemberkahan ketika berbai’at.   Adapun dzikir lisan dikenal dengan tujuh macam dzikir yang harus dilakukan oleh para santri/siswa atau murid, yaitu dzikir thawaf, dzikir nafi itsbat, dzikir itsbat faqot, dzikir Ismu Dzat, dzikit taroqi, dzikir tanazul, dzikir Ismul Ghoib yang dilakukan ketika setelah shalat Maghrib dan shalat malam yang penjelasannya telah dikemukakan secara rinci di atas.
Dalam ajaran tarekat atau tasawuf yang lain, pelaksanaan dzikir itu sebenarnya sudah biasa, hanya saja dalam pelaksanaannya ada persamaan dan ada  perbedaan. Salah satu contoh dalam Tarekat Qodiriyah, seperti yang dikemukakan oleh Sri Mulyati yaitu mempunyai metode dzikir yang dikenal dengan dzikir jahr atau jali, yakni dzikir  yang diucapkan dengan lidah dan suara keras. Kalimat yang diucapkan yaitu kalimat tauhid “La Ilaha Illallah”. Adapun tata caranya yaitu, seseorang duduk bersila, menahan dengan jari kaki kanan (dan jari itu) digabungkannya dengan urat/pembuluh darah yang disebut dengan “ka’imas”, yang berupa urat besar diletakkan pada lekuk di belakang lutut kiri. Ia meletakkan tangannya terbuka pada lutut, sehingga membentuk kata Allah. Lalu, ia mengucapkan nama Allah, memperpanjangnya beberapa saat, memanjangkannya dengan ucapan empatis (tafkhim), sehingga nafas habis, mengucapkan azamat al-Haqq (Keagungan yang Besar) sambil menghembuskan nafas. Ia terus melakukan hal ini sampai jatung rileks dan cahaya Ilahiyah tersingkap. Lalu, ia meneruskan dengan awarid yaitu berupa dzikir fana dan dzikir kekal (baqa) di dalam Hadhirat Allah, ditujukan kepada syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Hal ini dilakukan seperti dzikir yang disebtkan di atas, dengan menengok ke pundak kanan sambil mengucapkan “ha”, menengok ke kiri dengan mengucapkan “hu”, lalu menundukkan kepala dan menghembuskan nafas sambil berkata “hayy”, lalu mengulangi hal itu tanpa berhenti. Adapun pelaksanaan dzikir nafi itsbat dalam tarekat Qadiriyah dilaksanakan dengan cara sebagai berikut. Seseorang duduk bersila seperti dalam keadaan shalat, ia menghadap qiblat, menutup kedua matanya. Ia harus mengucapkan kata “la” dengan menggambarkan suara dari pusatnya, menariknya ke atas lalu ke pundaknya, dan mengucapkan  “ilaha”  menggambarkan suara dari otaknya. Sesudah itu, ia menghentakkan kata “illallah” dengan kekuatan yang besar di dalam hati, sambil menghayati bahwa tidak ada yang dicintai kecuali Allah, dan hanya Dia satu-satunya Dzat yang Wujud dan tujuan dari semua kehidupan. Ia harus mengarahkan semua ini untuk Dzat yang Suci, yaitu  Tuhan sendiri (Isma’il,  2008:  974).
 Dalam Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN), sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Mulyati, bahwa dzikir itu ada dua macam, yakni dzikir lisan yang dikeraskan (dzikir jahr) dan dzikir hati (dzikir khafi). Dzikir jahr yaitu dzikir harian yang dilakukan setiap sesudah shalat wajib, dengan bacaan “la ilaha illallah” sebayak 165 kali, kemudian diikuti dengan Dzikir Khafi yang tidak dibatasi. Dzikir Khafi (hati) pada tarekat ini bersifat rahasia. Kalimat dzikirnya adalah menyebut Ismu Dzat (Allah) dan Ismu Ghoib (Hu, dari kata Huwa) dalam hati secara berulang-ulang.
Dalam Tarekat Tijaniyah, sebagai bentuk latihan spiritual (riyadhah), terdiri atas wirid, wadzifah, dan haylalah(tahlil). Wirid yang sederhana ini dibaca sesudah shalat Subuh dan Ashar, yang terdiri atas istighfar (astaghfirullah), salawat  dan tahlil yang masing-masing dibaca 100 kali. Wadzifah terdiri atas istighfar, shalawat, haylalah (tahlil). Istighfar dibaca 30 kali dan lafadznya lebih panjang dari lafadz istighfar pada wirid, yaitu “Astaghfirullah al-adhim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyum”. Membaca shalat 50 kali yang lafadznya lebih panjang dari shalawat wirid, dan shalawat ini dinamai shalawat al-fatih (pembuka), yaitu “Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad al-Fatih lima ughliqah wal khatim lima sabaqa, nashir al-haqq bil haqq wal hadi ila shirathil mustaqim wa ’ala alihi haqqa qadrihil adhim”. Sedangkan tahlil dibaca 100 kali, kemudian ditutup dengan do’a yang sangat panjang yang dinamai “jauhar al-kamal”.  Pembacaan wadzifah paling sedikit dua kali sehari semalam, sore dan malam, dan lebih afdhal pada malam hari. Selain itu, setiap Jum’at membaca tahlil (la ilaha illallah) dan Allah, Allah, Allah setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam (Isma’il, 2008: 968).
Melihat macam-macam cara berdzikir yang dilaksanakan dalam berbagai tarekat seperti yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa dzikir yang dilakukan dalam ajaran tasawuf di POMOSDA, khususnya tentang dzikir hati (dzikir khafi) terdapat perbedaan yang sangat esensial. Perbedaan tersebut, yaitu terletak pada substansi dzikir itu sendiri. Dzikir khafi yang dilakukan dalam  tarekat-tarekat seperti disebutkan di atas,  yaitu hanya mengingat-ingat  nama Tuhan, bukan Dzat Tuhan. Sedangkan dzikir hati yang dilakukan  dalam tasawuf di POMOSDA yaitu mengingat Dzat Tuhan, yakni Dzat Tuhan sebagaimana yang dibisikkan ketika proses pemberkahan.
Mungkin muncul pertanyaan, bisakah Dzat Tuhan itu dikenali? Dzat Tuhan itu memang tidak bisa dipikirkan dengan akal, dan akal pasti tidak akan sampai, yang akhirnya akan sesat, tetapi dengan bertanya kepada ahlinya, sesuai dengan firman Allah: “Fas-alu ahladz dzikri in kuntum la ta’lamun”, maka pasti bisa.  

7) Masalah Shalat.
Shalat yang diperintahkan dalam ajaran tasawuf di POMOSDA sangat banyak jumlahnya dan terdapat perbedaan dengan shalat pada umumnya. Shalat tersebut mengacu kepada shalat yang dicontohkan oleh Wasithah sebagai orang yang dijadikan panutan dan rujukan oleh para murid-muridnya.
Dalam pandangan umum, shalat wustha diartikan sebagai shalat Ashar. Kalau kita perhatikan secara jernih, nampaknya kurang pas kalau shalat wustha diartikan dengan shalat Ashar, karena shalat Ashar bagian dari shalat lima waktu. Padahal shalat lima waktu sudah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, shalat wustha dalam pandangan tasawuf di POMOSDA diartikan shalat yang dicontohkan oleh Wasithah. Shalat apa yang dicontohkan oleh Wasithah itu? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian temuan penelitian, shalat-shalat yang dilaksanakan di POMOSDA yang berbeda dengan shalat-shalat pada umumnya, yaitu ada shalat qadha setiap waktu shalat, shalat taubat, shalat tha’atan taqarruban ilallah, dan shalat tolak bala.
Shalat qadha dilaksanakan pada setiap shalat fardhu mulai diperintahkan pada saat ke-Wasithah-an dipegang oleh Kyai Imam Mursyid Muttaqin. Shalat qadha diperintahkan, karena disadari bahwa kebanyakan para murid-muridnya tidak bisa melaksanakan shalat dengan  khusyu’, yaitu “khudhurul qalb ilallah ‘indash shalah”  (menghadirkan hati dengan selalu mengingat-ingat Tuhan ketika shalat), sesuai dengan perintah Allah: “Aqimish shalata lidzikri” (dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14). Dan kalau shalat itu tidak dilaksanakan dengan khusyu’, maka namanya sahun. Dan orang yang shalatnya sahun, maka diancam dengan kecelekaan. Allah berfirman: “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang shalatnya sahun” (QS.Al-Ma’un:4-5). Oleh karena itu, untuk menutupi shalat-shalat yang sahun itu, maka para murid-murid Wasithah diperintah untuk melaksanakan shalat qadha setiap waktu.
Shalat taubat dilaksanakan setiap malam setelah shalat Isya. Shalat taubat dilakukan karena sebagai hamba sadar bahwa banyak sekali dosa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, baik dosa yang dilakukan oleh jasad maupun yang dilakukan oleh hati. Contoh dosa yang dilakukan oleh jasad yaitu bahwa kita sering kali selalu manusia melakukan pelanggaran-pelanggaran atau melakukan perbuatan maksiat yang bertentangan dengan ajaran agama.  Contoh dosa yang dilakukan oleh hati, yaitu (1) Kita diperintah oleh Allah untuk selalu mengingat-Nya, tetapi justeru kita lebih banyak melupakannya, (2) Kita diperintah oleh Allah untuk mentauhidkan Allah, menafikan segala sesuatu termasuk dirinya kecuali Allah. Tapi, kenyataannya kita tetap saja masih merasa wujud, padahal merasa wujud itu merupakan dosa besar. Maka oleh karena itu, kita selalu diperintah untuk bertaubat kepada Allah, di antaranya melaksanakan shalat taubat setiap malam.      
Shalat tha’atan taqarruba ilallah dilaksanakan setiap malam sehabis shalat taubat. Apabila seseorang pada malam tersebut tidak bermaksud untuk untuk melaksanakan shalat malam (qiyamullail), maka shalat tha’atan taqarruban ilallah dilaksanakan pada waktu shalat Isya, setelah shalat taubat. Ini tiada lain, sebagai bentuk keta’atan para murid terhadap gurunya, dan juga sebagai upaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Shalat taqrruban ilallah ini dicontohkan oleh syekh Abdul Qadir jailani dan syekh Mudawwirul aflaq, kemudian diperintahkan oleh Guru Wasithah untuk dilaksanakan oleh setiap murid-muridnya. 
Shalat  thalak bala, yaitu shalat yang dilaksanakan pada setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. Pada bulan ini Allah banyak sekali menurunkan berbagai macam penyakit. Agar kita terhindar dari penyakit-penyakit tersebut, maka Guru Wasithah memerintahkan  kepada murid-miridnya untuk melaksanakan shalat.
Itulah shalat-shalat yang dicontohkan oleh Guru Wasithah, yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh umat Islam pada umumnya, pada dasarnya merupakan  bentuk keta’atan kepada Guru Wasithah, yang mana  Guru Wasithah tersebut melaksanakannya atas petunjuk Guru Wasithah sebelumnya, dan seterusnya. Kenapa berbeda dengan shalat-shalat yang dilakukan oleh umat Islam pada umumnya.
Alasannya, karena Guru Wasithah itu merupakan pelanjut Rasul dan diyakini sebagai Rasul yang ada saat ini, maka setiap Rasul itu mempunyai syari’at yang berbeda-beda. Salah satu contoh, syari’at yang dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim dengan syari’at yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad itu berbeda. Begitu juga dengan syari’at Nabi-nabi yang lainnya, semuanya berbeda, baik tata cara shalatnya maupun tata cara ibadah-ibadah lainnya. Bagaimanakah dengan tata cara shalat yang dilakukan pada ajaran-ajaran tasawuf yang lainnya. Berdasarkan pada tulisan-tulisan yang ada dalam Ensiklopedi Tasawuf, dapat disimpulkan bahwa antara ajaran tasawuf yang satu dengan tasawuf yang lainnya memiliki perbedaan, terutama dalam masalah mursyid tata cara dzikir. Sedangkan dalam tata cara shalat dan macam-macam shalat yang dilaksanakan dalam keseharian tidak disebutkan adanya perbedaan.
Mengapa shalat di dalam ajaran tasawuf di POMOSDA berbeda? Apa yang dijadikan dasar, sehingga mereka berbeda. Pada dasarnya, shalat yang mereka laksanakan itu mengacu kepada firman Allah: “Hafizhu ‘alash shalawati wash shalatil wustha” (Peliharalah shalat yang lima waktu dan shalat wustha) (QS. Al-Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustha dalam pandangan mereka ialah shalat  yang dicontohkan oleh Wasithah bukan shalat Ashar seperti yang difahami oleh umat Islam pada umumnya. Karena Guru Wasithah mencohtohkannya seperti itu, maka murid-muridnya harus mengikutinya, karena mengikuti Guru Wasithah merupakan suatu keharusan dalam menjalankan ajaran agama. Dengan dasar seperti yang dikemukakan di atas itulah, maka mereka melaksanakan apa saja yang dicontohkan oleh guru Wasithah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah dan akidah. Dan di sinilah uniknya ajaran tasawuf yang diajarkan di POMOSDA, sehingga peneliti dapat katakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan di POMOSDA  berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf lainnya dan juga berbeda dengan ajaran-ajaran umat Islam pada umumnya, namun memiliki dasar yang kuat.
3.    Proses Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
a.    Metode dan Pendekatan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA 
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, bahwa metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yaitu menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemberian tugas. Sedangkan pedekatannya menggunakan pendekatan gabungan antara pendekatan kajian ayat secara tematik atau tafsir tematik, pendekatan qisah, pendekatan targhib-tarhib. Metode dan pendekatan tersebut pada dasarnya tidak ada perbedaan dengan metode dan pendekatan yang dikemukakan para ahli yang dijadikan dasar teori pada bab II.
Apa yang dimaksud pendekatan kajian ayat tematik itu? Menurut Al-Farmawi (1977: 52), yang dimaksud pendekatan ayat Al-qur’an tematik (maudh’i) yaitu suatu metode pendekatan yang berusaha mencari jawaban Al-qur’an tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang ada hubungannya dengan topik pembahasan, kemudian menganalisisnya melalui ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, dan kemudian melahirkan kesimpulan dari masalah tersebut sebagai suatu konsep utuhn dari Al-qur’an. Menurut Shadr (1992: 14) bahwa yang dimaksud pendekatan maudhu'i itu ialah suatu pengkajian tentang Al-qur’an dengan mengambil suatu tema khusus dari berbagai tema doktrinal kehidupan, tema sosiologis atau kosmologis yang dibahas dalam Al-qur’an.
Shihab (1996: xii), mengemukakan bahwa pendekatan kajian ayat Al-qur’an secara tematik (maudhu'i) ini benihnya telah dikenal sejak masa Rasulullah, namun ia baru berkembang jauh sesudah masa beliau. Dalam pendekatan tafsir tematik ini, caranya yaitu dengan mengambil menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan Al-qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Misalnya, pesan-pesan pada surat Al-baqarah,  Ali Imran, Al-kahfi, atau surat lainnya.  Ambillah misalnya surat Al-kahfi, yang arti harfiahnya "Gua". Dalam uraiannya, gua tersebut dijadikan tempat perlindungan sekelompok pemuda yang menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari nama ini diketahui bahwa surat Al-kahfi tersebut dapat dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Dari sini, kemudian setiap ayat atau kelompok ayat yang terdapat dalam surat Al-kahfi diupayakan untuk mengaitkannya dengan makna perlindungan itu.
Qisah qur’ani digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA, karena qisah qur’ani itu mengandung makna  yang bisa menyentuh hati peserta didik.  Di dalam Al-qur’an  banyak sekali qisah-qisah tentang para Nabi dan para Rasul, serta qisah-qisah umat-umat yang benar-benar terjadi sebagai peristiwa  sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara filosofis dan secara ilmiah melalui saksi-saksi bisu berupa peninggalan-peninggalan orang-orang terdahulu, seperti Ka’bah di Mekah, Masjidil Aqsha di Palestina, Piramida dan Spink di Mesir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua kisah-kisah itu dapat menjadi nasihat dan pelajaran bagi kita semua, sesuai dengan berfirman Allah:
Sesungguhnya pada kisah-kisah  mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang akal. Al-qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS. Yusuf: 111).

Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, termasuk Pendidikan Keimanan pendekatan qisah itu amat penting, dengan alasan sebagai berikut:
a)    Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya, makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pendengarnya.
b)   Kisah qur’ani dapat menyentuh hati manusia, karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Dengan demikian, pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya.
c)    Kisah qur’ani mendidik perasaan keimanan dengan cara: membangkitkan berbagai perasaan, seperti khauf, ridha, dan cinta; mengarahkan seluruh perasaan, sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu kesimpula kisah; melibatkan pendengar ke dalam kisah itu, sehingga ia terlibat secara emosional (Sudiono (2009: 284).
 Ramayulis (2011: 199) menjelaskan bahwa di dalam Al-qur’an banyak cerita mengenai para Rasul atau Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad yang bertujuan menimbulkan kesadaran bagi yang mendengarkannya agar meningkatkan iman dan berbuat amal kebaikan dalam menjalani hidup dan kehidupan masing-masing.  
Secara lebih rinci, Sudiono (2009: 285), menjelaskan bahwa qisah qur’ani  bukanlah hanya sebagai qisah yang indah, melainkan suatu cara Tuhan mendidik umat manusia agar beriman kepada-Nya. Qisah qur’ani mempunyai tujuan sebagai berikut:
a)    Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Mewujudkan rasa mantap dalam menerima Qur’an dan pengutusan Rasul-Nya. Kisah-kisah itu menjadi bukti kebenaran wahyu dan kebenaran Rasulullah;
b)   Menjelaskan bahwa secara keseluruhan, ad-din itu datangnya dari Allah;
c)    Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mencintai Rasul-Nya, menjelaskan bahwa kaum  mu’min adalah umat yang satu, dan Allah sebagai Rabnya;
d)   Kisah-kisah itu bertujuan menguatkan keimanan kaum muslimin, menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa mereka;
e)    Mengingatkan bahwa musuh orang mu’min adalah syetan, menunjukkan permusuhan abadi, dan dengan qisah akan tampak lebih hidup dan jelas.
 Pendekatan Targhib-Tarhib digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA, karena pendekatan ini  dapat menimbulkan suatu kesan bagi para siswa untuk memiliki rasa takut melakukan hal-hal yang dilarang dan dapat menumbuhkan rasa untuk mendorong para siswa dalam melakukan kebaikan. Apa sebenarnya yang dimaksud pendekatan targhib-tarhib itu?
Targhib secara bahasa berasal dari kata raghaba, yang artinya menyenangi, menyukai, dan mencintai. Kemudian kata itu dirubah menjadi kata benda "targhib" yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, dan kebahagiaan yang dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat merangsang/mendorong seseorang hingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya. Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata "rahhaba" yang berarti menakut-nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda "tarhib" yang berarti ancaman hukuman (Syahidin, 2009: 124).
Berkaitan dengan itu, Abdurahman Al-Nahlawi dalam Syahidin (2009: 125) mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti, serta bersih dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal shaleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya dan perbuatan buruk. Sedangkan tarhib yaitu suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah. Tarhib juga diartikan sebagai ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut kepada para hambanya sekaligus untuk memperlihatkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan Ilahiah, agar mereka selalu berhati-hati dalam bertindak serta tidak melakukan kesalahan dan kesesatan.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud targhib adalah suatu cara atau model pendekatan untuk meyakinkan seseorang terhadap janji Allah berupa kesenangan dan kebahagiaan yang akan diperoleh bagi orang yang melakukan amal shaleh, sehingga ia terdorong untuk melakukannya. Sedangkan tarhib adalah suatu cara atau model pendekatan untuk meyakinkan seseorang terhadap ancaman Allah bagi orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, sehingga ia berusaha untuk menghindarinya.

b.    Proses  Internalisasi Nilai Keimanan di SMA POMOSDA
Proses internalisasi yang dilakukan kepada para siswa/santri di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) untuk dapat mengenal Allah  memiliki ciri khas tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu dilakukan melalui proses pemberkahan (talqin) oleh  Guru Wasithah. Di dalam proses pemberkahan tersebut, ada bai’at kepada Guru Wasithah, yang pada hakekatnya yaitu bai’at kepada Allah sendiri.  Saat pemberkahan atau pentalqinan itu Guru Wasithah menanamkan benih iman ke dalam rasa hati calon muridnya yang ditiupkan melalui telinga kirinya. Sejak itulah iman kepada Allah itu mulai muncul dan sejak itulah seorang murid itu mulai mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal.  Dengan demikian, talqin dan bai’at kepada Wasithah merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin mengenal Allah.
Secara umum proses pemberkahan (talqin) yang di dalamnya diserta dengan bai’at dalam setiap ajaran tarekat sebagaimanan yang dijelaskan pada kajian teori  itu sudah biasa. Hanya saja terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Dalam ajaran tasawuf di SMA POMOSDA pada saat pentalqinan itu ditanamkan nilai iman dengan cara dibisikkan oleh Guru Wasithah tentang Jati Diri Dzat Al-Ghaib (Allah nama-Nya), dan itulah yang harus diingat-ingat dalam hati setiap muridnya.     
Kalau kita lihat dalam ajaran Islam,  sebenarnya pelaksanaan bai’at itu sudah ada pada zaman Rasulullah Muhammad saw,  dan di dalam Al-qur’an sendiri dijelaskan.  Allah berfirman:
Bahwasanya orang-orang yang berbai’at kepadamu, sesungguhnya mereka berbai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS. Al-Fath: 10).

Abdurrahman (1993, J.1: 58) mengemukakan bahwa di dalam Hadits diceriterakan bahwa Nabi Muhammad saw telah meminta kepada para sahabatnya melakukan bai’at pada beliau lebih dari satu kali. Imam Bukhari meriwayatkan suatu Hadits yang sanadnya datang dari Ubadah ibn Ash-Shamit, sebagai berikut: 
Nabi saw memanggil kami, kemudian kami berbai’at kepadanya seraya ia berkata dalam bai’at yang diambil dari kami, bahwa kami berbai’at kepadanya untuk mendengar, menaatinya dalam keadaan suka maupun duka, kesukaran maupun kemudahan, dan telah mengarahkan kami kepada sesuatunyang terbaik, bukan sebaliknya; dan agar kami tidak mendebat penguasa, kecuali apabila merreka terlihat jelas-jelas kufur terhadap Allah dengan tanda-tanda yang terang.  

Dalam sebuah hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Utsman bin Khaitsam bahwa Muhammad bin Aswad bin Khalaf mengabarkan perihal bapaknya, Al-Aswad r.a. yang melihat Rasulullah membai’at manusia pada hari futuh Makkah. Ia berkata:
Nabi duduk di atas puncak bukit yang berhadapan, maka beliau membai’at manusia untuk membela Islam dan syahadat. Saya berkata, apakah syahadat itu? Ia berkata,  Ia mengabariku Muhammad bin al-Aswad bin Khalaf bahwa ia (Nabi) membai’at manusia  untuk iman dan syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Nabi SAW membai’at laki-laki dan wanita setelah Futuh Makkah, Hundun binti Utbah, isteri Abu Sufyan, termasuk yang dibai’at.

Dalam hadits sebuah yang lain yang datang dari Basyir bin al-Khashashiyah dijelaskan pula:
Saya mendatangi Rasulullah saw, kemudian beliau mengulurkan tangannya sambil berkata: Engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau mendirikan shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji ke baitullah, dan berjuang di jala Allah.      

Dalam salah satu Hadits yang terdapat dalam kitab At-Tasawuf Al-Islam Al-Khalis karya Abul Faidh al-Manufi hal. 74 dijelaskan bahwa: “Rasulullah Muhammad saw mentalqin (membisikkan dzikir) kepada Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, kemudian Hasan Al-Bishri juga meminta ditalkin  oleh Ali dan kata-katanya sama seperti apa yang datang dari Nabi” (Afandi, 2009: 36).
Selain itu, Syekh Abdul Qadir Jailani  dalam kitab Sirrul Asrar pasal 5 tentang taubah dan talqin menegaskan sebagai berikut:
“Ketauhilah, bahwa untuk mencapai martabat haqiqatul insan itu harus denga jalan taubatan nasuha dan dengan jalan talqin  yang diperoleh dari ahlinya, sebagaimana firman Allah: “wa alzamahum kalimatat taqwa”, dan Allah mengukuhkan kalimah taqwa kepada mereka (ahli talqin), yakni kalimah “la ilaha illallah” dengan syarat diperoleh dari hati yang taqwa dan hati yang telah bisa menafikan segala sesuatu selain Allah dan ia bukan kalimah yang diperoleh dari lisan orang awam. Meskipun lafadznya sama, tetapi maknanya berbeda-beda. Alasannya, hati itu akan hidup jika menerima benih tauhid dari hati yang hidup, maka benih itu pun akan sempurna. 
Dikatakan dalam kitab Asy-Syari’ah bahwa orang pertama yang berkehendak memperoleh jalan yang paling dekat, paling mulia, dan paling mudah bertemu Tuhan dari Nabi Muhammad saw adalah Ali bin Abi Thalib. Sesaat Nabi menunggu wahyu, maka turunlah malaikat Jibril, lalu membisikkan kalimat ini tiga kali, kemudian Nabi berkata sebagaimana apa yang dikatakan Jibril. Setelah itu, Nabi mentalqin Ali, kemudian datang kepada para sahabatnya dan mentalqin mereka (Khozin, 2009: 37).            
Dari beberapa hadits yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa bai’at itu merupakan suatu perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad saw. Karenanya, dapat dikatakan bahwa bai’at merupakan suatu prinsip ajaran Islam, dan  merupakan tradisi kenabian yang senantiasa dilakukan umat Islam sejak zaman dulu sampai sekarang. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan: “Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, bai’at tetap dilaksanakan kepada para pengganti beliau yang memperoleh petunjuk atau orang-orang tertentu yang memimpin umat Islam.
Pada pelaksanaan bai’at, seperti yang dikemukakan di atas yaitu ada suatu proses pemberkahan dan pentalqinan, yakni merupakan proses internalisasi keimanan yang dilakukan oleh Guru Wasithah pada calon murid-muridnya. Pada proses ini, guru mursyid memasukkan butiran iman kepada calon muridnya dengan cara dibisikkan  melalui telinga kirinya. Dan dari sanalah mulai muncul keimanan kepada Allah, yakni mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya. 
Proses bai’at dan talqin yang dilakukan di POMOSDA, sebenarnya dalam ajaran tasawuf dan tarekat yang berkembang di dunia Islam, khususnya di Indonesia sudah biasa dilakukan. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan seperti berikut. Salah satu contoh, bai’at dan talqin dalam Tarekat Qodiriyah seperti yang dijelaskan oleh  Isma’il (2008, J.3: 1257) dilakukan dengan tata cara sebagai berikut. Pertama, seorang mursyid mengajak calon ikhkwan yang akan melakukan bai’at atau mubaya’ah untuk membaca surat Al-fatihah. Kedua, seorang mursyid mengajak calon ikhwan untuk bersama-sama memohon ampun kepada Allah dengan dengan lafadz istighfar “Astaghfirullahal ‘adhim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atubu ilaih”. Ketiga, seorang mursyid mengajak calon ikhwan untuk mengikuti ikrar bai’ah atau mubaya’ah sebagai berikut: (1) Saya bersaksi kepada Allah, kepada para malaikat, kepada para rasul, kepada para nabi, dan kepada para hadirin di antara makhluk-makhluk Allah, bahwa sesungguhnya saya benar-benar taubat kepada Allah dari berbagai dosa yang pernah saya lakukan, (2) Saya berjanji bahwa saya akan senantiasa menyatakan halal terhadap segala sesuatu yang dinyatakan halal oleh Allah dan menyatakan haram terhadap segala sesuatu yang dinyatakan haram oleh Allah. (3) Saya berjanji bahwa saya akan senantiasa membiasakan dzikir kepada Allah dan menunjukkan kekuatan kepada-Nya sesuai dengan kemampuan saya. (4) Saya menyatakan, saya ridha bahwa syaikh dan guru kami, yakni syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menjadi syaikh saya, guru-guru beliau menjadi guru saya, tarekat beliau menjadi tarekat saya, dan saya menyadari bahwa Allah menyaksikan apa yang kami ikrarkan. Keempat, mursyid menuntun para calon ikhwan yang sedang menyatakan ikrar bai’ah untuk bersama-sama membacakan ayat Al-qur’an: “Innalladzina yubayi’unaka innama  yubayi’unallah ... “. Kelima, mursyid mengatakan kepada para calon ikhwan yang mengikuti bai’ah, “Simaklah dengan khidmat ucapan kalimah tauhid ini “la ilaha illallah”. Syaikh mengucapkan kaliamh tauhid ini tiga kali. Kemudian para calon ikhwan yang mengikuti bai’ah mengucapkan kalimah “la ilaha illallah” itu tiga kali, sehingga terasa kokoh dan mantap di dalam qalbu.
Setelah selesai melakukan lima langkah tersebut, mursyid memberikan nasihat dan pesan-pesan agar murid-murid yang baru saja mengikuti talqin atau bai’ah memperbanyak dzikir kepada Allah, baik ketika berdiri maupun ketika duduk, di waktu malam maupun di siang hari, serta senantiasa menjaga hak-hak sesama ikhwan. Proses bai’at atau talqin tersebut kemudian ditutup dengan do’a.           
Di dalam tarekat Tijaniah juga ada bai’at/talqin. Bai’at/talqin yang dilakukan  dalam tarekat Tujaniah yaitu dengan cara cara meletakkan tangan diatas tangan syaikh sambil mengenggamkan jari jemarinya di atas jari sang syaikh, seraya memejamkan mata. Kemudian sang syaikh menuntunkan kata-kata, ”Saya berjanji untuk beriltizam berwirid dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan,  kemudian sang syaikh memberikan wirid, kemudian mereka membuat kata-kata perjanjian, bai’at, berjabat tangan dan talqin.
Sesungguhnya baiat adalah sesuatu yang disyariatkan, yakni sebagaimana Rosululloh sholallahu alaihi wassalam pernah membaiat para shahabat radliallahu ‘anhum. Dengan bai’at ini, dimaksudkan agar bisa memberikan bekas (atsar) pada jiwa mereka (yang akan bergabung dengan kelompoknya), sehingga mereka bisa dikendalikan/diatur  dan mentaati hukum dan aturan sang syaikh, inilah hakekat baiat orang tasawuf taarekat.
Dari beberapa penjelasan tentang proses bai’at/talqin yang dilakukan dalam beberapa tarekat seperti di atas, terdapat suatu perbedaan yang mendasar, yakni dalam proses bai’at/talqin tersebut, tidak ada satu pun tarekat yang mengungkap tentang adanya proses penanaman nilai-nilai keimanan yang mengantarkan para muridnya untuk dapat mengenal “Dzat Allah”, melainkan semuanya hanya mengenalkan kalimah thoyyibah yakni kalimah “la ilaha illallah” saat proses pentalqinan tersebut.
Lain halnya dengan apa yang dilaksanakan di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), yang terkenal sebagai “Pondok Sufi” yang mengembangkan suatu ilmu yang disebut “Ilmu Syathariah” atau orang lain sering menyebutnya dengan “Tarekat Syathariah”. Pada proses  pentalqinan yang dilakukan oleh Guru Wasithah atau dalam istilah umum dikenal dengan mursyid, ada suatu proses penanaman benih iman, yakni mengenalkan Dzat Yang Ghoib (Allah nama-Nya)  yang dibisikkan melalui telinga kiri.          
Berkaitan dengan ini, sering ada sebuah pertanyaan, sejak kapan sebenarnya manusia itu beriman kepada Allah. Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman yang dilakukan oleh peneliti sendiri, bahwa sebenarnya iman itu mulai ada pada diri kita sejak kita ditalqin dan ditanamkan butiran iman melalui telinga kiri oleh Guru Wasithah dan dari telinga kiri itu kemudian masuk ke dalam hati. Dengan ditanamkan butiran iman itu, maka sejak itulah kita mulai mengenal Dzat Allah dan sejak itulah kita sebenarnya mulai beriman kepada-Nya. Dengan ditanamkan butiran iman ke dalam hati,  maka kita akan merasakan bahwa Allah itu dekat dengan kita dan Allah selalu bersama kita sesuai dengan apa yang dijelaskan Allah dalam Al-qur’an.
Iman dalam pandangan warga sythariah seperti yang telah dijelaskan pada uraian di atas yaitu “ma’rifatun wa tashdiqun” (mengenal Allah dan membenarkan bahwa yang mengenalkan Allah itu ialah utusan-Nya). Mengenal Allah (ma’rifatullah) yang dimaksud bukan hanya mengenal Asma dan af’alnya, melainkan betul-betul mengenal “Jati Diri” atau “Dzat” Allah itu sendiri, atau dengan kata lain ma’rifat secara hakiki.
Mengenal Allah (ma’rifatullah) merupakan dasar yang paling utama dalam beragama Islam. Dalam kajian tauhid ada ungkapan bahwa pertama kali yang wajib bagi manusia ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa mengenal Allah merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, karena tanpa mengenal Allah keimanan seseorang belumlah sempurna. Bahkan, tanpa ma’rifatullah, setiap amal tidak ada nilainya. Amal-amal tersebut akan kehilangan ruhnya. Hal ini sesuai dengan  pendapat Al-Ghazali  (1986: 7) yang menjelaskan bahwa ibadah tanpa ilmu dan tanpa ma’rifah tidak ada artinya. Ilmu dan ma’rifah merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh seseorang dalam beribadah, karena kalau tidak dia akan celaka. Artinya, ia harus belajar supaya bisa beribadah dengan baik, menempuh jalan ini sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan merenungkan sepenuhnya. Dengan belajar, bertanya kepada para ulama tentang akhirat, kepada petunjuk-petunjuk jalan, para pemuka umat, para imam, mudah-mudahan dengan demikian dapat berhasil mencapai ilmu yakin. 

c.    Proses Pembinaan Keimanan di SMA POMOSDA
Proses pembinaan keimanan untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dapat kembali kepada Allah dengan selamat yang dilakukan di SMA POMOSDA kepada para santri/siswanya, ada langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu  mujahadah (jihadunnafsi) atau memerangi hawa nafsu, yang dibarengi dengan menjalankan: (1) ibadah yang dapat dilakukan oleh anggota badan, seperti memperbanyak shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak sedekah, melakukan haji bagi yang mampu, dan memperbanyak membaca Al-qur’an, (2) memperbagus akhlak, (3) tazkiatunnafsi, dan (4) tashfiyatul qolbi. 
Pada dasasrnya, proses pembinaan seperti itu merupakan suatu hal yang biasa dalam setiap ajaran tasawuf. Pada bagian kajian teori, masalah jihadunnafsi juga sudah dijelaskan, bahwa untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah itu seseorag harus melakukan jihadunnafsi (memerangi hawa nafsu).  Hanya saja, jihadunnafsi yang diajarkan dalam tasawuf di SMA POMOSDA  memiliki cara-cara tersendiri sesuai dengan petunjuk Guru Wasithah, karena Guru Wasithah merupakan panutan bagi murid-muridnya. Kecuali itu, dalam ajaran tasawuf di POMOSDA bahwa melakukan jihadunnafsi itu dianjurkan  secara bersama-sama dan pada waktu-waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama, seperti malam Jum’at, malam Selasa, atau malam minggu dan itu sudah berlangsung sejak lama. Hal demikian, tiada lain agar semua murid dapat termotivasi untuk melaksanakannya, karena kalau melaksanakan sendiri-sendiri biasanya lebih sulit dan banyak godaannya.        
Kita sadari, bahwa melaksanakan jihadunnafsi (memerangi hawa nafsu) itu memang tidak mudah, karena hawa nafsu selalu mendorong manusia terhadap hal-hal jelek. Allah swt telah menciptakan manusia dengan hawa nafsu yang selalu membujuk dan mendorong manusia untuk melakukan kejahatan. Allah swt menjadikan hawa nafsu untuk menguji manusia sampai sejauh mana manusia bersungguh-sungguh mengabdikan dirinya kepada Allah. Nafsu itu diciptakan Allah memiliki karakteristik tidak mengenal Allah da selalu mengajak kepada kejelekan. Karena itu, nafsu tidak pernah senang menerima pembebanan atau tugas dari Allah swt apa pun bentuk dan wujud-nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Maka jika mereka tidak memenuhi permintaanmu, ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsunya sendiri. Dan siapakan orang yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsu dengan tidak ada petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim (QS. Al-Qashash: 50).          

Oleh karena itu, Nabi Muhammad pernah bersabda, bahwa “memerangi hawa nafsu merupakan perang yang paling besar”. Dikatakan perang yang paling besar, karena tidak setiap orang bisa memerangi hawa nafsunya, dan bahkan kebanyakan orang suka menuruti hawa nafsunya. Sekaitan dengan masalah ini, Imam Ali pernah berkata: Aku dan nafsuku hanyalah seperti penggembala domba. Setiap kali ia mengumpulkan domba-domba di satu sisi, maka domba-domba itu berpencar di sisi yang lain. Barangsiapa yang mengendalikan nafsunya, ia dibungkus dengan kain kafan rahmat dan dikubur di dalam tanah kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang melalaikan qalbunya, ia dibungkus dengan kain kafan laknat dan dikubur di dalam tanah siksaan (Khozin, 2009: 37).
Menurut keyakinan para sufi, tujuan tasawuf tidak akan tercapai kecuali melalui mujahadah. Karenanya, Al-Qusyairi mengatakan, “Barangsiapa pada awal perjalanannya tidak bermujahadah, ia tidak akan pernah merasakan lezatnya tasawuf. Pendapat yang sama dikemukakan syaikh Abu Ali Ad-Daqqaq, bahwa “orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya”.        
Al-Hujwiri mengatakan, bahwa jalan mujahadah jelas dan nyata, karena telah disepakati oleh semua agama dan madzhab, dan diamalkan oleh para sufi. Istilah “jihadunnafsi” terkenal di kalangan para sufi dari setiap lapisan, dan syaikh-syaikh sufi telah banyak mengungkapkan pelajaran tentang masalah ini.
Ibrahim ibn A’dham mengatakan, “Seseorang baru akan mencapai derajat kesalehan, sesudah melakukan enam hal, yaitu: (1) menutup pintu senang-senang dan membuka pintu keprihatinan, (2) menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati, (3) menutup pintu istirahat dan membuka pintu mujahadah, (4) menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga, (5) menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kesederhanaan, (6) menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian.  
 Dzunnun Al-Mishri mengatakan, bahwa kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal: (1) memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat, (2) tubuh mereka diperbudak oleh nafsu, (3) tidak henti-hentinya mengharapkan perolehan duniawi, (4) lebih suka menyenangkan makhluk, (5) memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap sunnah Rasulullah saw, (6) membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya.
Pelaksanaan mujahadah itu bermacam-macam sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Kaum sufi, membagi mujahadah menjadi dua macam sesuai dengan tingkatan iman. Pertama, orang yang ilmu dan amalnya belum berkembang, maka mujahadah mereka dalam bidang kualitas amal, yaitu dengan memurnikan dan meningkatkan amal-amal kebajikannya, sehingga benar-benar menjadi orang yang bertaqwa. Kedua, bagi orang-orang yang ilmu dan amalnya sudah berkembang, maka mujahadah mereka ditujukan untuk memperbaiki kondisi spiritual yaitu dengan menyingkirkan sifat-sifat keji dan tercela, dan menggantikannya dengan sifat-sifat yang terpuji dan mulia, agar meningkat setingkat demi setingkat, hingga akhirnya menjadi orang yang dekat dengan Tuhan.
Di dalam mujahadah bukan hanya berusaha meningkatkan amal dan kondisi spiritual, tetapi juga berusaha menyingkirkan halangan dan rintangan yang mungkin dapat menggagalkan mujahadahnya. Adapun rintangan-rintangan yang dapat mengagalkan mujahadah, sehingga tujuan murni tasawuf itu tidak tercapai, menurut para sufi ada empat hal, yaitu dunia, manusia, syetan, dan nafsu.   
Rintangan pertama adalah dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah segala yang kita miliki atau yang kita nikmati selama kita hidup, baik yang berupa benda, pangkat kekuasaan atau yang lainnya. Mujahadah terhadap dunia ini ada dua macam, yaitu tajarrud dan zuhud. Tajarrud ialah usaha untuk mengurangi perhatian dan kecintaan yang berlebihan kepada dunia, dengan mengutamakan perhatian dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan zuhudyaitu merupakan sikap hidup yang lebih mengutamakan yang lebih baik dan lebih bermanfaat, dan meninggalkan yang kurang baik dan kurang bermanfaat. Zuhudterhadap dunia yaitu diperlukan untuk meningkatkan perhatian dan membangkitkan kegairahan dalam melaksanakan ibadah, dan untuk meningkatkan perhatian nilai dan mutu ibadah yang dikerjakan.
Rintangan kedua adalah manusia. Manusia bisa menjadi penghalang bagi para pencari kesalehan, karena pergaulan dapat mempengaruhi sikap dan kepribadian seseorang. Sebaliknya, seseorang pun dapat mempengaruhi masyarakat. Agar manusia terhindar dari pengaruh negatif dalam pergaulan, diperlukan adanya usaha untuk memisahkan diri dari pergaulan yang akan mendatangkan kejahatan melalui uzlah dan memisahkan diri dari tuntutan hawa nafsu.
Rintangan ketiga adalah syetan.  Menurut Al-Ghazali, ada dua alasan yang mendorong kita untuk memerangi syetan. Pertama, karena Allah menyatakan di dalam Al-qur’an bahwa syetan adalah musuh manusia. Kedua, karena syetan telah bersumpah tidak akan pernah berhenti mencari jalan untuk menyesatkan manusia dengan berbagai cara. Untuk mengatasi tipu daya syetan, menurut al-Ghazali perlu pertolongan Allah.
Penghalang keempat adalah nafsu. Adapun yang dimaksud nafsu menurut kaum sufi adalah himpunan kekuatan yang ada pada diri manusia, yang terdiri dari kekuatan marah (emosi) dan syahwat. Tugas manusia adalah berjuang (mujahadah) untuk mengendalikan hawa nafsu. Mujahadah melawan hawa nafsu itu adalah perjuangan yang sangat berat. Kesulitan yang dihadapi dalam memerangi hawa nafsu dapat dilihat dari dua segi, yaitu (1) karena nafsu itu musuh dalam selimut yang sulit diketahui tipu dayanya, (2) walaupun nafsu itu diketahui sebagai musuh, tetapi manusia selalu mencintai dan mengikuti kehendaknya.
Metode dalam mujahadah, yaitu pertama-tama seseorang harus merasa tidak rela terhadap nafsunya sendiri dan keyakinannya bahwa sifat nafsu adalah selalu menyuruh kepada kejahatan. Dia harus tahu bahwa nafsu merupakan penghalang utama antara dirinya dan Allah. Ketika nafsu selalu mengajak kepada kejahatan, maka dia tidak merasakan kenikmatan kecuali dengan maksiat dan pelanggaran. Akan tetapi, setelah dilakukan mujahadah terhadapnya dan disucikan, maka dia akan menjadi ridha dan tidak merasa senang kecuali dengan mengajarkan ketaatan-ketaatan kepada Allah.
Selanjutnya,  seorang muslim harus dapat menyingkap aib-aib dirinya dan dia berniat tulus untuk mensucikannya. Dengan demikian,  dia tidak akan memiliki waktu untuk sibuk mencari aib-aib orang lain, dan tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menghitung-hitung kesalahan mereka. Ada juga seorang sufi yang berkata: “Jangan engkau melihat aib orang lain selama dirimu masih memiliki aib. Dan seorang hamba selamanya tidak akan pernah lepas dari aib”. Apabila seorang muslim telah mengetahui hal tersebut, maka dia akan menyapih keinginan-keinginan hawa nafsunya yang menyimpang dan kebiasaan-kebiasaannya yang jelak, lalu dia akan  memaksanya untuk melakukan ketaatan dan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Langkah berikutnya, berusaha membebaskan dirinya dari segala macam maksiat yang berkaitan dengan anggota badan yang tujuh, yakni lisan, telinga, mata, tangan, kaki, perut, dan kemaluan. Kemudian dia menghiasi ketujuh anggota badan tersebut dengan melakukan ketaatan-ketaatan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ketujuh anggota badan ini merupakan jendela-jendela yang menghubungkan ke hati. Apabila yang dilimpahkan oleh ketujuh anggota tubuh ini ke dalam hati adalah kegelapan, maka hati akan menjadi keruh dan sakit. Sebaliknya, apabila yang dilimpahkannya adalah cahaya ketaatan, maka hati akan bercahaya dan sembuh dari sakitnya.
Setelah itu dilakukan, lalu berpindah untuk melakukan mujahadah terhadap sifat-sifat batin, yakni sifat-sifat batin yang buruk, seperti sombong, ria, marah, dan lain-lainnya, dan berusaha menggantinya dengan sifat-sifat yang terpuji, seperti tawadhu’, lkhlash, penyantun, dan lain-lainnya.
Berkaitan dengan hal di atas, seorang sufi Abul Qasim al-Junaid pernah ditanya, “kapan jiwa itu bisa memperoleh harapan?”. Dia menjawab, jika penyakitnya menjadi obat kesembuhannya. Dia ditanya lagi, lalu kapan penyakitnya menjadi obat kesembuhannya? Dia menjawab, jika hawa nafsunya ditentang. Abu al-Malik Al-Asy’ari berkata: “Pahala tidak saja diberikan karena keberhasilanmu mengalahkan musuh. Ia juga diberikan karena kegigihanmu dalam menaklukkan nafsu”.  Pendapat ini didasarkan kepada sabda Nabi bahwa “orang yang kuat adalah orang yang mampu menaklukkan hawa nafsunya”.
Seorang sufi lainnya, Yunus bin Abdillah dengan manisnya memberikan komentar kepada orang-orang yang berhasil menaklukkan hawa nafsunya. Dia berkata: Dunia ini dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban. Di antara yang paling ajaib ialah  orang yang selamat dari rayuan jiwanya. Aku tidak merasa heran terhadap orang yang banyak melakukan ibadah malam dan puasa sunnah, namun aku sangat kagum kepada orang yang mengurungkan niat untu melakukan maksiat, sedang nafsunya terus menerus mendorongnya. Aku tidak heran terhadap orang yang selalu melakukan ketaatan, sebab ketaatan punya ukuran yang jelas. Namun, aku sangat kagum kepada orang-orang yang selalu menghindarkan diri dari kemaksiatan. Sebab, untuk menghindari kemaksiatan tidak ada ukurannya. Nafsu manusia itu ibarat seekor anjing, jika ia diberi makan ia menggonggong, dan jika tidak pun ia tetap menyalak (Isa, 2010: 74). 
Peperangan itu ada dua macam, yaitu perang lahir dan perang batin. Perang lahir yaitu memerangi orang-orang kafir yang menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dengan mengangkat pedang, panah, dan tombak dengan pilihan membunuh atau dibunuh. Sedangkan perang batin yaitu memerangi hawa nafsu, watak, keinginan syetan, taubat dari maksiat dan meninggalkan segala sesuatu keinginan terhadap yang haram. Perang batin lebih berat daripada perang lahir, sebab perang batin dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang. Betapa tidak, perang batin itu menuntut manusia untuk memutuskan segala keinginan hawa nafsu yang diharamkan, kemudian menjalankan perintah agama dan meninggalkan segala larangan-Nya. Barangsiapa yang mengikuti Allah dalam dua peperangan tersebut, maka dia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Luka yang diperoleh orang yang mati syahid tak ubahnya seperti aliran darah pada tangan kalian, sama sekali tidak menyisakan rasa sakit, sedangkan kematian bagi seseorang yang melawan hawa nafsunya dan bertaubat dari dosa-dosanya, tak ubahnya seperti air segar yang diminum oleh orang-orang yang sedang kehausan (Al-Jailani, 2010: 114).
Berkaitan dengan jihadunnafsi, bahwa Allah swt telah menciptakan manusia dengan hawa nafsu yang selalu membujuk dan mendorong manusia kepada tindak kejahatan. Allah swt memberikan hawa nafsu untuk menguji sampai sejauh mana kita bersungguh-sungguh mengabdikan diri kepada Allah. Di samping itu, Allah swt juga menjadikan dan memberikan kebodohan, kezholiman dan kebakhilan sebagai karakteristik manusia yang sangat menonjol. Karena itulah nafsu manusia selalu tidak pernah senang menerima pembebanan atau tugas dari Allah swt apa pun bentuk dan wujudnya (Bya, 2006: 325).
Oleh karena itu, perang tebesar atau jihad terbesar yang dialami oleh setiap manusia adalah perang melawan hawa nafsu.  Kedekatan dengan Allah tidak akan tercapai jika hawa nafsu masih mendekam di dalam jiwa manusia. Sehubungan dengan itu, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: Aku dan nafsuku hanyalah seperti penggembala domba. Setiap kali ia mengumpulkan domba-domba di satu sisi, maka domba-domba itu berpencar di sisi yang lain. Barangsiapa yang mengendalikan nafsunya, ia dibungkus dengan kain kafan rahmat dan dikubur di dalam tanah kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang melalaikan kalbunya, ia dibungkus dengan kain kafan laknat dan dikubur di dalam tanah siksaan” (Bya, 2006: 326).
Sebagai upaya menyucikan jiwa, selain harus melakukan hal-hal seperti di atas,  juga harus menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri kita dengan cara-cara sebagai berikut: (1) Menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang tidak baik,  (2) Bersikap jujur, (3) Memegang amanah, (4) Memelihara sifat wara’, (5) Memelihara budaya malu, (6) Menanamkan sifat tawadhu’, (7) Suka memberi maaf, (8) Senantiasa bersyukur, (9) Sabar dalam segala hal, (10) Tawakkal sepanjang hayat, (11) Ridha terhadap taqdir Allah (Bya, 2006: 339).
Berkaitan dengan memerangi hawa nafsu,  Jaho berkata: Wahai manusia, taatlah kepada perintah Allah dan jangan taat kepada perintah hawa nafsu yang akan merugikan dan menghancurkanmu. Ketauhilah olehmu, bahwa hawa nafsu itu merupakan  musuh, dan yang namanya musuh pasti akan terus menerus berusaha  menghancurkan lawannya. Jangan memberi kesempatan terlalu banyak kepada musuh yang satu ini, sehingga membahayakan kedudukanmu. Lebih sulit lagi adalah bahwa hawa nafsu itu adalah  musuh yang memakai jubah sahabat. Kita membencinya, tapi kita juga memerlukannya. Jika kita tidak memiliki nafsu, tentu kita tidak suka kepada makanan dan minuman yang merupakan faktor utama untuk menguatkan badan(Jaho, 2002: 28).
Yang dimaksud dengan menjauhi hawa nafsu adalah menjauhi perintahnya yang keji dan jahat. Sebab, secara alamiah nafsu memag memiliki sifat yang senantiasa menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan keji. Oleh karena itu, jangan biarkan hati kita terlampau cinta kepada faktor-faktor keduniaan, seperti harta, anak-anak dan isteri, karena semua itu bisa menjadi fitnah yang besar bagi diri kita. Oleh karena itu, ambillah dari dunia ini sekedar yang dapat menguatkan badanmu untuk beribadah. Puaslah dengan kadar yang sederhana dan jangan mengejar tambahan di luar batas keperluanmu.    
Sebagai wujud dari jihadunnafsi (memerangi hawa nafsu), yang dilaksanakan di POMOSDA, maka setiap santri/siswa harus ada hal-hal kongkrit yang harus dijalankan yaitu, (1) bagaimana kita  berupaya menjalankan syari’at yang telah ditetapkan oleh Guru Wasithah, (2) berusaha untuk memperbagus akhlak, (3) berusaha untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, dan (4) berusaha untuk menjernihkan hati dengan diisi dan dipenuhi dzikirullah (selalu ingat kepada Allah), sehingga dengan selalu berdzikir kepada Allah tidak tersisa ruang di dalam hati untuk selain Allah.
Di dalam perwujudan menjalankan syari’at dalam kehidupan sehari-hari, dalam ajaran tasawuf di POMOSDA berbeda dengan ajaran-ajaran pada umumnya. Syari’at yang harus diikuti ialah syari’at  yang telah ditetapkan oleh Guru Wasithah,  karena Guru Wasithah itu merupakan pengganti dan penerus  rasul yang ada saat ini yang harus dijadikan panutan oleh para murid-muridnya.   
Dalam tazkiyatunnafsi, yaitu bagaimana seorang murid itu berusaha membersihkan hatinya dari berbagai macam penyakit hati, seperti takabbur, riya, sum’ah, hasud, dholim, dan lain-lainnya. Karena semua itu merupakan  penyakit hati yang sangat berbahaya, maka harus dibersihkan dengan cara menghilangkan penyakit hati dalam dalam diri masing-masing juga harus berdasarkan petunjuk dari Guru Wasithah.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa manusia itu merupakan makhluk yang terdiri atas jasad dan jiwa. Namun, hakikat manusia itu sesungguhnya terletak pada jiwanya, karena jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan jiwa, manusia bisa merasa, berpikir, dan berbuat. Bahkan, keselamatan dan kebahagiaan manusia itu tergantung pada kesucian jiwanya. Kesucian jiwa itu dalam tasawuf biasa disebut dengan istilah "tazkiyah al-nafs".
Tazkiyah al-nafs merupakan proses penjernihan atau pembeningan hati agar tembus cahaya dari Allah. Pandangan ini didasari oleh argumentasi bahwa hati itu ibarat kaca, sedangkan dosa dan kejelekan itu ibarat noda yang mengotori kebeningan kaca. Dari ungkapan itu dapat dipahami bahwa tazkiyah al-nafs itu merupakan proses pensucian kotoran batin atau proses menghilangkan sifat-sifat jelek yang merintangi jiwa dalam berhubungan dengan Allah,  kemudian mengisinya  dengan sifat terpuji, serta mengobatinya agar hidup menjadi bermakna, baik dalam berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, maupun dengan sesama manusia.
Solihin menjelaskan bahwa Tazkiyah al-nafs itu terkait dengan tujuan hidup manusia, yakni untuk memperoleh kebahagiaan jasmani dan ruhani. Kebahagiaan ini merupakan kesempurnaan jiwa, dan kesempurnaan jiwa itu sendiri tergantung pada kesuciannya. Sedangkan yang menghalangi kesempurnaan jiwa itu ialah noda yang diakibatkan oleh sfat-sifat jelek manusia. Pada dasarnya, manusia itu secara fitrah adalah suci, namun setelah bersatu dengan badan, ia menjadi terpengaruh oleh tuntutan badan sebagai dorongan dari nafsu. Oleh karena itu, bagi yang ingin memperoleh kesempurnaan jiwa dan keharmonisan hubungan dengan Tuhan, maka harus menempuh tazkiyah al-nafs. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum, tujuan tazkiyah al-nafs adalah untuk memperoleh kesucian dan kesempurnaan jiwa agar bisa berhubungan harmonis dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk Allah lainnya (Isma’il, 2008: 1320).
Adapun tujuan khusus dari tazkiyah al-nafs menurut Solihin  adalah: (1) pembentukan manusia yang berjiwa suci, bersih akidahnya, dan luas ilmunya, (2) membentuk manusia berakhlak mulia, (3) membentuk manusia yang terbebas dari perilaku tercela dan dipenuhi akhlak mulia. Sedangkan tazkiyah al-nafs dalam pandangan para sufi memiliki urgensi yang berbeda, yang pada umumnya adalah seperti berikut: (1) Tazkiyah al-nafs itu akan mendatangkan kebahagiaa bagi manusia, (2) Dapat mengembalikan jiwa manusia kepada fitrah-nya, (3) Kesucian akal, (4) kedisiplinan, keteguhan, dan kebesaran jiwa, (5) Memperoleh ilmu, dzawq, dan kasyf (Isma’il, 2008: 1321).
Untuk dapat merealisasikan tazkiyah al-nafs dalam kehidupan sehari-hari ada langkah-langkah yang harus ditempuh oleh orang yang akan melakukannya.  Menurut Solihin, langkah-langkah tersebut meliputi dua tahap. Pertama, adalah takhalli (mengosongkan sifat-sifat jelek). Kedua,  adalah tahalli (mengisi dengan sifat-sifat terpuji). Tahap takhalli dilakukan dengan mengekang induk sifat-sifat buruk, seperti tamak, nafsu seks, berkata berlebihan, amarah yang tak terkendali, iri hati, dendam, cinta dunia, cinta harta, bakhil, cinta pengaruh, kemegahan, kesombongan, kecongkakan, dan delusi (penipuan diri sendiri). Sifat-sifat ini dinamakan sifat al-madzmumah yang menjijikan (khabaits fi al-nafs), dan karenanya menjadi penyakit hati yang dapat merusak jiwa manusia. Pengikisan terhadap sifat-sifat buruk itu dianggap sebagai langkah pertama dalam tazkiyah al-nafs.
Tazkiyah al-nafs hanya akan lengkap, jika semua sifat buruk di atas telah dapat ditinggalkan. Untuk menopang itu, maka perlu analisa "interkoneksi" dari sifat-sifat buruk. Interkoneksi yang dimaksud adalah munculnya satu sifat buruk tertentu, dan bisa jadi sebagai akibat dari saling berhubungannya berbagai sifat buruk lainnya yang terdapat dalam jiwa.  Dan perbuatan buruk itu akan memberikan pengaruh jelek pada jiwa. Selain analisis interkoneksi, juga perlu analisis "relasi melingkar" antara jiwa dan badan. Maksudnya, jika seseorang berbuat buruk, maka sifat buruk yang merupakan asal perbuatan itu akan menjadi bertambah kuat (Isma’il, 2008: 1323).
Haqqi, menjelaskan bahwa jalan yang harus ditempuh bagi orang yang akan menempuh kehidupan tasawuf yaitu harus berusaha agar mampu mengatasi kecenderungan hawa nafsunya yang sering mengajak berbuat buruk, merehabilitasi hati yang masih berat menyikapi perbuatan baik untuk menaikkan prestasi rohani yang selalu ingin mengikuti tuntunan Rasulullah dan jejak para Sahabatnya yang mulia. Inilah yang disebut dengan "Al-Takhalli min al-radzail" (membersihkan diri dari sikap dan perilaku buruk) dan "al-tahalli bi al-fadhail" (menghiasi diri dengan sikap dan perilaku baik) (Majhuddin, 2010: 193).
Sebagai upaya nyata yang harus dilakukan oleh calon peserta tasawuf sebelum memasuki dunia tasawuf sekurang-kurangnya harus menempuh  lima macam  persoalan yang disebut dengan istilah "khamsu al-maqashid li al-mutasawwif", yaitu: (a) Harus berusaha membersihkan dirinya dari segala macam dosa kecil dan dosa besar, dengan cara istighfar sebanyak-banyaknya dan selalu mengendalikan dirinya dari perbuatan dosa; (b) Selalu berkonsentrasi kepada perintah Allah; (c) Konsisten dalam sikap faqir atau menfaqirkan diri; (d) Selalu menempatkan rasa kasih sayang dan kecintaan dalam hati; (e) Selalu menghiasi diri dengan sikap dan perilaku baik;
Lebih lanjut Haqqi menjelaskan bahwa lima macam sikap  dan perilaku calon peserta Tasawuf itu harus dimatangkan terlebih dahulu bersamaan dengan proses pencarian calon pembimbing tarekat dengan cara muraqabah dan muhasabah, yaitu suatu upaya untuk selalu mengawasi diri dan mengendalikan segala perbuatan. Sedangkan pengawasan dan pengendalian diri selalu dilakukan, bukan hanya ketika masih berstatus sebagai calon peserta Tasawuf, tetapi hingga sudah memasuki perjalanan Tasawuf, sikap muraqabah dan muhasabah tetap selalu dilakukan, sampai peserta Tasawuf mencapai ma’rifah sebagai tujuannya. Jadi, muraqabah dan muhasabah yang selalu dilakukan oleh peserta Tasawuf pada tahapan proses pencarian mursyid itu disebut sebagai "muraqabah wa al-muhasabah fi darajati rajulin thalibi al-mursyid". Sedangkan muraqabah dan muhasabah yang selalu dilakukan peserta Tasawuf setiap langkah dalam perjalanan Tasawuf disebutnya sebagai "muraqabah wa al-muhasabah fi darajati rajulin saliki al-maqamat". Karena itu, al-muraqabah dan al-muhasabah dalam tahapan ini disebut juga dengan "hal" (kondisi rohani peserta tasawuf), yang selalu mendampingi tingkatan maqam pertama yaitu maqam taubat.
Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, selain melakukan tazkiyatunnafsi juga harus melakukan berbagai riyadhah yang telah ditetapkan oleh Guru Wasithah.
 Dalam melakukan mujahadah dan riyadhah, sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah juga harus dibarengi tashfiyatul qalbi. Tashfiyatul qalbi itu ialah menjernihkan hati dari berbagai macam pikiran urusan keduniaan dengan berusaha untuk selalu mengingat-ingat  Allah dalam hatinya, kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan apa saja. Hal seperti itu tidaklah mungkin bisa dilakukan oleh orang yang belum mengenal Allah, bahkan bagi orang yang sudah mengenal Allah pun sangat sulit hatinya untuk selalu mengingat Allah. Oleh karena itu, belajar Ilmu Ma’rifah kepada Guru yang hak dan sah wajib hukumnya bagi setiap muslim, karena melalui ilmu inilah seseorang akan mengenal Allah, sehingga dapat mengingat-ingatnya.
Mengingat Allah dalam hati merupakan suatu perintah dari Allah. Di dalam Al-qur’an surat Ali Imran 191, Allah pun menjelaskan bahwa sebagai ciri “Ulul Albab” itu ialah orang-orang yang selalu mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.
Di dalam suatu riwayat diceriterakan, bahwa ketika ayat ini turun, Rasulullah semalaman menangis. Kenapa menangis, karena beliau sangat khawatir bahwa  umatnya tidak akan mampu untuk selalu mengingat Allah dalam hatinya. Bagi yang mendapat rahmat dan kasih sayang Allah, kemudian ia mampu mengingat Allah dalam hatinya, baik siang maupun malam, tentu akan memperoleh keutamaan yang besar  bagi dirinya. Di dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: “Aku ini tergantung kepada dugaan hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku, maka Aku akan ingat kepadanya. Jika ia ingat kepadaku satu jengkal, maka Aku akan ingat kepadanya satu hasta. Jika ia ingat kepada-KU satu hasta, maka Aku akan ingat kepadanya satu depa”. Tentu selain itu, banyak lagi keutamaan-keutamaan yang akan Allah berikan kepada orang-orang yang selalu mengingat-Nya.
Berkaitan dengan keutamaan dzikir, Abdullah Khozin (2009: 61), menjelaskan, bahwa dalam sebuah Hadits Nabi  Abu Sa’id al-Khudri berkata:
Seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya berkata: Wahai Nabi, nasehatilah saya. Nabi menjawab: Kamu harus taqwa kepada Allah, karena taqwa itu mengumpulkan semua kebaikan, kamu harus melakukan mujahadah, karena sesungguhnya mujahadah itu adalah cara ibadah umat Islam, dan kamu harus berdzikir kepada Allah, karena sesungguhnyadzikir itu nur (cahaya) bagimu.  

Imam Ali bin Abi Thalib dalam syarah Nahjul Balaghah, Muj. VI, juz 11 hal. 176  berkata:
Sesungguhnya Allah SWT menjadikan dzikir itu menjadi sinar penerang hati. Dengan dzikir itu hati dapat mendengar setelah tertutup sebelumnya, hati melihat setelah tertutup sebelumnya. Dengan dzikir itu hati terselamatkan setelah sebelumnya ingkar, dan dengan dzikir itu Allah tak henti-hentinya menjaga hamba dari ancaman-ancaman pada setiap waktu dan pada masa-masa sulit.

Keutamaan dan manfaat dzikir itu banyak sekali, di antaranya: (1) Dapat memberikan keselamatan di dunia dan akhirat, (2) Dapat memberikan ketenangan dan ketenteraman, (3) Dapat memberikan keberuntungan, (4) Dapat menghilangkan kemunafikan, (5) Dapat mengusir syetan dan pengaruhnya atas qalbu, (6) Merupakan amal yang paling baik, suci, dan agung, (7) Dapat membersihkan karat-karat qalbu, (8) Dapat menguatkan jiwa yang lemah (melindas sifat pengecut dan kikir digantikan dengan pengorbanan dan keberanian), (9) Dapat mendatangkan kemaslahatan diri dan merawatnya (selalu berorientasi pada hal-hal yang positif) (Solikhin, 2004: 213).
Sesungguhnya dzikir itu merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena melalui dzikir kita dapat melakukan musyahadah, muraqabah, dan mukasyafah.   Melalui dzikir kita dapat membersihkan hati dan pikiran dari segala sesuatu selain Allah, dan dengan dzikir hati akan menjadi tenteram. Allah berfirman: “Orang-orang yang beriman hati mereka akan merasa tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allahlah hati akan menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du: 28).
Para salik atau orang yang melakukan perjalanan rohani  menuju Tuhan memandang dzikir itu sebagai buah cinta seorang hamba kepada Khaliknya. Dalam berbagai kitab tasawuf dikatakan bahwa orag yang berdzikir dengan benar adalah orag yang sedang rindu. Rindu artinya cinta yang mendalam. Jadi mngingat Allah pada dasarnya merupakan bentuk kecintaan kita kepada Allah. Dalam suatu riwayat diceriterakan bahwa pada suatu ketika Nabi Isa berkata kepada kaumnya: “Wahai Kaum Hawariyyin, bicaralah kepada Allah dengan banyak, dan bicaralah kepada manusia dengan sedikit”. Mereka bertanya, bagaimana kami berbicara kepada Allah secara banyak?. Nabi Isa berkata, berkhalwatlah bersama-Nya dengan cara bermunajat kepada-Nya, berdzikir dan berdo’alah kepada-Nya.
Ibnu Athaillah berkata: “Dzikir adalah menghilangkan lupa dan lalai dengan cara melanggengkan hadirnya hati kepada Allah”. Karenanya, maka para ahli kalam berdzikir, ahli fiqh berdzikir, bahkan alam semesta dan semua makhluk Allah pun berdzikir, hanya saja kita tidak mampu menangkap bahasa mereka ketika mereka berdzikir dan bertasbih (Bya (2006: 498).  Selain itu, tentu banyak lagi keutamaan-keutamaan berdzikir kepada Allah. Maka oleh karena itu, bagi siapa saja yang ingin mendekatkan diri kepada Allah agar  bisa sampai kepada Allah, maka tidak boleh tidak harus berusaha berdzikir dalam hatinya setiap saat, di mana saja, kapan saja, dan sedang apa saja.       
  

a.    Kondisi Keimanan Para Santri  Berbeda-beda
Sebagaimana telah dijelaskan pada badian temuan penelitian, bahwa kondisi keimanan para santri dan alumni setelah diberkah itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka. Apabila dikaitkan dengan apa yang telah dikemukakan pada kajian teori tentang “Al-Ahwal”, memang  sangat relevan bahwa bagi orang yang menempuh kehidupan tasawuf itu, terutama apabila mereka sudah dianggap mengenal Allah, akan merasakan kondisi spiritual tertentu sesuai dengan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka masing-masing.  Di atas, telah dikemukakan bahwa kondisi spitual para santri di POMOSDA setelah mengenal Allah melalui pemberkahan dan setelah melalui proses pembinaan itu, yaitu: (1) Merasakan kedekatan dengan Allah, (2) Bisa mengingat Allah kapan saja dan di mana saja, (3)  Selalu Merasa Berada dalam Pengawasan Allah, (4) Taat dalam beribadah kepada Allah dan merasa takut untuk berbuat maksiat.
Pertama, merasa dekat dengan Allah. Di dalam Al-qur’an dijelaskan, bahwa  keberadaan Allah itu dekat dengan manusia. Allah berfirman: “Dan apabila hambaku bertaya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku itu dekat. Aku akan mengabulkan do’anya orang-orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku” (QS. Al-Baqarah: 185). Walaupun Allah itu dekat dengan kita dan selalu bersama kita, tapi bagi mereka yang belum mengenal Allah, mereka tidak akan merasakah hal itu.
Seseorang yang telah mencapai hakikat dan ma’rifat akan merasakan bahwa Allah sangatlah dekat dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah bahwa: "Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi yang ada di leher" (QS. Qaf: 16). Urat nadi leher itu berada di dalam tubuh manusia itu sendiri, dan menjadi satu kesatuan dengan tubuhnya, dan Allah lebih dekat lagi daripada itu. Dan itu hanya akan dirasakan oleh orang yang mengenal Allah seyakin-yakinnya. Seseorang yang mengenal Allah akan paham sekali bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya apa pun, yang ada hanya daya dan upaya Allah sendiri, sehingga semangat "la haula wala quwwata illa billah" menjadi keutamaannya. Akibatnya, apabila dia pada kenyataannya dapat melakukan kegiatan kehidupannya (berpikir, beribadah, bekerja, berkeluarga, dan lain sebagainya), maka kegiatan itu semua dirasakannya sebagai kehendak Tuhan, bukan kehendak pribadinya.
Kedua, bisa mengingat Allah kapan saja dan di mana saja. Mengingat Allah (dzikrullah) pada dasarnya merupakan salah satu perintah Allah kepada setiap orang yang beriman. Allah firman: “Dan ingatlah kepada Tuhanmu di dalam hatimu dengan merendahkan hati, dan dengan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, baik di pagi hari maupun di sore hari” (QS. Al-A’raf: 205). Selain itu, Allah juga menjelaskan bahwa ciri-ciri ulul albab itu ialah mereka yang mengingat Allah, baik ketika  berdiri, duduk maupun ketika berbaring (QS. Ali Imran: 191). Yang dimaksud mengingat Allah dalam ayat itu menurut pandangan kaum Syathariah ialah mengingat Dzat Allah itu sendiri. Oleh karena itu,  bagi orang yang belum mengenal Allah atau mencapai al-arif billah, mengingat Dzat Allah itu tidak akan bisa dilakukan.
Ketiga, selalu merasa berada dalam pengawasan Allah. Bagi seseorang  yang sudah mengenal Allah mereka merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah dimana saja dan kapan saja. Perasaan seperti ini tumbuh, karena mereka yakin bahwa Allah itu dekat dengan dirinya dan selalu mengawasinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu” (QS. Al-ahzab: 52). Pada ayat yang lain, Allah pun menjelaskan: “Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala yang ghaib” (QS. At-taubah: 78).  
Dengan memiliki kondisi bahwa mereka selalu berada dalam pengawasan Allah, maka lahirlah apa yang disebut Ihsan, yakni menyembah Allah seakan-akan kita melihat Allah, walaupun kita tidak melihat Allah, maka sesungguhnya Allah melihat kita. Dengan demikian, maka tumbuhlah suatu bentuk ketaatan kepada Allah dan selalu menjauhi larangan-larangan-Nya.  
Ketiga, taat dalam beribadah kepada Allah dan takut berbuat maksiat. Bagi seseorang yang sudah mengenal Allah akan tumbuh suatu kondisi spiritual seperti yang telah dijelaskan di atas, yakni merasakan kedekatan dengan Allah, merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, dan merasakan selalu berada dalam pengawasan Allah. Dengan adanya kondisi spiritual seperti itu, maka muncullah suatu sikap dan perilaku berupa ketaatan dalam beribadah kepada Allah swt, dan  menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah  tersebut, mereka berusaha untuk  melaksanakan apa-apa yang dicontohkan oleh Guru Wasithah sebagai pengganti dan pelanjut Rasulullah. Di antaranya menjalankan shalat lima waktu dengan sunah-sunahnya yang jumlahnya lebih dari 50 rakaat dalam sehari semalam. Dalam melaksanakan shalat tersebut, mereka tidak pernah merasa keberatan, karena memang mereka dituntut untuk selalu itba’ kepada Guru Wasithah.

4.    Evaluasi Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Untuk dapat mengukur pencapaian kompetensi peserta didik dalam  Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA sebagaimanan telah dijelaskan pada temuan penelitian di atas, yaitu dilakukan dengan berbagai teknik penilaian, berupa tes, observasi, dan tugas perorangan atau kelompok.
Tes terdiri atas tes tertulis dan tes lisan. Tes tertulis dilakukan dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Bentuk soal ulangan dirancang dalam bentuk essay dan pilihan ganda. Observasi dilakukan di dalam kelas dan di luar kelas, khususnya yang berkaitan dengan akhlak mulia dan kepribadian. Adapun tugas yaitu terdiri atas tugas harian (PR) dan tugas proyek.
Secara umum, sebagaimana yang telah dijelaskan pada kajian teori bahwa evaluasi untuk mengukur keberhasilan Pendidikan Keimanan dalam kurikulum berbasis kompetensi itu ialah dengan penilaian kelas, tes, kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan, dan penilaian program. Penilaian kelas dilakukan melalui ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penilain berbasis kelas adalah valid. Mendidik, berorientasi pada kompetensi, adil, terbuka, berkesinambungan, menyeluruh, dan bermakna.
Melihat kedua macam evaluasi yang dilakukan dalam Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA  dan Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah lainnya, khususnya di Madrasah Aliyah pada dasarnya hampir sama, yaitu ada tes yang berupa ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir, penugasan, dan perilku sehari-hari. Ada hal yang sedikit berbeda dengan sekolah pada umumnya, dan itu tidak akan bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah yang tidak berasarama, yakni untuk mengukur keberhasilan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yaitu melalui suatu observasi yang berkaitan dengan akhlak mulia dan kepribadian sehari-hari terhadap santri/siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas selama para santri/siswa berada di asrama/pondok. Penilaian akhlak mulia dan kepribadian tersebut dilakukan melalui pengamatan guru dan laporan dari  pembimbing kamar, guru BP dan pengurus-pengurus lainnya tentang perilaku santri/siswa dalam ketaatan beribadah, dalam pergaulan sehari-hari, dalam bertutur kata, dan lain-lainnya.
Evaluasi akhlak mulia dan kepribadian ini sangat penting dalam Pendidikan Keimanan, karena iman itu bersifat abstrak dan tidak bisa hanya diukur dengan tes, baik lisan maupun tulisan, yang hanya menekankan kepada aspek kognitif. Untuk mengukur aspek afektif harus dilakukan melalui perilaku sehari-hari.  Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ramayulis (2011: 220) bahwa: “Evaluasi dalam pendidikan Islam itu dibutuhkan dalam berbagai kegiatan kehidupan manusia sehari-hari”. 
Kegiatan kehidupan manusia sehari-hari ini tentunya meliputi bagaimana akhlaknya, bagaimana ibadahnya, dan lain-lainnya.  Untuk mengukur ketaatan beribadah, dapat dilihat bagaimana shalatnya, baik yang wajib maupun yang sunnah, termasuk apakah ia suka bangun malam untuk tahajjud atau tidak. Untuk mengukur akhlaknya dalam kehidupan sehari, dapat dilihat bagaimana cara  dalam bertutur kata, dalam berpakaian, dalam pergaulan maupun dalam hal-hal lainnya.
Apa sebenarnya evaluasi itu dan fungsi evaluasi itu dalam sebuah pembelajaran. Evaluasi menurut  Thoha (Ramayulis, 2011: 221) merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh kesimpulan. Sedangkan yang dimaksud evaluasi  pendidikan menurut Lembaga Administrasi Negara yaitu: (a) Proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan  tujuan yang telah ditemukan, (b) Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan (Ramayulis, 2011: 222).
Bertitik tolak dari pengertian di atas, dapat dikembangkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, apa yang belum dan apa sebabnya.  Jadi, evaluasi dalam proses pendidikan mengandung makna pengukuran dan penilaian. Adapun yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan Islam, yaitu  merupakan suatu cara penilaian tentang tingkah laku peserta didik dengan didasarkan kepada standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual religius, karena sosok pribadi yang diharapkan dari hasil pendidikan Islam adalah sosok pribadi yang religius,  berilmu dan juga berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya. Sasaran-sasaran daripada evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar peserta didik, yaitu: (a) Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya, (b) Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat, (c) Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya, dan (d) Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakatnya (Arifin,1991: 238).
Keempat kemampuan dasar tersebut dijabarkan dalam klasifikasi kemampuan teknis menjadi masing-masing sebagai berikut:
a.    Sejauh mana loyalitas dan kesungguhannya mengabdikan dirinya kepada Tuhannya dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tinglah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.
b.    Sejauhmana ia selaku manusia hasil dari pendidikan Islam mampu menerapkan nilai-nilai agamanya dalam kegiatan kehidupan di masyarakat, seperti berakhlak mulia dalam pergaulan, disiplin dalam menjalankan norma-norma agama dalam kaitannya dengan orang lain.
c.    Bagaimana ia berusaha mengelola dan memelihara serta menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
d.    Bagaimanakah ia sebagai seorang muslim memandang dirinya sendiri dalam berperan sebagai hamba Allah yang harus hidup menghadapi kenyataan dalam masyarakat yang beraneka ragam budaya,  suku, dan  agama.         
Dari uraian  di atas, dapat dipahami bahwa untuk mengukur Pendidikan Keimanan sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam tidak bisa diukur hanya dari aspek kognitif berupa kemampuan dan penguasaan teori-teori keimanan, melainkan harus ada evaluasi yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari yang berkaitan dengan akhlak mulia dan kepribadiannya, yang meliputi  ketaatannya dalam menjalankan ibadah, pergaulannya dengan sesama kawan, cara-cara bertutur kata, cara berpakaian, dan lain-lainnya. 
         
C.  Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pendidikan Keimanan di Persekolahan
1. Implikasi Filosofis
Berbicara tentang pendidikan tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang  manusia itu sendiri, khususnya tentang fitrah dan tujuan hidupnya. Pengetahuan tentang fitrah dan tujuan hidup  manusia merupakan bagian yang amat esensial dalam pembicaraan tentang pendidikan, karena dalam proses pendidikan manusia bukan saja objek, tetapi juga sekaligus subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dalam pendidikan dapat direncanakan secara matang. Manusia itu merupakan makhluk yang unik yang berbeda dengan makhluk lainnya, baik dari segi jasmani maupun rohaninya. 
Murthada Mutahari melukiskan gambaran Al-qur’an tentang manusia, bahwa manusia itu sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya tertanam sifat mengakui Tuhan, memiliki rasa tanggung jawab, baik  terhadap dirinya maupun terhadap alam semesta, serta dikarunia keunggulan untuk menguasai alam semesta. Manusia juga dibekali sifat kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan’ Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Walaupun begitu, manusia sering kali melupakan hakekat dirinya sebagai hamba Allah. Manusia sering bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasa congkak dan takabur terhadap Allah swt (Ramayulis, 2011: 2).
Oleh karena itu, dalam rangka menyadarkan manusia akan kedudukannya sebagai hamba Allah, yang dalam Al-qur’an terdapat pernyataan agar manusia mau berpikir tentang asal kejadiannya. Salah satu contoh, Allah berfirman: “Apakah manusia tidak memperhatikan, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani. Maka tiba-tiba ia menjadi penentang yang nyata” (QS. Yasin: 77).
Manusia itu merupakan makhluk paedagogik yakni makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik, sehingga mampu menjadi hamba Allah di muka bumi sebagai pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan potensi dasar berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan keterampilan yang dapat berkembang  sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Manusia dikaruniai fitrah yang berasal dari fitrah Allah sendiri (Sudiyono, 2009: 1). Manusia dalam proses pendidikan adalah inti utama. Ini dapat dipahami dengan mudah dari kenyataan bahwa pendidikan itu berkepentingan untuk mengarahkan manusia kepada tujuan-tujuan tertentu.
Seorang pendidik akan terbantu dalam profesinya, jika ia memahami dan memiliki gagasan yang jelas tentang fitrah dasar manusia sebagaimana halnya tukang pandai besi atau pelukis yang harus mengenal karakteristik material yang dihadapinya. Praktek-praktek pendidikan akan mengalami kegagalan apabila tidak dibangun atas dasar konsep yang jelas mengenai fitrah dasar manusia (Shalih, 1991: 67).
Fitrah dasar manusia itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri. Allah berfirman: “Maka hadapkanlah dirimu kepada agama dengan lurus, itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu” (QS. Ar-Rum: 30). Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa fitrah dasar manusia itu adalah “Sirr” (rasa) yang ditempatkan di dalam hati yang berasal dari “Nur Muhammad”, yakni “Cahaya terpuji-Nya Allah”. Rasa ini tugasnya merasa-rasakan keberadaan Diri-Nya Ilahi dengan cara mengingat-ingat-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana saja, kapan saja, dan sedang apa saja. “Rasa” sebagai fitrah dasar manusia yang ditempatkan Allah dalam hati asalnya sudah mengenal Allah. Namun, setelah dibungkus oleh jasad dan dilengkapi dengan nafsu, maka tertutup atau terhijab oleh nafsunya yang hakekatnya adalah jasad manusia itu sendiri. Oleh karena itu, agar manusia dapat mengenal Allah dan dapat kembali kepada Allah, maka harus ada upaya agar mengenal Allah, dan dapat mengingat-ingat-Nya dalam rasa hatinya. Untuk dapat mengenal-Nya, maka harus bertanya kepada ahlinya, sesuai dengan firman Allah: “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr jika kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Anbiya: 7).
Selain itu, kita sadari bahwa setiap manusia itu mempunyai tujuan hidup yakni ingin memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk dapat memperoleh kebahagiaan di akhirat, manusia harus menyembah Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, karena memang manusia itu diciptakan oleh Allah itu agar menyembah-Nya. Allah berfirman: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).  Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Tiada Tuhan kecuali Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia” (QS. Al-An’am: 102). Harus kita fahami bahwa yang dimaksud menyembah dalam dua ayat di atas bukanlah hanya sekedar dalam ritual shalat, melainkan dalam seluruh aktivitas hidup kita harus kita. Jadi, ibadah dalam arti yang luas inilah tujuan kita diciptakan.
Dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa tujuan hidup ialah kembali kepada Tuhan dengan selamat, berada di tempat yang benar di sisi Tuhan yang Berkuasa. Karena merasa bahagia, maka “wajahnya berseri-seri, karena melihat Tuhannya” (QS.al-Qiyamah: 22). 
Implikasi filosofis dari pemikiran di atas terhadap Pendidikan Keimanan di persekolahan,  bahwa Pendidikan Keimanan itu harus sesuai dengan fitrah manusia dan sesuai dengan kebutuhan manusia, sehingga melalui Pendidikan Keimanan itu betul-betul dapat mengantarkan manusia menjadi manusia yang beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya. Selain itu, juga bahwa Pendidikan Keimanan di persekolahan juga harus  berorientasi bukan hanya terhadap kepentingan di dunia sesaat, melainkan harus berorientasi jauh ke depan sesuai dengan tujuan akhir hidup manusia itu sendiri, memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak.

2. Implikasi Teoritis-Pedagogis
a.    Implikasi terhadap Program  Pendidikan  di Persekolahan
Sebelum menjelaskan tentang implikasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA terhadap program Pendidikan  di persekolahan,  terlebih dahulu harus memahami istilah  pendidikan dan ilmu pendidikan itu sendiri.
Menurut Abu Ahmadi (1991: 68), bahwa “Ilmu Pendidikan mempunyai makna sama dengan “Paedagogiek”, sedangkan “Pendidikan” sama dengan istilah “Paedagogie”. Ilmu Pendidikan lebih menitik beratkan kepada pemikiran dan perenungan tentang pendidikan. Pemikiran bagaimana sebaiknya sistem pendidikan, sarana, dan prasarana pendidikan, cara  penilaian, cara penerimaan siswa, dan gurunya yang bagaimana. Jadi, ilmu pendidikan lebih menitik beratkan teori. Sedangkan pendidikan lebih menekankan kepada praktek, yaitu menyangkut kegiatan belajar mengajar. Namun begitu, keduanya tidak bisa dipisahkan, dan keduanya harus dilaksanakan secara berdampingan, saling memperkuat peningkatan mutu dan tujuan pendidikan.
Pendidikan itu hakekatnya adalah suatu upaya untuk membina jati diri kemanusiaan secara utuh yang memiliki keterampilan hidup. Keterampilan hidup yang dimaksud yaitu sebagaimana yang dicanangkan oleh UNESCO, yang mencakup kemampuan belajar untuk mengetahui (lerning to know), belajar untuk melakukan sesuatu (lerning to be), belajar menjadi seseorang  (learning to do), dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to live together) Dalam konteks Indonesia,  penerapan konsep pilar-pilar pendidikan ini adalah bahwa sistem pendidikan nasional berkewajiban untuk mempersiapkan seluruh warganya agar mampu berperan aktif dalam semua sektor kehidupan guna mewujudkan kehidupan yang cerdas, aktif, kreatif yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt.  Proses pendidikan tersebut tidak terbatas hanya berlangsung di lembaga pendidikan formal saja, melainkan sesuai dengan prinsip pendidikan sepanjang hayat yang terjadi di manapun, baik di dalam keluarga maupun  di tengah masyarakat (Hatimah, 2008: 3.11).  
Secara yuridis formal, pendidikan di Indonesia sebenarnya  memiliki fondasi yang sangat kuat yang dilandasi  dengan iman dan taqwa, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Namun, secara the facto, pendidikan di Indonesia belum dilandasi oleh iman dan taqwa, dan itu terbukti bahwa Pendidikan Keimanan belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini tampak jelas dari tidak adanya program yang sungguh-sungguh mengembangkan Pendidikan Keimanan secara sistemik, baik berupa pengembangan konseptual, metodologi, kurikulum, pelatihan guru-guru maupun yang lain-lainnya. Ini menunjukkan bahwa Pendidikan Keimanan  masih diposisikan secara marjinal dalam sistem pendidikan di Indonesia. Padahal, Pendidikan Keimanan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena melalui Pendidikan Keimanan seseorang akan tumbuh di dalam hatinya untuk beriman kepada Allah swt, Dzat Yang Maha Mulia dan Maha Agung dan menyembah-Nya.
Oleh karena itu,  implikasinya terhadap program  Pendidikan di persekolahan bahwa Pendidikan  itu  harus berjalan sesuai amanat yang ada dalam tujuan UUSPN, yakni menjadikan Pendidikan Keimanan sebagai pendidikan yang utama dan tidak dimarjinalkan, dengan mendapatkan perhatian khusus, dan disejajarkan dengan bidang-bidang lainnya, bahkan harus diprioritaskan. Pendidikan keimanan tidak cukup hanya melalui pemberian bahan pelajaran oleh guru kepada siswanya, apalagi kalau hanya dijalankan melalui kegiatan yang bersifat formal dalam waktu tertentu. Sasaran pendidikan keimanan bukan hanya terletak pada wilayah kognitif berupa kecerdasan intelek atau pikiran, melainkan harus menyentuh wilayah hati. Sentuhan-sentuhan hati, pembiasaan, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya merupakan proses panjang yang harus dijalankan secara terus menerus dalam mengimplementasikan pendidikan keimanan. 
b.    Implikasi terhadap Kurikulum Pendidikan di Persekolahan
Sebelum menjelaskan tentang implikasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA terhadap kurikulum Pendidikan di persekolahan, terlebih dahulu harus dapat memahami apa yang dimaksud kurikulum itu. Crow and Crow  (Ramayulis, 2009: 150) mendefinisikan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu program untuk memperoleh ijazah.
M. Arifin (1991: 183) memandang kurikulum sebagai  seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan.   Darajat (1992: 121) memandang kurikulum sebagai satu program yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa kurikulum itu merupakan suatu program di dalam kegiatan pendidikan yang berisi mata pelajaran-mata pelajaran yang harus diajarkan kepada para peserta didik. Pengertian kurikulum semacam ini masih sangat sederhana, dan dalam perkembangan selanjutnya  menurut Ramayulis (2009: 152) kurikulum tidak hanya terbatas pada program pendidikan, namun juga dapat diartikan menurut fungsinya, yakni: (1) kurikulum sebagai program studi, (2) kurikulum sebagai konten, (3) kurikulum sebagai kegiatan berencana, (4) kurikulum sebagai hasil belajar, (5) kurikulum sebagai produksi kultura, (6) kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan (7) kurikulum sebagai produksi
Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karenanya kurikulum memiliki bagian-bagian penting dan penunjang yang dapat mendukung operasinya dengan baik. Bagian-bagian ini disebut komponen yang saling berkaitan dan saling  berinteraksi dalam upaya mencapai tujuan.
Di antara para ahli pendidikan ada yang mengemukakan bahwa secara garis besar, pada dasarnya ada empat komponen utama dalam kurikulum, yaitu: (1) Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan, (2) Pengetahuan, informasi-informasi, data-data aktifitas-aktifitas, dan pengalaman-pengalama dari mana terbentuk kurikulum itu, dan bagian inilah yang disebut mata pelajaran, (3) Metode dan cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan memotivasi murid untuk membawa mereka ke arah yang dikehendakioleh kurikulum, (4) Metode dan cara penilaian yang dipergunakan untuk mengukur dan menilai hasil proses pendidikan yang direncanakan dalam kurikulum tersebut (Langgulung,1988: 303).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa kurikulum yang digunakan di SMA POMOSDA untuk mencapai tujuan yang diharapkan  yaitu menggunakan kurikulum perpaduan antara kurikulum nasional dari Kemendiknas dan kurikulum pesantren. Dalam  kurikulum pesantren, berisi tentang mata pelajaran kepesantrenan yang terdiri dari: Bahasa Arab, fiqh, dan pendidikan keimanan yang berbasis tasawuf. Untuk pendidikan keimanan yang berbasis tasawuf ini diberi nama “Kelilmuqorroboinan”, yang merupakan mata pelajaran untuk membina para santri agar dapat mencapai “al-arif billah”, dan ini merupakan ciri khusus dari  Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) sebagai “Pondok Sufi”. Dengan menggunakan kurikulum seperti itu, ditambah dengan adanya pembinaan selama 24 jam kepada para santri di lingkungan pondok, maka telah banyak  menghasilkan para santri yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Oleh karena itu, apabila pendidikan di Indonesia ingin memperoleh hasil pendidika seperti apa yang  dihasilkan oleh POMOSDA, maka implikasinya terhadap kurikulum pendidikan di persekolahan, yaitu:
a)    Dalam struktur kurikulum pendidikan di persekolahan harus bersifat komprehensif, yakni memuat  mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan kajian agama, kajian alam, dan sosial yang porsinya seimbang.
b)        Dalam struktur kurikulum, kajian agama, tidak hanya terdiri dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang hanya dua jam pelajaran, melainkan harus ada kajian keagamaan lainnya, seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlaq, fiqh, Bahasa Arab, dan kajian tasawuf.  

c.    Implikasi terhadap Tujuan Pendidikan  di Persekolahan
Berbicara tentang implikasi terhadap tujuan Pendidikan di persekolahan, kita harus berbicara tentang tujuan pendidikan secara umum. menjelaskan bahwa tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup (Sudiono, 2009: 31). Tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan, sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang Model Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf (Ke-Lilmuqarrabinan) di SMA POMOSDA, bahwa tujuan yang ingin dicapai dari mata pelajaran  Ke-Lilmuqarrabinan ini yaitu:
a)    Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama  dan berakhlak mulia  yaitu manusia yang berpengetahuan, disiplin, dan bersemangat dalam  beribadah, cakap, ukril dan kreatif, jujur, adil, pandai mengalah dan pandai bersyukur, serta mengembangkan ajaran Islam sebagai agama tauhid dalam komunitas apa saja, kapan saja dan dimana saja dalam hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam lingkungan untuk proses pulang kembali kepada Allah dengan selamat bertemu lagi dengan Diri-Nya Ilahi.
b)   Menjanjikan kesiapan insan masa depan sebagai hamba Allah yang ’Arifun Billah atau mengenal Tuhannya Dzat Al-GhaibAllah Asma-Nya, supaya menjadi sumber daya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Inti dari tujuan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf  (Ke-Lilmuqarrabinan) tersebut yaitu: (1) Taat beragama dan berakhlak mulia, dan (2)  Menjadi hamba Allah yang “Arifun Billah”, yakni mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga pada akhirnya dapat kembali kepada Allah dengan selamat. Implikasinya, apabila pendidikan di Indonesia itu ingin menghasilkan manusia yang “Arifun Billah”, taat beragama dan berakhlak mulia, yang pada akhirnya dapat kembali kepada Allah dengan selamat, yakni memperoleh kebahagiaan di akhirat,  maka implikasinya terhadap tujuan pendidikan di persekolahan  yaitu:
a)    Tujuan pendidikan di persekolahan  harus diarahkan kepada dua tujuan, yaitu tujuan material dan tujuan spiritual. Tujuan spiritual harus menjadi prioritas, karena tujuan itulah yang dapat mengantarkan para siswa untuk menjadi orang yang beriman kepada Allah, sehingga menjadi hamba yang taat beribadah dan berakhlak mulia.
b)   Tujuan pendidikan di persekolahan harus diarahkan sesuai dengan tujuan akhir hidup manusia itu sendiri, yakni memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak. Karena itu, pendidikan di Indonesia harus berdasarkan nilai-nilai Ilahiah, dan pendidikan  keimanan harus mendapatkan porsi yang sama dalam struktur kurikulum nasional.

3. Implikasi Praktis terhadap Pendidikan Keimanan di Persekolahan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang Model Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur telah banyak menghasilkan para lulusan atau alumni yang “Al-‘Arif Billah”,  yaitu menjadi orang yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Dengan memiliki kondisi seperti itu, maka mereka dalam kehidupan  sehari-hari akan tampil menjadi orang yang taat beribadah kepada Allah, berakhlak mulia, dan dapat menghidarkan diri berbagai kemaksiatan.
Keberhasilan tersebut, tentu tidak terlepas dari program-program yang telah dirancang dengan secara matang, baik tujuannya, materinya, metode dan pendekatannya, cara internalisasinya,  maupun pembinaannya. Selain itu, sosok pribadi guru-guru pendidiknya pun tampil sebagai pendidik yang memberikan keteladanan kepada para santri/siswanya, terutama sosok pribadi pimpinan pondok pesantren yang tampil sebagai figur uswatun hasanah  dalam segala aspek kehidupannya, dan inilah yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan keimanan di POMOSDA. Apabila kita melihat sejarah, bahwa pelaksanaan pendidikan keimanan yang paling sukses adalah pendidikan keimanan yang dilakukan oleh para Rasulullah, terutama Rasulullah Muhammad saw. Para Rasulullah sukses dalam melaksanakan pendidikan keimanan, karena mereka terlebih dahulu telah menyandang karakter sebagai orang yang beriman.   
Oleh karena itu, jika pendidikan keimanan yang diajarkan di sekolah-sekolah ingin menghasilkan out put seperti yang digambarkan di atas, yakni manusia yang beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya, maka implikasinya harus menjadikan pola Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA menjadi sebuah pola yang diterapkan dalam Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah di Indonesia, yakni:
a.    Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah di Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf, sehingga Pendidikan Keimanan tersebut tidak hanya sekedar mengantarkan peserta didik agar percaya akan adanya Allah, melainkan harus yang dapat mengatarkan peserta didik agar mengenal Allah seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.    
b.    Pendidikan keimanan tidak diberikan terbatas hanya pada kegiatan formal di kelas pada waktu tertentu, melainkan juga diberikan secara non formal  pada waktu-waktu yang dirancang secara khusus berupa segiatan ekstra kurikuler.
c.    Pendidikan keimanan tidak diberikan hanya terletak pada wilayah kognitif, berupa pemahaman atau kecerdasan intelek, melainkan harus menyentuh wilayah hati dengan diberikan kajian-kajian tasawuf.
d.    Guru pendidikan keimanan harus tampil sebagai figur yang menjadi teladan bagi para muridnya, karena guru pendidikan keimanan bukan hanya orang yang menguasai keilmuan tentang pendidikan keimanan, melainkan harus orang yang sudah dapat mengamalkan teori keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
e.    Guru pendidikan keimanan harus melakukan peran-peran prophetik atau kenabian, dan pandangan itu tidaklah berlebihan. Dalam arti, seorang pendidik pendidikan keimanan harus dapat mengambil pelajaran tentang  bagaimana para Rasulullah mengajarkan keimanan kepada para umatnya. Hal-hal yang harus dicontoh tersebut, selain harus tampil sebagai figur teladan, juga bagaimana pendidikan keimanan itu dirancang programnya secara matang, yang tidak hanya di dalam kelas melainkan harus berjalan selama anak-anak berada di lingkungan sekolah.
        












Tidak ada komentar:

Posting Komentar