B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Ma’rifatullah sebagai Tujuan Akhir Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada bagian temuan penelitian di atas, bahwa tujuan yang ingin
dicapai dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA itu ialah: (1)
Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, disiplin,
dan bersemangat dalam beribadah, cakap,
kreatif, jujur, adil, pandai mengalah dan pandai bersyukur, serta mengembangkan
ajaran Islam sebagai agama tauhid dalam komunitas apa saja, kapan saja dan
dimana saja dalam hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam
lingkungan untuk proses pulang kembali kepada Allah dengan selamat bertemu lagi
dengan Diri-Nya Ilahi, (2) Menjanjikan kesiapan insan masa depan sebagai hamba
Allah yang ’Arifun Billah atau mengenal Tuhannya Dzat Al-GhaibAllah
Asma-Nya, supaya menjadi sumber daya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
(Silabus Ke-Lilmuqarrabinan).
Tujuan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yang dikemukakan di atas terdiri atas
beberapa hal, namun yang menjadi tujuan akhir ialah menjadi hamba Allah yang ’Arifun Billah. Yang dimaksud ‘Arifun
Billah yaitu mengenal Jati Diri Allah (Dzat Allah) yang Al-Ghaibyang
keberadaan-Nya sangat dekat dengan kita, sehingga dengan mengenal Dzat
Allah itu kita akan bisa melihat Allah dengan mata hati kita dan benar-benar akan merasakan kedekatan
dengan-Nya.
Dalam pandangan umum, seperti yang dikemukakan oleh Dahlan (Isma’il, 2008: 794) dalam kajian teori bahwa yang dimaksud ma’rifatullah itu ialah “pengetahuan
tentang Allah”. Menurut Athaillah (2010: 95), ma’rifatullah itu ialah “Mengenal
Allah swt dengan penglihatan hati, yang merupakan terbukanya hijab untuk
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan”.
Pemahaman ma’rifatullah
yang dikemukakan oleh Athaillah di atas, sejalan dengan pandangan yang
diajarkan dalam tasawuf di SMA POMOSDA, yaitu bahwa ma’rifatullah itu ialah mengenal Allah dengan mata hati. Hanya
saja, mengenal Allah dalam pandangan
Athaillah, tidak menjelaskan tentang mengenal Dzat-Nya.
Berdasarkan kajian peneliti bahwa dalam pandangan umat
Islam pada umumnya, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh Maududi (1975: 56)
bahwa Dzat Allah itu tidak bisa dikenali, karena Dzat Allah itu
merupakan Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan makhluk-Nya dan juga
tidak bisa digambarkan. Pandangan itu tidaklah salah, dan
itu sesuai dengan firman Allah: “Laisa kamitslihi syaiun”. Yang
perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud mengenal Dzat Allah dalam
pandangan tasawuf di POMOSDA itu ialah mengenal Dzat Allah dalam rasa
yang ada dalam hati, sehingga rasa tersebut bisa merasakan kedekatan dan
kehadiran Allah dalam dirinya. Oleh karena itu, untuk bisa sampai ke arah sana,
maka kita harus memenuhi perintah Allah dalam Al-qur’an yaitu bertanya kepada
ahli dzikir. Allah berfirman: “Fas-alu ahladzdzikri in kuntum la
ta’lamun” (Bertanyalah kepada Ahli dzikir jika kamu tidak tahu
(tentang Tuhan) (QS. Al-anbiya: 7).
Untuk dapat mengenal Allah, selain kita harus bertanya
kepada ahlinya, menurut pandangan
tasawuf di POMOSDA, sebagaimanan telah dijelaskan pada temuan penelitian di
atas yang diperoleh melalui wawancara dengan Guru Ke-Lilmuqarrabinan), juga
harus dengan cara “memahami fitrah jati diri manusia yang berasal
dari fitrah Allah itu sendiri”, sesuai dengan firman Allah:
“Hadapkanlah wajahmu kepada agama secara lurus. Itulah fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS.30: 30).
Fitrah
manusia adalah inti manusia itu sendiri, dan inti manusia ialah rasa. Di dalam rasa itu ada Nur
Muhammad (cahaya Allah Yang Terpuji). Antara Allah dan cahaya itu ialah menyatu
bagaikan lampu dan sinarnya atau bagaikan matahari dan sinarnya. Oleh karena
itu, bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah itu ialah Allah itu sendiri
yang ada di dalam rasa. Dengan demikian, bagi siapa yang memahami fitrah
jati dirinya, maka ia akan kenal Tuhannya.
Adapun dalam pandangan umum seperti yang telah dijelaskan
pada kajian teori, di antaranya Hawa
(2008:11) menjelaskan bahwa: “Cara yang tepat untuk mengenal Allah
adalah dengan menganalisa dan meneliti tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menjadi
tanda keberadaan-Nya”. Akal,
pikiran, dan ilmu pengetahuan
merupakan syarat fundamental bagi orang yang ingin mengenal Allah dengan menggunakan
metode ini. Sebab, tanpa akal kita tidak akan bisa mengetahui ayat (tanda
bukti) kekuasaan-Nya. Tanpa pikiran, maka Sang Pencipta ayat itu tidak akan
bisa dikenal. Demikian pula tanpa ilmu pengetahuan, maka pengetahuan tentang
ayat atau Penciptanya tidak akan tercapai.
Pandangan Said Hawa tersebut tidaklah salah, bahwa untuk
dapat mengenal Allah itu dengan mengenali tanda-tanda kekuasaan Allah dengan
akal. Namun, apabila hanya dengan menggunakan metode itu, maka yang akan lahir
hanyalah percaya akan adanya Allah, tidak akan sampai kepada mengenal Dzat-Nya.
Padahal, Allah itu ismu Dzat (nama dari Dzat) yang Ghoib. Jadi
yang harus kita kenali bukan haya namanya, dan bukan hanya percaya akan
keberadaan Allah, tapi harus mengenal Dzat-Nya. Dan sebenarnya,
sebagaimana di jelaskan di dalam Al-qur’an bahwa keberadaan Allah itu sangat
dekat dengan kita, dan bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher
kita, yaitu adanya di dalam rasa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam Hadits
Qudsi: “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam
istana itu ada dada (shadr), di dalam shadr itu ada qalb,
di dalam qalb itu ada fuad, di dalam fuad itu ada syanghf,
di dalam syanghf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr,
di dalam sirr itu ada Aku (Tafsir, 2010: 28). Dalam Hadits Qudsi ini dijelaskan
bahwa Aku (Allah) itu ada dalam sirr (rasa) dan sirr (rasa) itu
merupakan inti manusia, dan itulah fitrah
manusia. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa barangsiapa mengenal dirinya
(fitrah jati dirinya), maka akan kenal pada Tuhannya, karena fitrah
manusia itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri.
Untuk dapat mencapai ma’rifah itu memang tidaklah
mudah, karena pada dasarnya ma’rifah
itu merupakan anugerah Ilahi bagi siapa pun yang dikehendaki oleh-Nya. Karena
itu, siapa pun orangnya harus melepaskan
asumsi bahwa ma'rifah yang diberikan Allah swt itu merupakan akibat dari
perenungan dan amal kebaikannya, sebab jika hanya dengan perenungan dan amal
ibadah, tidak akan sampai kepada ma’rifatullah, melainkan hanya akan
sampai meyakini adanya Allah.
Apabila kita berbicara ma’rifatullah lebih jauh
lagi, sesungguhnya ma’rifatullah itu memiliki kedudukan yang sangat
esensial dalam kehidupan umat Islam,
sebab tanpa ma’rifatullah hidup ini akan hampa. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Hawa (2008: 1) bahwa: “Tanpa ma'rifatullah, setiap
amal tidak ada nilainya. Amal-amal tersebut akan kehilangan ruhnya”. Pendapat ini dikuatkan juga oleh Al-Ghazali
(1986:
7) yang menjelaskan bahwa:
“Ibadah tanpa ilmu dan tanpa ma’rifah
tidak ada artinya”. Ilmu dan ma’rifah
merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh seseorang dalam beribadah, karena
kalau tidak dia akan celaka. Artinya, ia harus belajar supaya bisa beribadah
dengan baik, menempuh jalan ini sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan
merenungkan sepenuhnya. Dengan belajar, bertanya kepada para ulama tentang
akhirat, kepada petunjuk-petunjuk jalan, para pemuka umat, para imam,
mudah-mudahan dengan demikian dapat berhasil mencapai ilmu yakin.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang
dimaksud ma’rifatullah itu, Bya (2006: 268) menjelaskan beberapa
pandangan para tokoh tentang apa sebenarnya ma’rifatullah itu. Ketika Abu
Bakar Ash-Shiddiq ditanya tentang ma’rifatullah yang ada pada dirinya,
ia berkata: Sangat mustahil datangnya ma’rifat masuk ke hati sanubari
seorang hamba, kecuali karena ma’unah Allah. Beliau
mengatakan bahwa ma’unah itu tidak akan ditemukan pada panca indera
manusia, tidak ada ukurannya. Ma’rifat itu dekat tapi jauh, dan jauh
tapi dekat. Tidak dapat diucapkan dan dinyatakan. Di bawahnya ada sesuatu dan
berada di depan segala sesuatu. Dialah Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu, tiada sesuatu yang ada pada sesuatu yang lain. Tiada yang sama
seperti itu, hanyalah Dia Dzat Yang Suci itu, yakni Allah swt.
Imam Ja’far ash-Shadiq, salah seorang
keturunan Rasulullah saw juga pernah ditanya: Apakah anda melihat
Allah? Beliau menjawab: Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihat.
Ia pun ditanya lagi, lalu bagaimana anda melihatnya, sementara Ia tidak dapat
dilihat dengan mata kepala. Imam Ja’far kembali menjawab: Aku tidak akan mampu
melihat-Nya dengan pandangan mata, tetapi melihat-Nya dengan mata hati melalui
hakikat keimanan. Dia tidak kasat indera dan tidak pula dapat diukur oleh
manusia.
Dalam pandangan para sufi, pemahaman ma’rifatullah
itu berbeda dengan pandangan pada umumnya. Di antaranya, Dahlan menjelaskan,
bahwa dalam kajian tasawuf, ma'rifatullah itu memiliki
tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma’rifah yang dicari
dan diharapkan oleh sufi yaitu ma’rifah hakiki. Dan
orang-orang yang telah memperoleh ma’rifah itu disebut Arifun
billah" (Isma’il,
2008: 794).
Dahlan lebih lanjut menjelaskan bahwa munculnya gagasan
tentang ma'rifat hakiki itu menjadi tahapan penting bagi perubahan
tujuan dari ibadah para zahid dan ahli ibadah di kalangan kaum
muslimin. Sebelumnya para zahid dan
ahli ibadah sampai pertengahan abad ke dua Hijriyah memilih jalan zuhudpada
dunia karena dorongan mencari kehidupan yang lebih sesuai dengan corak
kehidupan Nabi Muhammad saw yang diridhai Tuhan atau sangat terdorong oleh
emosi takut pada neraka sebagai akibat penghayatan yang sungguh-sungguh atas
peringatan-peringatan keras dari ayat-ayat suci Al-qur’an dan Hadits-hadits
Nabi atau sangat berharap mendapatkan surga sesuai dengan janji-janji yang
dinyatakan kedua sumber pokok ajaran Islam itu.
Pada paruh kedua abad dua Hijriah, muncul di kalangan
mereka zahidah terkenal, Rabi'ah al-Adawiyah yang di hatinya sangat bergelora
emosi cinta pada Tuhan. Dengan cinta itu, tampak bahwa sang pencinta sebagai
zahidah, sama sekali tidak dikuasai emosi takut pada neraka atau oleh harapan
pada surga, tetapi oleh emosi cinta yang bergelora memenuhi hati. Pencinta
Tuhan itu tidak mengharapkan surga dari Tuhan atau keterhindaran dari neraka,
tetapi mengharapkan cintanya pada Tuhan berbalas pula dengan cinta Tuhan
kepadanya. Pada paruh pertama abad tiga Hijriyah barulah muncul gagasan dan
perbincangan tentang ma’rifah hakiki.
Sejak abad tiga Hijriyah itulah gerakan zuhud (asketisme)
memperoleh tujuan yang baru yaitu ma’rifah
hakiki, dan dengan demikian asketisme meningkat kualitasnya menjadi tasawuf.
Para zahid yang berhasil memperoleh ma’rifah hakiki selain disebut "arif",
juga disebut sufi atau waliyullah.
Gagasan adanya ma’rifah hakiki dimunculkan oleh
Dzunnun Al-Misri, karena itu ia dapat disebut sebagai bapak gagasan ma’rifah
dalam tasawuf. Menurut Dzunnun Al-Misri, ada tiga macam ma’rifah.
Pertama, ma’rifah di kalangan awam, yaitu mereka mengetahui bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran
syahadat. Kedua, ma’rifah di kalangan ulama dan para filusuf yang
memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini; mereka mengetahui adanya Allah
melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, ma’rifah di
kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifah
tingkat ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf
sebagai ma’rifah hakiki dan tertinggi.
Sebelum Dzunnun Al-Misri,
sebenarnya sudah muncul satu dua ungkapan dari zahid yang mendahuluinya,
yang bisa mengilhaminya untuk melahirkan pandangan yang penting tentag ma’rifah. Pertama,
ungkapan Rabi'ah Al-Adawiyah tentang terbukanya hijab sehingga dapat melihat
Tuhan dengan hatinya. Kedua, ungkapan yang muncul dari Abu Sulaiman Ad-Darani,
ia berkata: Sesungguhnya Allah membukakan bagi sang arif yang sedang
berbaring tidur, sesuatu yang tidak dibukakan kepada yang lain, meskipun yang
lain itu sedang menegakkan shalat.
Ma’rifah
hakiki selain sering dibicarakan Dzunnun Al-Misri, juga sering dibicarakan oleh
para zahid dan sufi sesudahnya, kendati pembicaraan mereka baru dalam
bentuk butir-butir ungkapan yang berserakan. Ma’rifah dan sang arif
dalam tebaran ungkapan para sufi itu antara lain sebagai berikut. Dzunnun
Al-Misri menuturkan antara lain: "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku;
kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku".
Manusia yang paling mengenal Tuhan adalah yang paling terpesona pada-Nya. Ada
tiga tanda sang arif, yaitu cahaya ma’rifahnya tidaklah
memadamkan cahaya kewara'annya, ia tidak percaya bahwa aspek batin hukum
bertentangan dengan aspek lahirnya, dan keberlimpahan nikmat Tuhan bagi dirinya
tidak mendorongnya untuk mengoyak tirai yang menutup kawasan sakral Tuhan.
Arwah para Nabi berlomba di padang ma’rifah, dan ruh Nabi kita Muhammad
saw memimpin mereka semuanya menuju taman wasal (perjumpaan dengan Tuhan).
Pergaulan sang arif seperti pergaulan Tuhan, ia pemurah dan lapang dada
kepada orang lain, karena ia berakhlak dengan akhlak Allah. Bagi setiap orang
ada bentuk hukuman tertentu dan hukuman bagi sang arif adalah terputus dzikir
kepada Allah.
Menurut Abu Yazid, sang arif tidak melihat sesuatu
pun selain Allah dalam tidurnya, tidak pula melihat sesuatu dalam jaganya
kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak memandang
kecuali kepada Allah. Manusia biasa mempunyai keadaan-keadaan (ahwal),
tetapi sang arif tidak; sifat-sifat manusiawinya telah sirna, dan Dzatnya
telah berobah menjadi Dzat yang lain; sifatnya telah sirna karena
sifat-sifat selain dirinya telah menggatikannya. Ketika Abu Yazid ditanya,
dengan apa ia mencapai ma’rifah, ia menjawab, dengan perut yang lapar
dan tubuh tanpa pakaian. Para arif mencapai ma’rifah dengan
menghilangkan (tidak memperdulikan) apa saja yang mereka miliki, dan tinggal
dengan apa yang dimiliki Allah.
Menurut Al-Hallaj, bila seseorang mencapai maqam ma’rifah,
Allah akan mengilhamkan baginya lintasan-lintasan ide dan Ia menjaga hatinya
agar tidak muncul pada hatinya itu selain lintasan kebenaran. Tanda sang arif
adalah kosong perhatian hatinya kepada dunia dan akhirat. Sejalan dengan
itu, Asy-Syibli menyatakan, bahwa sang arif tidak memperhatikan sesuatu
selain Allah, tidak berbicara dengan kalam selain-Nya, dan tidak melihat satu
pun bagi dirinya selain Dia sebagai pelindung. Abu Utsman Al-Maghribi
menuturkan, bahwa sinar-sinar pengetahuan menerangi sang arif, sehingga
ia melihat hal-hal ghaib yang menakjubkan dengan pengetahuan itu. Abu Tayyib
Al-Samarri mengatakan, ma’rifah adalah terbitnya kebenaran atas batin
seseorang dengan cahaya yang terus menerus.
Dari sejumlah penuturan tentang ma’rifah dan sang arif
di atas, jelaslah pada kita bahwa para sufi sejak dari Dzunnun Al-Misri dan
para sufi sesudahnya memberikan deskripsi yang istimewa tentang ma’rifah dan
sang sufi, yang pada intinya ma’rifah adalah keterbukaan hijab pada
hati, melihat Tuhan dengan hati, dan karena itu ia mengenal Tuhan dengan
hatinya itu.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa mengenal Allah (ma'rifatullah)
merupakan dasar yang paling utama dalam beragama Islam. Kenapa dalam kajian tauhid ada ungkapan
bahwa “Pertama
kali yang wajib bagi manusia ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa mengenal Allah merupakan suatu
keharusan bagi setiap muslim, karena tanpa mengenal Allah keimanan seseorang
belumlah sempurna. Sehubungan dengan itu, Imam Ali menjelaskan
bahwa pokok agama adalah ma’rifat tentang Allah. Kesempurnaan ma’rifat
tentang Allah adalah dengan tashdiq (membenarkan) terhadap-Nya.
Kesempurnaan tashdiq terhadap Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, dan
kesempurnaan tauhid kepada-Nya yaitu dengan ikhlas kepada-Nya (Al-Hariri, 2009: 7). Sejalan dengan itu, Al-Jailani (2010:71) mengemukakan:
Wahai orang-orang, kenalilah Allah dan janganlah engkau tidak mengenal-Nya,
taatlah kepada-Nya dan janganlah sekali-kali bermaksiat kepada-Nya, ridhalah
kepada takdir-Nya dan jangan menentang-Nya. Kenalilah al-Haq ‘Azza
wa Jalla dengan segala sifat-Nya. Dia Maha Pencipta dan Maha Pemberi Rizki,
Dia Yang Awal dan Yang Terakhir, Dialah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Yang
Qadim, Yang Abadi dan Maha Berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia adalah Tuhan
yang menjadikan kaya dan miskin, Yang memberikan manfaat, Yang menghidupkan,
Yang mematikan, Yang memberi balasan, Yang dijadikan tempat pengharapan.
Takutlah kepada-Nya, dan tidak perlu takut kepada apa pun selain Dia,
berharaplah kepada-Nya dan
jangan menyimpan
harapan kepada selain Dia, berjalanlah bersama dengan takdir dan hikmah-Nya hingga kodrat melampauai
hikmah. Terapkanlah adab dengan berpegang penuh pada kitab pedoman, hingga
datang apa yang menghalangi antara engkau dengan-Nya. Engkau akan terpelihara
dari panasnya batas syari'at. Tidak ada yang dapat mencapai derajat ini kecuali sebagian kecil dari orang-orang yang
shalih.
Menurut
Ar-Rumi, Ma’rifah
yaitu pengetahuan tentang Tuhan yang dirasakan hati secara langsung oleh
seseorang apabila hatinya bersih dari noda. Namun, tidak semua
orang bisa mencapai ma’rifah, karena ma’rifah itu bukan merupakan
hasil usaha, tetapi merupakan anugerah dari
Allah (Isma’il, 2008: 632).
Dalam
sebuah tamsil, Ar-Rumi mengumpamakan para pencari ma’rifah dengan para
pencari mutiara yang terdiri atas tiga kelompok. Pertama, orang yang senang
dengan perhiasan mutiara, dan mereka menginginkan mutiara itu. Karena itu,
mereka pergi ke pantai untuk mengambil mutiara dari laut; akan tetapi mereka
tidak bisa berenang, apalagi menyelam ke dasar laut di tempat mutiara berada,
sementara peralatan untuk menyelam pun tidak mereka miliki. Karena itu, mereka
hanya bisa melihat orang lain berenang dan menyelam, dan kemudian kembali ke
tempat semula dengan tangan kosong. Kedua, orang-orang yang memiliki
keterampilan berenang dan mereka memiliki alat untuk menyelam ke dasar laut.
Sebab itu, tidak ada hambatan bagi mereka untuk meraut lokan-lokan yang ada di
dasar laut untuk dibawa ke daratan; akan tetapi setelah lokan-lokan itu
diangkut ke atas, lalu dipecahkan, mereka tidak menemukan satu butir mutiara
pun, dan mereka pun pulang dengan tangan hampa. Ketiga, orang-orang yang
memiliki keterampilan berenang dan dilengkapi peralatan yang cukup untuk
menyelam ke dasar laut. Mereka memungut lokan-lokan di dasar laut untuk
diangkut ke daratan. Setelah lokan-lokan itu terkumpul, mereka memecahkannya
satu demi satu. Dan dengan berkah dari Allah mereka mendapatkan mutiara
berharga. Mereka inilah dalam tamsil Ar-Rumi orang yang beruntung. Karena
anugerah Allah, mereka mencapai ma’rifah kepada-Nya.
Puncak
ma’rifah ialah ketika seorang sufi mencapai mahabbah, dan puncak
mahabbah ialah ketika seorang sufi mencapai fana selakigus baqa bersama
Tuhan. Baginya, mahabbah belum tercapai sepenuhnya sebelum dia lebur (fana) ke
dalam Yang Dicintainya dan sekaligus baqa bersama sang Kekasih (Tuhan). Ketika
manusia telah benar-benar dapat memusnahkan kesadaran tentang dirinya (fana
al-fana), niscaya ia akan mencapai baqa. Di sini jarak antara
"aku" dan "Engkau" sudah tidak ada, sehingga aku sirna
dalam "Aku" mutlak. Dalam persatuan demikian, esensi manusia tidak
sirna, tapi kualitasnya sudah hilang dan berganti dengan kualitas Ilahiah,
laksana besi dan api ketika dibakar. Besi adalah besi dan api adalah api,
tetapi kualitas besi sudah hilang dan berganti dengan kualitas api, meskipun
esensi besi masih tetap ada.
Seseorang
yang telah mengenal Allah (ma'rifatullah) dan mencapai hakikat akan merasakan dampak positif dalam kehidupannya. Paling tidak
ada sembilan nilai positif yang akan dirasakan
oleh seseorang yang telah mengenal Allah dan mencapai hakikat.
Kesembilan nilai tersebut adalah sebagai berikut: (1) Merasakan kebenaran atas kedekatan Allah
pada dirinya, (2) Merasakan
Kenikmatan Akibat Terbebas dari Kesyirikan, (3) Merasakan Nikmat Dapat Selalu
Bersamanya, (4) merasakan Keamanan dan Ketenteraman Hati, (5) Dapat Merasakan
Keindahan dan Keserasian dalam Setiap Firman-firman Allah, (6) Merasakan
Kemudahan dalam Memahami Hakikat
Firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an, (7) Merasakan Kemudahan dalam
menjalani Hidup dan Kehidupannya dengan Tanpa Beban, (8) Merasakan Nikmat,
Ringan, dan Khusyu’ dalam Beribadah kepada-Nya, (9) Merasakan Tidak Memiliki
Daya dan Upaya dalam Menjalani Kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat
akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah” (Al-Kadiri, 2010: 225).
Pertama, merasakan kebenaran atas kedekatan Allah pada
dirinya. Seseorang yang telah mencapai ma’rifat akan merasakan bahwa Allah itu
sangat dekat dengan dirinya, bahkan kedekatan tersebut tidak bisa digambarkan,
sehingga hampir tidak bisa membedakan mana Tuhan dan mana makhluk.
Seseorang yang telah mencapai hakikat dan ma’rifat akan
paham bahwa kekuasaan Allah itu meliputi segala sesuatu yang tidak terbatas
pada lahir, hidup, mati, kaya, miskin, dan jodoh saja, melainkan berpikirnya juga berada dalam liputan
Allah, ibadahnya, bekerjanya,
berkeluarganya, dan lain-lainnya semuanya berada dalam liputan Allah. Demikian
juga pada perasaan, tingkah laku, pandangan, pembicaraan, pendengaran,
penciuman, semuanya berada pada liputan Allah.
Seseorang yang mencapai hakikat dan ma’rifat tidak akan
muncul lagi dalam dirinya perasaan ke-aku-an, ego, ataupun nafsu dalam diri
pribadi. Semuanya telah terganti dengan kepemilikan Tuhannya, semuanya telah
menjadi af’al Tuhannya. Dalam diri seseorang yang telah berhakikat telah
terjadi revolusi dalam hati, jiwa, dan perasaannya, sehingga timbullah
kesadaran bahwa sifatnya menjadi sifat Allah, Asmanya menjadi Asma
Allah, dan af’alnya menjadi af’al Allah.
Dengan demikian, apabila dia berjalan, ia yakin bahwa itu
berjalannya Tuhan, apabila ia melirik berarti itu adalah lirikan Tuhan, apabila
ia memandang itu adalah pandangan Tuhan, apabila ia mendengar itu adalah
pendengaran Tuhan, apabila ia berbicara itu adalah pembicaraan Tuhan, apabila
ia merasa itu adalah perasaan Tuhan. Demikian juga segala gerak gerik dan
urusannya semua itu gerak gerik dan urusan Tuhan.
Kedua, dapat merasakan kenikmatan akibat terbebas dari
kesyirikan. Seseorang yang telah mencapai hakikat akan menyadari bahwa
perbuatan syirik adalah sangat berbahaya, karena perbuatan syirik merupakan
dosa besar dan tidak akan diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sesuai
dengan firman Allah:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) orang yang mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang lain, dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan
Allah, maka sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisa: 116).
Dengan memahami ayat tersebut, maka seseorang yang telah
mencapai hakikat merasa tidak mungkin dan tidak mampu melanggarnya, karena dia
merasa bahwa dia tidak memiliki apa pun. Nyawanya, jiwanya, fisik tubuhnya,
segala ibadahnya, segala prilakunya, dan bahkan keberadaannya pun terfanakan.
Yang ada hanyalah keberadaan Tuhan sendiri, dan semuanya adalah mutlak milik
Allah. Apabila sudah demikian, apa yang akan disekutukan dengan-Nya, sehingga
akhirnya berbahagialah dia karena telah terbebas dari kesyirikan itu.
Ketiga, dapat merasakan
nikmat dapat selalu bersamanya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa
nikmat dalam kehidupannya, karena dia tidak terbebani apa pun. Semua sudah
tergantung dengan kehendak Tuhannya, semua sudah menjadi af’al-Nya, sehingga
akan merasa nyaman apa yang dijalani dalam hidup dan kehidupannya.
Seseorang akan
merasa nikmat apabila dia bergerak adalah sebagai kehendak gerak-Nya
Tuhan, apabila dia tersenyum sebagai
kehendak senyum-Nya Tuhan, apabila dia berani sebagai kehendak keberanian-Nya
Tuhan, apabila dia ibadah sebagai kehendak ibadah-Nya Tuhan, apabila dia shalat
sebagai kehendak shalat-Nya Tuhan, apabila dia puasa sebagai kehendak puasa-Nya
Tuhan. Demikianlah segala yang dilakukan hingga yang dirasakan, semuanya adalah
sebagai kehendak-Nya Tuhan, sebagai af’al-Nya Tuhan.
Keempat, dapat merasakan
keamanan dan ketenteraman hati. Seseorang yang telah mencapai hakikat akan
merasa aman dan tenteram dalam hati dan perasaannya. Betapa tidak, Dia telah
terbebas dari kekhawatiran akan kesyirikan, sehingga tidak ada lagi rasa
ketakutan menghadapi kehidupan keakhiratan. Kebahagiaan ataupun kesengsaraan di
akhirat, tidak menjadi perhatian lagi, karena semuanya sudah bergantung
kehendak Tuhan sendiri yang selama ini telah menggerakkan hati, pikiran,
kelakuan, dan ibadahnya. Sementara pribadinya telah tiada, tergantikan dengan
keberadaan-Nya. Dengan demikian, tidak ada lagi syirik walaupun sekecil apa
pun. Seorang yang berhakikat akan selalu tenteram hatinya, tenteram jiwanya,
tenteram perilakunya, tenteram imannya, tenteram ibadahnya, tenteram shalatnya,
tenteram puasanya, tenteram zakatnya, tenteram amalnya, dan lain sebagainya.
Kelima, dapat merasakan
keindahan dan keserasian dalam setiap firman-firman Allah. Seorang yang telah
mencapai hakikat akan merasakan betapa indahnya firman-firman Allah dalam Al-qur’an.
Indah dalam bunyinya, indah dalam susunannya, indah dalam arti dan
kedalamannya. Salah satu contoh surat al-Ikhlas. Betapa indah bunyinya kalau dibaca,
dan indah pula susunan kata-katanya. Singkat sekali firman Allah dalam surat
al-Ikhlas tersebut. Namun, tiada terukur betapa dalam dan luas maknanya.
Keenam, dapat merasakan kemudahan dalam memahami hakikat firman-firman
Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an. Seorang yang telah mencapai hakikat akan
merasa mudah dan jelas dalam memaknai ayat-ayat dalam Al-qur’an. Dirasakannya sedemikian terang dan logisnya
ayat-ayat tersebut sehingga tidak tersisa lagi keraguan atas kebenarannya. Seorang yang mencapai hakikat memiliki
keimanan yang mendalam kepada Tuhannya, dia akan larut dalam setiap ayat Al-qur’an
yang dibacanya, sehingga dia hanya mengangguk-angguk membenarkan dengan sepenuh
hati dan perasaannya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa lebih mudah
memahami dan menguraikan ayat-ayat dalam Al-qur’an. Dia akan mampu memahami
yang tersirat, apalagi yang tersurat. Karena semuanya dipahami atas akal,
logika berpikir, dan pengertiannya, bukan atas hafalan atau sekedar katanya.
Ketujuh, dapat merasakan
kemudahan dalam menjalani hidup dan kehidupannya dengan tanpa beban. Seorang
yang telah mencapai hakikat tidak memiliki kekhawatiran akan beban hidupnya.
Keyakinan pada Tuhannya menjadikan dia sedemikian yakin akan selalu berada
dalam lindungan-Nya, selalu dalam perhatian-Nya. Orang yang telah mencapai
hakikat demikian besar keyakinan terhadap firman-firman Tuhannya, sehingga keimanannya tidak akan
terkikis oleh waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Kefanaan dirinya
menjadikannya tidak dapat terpengaruhi oleh badai bagaimanapun besarnya.
Kehidupannya dirasakan menjadi nyaman dan tenteram selamanya. Apabila Allah
menentukan kedukaan, dia hanya bersabat atasnya; dan apabila Allah menentukan
kegembiraan, dia akan bersyukur karenanya. Karena dia telah memahami bahwa
kesabaran dan kesyukurannya pun tidak lain merupakan kehendak-Nya pula.
Kedelapan, dapat merasakan
nikmat, ringan, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya. Seorang yang telah
berhakikat akan merasakan nikmat dalam ibadahnya. Apabila dia melaksanakan
shalat, maka akan merasakan nikmatnya shalat tersebut. Dia mendapatkan
kenikmatan dalam gerakan, ucapan, ketundukan hati, dan dalam ketenangan
jiwanya. Kefanaannya meliputi seluruh lahir batinnya, sehingga dia menjadi
khusyu karenanya. Tidak ada gangguan syetan yang dapat memasuki wilayah ibadah
seorang yang telah mencapai hakikat. Di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi
dan situasi yang bagaimanapun, tidak ada celah yang dapat dimasuki setan pada
dirinya.
Kesembilan, dapat merasakan tidak memiliki daya dan upaya
dalam menjalani kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat akan dapat
mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah”. Seorang yang
telah mencapai hakikat akan tumbuh kesadaran bahwa dia tidak memiliki daya dan
upaya apa pun kecuali bersama Allah. Apabila kemudian dia terlihat melakukan
peribadatan misalnya, maka itu merupakan daya dan kekuatan Allah sendiri, atas keinginan dan kehendak
Allah sendiri. Semangat “la haula wala quwwata illa billah” tidak hanya
berlaku dalam ibadah semata, tetapi berlaku pula dalam segala tindakannya,
segala kesibukannya, segala usahanya, segala prosesnya, dan segala hasilnya.
Jadi, berlaku pada segala kegiatan dalam hidup dan kehidupannya. Seorang yang
telah mencapai hakikat akan merasakan apa yang dilakukannya adalah realitas
rencana Tuhan, realitas kehendak-Nya, realitas keinginan-Nya, Sedangkan dia
sendiri tidak ikut serta dalam apa yang dilakukannya tersebut.
Dari beberapa ungkapan tentang kondisi spiritual orang
yang telah ma’rifatullah seperti diungkapkan di atas, dapat dipahami
bahwa ma’rifatullah itu ialah mengenal Allah dengan mata hati kita,
sehingga kita merasakan kehadiran Allah dalam diri kita, yang secara hakiki
Allah itu dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di
leher. Ma’rifatullah sangat penting bagi
seseorang, karena ma’rifatullah merupakan esensi dari ajaran Islam.
Tanpa mengenal Allah hidup ini akan hampa dan tidak jelas siapa yang kita tuju,
baik dalam ibadah maupun dalam melakukan aktivitas-aktivitas lainnya dalam
hidup ini. Ibadah, baik shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya tanpa dibarengi dengan ma’rifatullah
akan sia-sia. Begitu juga, segala aktifitas yang baik yang dilakukan kita dalam
kehidupan sehari-hari akan bernilai
ibadah apabila didasari dengan ma’rifatullah.
Orang yang mencapai ma’rifatullah yang haqiqi akan
menjadikan orang itu selalu fana billah. Apa yang menjadi sifat dalam hidup dan
kehidupannya, tidak lain adalah realitas dari sifat Tuhan. Apa pun yang dia
lafalkan, yang dia dzikirkan, yang dia ucapkan, yang dia suarakan, tiada
lain adalah realitas Asma-Nya. Apa yang dia lakukan dan yang dia alami
merupakan realitas af’al-Nya semata.
2. Program Pendidikan Keimanan di SMA
POMOSDA
a. Silabus Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Mata pelajaran Pendidikan Keimanan di SMA
POMOSDA yang diberi nama Ke-Lilmuqarrabinan (tauhid), Silabus Pendidikan
Keimanan (Ke-Lilmuqarrabinan) sebagaimana yang telah dijelaskan pada
temuan penelitian di atas, kajiannya lebih banyak menekankan kepada kajian
tasawuf yang menekankan kepada kajian hati.
Adapun
silabus Pendidikan Keimanan yang dirancang di sekolah-sekolah pada umumnya,
khususnya di Madrasah Aliyah sebagaimana yang telah dijelaskan pada kajian
teori yaitu hanya menekankan kepada kajian keimanan, agar peserta didik beriman
kepada Allah, dan masalah ketauhidan, agar peserta didik terhindar dari
kemusyrikan, sedangkan masalah tasawuf tidak disinggung sama sekali.
Melihat silabus yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
dan silabus yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah
lainnya, khususnya di Madrasah Aliyah terdapat perbedaan yang sangat jauh. Pendidikan
Keimanan di SMA POMOSDA yang diberi nama “Ke-Lilmuqarrabinan” lebih
berorientasi kepada kajian tasawuf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA merupakan Pendidikan Keimanan berbasis
tasawuf.
Tasawuf yang di ajarkan di SMA POMOSDA, diarahkan
untuk membimbing para siswa/santri agar menjadi Al-’Arif Billah, yakni
manusia yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, memiliki hati yang
bersih, akhlak yang baik, sehingga merasakan kehadiran Allah dalam dirinya dan
merasakan kedekatan dengan-Nya, yang tujuan akhirnya dapat
kembali sampai kepada-Nya. Dan inilah yang menjadi ciri khas dari Pondok
Modern Sumber Daya At-taqwa (POMOSDA) yang berbeda dengan pondok-pondok pada
umumnya.
Adapun secara umum, sebagaimana yang telah
dijelaskan kajian teori pada kajian teori bahwa tasawuf itu merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang dapat
berada sedekat mungkin dengan Allah (Nasution, 1995: 56). Agak berbeda dengan
pendapat Nasution, Al-Nuri (Isma’il, 2008: 90) menjelaskan bahwa tasawuf itu
merupakan ilmu yang erat kaitannya
dengan akhlak, dan ia tidak dapat diperoleh sampai orang itu dapat
memperaktekkan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman tasawuf yang dikemukakan oleh
Nasution dan Al-Nuri pada dasarnya sejalan dengan ajaran tasawuf yang diajarkan
di SMA POMOSDA, yaitu bahwa tasawuf itu merupakan ilmu yang mempelajari
bagaimanan seseorang agar dekat dengan Allah, dan berakhlak baik. Hanya saja,
Nasution dan Al-Nuri tidak menjelaskan bahwa tasawuf itu dapat mengantarkan
seseorang agar dapat merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
Untuk dapat merasakan kehadiran Allah dalam
diri kita, sebagaimana dijelaskan dalam temuan penelitian di atas, yaitu
seorang murid harus berguru kepada Guru Wasithah. Dalam proses berguru
itu ada sebuah proses yang disebut dengan talqin. Dalam proses talqin
itulah Guru Wasithah menanamkan nilai keimanan kepada hati seorang murid
dengan membisikkan Dzat Allah melalui telinga kirinya. Mulai dari
sanalah seorang murid dapat mengenal Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam
dirinya. Setelah mengenal Allah, seorang
murid harus berusaha memerangi nafsunya (jihadunnafsi) yang dibarengi dengan
memperbagus akhlak dan menjernihkan hati (tashfiyatul qalbi) dari berbagai
pikiran selain Allah. Itulah inti ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA
POMOSDA.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh, apa
sebenarnya yang dimaksud tasawuf itu?
Berikut ini akan dijelaskan tentang pandangan-pandangan para ahli tentang
tasawuf. Al-Kurdi menjelaskan bahwa
tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa, baik maupun buruk, kemudian
bertekad untuk mensucikan jiwa tersebut dari sifat-sifat buruk, diisi dengan
sifat-sifat yang baik, serta berusaha merambah jalan (suluk) untuk berada dekat
di sisi Allah (Isma’il, 2008: 1289). Sejalan dengan itu, Al-Kabbani (2007: 28)
mengemukakan bahwa tasawuf adalah ilmu untuk mempelajari bagaimana membersihkan
jiwa dari hasrat yang buruk, seperti dengki, tipu daya, ria, ingin dupuji,
sombong, angkuh, marah, tamak, kikir, menghormati yang kaya dan menyingkirkan
yang fakir, sebagaimana setiap orang harus membersihkan jasad lahiriahnya.
Ilmu tasawuf mengajari seseorang agar melihat
pada diri sendiri, membersihkannya sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan sunnah
Nabi saw, serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat sempurna, seperti taubat,
taqwa, istiqamah, shidq, ikhlas, zuhud, wara', tawakkal, berperilaku
baik (adab), mahabbah, dzikr, muraqabah,
dan sifat-sifat baik lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan di
sini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu berfungsi untuk menjernihkan hati, yang
merupakan esensi paling berharga dan sumber hidup keislaman seseorang.
Tasawuf yaitu suatu ilmu untuk menempuh
kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup dalam
keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri,
mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik
atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani
menjadi kuat. Jadi, tasawuf adalah usaha menaklukkan dimensi jasmani manusia
agar tunduk kepada dimensi ruhani (nafs), dengan berbagai cara, sambil bergerak
menuju kesempurnaan akhlak, seperti dinyatakan kaum sufi; dan meraih
pengetahuan atau ma`rifat tentang Dzat Ilahi dan kesempurnaan-Nya (Isma'il, 2002: 19).
Berkaitan dengan masalah tasawuf, ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ahli, yaitu sebagai
berikut:
Menurut
Al-Qashshab, tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang muncul di zaman yang mulia
dari tangan seorang yang mulia bersama kaum yang mulia pula. Menurut Ruwaim,
tasawuf adalah melepaskan jiwa bersama Allah sesuai dengan apa yang Allah
kehendaki. Menurut Al-Jariri, tasawuf yaitu masuk dalam lingkaran akhlak mulia
dan keluar dari akhlak yang rendah. Menurut Al-Makki, tasawuf hendaknya seorang
hamba setiap saat berada pada sesuatu yang lebih utama dalam waktu tersebut.
Menurut Al-Qannad, tasawuf ialah menyebarkan kedudukan spiritual dan
melanggengkan komunikasi dengan Allah (As-Sarraj,
2002: 53). Al-Ghazali,
menjelaskan, bahwa tasawuf
merupakan perpaduan antara ilmu
dan amal, sehingga sufi memiliki ketulusan tujuan, dan betul-betul mengalami
ketenteraman dan kepuasan karena mendapat pencerahan dari Allah. Ia mengatakan:
aku mengetahui dengan yakin bahwa para
sufi adalah betul-betul para salik menuju Allah semata. Perjalanan mereka
adalah perjalanan terbaik, jalan mereka adalah jalan
terbenar, dan akhlak mereka adalah akhlak terbersih. Andaikata akal para intelektual, filsafat
para filusuf dan ilmu para ulama bersatu untuk mengubah sedikit saja perjalanan
dan akhlak mereka serta menggantinya dengan suatu yang lebih baik dari itu,
niscaya tak ada jalan untuk itu. Pasalnya,
semua gerak dan diam mereka, lahir dan batin diperoleh dari sinar
nubuwwah cahaya kenabian. Dan tak ada sinar yang bisa menerangi di muka bumi
ini selain sinar nubuwwah. Menurut Al-Ghazali
ilmu yang dicapai para sufi bisa mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta
membersihkan moral atau sifatnya yang buruk dan tercela, sehingga mengantarkannya
pada keterbatasan qalbu dari segala sesuatu selain Allah serta
menghiasinya dengan ingat kepada Allah. Seorang murid yang menempuh jalan sufi
harus konsisten menjalani hidup, menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak
tidur pada malam hari untuk membina qalbu-nya.
Manfaat hidup menyendiri adalah untuk mengosongkan qalbu-nya
dari pesona duniawi. Adapun diam adalah untuk menyuburkan akal budi,
membangkitkan rendah hati, dan mendekatkan ketaqwaan. Rasa lapar untuk
mencerahkan qalbu, sementara terjaga pada malam hari adalah untuk
menjernihkan dan mencemerlangkan qalbu.
Al-Ghazali
membedakan tasawuf sebagai ilmu mu'amalah dan tasawuf sebagai ilmu mukasyafah.
Menurutnya, tasawuf sebagai ilmu mukasyafah tidak bisa diungkapkan kecuali
secara simbolis dan tidak diperkenankan untuk diungkapkan kepada sembarang
orang. Puncak tasawuf bagi al-Ghazali adalah al-qurb (kedekatan dengan
Allah) atau dengan istilah lain “al-fana
bilkulliyat fillah” (fana secara total di dalam
Allah). Dan inilah suatu tingkatan tauhid tertinggi, sehingga dia tidak melihat
dalam yang Wujud kecuali Dzat Yang Maha Esa, yaitu syuhud
(kesaksian batin) orang-orang siddiq. Para sufi menamakannya dengan fana
dalam tauhid karena dia tidak melihat kecuali Dzat Yang Esa, bahkan dia
juga tidak melihat dirinya. Apabila dia tidak melihat dirinya karena tenggelam
dalam pandangan tauhid, maka dia fana dari dirinya sendiri dalam pandangan
tauhidnya, dengan pengertian bahwa dia fana dari melihat dirinya dan segala makhluk (Isma’il, 2008:
132).
Tasawuf
pada dasarnya merupakan ajaran yang sudah ada pada zaman Rasulullah Muhammad
saw dan para sahabatnya termasuk juga para tabi’in. Namun, pada saat itu tidak
menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi dalam prakteknya mereka adalah sufi
yang sesungguhnya. Mereka adalah orang yang hidupnya mengabdi hanya untuk
Tuhannya, mereka menghiasi dirinya dengan hidup zuhud, tekun melaksanakan
ibadah, berakhlak mulia, dan mereka terkenal sebagai orang yang bersih hatinya.
Mereka terkenal sebagai orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah-ibadah
sunnah, menghindari hal-hal yang bersifat makruh di samping yang haram,
sehingga terpancar dari hati nurani mereka butiran-butiran hikmah, dan
rahasia-rahasia ketuhanan melimpah dalam jiwa mereka. Itulah sebenarnya yang
disebut sufi sejati, dan itu semua dicontohkan oleh Rasulullah.
Setelah era itu, seperti yang dikemukakan oleh
Al-Wasyi, beragam bangsa mulai memeluk Islam. Bidang ilmu pengetahuan juga
semakin luas dan terbagi-bagi di antara para spesialis. Setiap kelompok
berusaha mengkodifikasikan ilmu yang mereka geluti dan mereka kuasai. Di
antaranya muncul ilmu nahwu, ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu hadits, ilmu ushul
fiqh, ilmu faraidh, dan ilmu-ilmu lainnya.
Setelah fase ini, pengaruh spiritualitas Islam sedikit demi sedikit
melemah. Manusia mulai lupa akan pentingnya bertaqarrub kepada Allah melalui
ibadah, hati, dan tekad. Hal inilah yang
mendorong para zahid (ahli zuhud) untuk mengkodifikasikan ilmu tasawuf, serta
menerangkan kemuliaan dan keutamaannya di antara ilmu-ilmu lainnya. Mereka melakukan itu, bukan sebagai reaksi
terhadap apa yang dilakukan oleh kalangan ulama lain, melainkan mereka
melakukan itu untuk menutupi kekurangan dan menyempurnakan agama dari segala
aspeknya (Isa, 2010: 9).
Ilmu tasawuf itu mulai muncul dan berkembang
pada sekitar tahun 700 sampai 1000
Masehi atau kira-kira tahun 80 sampai 400 Hijriah. Namun begitu, di antara
jaran-ajaran tasawuf itu tidak semuanya berjalan sesuai dengan tuntunan Rasulullah
dan para penerus-penerusnya. Banyak orang yang berpura-pura berperilaku tasawuf
dan bertindak seakan-akan diri mereka seorang sufi. Mereka berbicara dan berani
memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentang tasawuf, padahal secara
hakiki mereka hanya menipu diri dan berpura-pura memahami hakikat tasawuf.
Kemudian muncullah kitab-kitab tasawuf yang diditulis oleh para ahli. Salah
satu di antara kitab tentang tasawuf
yaitu kitab al-Luma’ karya Abu Nashr As-Sarraj ath-Thusi. Dalam kitabnya ia
mengajukan dua alasan utama mengapa kitab ini ditulis, yaitu: (1) Untuk
menunjukkan kepada mereka yang punya kepedulian membaca buku ini mengenai apa
sejatinya tasawuf itu, (2) Menyampaikan protes keras terhadap sejumlah
malpraktek (praktek berkehidupan tasawuf yang salah) dari para pelaku yang
berpura-pura dan menipu, sehingga bagi mereka yang tidak punya cukup waktu
mendalami tasawuf dan mereka yang tidak punya keinginan mengikuti jalan
tasawuf yang sesungguhnya benar-benar
tasawuf, paling tidak terbantu dapat membongkar topeng-topeng kepalsuan yang
melekat pada para pelaku yang berpura-pura tasawuf.
Salah satu penulis lainnya yaitu Abu Bakr
al-Khalabadhi yang menulis Kitab at-Ta’aruf li Madzhab Ahlit Tasawuf.
Dalam bukunya ia membuat pernyataan bahwa akhirnya makna yang sejati dari
tasawuf hilang dan yang tertinggal tak lain hanya sekedar sebutan. Pemahaman
terhadap hakekat tasawuf lenyap didesak dan diganti oleh gumpalan asap pekat
tanpa makna karena keluar dari mulut yang pintar bicara. Al-Kalabi amat prihatin
atas munculnya orang-orang yang berpura-pura tasawuf. Makna sejati tasawuf
telah hilang, dan yang tertinggal hanyalah sebutan. Ia menjelaskan sebagai
berikut:
(1) Maka terjadilah perubahan, apa yang hakiki menjadi sekedar ungkapan bibir,
apa yang benar menjadi kata-kata hiasan;
(2) Mereka yang tidak mengerti tasawuf mengaku dirinya ahli tasawuf dan tasawuf
dijadikan hiasan bibir oleh mereka yang sebenarnya tidak memiliki karakter
kepribadian tasawuf;
(3) Perbuatannya mengingkari ucapan lisannya;
(4) Ke dalam dunia tasawuf mereka memasukkan segala sesuatu yang seharusnya
tidak patut ada di dalamnya. Akibatnya, apa yang hak dalam tasawuf menjadi
batal, Orang yang punya ilmu tentang tasawuf dipandang sebagai orang yang
bodoh, dan orang-orang yang layak berbicara apa yang hak (benar) dalam tasawuf
tersisih, menyendiri dan bersembunyi.
(5) Orang yang punya wawasan tasawuf berdiam diri karena tersudut oleh mereka
yang menonjolkan diri mengaku-aku,
kemudian banyak hati yang lari dari dunia tasawuf dan banyak yang meninggalkan
tasawuf.
(6) Kemuliaan, ilmu dan ahlinya pergi menghilang, akibatnya orang-orang bodoh
disebut ulama, sebaliknya ulamanya menjadi hina, rendah, dihinakan dan
direndahkan.
Kondisi seperti itulah yang mengundang
al-Kalabadhi menyusun buku tentang tasawuf yang diberi judul “At-Ta’aruf li
Madzhab Ahl Tasawuf”. Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf
itu ada yang betul-betul berakar dari ajaran Rasulullah dan penerus-penerusnya
yang hak dan sah, tapi ada juga tasawuf yang sudah menyimpang dari ajaran
Rasulullah. Maka tidaklah heran kalau ada orang yang anti tasawuf dan
menganggap tasawuf sebagai suatu ajaran yang bid’ah. Padahal, kalau kita
pelajari dengan cermat dan teliti, sesungguhnya ajaran tasawuf itu merupakan
ajaran yang berasal dari Rasulullah, sehingga tidak ada yang perlu diragukan
kebenarannya (Afandi (2009: 8).
Walaupun pada masa Nabi Muhammad saw istilah
tasawuf belum dipergunakan, tetapi secara substansial telah dilaksanakan, dan
istilah yang dikenal pada masa Rasulullah Muhammad saw bagi orang yang
mengamalkan tasawuf disebut zuhud. Berkaitan
dengan kezuhudan, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, sebagai berikut:
Ali
Syari'ati menjelaskan bahwa hidup sufistik, secara tradisional dan historis
sudah terdapat pada masa Nabi. Nabi beserta keluarganya sehari-harinya selalu hidup
sederhana dan apa adanya, di samping beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah dan
berjihad dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tradisi serupa diwarisi oleh
keluarga beliau (ahlulbait), yakni Ali r.a. dan Fatimah
r.a. beserta anak-anaknya. Hampir semua
penulis sepakat bahwa dalam sejarah
hidup Rasulullah didapati suatu kondis kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan,
kesahajaan, dan keterbatasan aspek duniawi dalam rumah tangganya sehari-hari.
Itulah fakta yang tertulis dalam sejarah kehidupan Nabi dan keluarganya.
Imam
Bukhari menceriterakan bahwa Rasulullah
sendiri menegaskan, "Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau
lapar, dan jika kami makan, maka tidaklah sampai kenyang". Dan dalam
riwayat yang lain Rasulullah juga
bersabda, "Kefakiran adalah kebanggaanku". Yang dimaksud fakir di sini, yaitu perasaan
tidak membutuhkan segala sesuatu kecuali terhadap Allah, sehingga segala dunia
ini dipahami sebagai bentuk amanat, yang penyerahannya pasti disesuaikan dengan
kesanggupan sang makhluk untuk menerimanya.
Sahabat
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah
pernah berkata, "Ketakutanku kepada Tuhan lebih daripada orang lain, dan
kegentaranku kepada-Nya tidak ada tolok bandingannya. Kadang-kadang aku lalui
tiga puluh hari lamanya dengan tidak mempunyai simpanan makaan di rumah,
sehingga Bilal datang mengepit sepotong roti yang kami makan bersama-sama.
Rasulullah
sendiri pernah berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah kehidupan dan kenabianku
fakir, dan bangkitkanlah aku dari kematian di antara orang-orang
fakir". Pada hari kebangkitan Allah
akan berfirman: "Hadapkanlah kepada-Ku hamba-hamba-Ku yang
tercinta". Maka para malaikat berkata: "Siapakah hamba-hamba yang
Engkau cintai"?, Allah menjawab: "Mereka yang fakir dan
teraniaya".
Kefakiran
akan mendorong seseorang untuk berpantang dari segala yang diharamkan, dan akan
mendekatkan dirinya kepada Allah dalam keimanannya. Dibalik kefakiran,
tersimpan daya kekuatan dahsyat keimanan mereka. Rasulullah bersabda:
"Jika engkau benar-benar beriman kepada Allah, Dia akan menyaantunimu,
sebagaimana Dia menyantuni burung-burung. Di pagi hari mereka dengan perut
lapar, di sore hari mereka kembali dengan perut kenyang.
Keyakinan
dalam bentuk ikhlas ini yang mengubah kecemasan alami di hati seseorang menjadi
penuh harapan akan rahmat dan ampuna Allah. Dengan keyakinan penuh, maka emosi
spiritual seorang sufi membawanya "menyatu" dengan iradah Tuhan,
sehingga ia menggapai rasa cinta, di mana keadaan ini diawali dengan keadaan
serupa oleh Tuhan.
Tentang hal ini,
Nabi juga bersabda, bahwa Allah berfirman: Hamba-Ku tidak akan bisa
mendekati-Ku, bila hanya menunaikan kewajiban-kewajiban yang Aku fardhukan
atasnya. Dan hamba-Ku akan kian dekat dengan-Ku bila mengerjakan pula
amalan-amalan sunnah, hingga Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, Aku
akan menjadi telinganya, maka ia akan mendengar melalui-Ku, dan Aku akan
menjadi matanya, maka ia akan melihat melalui-Ku, dan menjadi lidahnya, maka ia
akan berkata melalui-Ku, dan menjadi tangannya, maka ia akan berbuat melalui-Ku (Sholikhin (2004: 47). .
Dari
kenyataan historis di atas, jelaslah kepada kita bahwa kehidupan sufi sudah dimasyarakatkan
semenjak masa Rasulullah dan para sahabatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Nabi Muhammad dan para
sahabatnya adalah sebagai contoh dalam berbuat zuhudyang menjadi sikap
utama para sufi.
Sejalan dengan itu, Solikhin (2004: 50) bahwa perilaku
kehidupan zuhudsangat kental dengan diri para sahabat terkemuka, seperti
Abu Bakar yang hanya mengenakan bajunya hanya dengan peniti, sehingga ia
dikenal sebagai "si dua peniti". Umar, walaupun menjadi khalifah, ia
hanya hidup dari roti dan minyak zaitun. Pakaiannya yang seberapa banyak,
sebagian ada yang bertambal dua belas tempat. Utsman bin Affan berpakaian yang
sama dengan para pembantunya, walaupun ia seorang yang kaya raya. Bahkan suatu
hari, saat sudah menjadi khalifah, ia mencari kayu bakar sendiri ke kebunnya.
Demikian pula sahabat Ali r.a. yang hanya memiliki sebuah gubuk kecil
untuk tempat tinggalnya.
Perilaku
keshalihan dan kezuhudan itu memudar dan hilang pada masa kekhalifahan bani
Umayyah yang secara licik merebut tahta dari rakyat. Demikian kesaksian
Al-Kharraz, seorang sufi terkemuka abad ke-3 Hijriyah. Tradisi-tradisi sufistik
itu dapat kita telaah dan kita peroleh dari kumpulan khutbah para sahabat,
terutama Umar bin Al-Khaththab, dan yang paling masyhur adalah kumpulan kata-kata
hikmah Ali r.a. dalam Nahjul Balaghah
yang mengemukakan prinsip tauhid sufistik.
Pada
masa Rasulullah masih hidup, juga dikenal seorang sahabat terkemuka dan zahid,
namanya Hudzaifah bin Yaman, yang banyak dikenal para sahabat dan menjadi
tempat bertanya tentang berbagai ilmu yang hanya diberikan Rasulullah kepada
Hudzaifah, termasuk sahabat Umar dan
Utsman.
Hasan
Al-Bashri adalah murid Hudzaifah, seorang penasihat dan pembimbing kehidupan
sufi yang ulung, yang bersama-sama muridnya di masa tabi'in, menjadikan wacana
kehidupan sufi menjadi wacana massal. Ia adalah seorang tabi'in yang menjadi
guru pertama sufi dan mengajarkan sufi serta ilmu Al-hikmah kepada
masyarakat. Menurut para pelaku sufi, Hasan Al-Bashri merupakan orang yang
menjadi teladan dan peletak doktrin sabar, khusyu' dan iffah (menjaga
kehormatan dan integritas pribadi), sehingga hidupnya hamper menyamai kehidupan
Nabi Ibrahim.
Semasa
dengan Al-Bashri, di Baghdad terdapat seorang sufi besar, namanya Abu
Hamzah yang sangat giat membina madzhab tasawuf, terutama dalam kebersihan dzikir,
menetapkan hikmah, mempertebal kecintaan kepada Allah, memperhalus rasa,
memperbanyak ibadah, dan memperindah budi pekerti mausia.
Selain
Hasan Al-Bashri, pada periode ini juga terdapat seorang sufi-penyair
pertama, yaitu Ahmad bin Ashim yang
lahir di Wasit (Irak) tahun 140 H./757 M. dan wafat di Damaskus 215 H./830 M.
Dialah pengarang sufi terkemuka abad ke-3 H./9 M., juga seorang guru ruhani,
suatu sisi tasawuf yang sampai sekarang ini sangat penting terutama dalam
tasawuf thariqaty, yang meniscayakan adanya seorang guru ruhani (syaikh
atau mursyid). Perumus dan perintis tasawuf thariqaty adalah Ibnu Ashim ini.
Di
provinsi Khurasan pada paruh kedua abad ke-2 H./8 M., hiduplah Ibrahim Ibnu
Adham, pangeran dari negeri Balkhah -
tokoh yang kisah peralihannya kepada kezuhudan menjadi tema favorit para
sufi.
Madzhab
kezuhudan Khurasan dilanjutkan oleh murid Ibnu A’dham,
yaitu Syaqiq Al-Balkhi – ada yang menyebutnya dengan Abu Sa'id Al-Balkhi. Tokoh
ini juga dikenal sebagai seorang sejarawan dan arkeolog yang menguasai huruf
paku dari Mesir kuno, dan rahasia piramid
dan patung Spinx di Mesir berdasarkan perhitungan astronomis sesuai keahliannya
sebagai seorang astronom, yang menyatakan bahwa itu dibangun sejak 70.000 tahun
sebelum hijrah. Menurut beberapa pengarang, ia adalah orang pertama yang
mendefinisikan keimanan kepada Allah.
Di
Persia, kita mendapati para zahid yang pertama di antaranya Abdullah bin Al-Mubarak yang disebutkan
pernah menulis kitab zuhudyang pertama. Tokoh lain adalah Al-Bisyri bin
Al-Harits Al-Hafi (si kaki telanjang) yang sangat kontroversial
pada masanya yang mengaku dirinya sebagai bekas berandalan, dan mengajarkan
ketersembunyian (sir) amal shalih, dan membiarkan persangkaan buruk orang
lain terhadap dirinya.
Di
Irak muncul tokoh tandingan Al-Bisyri,
yakni Al-Fudhail bin Al-Iyadh, yang berasal dari Khurasan, namun pernah
tinggal di Kufah dan Mekkah, dan tidak pernah tersenyum kecuali ketika anaknya
Ali meninggal dunia, sambil menyatakan bahwa "apa yang menjadi kehendak
Allah adalah apa yang menjadi kehendaknya pula". Dalam arti penantian sesuatu yang telah
diketahuinya semenjak dua tahun bahwa anaknya akan wafat sudah sampai, sehingga
menjadi lega, tidak menanggung pemikiran beban tentang kematian anaknya itu.
Di
Bashrah juga muncul wanita zuhud pertama, yaitu
Rabi'ah al-Adawiyah dengan doktrin cinta Ilahinya, yang tidak mau menikah
karena kecintaannya kepada Allah. Tokoh inilah yang disebut-sebut sebagai orang
yang pertama kali menformulasikan tentang idealitas seorang sufi dalam
mengintegrasikan kecintaannya kepada Allah.
Melihat ajaran tasawuf yang dilaksanakan di
POMOSDA pada dasarnya merupakan ajaran tasawuf yang berakar dari Rasulullah,
kemudian setelah Rasulullah meninggal ajaran tersebut dilanjutkan oleh Imam Ali
bin Abi Thalib, Imam Hasan, Imam Husen, Imam Zainal Abidin dan
penerus-penerusnya sampai sekarang yang diyakini penerus tersebut akan terus
ada sampai hari kiamat. Hal ini didasarkan kepada pidato Nabi Muhammad yang
disampaikan pada peristiwa Ghodir Khum, disaksikan oleh kurang lebih 100 ribu
orang pengikut Nabi, dan diyakini sebagai Hadits yang sangat mutawatir seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dan penerus ajaran tasawuf yang
ada saat ini yang dianggap sebagai mursyid atau istilah di POMOSDA “Guru
Wasithah” yaitu ada di Jawa Timur, yakni Kyai Muhammad Anwar Muttaqin
sebagai pelanjut Guru Wasithah sebelumnya yaitu KH. Muhammad Munawwar
Afandi yang wafat pada tanggal 17 Ramadhan 1413 H./2012 M.
b. Materi Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA Lain Daripada yang Lain
1) Makna Tauhidullah
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian temuan penelitian di atas, bahwa yang
dimaksud tauhidullah yang diajarkan dalam Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yaitu
menafikan segala sesuatu selain Allah, “la maujuda illallah”. Dalam
arti, bahwa secara hakiki tidak ada yang ada di alam ini kecuali Allah.
Sedangkan tauhidullah dalam pandangan umum
biasa diartikan dengan mengesakan Allah, meyakini bahwa “la ilaha illa
Allah” (tiada Tuhan kecuali Allah).
tiada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah. Dialah satu-satu-Nya yang
harus kita jadikan tujuan dalam hidup ini, dan Dialah satu-satu-Nya tempat kita
berlindung dan memohon.
Melihat kedua pemahaman antara tauhidullah yang diajarkan di SMA
POMOSDA dengan tauhidullah dalam
pandangan umum terdapat perbedaan yang sangat prinsip. Tauhidullah dalam
pandangan tasawuf di POMOSDA yaitu menafikan segala sesuatu selain Allah,
maksudnya bahwa secara hakiki tidak ada yang ada kecuali Allah. Manusia,
binatang, bumi, langit, dan yang lainnya semua akan hancur, dan yang kekal dan
abadi hanya Allah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah: “Kullu syaiin
halikun illa wajhah” (segala sesuatu itu aka hancur kecuali Dzat
Allah) (QS.Al-qashash: 88). Dalam ayat yang lain, Allah menjelaskan: “Kullu
man ‘alaiha fanin wa yabqa wajhu rabbik” (setiap orang dan apa saja yang
melekat padanya semuanya fan (tidak ada), dan yang kekak adalah Dzat
Tuhanmu) (QS.Ar-rahman: 26-27). Oleh karena itu, kalau kita masih merasa wujud,
maka itu termasuk kepada dosa besar.
Dalam sebuah keterangan yang sering dijadikan rujukan dalam tasawuf dijelaskan: “Wujuduka dzanbun kabirun wala
yunqashu dzanbun akhor” (wujud-mu yang kamu aku (merasa wujud)
itu merupakan dosa besar, dan tidak ada dosa lain yang lebih besar dari itu). Manusia itu pada dasarnya tidak bisa
apa-apa kalau tidak bersama Allah. “la haula wala quwwata illa billah”.
Kalau kita bergerak, pada dasarnya itu adalah gerak Allah. Kalau kita melempar,
pada dasarnya Allahlah yang melempar, dan lain-lainnya. Itulah inti ajaran
tasawuf yang diajarkan di POMOSDA, dan itulah sebenarnya tauhid yang murni.
Dalam ajaran
Islam, kalimat "la ilaha illa Allah" itu biasa disebut dengan
kalimat tauhid, karena di dalamnya mengandung keyakinan akan keesaan Allah. Ia
disebut kalimat tauhid karena menunjukkan adanya penolakan terhadap semua
bentuk kemusyrikan secara mutlak. Athaillah dalam bukunya Rahasia Kecerdasan Tauhid
(2011: 137) mengungkapkan bahwa para ahli makrifah memberi tafsiran yang
beragam terhadap kalimah "la ilaha illa Allah". Pertama, dalam
pandangan Ibn Abbas, "la ilaha illa Allah" maknanya bahwa
tidak ada yang memberikan manfaat, tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya,
tidak ada yang dapat memuliakan, tidak ada yang dapat menghinakan, tidak ada
yang dapat memberi, dan tidak ada pula yang dapat menolak kecuali Allah. Kedua,
makna "la ilaha illa Allah" ada yang mengartikan bahwa tidak
ada yang diharapkan anugerahnya, tidak ada yang patut ditakuti siksanya, tidak
ada yang patut diharapkan perlindungannya, tidak ada yang patut diyakini
kemurahannya, tidak ada yang patut dilaksanakan perintahnya, tidak ada yang
layak dimintai ampunannya, tidak ada yang patut dijauhi larangannya, serta
tidak ada yang dihormati kemuliannya selain Allah. Ketiga, kalimat "la ilaha illa
Allah" ada juga yang memaknai sebagai pertanda adanya makrifat dan
tauhid dalam diri seseorang lewat lisan yang memuji dan mengakui Penguasa Yang
Agung. Jika seorang hamba mengucapkan la ilaha illa Allah, berarti
mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang memiliki kenikmatan, anugerah, karunia,
kekuatan, keabadian, keagungan, keluhuran, keterpaksaan, pujian, murka, da
ridha selain Allah. Dialah yang menguasai alam semesta ini, Pencipta generasi terdahulu dan generasi akhir zaman,
Dialah yang memeberi pembalasan di hari kemudian. Keempat, ada juga yang
memberi makna kalimah la ilaha illa Allah
bahwa hanya kepada Allah sajalah kita berharap dan menaruh rasa cemas.
Hanya Dia yang mampu melapangkan kesempitan dan kesulitan.
Selain itu,
menurut Ibn Athaillah ada juga yang ulama yang berpendapat bahwa kalimat "la
ilaha illa Allah" itu terdiri atas dua belas huruf. Itu mengandung
makna bahwa kita diwajibkan untuk
melaksanakan dua belas kewajiban. Enam di antaranya berupa aktivitas lahiriyah,
sedangkan enam lainnya berupa aktivitas batiniah. Yang bersifat lahiriah yaitu
bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, dan
jihad. Sedangkan yang bersifat batiniah adalah tawakkal, pasrah, sabar,
ridha, zuhud, dan taubat.
Lebih lanjut,
Athaillah dalam buku yang sama (2011: 25) menjelaskan bahwa “Kalimah la ilaha illa Allah
itu dapat menyelamatkan makhluk dari siksaan ringan di dunia dan siksaan berat
di akhirat”.
Mengucapkannya menjadi landasan
Islam, pengamalannya menjadi landasan iman, dan penggabungan keduanya menjadi
landasan ihsan. Dengan menyaksikan kemuliannya, tercapailah pokok-pokok
keyakinan. Jadi, mengucapkannya adalah
Islam, mengamalkannya adalah iman, memahaminya adalah ihsan, dan kesadaran
terhadapnya adalah keyakinan. Aspek lahirnya merupakan simbol kebahagiaan di alam ini dan sebagai permulaan kesaksian, sedangkan
aspek batinnya adalah memahami tujuan di alam malakut dan hamparan ma'rifat,
sementara hakikatnya adalah ketersingkapan makna rahasianya di alam jabarut
sebagai puncak kesaksian.
Di dunia, kalimat tersebut menjadi akad surga sebagai
konsekuensi iman, sedangkan di akhirat berupa ketersingkapan dan penyaksian
sebagai konsekuensi keyakinan. Di dunia ia menjadi pelindung darah dan harta,
sedangkan di akhirat ia menjadi pelindung nasib akhir. Barangsiapa mengucap
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, ia telah
melindungi harta dan darahnya kecuali sesuai dengan haknya. Barangsiapa
meninggal dunia dalam kondisi meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, niscaya ia masuk surga. Rahasia makna tauhid dan
pengetahuan dalam mengesakan-Nya terkumpul dalam kalimah itu.
Yang dimaksud
mengucapkan la ilaha illa Allah di atas, tentu bukan hanya
sekedar ucapan dalam lisan, melainkan ucapan yang disertai dengan keyakinan
dalam hati bahwa sesungguhnya tidak ada yang maujud kecuali Dzat Allah
Yang Maha Esa. Dzat Yang Ghoib yang wajib Wujud-Nya yang keberadaannya sangat dekat dengan kita,
bahkan lebih dekat daripada urat nadi
yang di leher. Oleh karena itu, memahami
tauhid tidak bisa hanya atas dasar pemikiran sendiri, melainkan harus
berdasarkan petunjuk Rasul Allah. Kalau memahami tauhid didasarkan kepada
pemikiran sendiri, maka pasti akan sesat.
Sehubungan dengan itu, Athaillah lebih lanjut mengatakan
bahwa barang siapa menuju Allah tanpa
meneladani rasul-Nya, tauhidnya tidak benar dan menyimpang, sedangkan barang siapa yang menuju Allah
berdasarkan tuntunan-Nya dan tuntunan Rasul-Nya, maka tauhidnya benar dan
lurus. Barang siapa mengenal Allah
dengan landasan iman, ia tentu menaati-Nya. Barang siapa mengenal Allah dengan
landasan keyakinan, ia tentu mengutamakan-Nya. Dan barang siapa mengenal Allah
dengan landasan tauhid, ia tentu mengangungkan-Nya. Adapun orang yang
ma'rifatnya tidak membuat dirinya semakin mengenal Allah dan sifat-Nya serta
tidak menambah hakikat tauhid baginya, ia terhijab. Orang yang terhijab adalah
orang yang kehilangan. Dan keimanan para ulama
bersumber dari ilmu yang yakin.
Kalimah la ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah
harus dimiliki oleh seorang hamba, baik dalam bentuk keyakinan di hati,
pengakuan secara lisan maupun pemenuhan lewat pengetahuan. Apabila iman
terletak dipermukaan hati, niscaya hamba masih mencintai dunia dan akhirat.
Kondisi ini kadang baik untuknya dan kadang berbahaya baginya. Sedangkan
apabila iman merasuk dalam hati, niscaya hamba membenci dunia, mencintai
akhirat, dan meninggalkan hawa nafsu. Lalu, ketika iman sudah menyentuh lubuk
hati, niscaya hamba berpaling dari selain Allah.
Kalimah la ilaha illa Allah merupakan kalimah
penafian dan penetapan. Ia merupakan penafian yang meniadakan seluruh sifat
baru (bermula), cacat, dan fana, serta penetapan yang mengharuskan keberadaan
seluruh sifat suci, sempurna dan tak bermula. Barang siapa yang melihat
eksistensi Allah sebagai Dzat yang bermula dan melihat segala sesuatu
selain-Nya sebagai makhluk yang bermula, ia telah melihat keazalian-Nya serta
berkata: Aku tidak melihat sesuatu pun melainkan Allah telah ada sebelumnya.
Barang siapa yang melihat Allah sebagai Dzat yang abadi dan melihat
makhluk sebagai sesuatu yang fana, ia telah menyaksikan rasasia
keabadian-Nya seraya berkata, aku tidak melihat sesuatu pun melainkan Allah
tetap ada sesudahnya. Barang siapa melihat Allah sebagai Dzat yang
memiliki pengetahuan dan kekuasaan serta melihat makhluk sebagai sesuatu yang
bodoh, lemah, dan terbata, maka ia telah menyaksikan perbuatan dan pengetahuan-Nya
yang komprehensif seraya berkata, aku tidak melihat sesuatu pun melainkan Allah
ada bersamanya.
Penyaksian itu menurut Ibn Athaillah terbagi tiga:
penyaksian perbuatan dengan perbuatan, penyaksian sifat dengan sifat, dan
penyaksian Dzat dengan Dzat. Barang siapa melihat al-Haq dengan
al-Haq, tampaklah baginya nama dan sifat-Nya berikut keberadaan-Nya dalam
seluruh entitas dan ilmu-Nya dalam seluruh pengatahuan. Barang siapa melihat
seluruh entitas dengan ilmu-Nya, tampaklah baginya kreasi-Nya dalam seluruh
ciptaan dan tindakan-Nya pada seluruh perbuatan makhluk. Barang siapa melihat
Allah dengan Allah semata, bukan dengan dirinya, terputuslah seluruh
penisbahan, lenyaplah seluruh makhluk, serta hilanglah seluruh ibarat dan
ungkapan.
Tauhid adalah penetapan sifat-Nya yang tak bermula,
mengesakan sifat-Nya sebagai pencipta, dan menafikan ketiadaan-Nya. Ma'rifat
tentang tauhid adalah pengesaan namanya, sedangkan pemahaman tentang tajrid
(penunggalan) adalah penyucian berdasarkan pengetahuan. Pagkal la ilaha illa
Allah adalah penetapan nama Tuhan, mengikhlaskan upaya mengesakan-Nya,
menafikan sifat-Nya dari segala sesuatu selain-Nya serta mensucikan-Nya dari
segala sekutu. Dengan memahami makna dan rahasia itulah keislaman menjadi
benar, dengan kesaksian atas itulah iman menjadi penuh, serta dengan kaidah dan
pilar itulah ihsan menjadi sempurna. Berkaitan dengan keutamaan
tauhid, Al-Jailani (2010: 225) dalam
nasihatnya menjelaskan:
Wahai manusia,
siksalah setan-setan kalian dengan keikhlasan dari dalam hati ketika mengucapkan
la ilaha illa Allah. Kalimah tersebut merupakan kalimah tauhid yang dapat
membakar syetan manusia dan juga syetan jin, sebab lafadz tersebut merupakan
api yang membakar bagi para syetan dan menjadi cahaya penerang bagi orang-orang
yang bertauhid.
Oleh
karena itu, ketika seseorang mengucapkan kalimah tersebut di dalam hatinya
harus meniadakan segala sesuatu selain Allah, karena menurut bagaimana lidah
kita bisa mengucapkan la ilaha illa Allah, kalau di dalam hatinya sekian
banyak Tuhan yang dijadikan sebagai sandaran. Sia-sia saja lafadz tauhid yang
diucapkan dengan lisan, sedangkan di dalam hatinya terjadi kemusyrikan. Sia-sia
saja kita membersihkan badan, sedangkan hati dipenuhi oleh najis. Seorang
muwahhid sejati dapat menyiksa syetannya, sedangkan orang yang musyrik akan
disiksa oleh syetannya sendiri.
Keikhlasan adalah intisari dari setiap perkataan dan
perbuatan. Jika itu ditinggalkan, maka yang ada adalah kulit tanpa isi. Kulit
hanya layak dilalap oleh api. Keikhlasan dalam tauhid dapat memadamkan
kerakusanmu dan dapat mematahkan brutalnya nafsumu. Jangan menghadiri tempat
yang dapat mengobarkan api watakmu, sehingga dapat menghanguskan rumah agama
dan keimananmu. Jangan mendatangi tempat-tempat yang mengakibatkan kelakuan
keji hawa nafsu dan syetan, karena itu dapat menghilangkan agama, keimanan, dan
keyakinanmu.
Dari beberapa pandangan para ahli tentang tauhidullah
seperti yang diungkapkan di atas, dapat dipahami bahwa tahuhidullah itu
ialah menafikan segala sesuatu selain Allah dengan menanamkan keyakinan dalam
hati bahwa sesungguhnya “la maujuda illa Allah” (tidak ada ada yang ada
kecuali Allah). Dalam arti bahwa kita harus berusaha menafikan segala sesuatu
dalam hati kita selain dari Allah. Dengan demikian, konsekuensinya: (1) bahwa
tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, (2) tidak ada yang dituju dalam
hidup ini, kecuali Allah. Maksudnya, bahwa ibadah kita hidup kita, mati kita,
dan segala aktivitas kita harus ditujukan kepada Allah, dan semata-mata karena
mengharap ridha Allah, (3) tidak ada yang berhak dijadikan tempat berlindung
dan memohon sesuatu kecuali Allah, (4) tidak ada daya dan kekuatan kecuali
Allah daya dan kekuatan Allah, dalam arti bahwa manusia itu tidak punya daya
dan kekuatan apa pun kecuali bersama Allah (la haula wala quwwata illa
billah). Dan apabila keyakinan seperti itu sudah tertanam dalam hati setiap
orang Islam, maka akan terhindar dari prilaku musyrik dan akan menjadi hamba
yang mukhlis, yakni hamba yang menyembah Allah dengan penuh keikhlasan.
Mengikhlashkan semua pengabdiannya, shalatnya, zakatnya, puasanya, dan segala
perbuatannya semata-mata hanyalah untuk Allah dan semata-mata mencari ridha
Allah. Dan hamba yang mukhlis itulah
sebagai hamba Allah yang tidak akan tergelincirkan oleh godaan Iblis, atau dengan kata lain
mereka itulah orang yang akan selamat dari tipu daya iblis di dunia ini,
seperti yang dikemukakan Allah dalam Al-qur’an:
Iblis berkata: Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memadang
baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlish di antara mereka (QS.
Al-hijr: 39-40).
2) Makna Rukun Iman
Rukun iman yang diajarkan di SMA POMOSDA pada
dasarnya sama dengan rukun iman yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya
yaitu meliputi enam hal, yakni iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitabullah, iman kepada
Rasulullah, iman kepada Hari Akhir,
dan iman kepada Takdir. Hanya saja penjelasannya yang berbeda, dan
perbedaan tersebut sangat prinsip.
Rukun iman pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dalam pemahaman tasawuf
yang diajarkan di SMA POMOSDA, iman itu
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, ialah “ma’rifatun wa tashdiqun”.
Yang dimaksud ma’rifatun ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya
mengenal, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan
kehadiran Allah di dalam dirinya, dan bahkan dapat melihat Allah dengan mata
hatinya. Dan yang dimaksud wa tashdiqun ialah membenarkan bahwa yang
telah secara hak dan sah mengenalkan Allah itu ialah utusan-Nya. Mengenal Allah
dalam pandangan ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA, bukan hanya
mengenal Asma dan Af’al-Nya
saja, melainkan mengenal Dzat-Nya atau mengenal Jati Diri-Nya. Allah itu
adalah nama dari Dzat Yang Ghaib, yang wajib Wujud-Nya dan sangat
dekat keberadaan-Nya dengan manusia.
Iman secara umum sebagaimana telah dijelaskan pada kajian
teori, diartikan sebagai ketetapan hati atau pembenaran. Sedangkan secara
terminologis, iman ialah ungkapan dan amal perbuatan. Dengan demikian,
secara rinci dapatlah dikatakan bahwa iman itu merupakan ungkapan hati dan
lisan, amal perbuatan hati dan lisan, serta anggota badan. Ia menetapkan bahwa
hati memiliki ucapan dan amal perbuatan, dan menjadikan lisan memiliki ucapan
dan amal perbuatan.
Ucapan lisan yaitu berupa pembicaraan, sedangkan amal
perbuatannya adalah semua geraknya. Ucapan
hati adalah pengakuan dan pembenarannya, sedangkan amal perbuatannya adalah
ungkapan tentang gerak dan kehendaknya, seperti keikhlasan dalam berbuat, tawakkal,
takut, dan penuh harap. Sedangkan amal perbuatan anggota badan, contohnya yaitu ruku’, sujud, berdiri, dan duduk. Amal
perbuatan anggota badan itu dikatakan keimanan, karena yang mendorong amal
perbuatan itu ialah iman.
Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Utsaimin (2007: 675),
mengemukakan bahwa iman itu merupakan ketetapan hati dan selain itu bukanlah
iman. Oleh karena itu, menurut Murjiah iman itu tidak bertambah dan berkurang,
karena iman merupakan ketetapan dalam hati. Manusia dalam hal ini sama, dalam
arti bahwa manusia yang menyembah Tuhan di tengah malam dan siang sama dengan
orang yang berbuat maksiat kepada Tuhan di tengah malam dan siang menurut
mereka, selama kemaksiatan yang ia lakukan tidak mengeluarkannya dari
agama. Hampir sama dengan pendapat
Al-Utsaimin, Al-Maududi (1975: 25), menjelaskan bahwa iman itu ialah keyakinan
di dalam hati akan adaya Allah swt, mengetahui sifat-sifat-Nya, mengetahui
bahwa Allah itu Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya, yakin dalam hatinya bahwa
Allah itu Maha Mendengar, Maha Mengetahui,
dan Maha Melihat segala sesuatu. Itulah arti iman yang sebenarnya. Apabila
keyakinan semacam itu sudah ada di dalam hati seseorang, maka ia adalah seorang
mu’min. Dari uraian tentang makna iman di atas, dapat dipahami bahwa iman itu
merupakan suatu keyakinan kepada Allah yang ada di dalam hati, kemudian
diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan melihat dua pandangan tentang iman
kepada Allah seperti di atas, terdapat suatu perbedaan yang prinsip. Iman dalam
pandangan ajaran tasawuf di POMOSDA bukan hanya sekedar mengenal Asma
dan af’alnya, melainkan mengenal Dzat-Nya, yakni Dzat Allah itu
sendiri.
Adapun kebanyakan dalam pandangan umum, mengenal Allah itu hanya mengenal Asma
dan Af’al-Nya saja. Padahal, Allah itu hanya nama dari Dzat Yang Ghaib
yang wajib Wujud-Nya. Beriman kepada Allah, bukan beriman kepada nama
Allah, melainkan beriman kepada Dzat pemilik nama itu sendiri, Dzat yang wajib Wujud-Nya yang
sangat dekat keberadaan-Nya dengan manusia bahkan lebih dekat dari urat nadi
yang ada di leher, sesuai denganfirman
Allah sendiri: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan Kami
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
dari pada urat lehernya” (QS.Qaf: 16).
Untuk dapat mengenal Dzat Allah itu
tidak bisa dipikirkan melalui akal, karena akal manusia tidak akan sampai
kepadanya. Di dalam sebuah Hadits yang sangat populer disebutkan: “Berpikirlah
kamu tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang Dzat Allah, maka
kamu akan celaka”. Oleh karena itu, untuk dapat mengenal Dzat Allah itu
harus sesuai dengan perintah Allah dalam Al-qur’an, yaitu bertanya kepada ahli dzikir.
Allah berfirman: “Maka bertanyalah kamu kepada ahli dzikir jika kamu
tidak mengetahui (Dzat Tuhan)” (QS. Al-anbiya: 7). Dengan bertanya
kepada ahli dzikir (orang yang sudah mampu mengingat Tuhan dalam
hidupnya) karena sudah mengenal-Nya, maka kita akan mengetahui-Nya, dan akan
bisa mengingat-ingat-Nya dalam rasa hati kita.
Kalau kita bertanya kepada diri kita, mengapa
banyak orang yang menyembah matahari, berhala, api, dan lain-lain-lainnya.
Karena mereka berpikir tentang Tuhan berdasarkan pikiran mereka sendiri, tidak
berdasarkan petunjuk Tuhan, karenanya maka mereka menjadi sesat. Nabi Ibrahim
sendiri dalam kisahnya mencari Tuhan, kalau tidak berdasarkan petunjuk Allah,
maka ia pun akan sesat. Kisah tersebut, diabadikan dalam Al-qur’an sebagai
berikut:
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi
tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang
tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: Inikah
Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah
Tuhankuini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia
berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (QS. Al-An’am: 76-78).
Dari kisah di atas, dapat kita pahami bahwa
kalau bukan karena petunjuk Tuhan, Nabi Ibrahim sendiri dalam kisahnya mencari
Tuhan akan tersesat. Maka oleh karena itu, kalau kita ingin mengenal Tuhan
dengan seyakin-yakinnya bukan hanya mengenal nama dan af’a-Nya, maka harus
kembali kepada petunjuk Tuhan yaitu harus bertanya kepada ahlinya, yaitu ahli dzikir.
Ahli dzikir yaitu orang yang diberi kemampuan oleh Allah untuk selalu
mengingat-ingat-Nya, karena telah mengenal-Nya. Beliau itu ialah pelanjut dan
pengganti Rasulullah yang hak dan sah.
Rukun iman yang kedua, yaitu beriman kepada
malaikat Allah. Beriman kepada malaikat Allah dalam tasawuf yang diajarkan di
SMA POMOSDA, bukan hanya percaya bahwa Allah telah menciptakan malaikat dari cahaya, dan mempunyai tugas-tugas
tertentu, serta merupakan makhluk yang
patuh kepada Allah dalam menjalankan tugasnya, melainkan harus memiliki sifat
seperti malaikat yang telah mau tunduk dan patuh kepada Allah ketika diperintah
sujud kepada Adam sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi.
Beriman kepada malaikat Allah dalam pandangan
umum sebagaimana yang dijelaskan pada kajian teori yaitu bahwa kita harus
percaya bahwa Allah itu telah menciptakan malaikat yang terbuat dari cahaya,
dan memiliki sifat patuh kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat. Selalu
melaksanakan apa saja yang diperitahkan oleh Allah dan tidak pernah
mendurhakainya.
Melihat kedua pandangan di atas, sangat jelas
sekali perbedaannya. Dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa malaikat itu bukan
diartikan hanya sebagai makhluk yang selalu taat kepada Allah saja, tetapi pada
dasarnya malaikat itu merupakan makhluk yang memiliki sifat yang selalu tunduk
kepada Allah dan sekaligus sebagai tamsil bagi kita yang harus kita ikuti.
Maksudnya, kita selaku orang yang beriman harus mau tunduk dan patuh kepada
wakil Allah yang ada di muka bumi saat ini, yakni “Guru Wasithah”
sebagai pelanjut Rasulullah dan sekaligus sebagai wakil Allah (khalifatullah)
di muka bumi. Yang dimaksud tunduk dan patuh di sini adalah tunduk dan patuh sepenuhnya “kalmayyiti
baina yadilghasyili” (seperti mayit yang dimandikan oleh kedua tangan orang
yang memandikannya), karena, tanpa Guru Wasithah seseorang tidak akan
bisa sampai kepada Allah. Hal ini didasarkan kepada suatu keterangan yang
sering dikemukakan oleh Guru Wasithah,
yaitu: “la biwushulin ilaihi illa biwasithatin” (tidak akan sampai
kepada Allah kecuali bersama Wasithah). Oleh karena itu, keberadaan Guru
Wasithah sangatlah penting. Dengan demikian, konsekuensinya bahwa orang
yang beriman kepada malaikat Allah itu harus mau tunduk dan patuh mengikuti
ajaran-ajaran yang dicontohkan oleh guru Wasithah seperti malaikat sujud
kepada Adam.
Rukun iman yang ketiga, yaitu beriman kepada
kitab Allah. Beriman kepada kitab Allah dalam pandangan tasawuf yang diajarkan
di SMA POMOSDA, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bukan beriman kepada
tulisan Al-qur’an yang ada saat ini, melainkan beriman kepada kitab Allah yang
ada di lauh mahfudz. Sedangkan beriman kepada kitab Allah dalam pandangan umum
berarti beriman kepada Al-qur’an yang
diturunkan oleh Allah, dan bagaimana kita menjadikan Al-qur’an sebagai petunjuk
dan pedoman dalam kehidupan kita.
Dari sini terlihat sekali perbedaan antara
keduanya. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan pemahaman tentang kalimat dzalikal
kitabu yang diartikan Al-kitab itu, bukan Al-kitab ini. Makkna
dzalikal kitabu berarti bukan Al-kitab yang ada saat ini, melainkan yang
ada di lauh mahfudz yang tidak bisa disentuh kandungannya oleh siapapun kecuali
oleh orang yang disucikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “La yamassuhu
illal muthahharun” (QS. Al-waqi’ah: 79), dan orang-orang yang disucikan itu
ialah para Rasul-Nya. Jadi, beriman kepada kitab Allah berarti beriman kepada
kitab yang ada di lauh mahfudz yang tidak
bisa disentuh makna dan kandungannya kecuali oleh para Rasul-Nya dan
juga penerus-penerusnya, termasuk Guru Wasithah yang ada saat ini.
Rukun iman yang keempat, yaitu beriman kepada Rasulullah.
Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa beriman kepada
Rasulullah itu bukan beriman kepada Rasulullah yang sudah tidak ada, melainkan
beriman kepada Rasullah yang ada saat ini sebagai pelanjut dari Nabi Muhammad
saw. Adapun beriman kepada Rasulullah dalam pandangan umum yaitu beriman kepada
para Rasul yang diutus oleh Allah mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad,
dan diyakini bahwa Nabi Muhammad itu merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang
harus dijadikan sebagai teladan dan panutan dalam hidup kita.
Dari dua pandangan di atas, terdapat perbedaan
yang sangat mencolok, yaitu bahwa dalam pandangan ajaran tasawuf di SMA
POMOSDA, Nabi Muhammad itu bukan Rasul terakhir, dan hal ini didasarkan kepada
firman Allah:“Wa’lamu anna fikum
Rasul”, (ketauhilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu itu ada Rasul).
Maksudnya, Rasul sebagai pengganti dan pelanjut Nabi Muhammad. Nabi Muhammad
itu jasadnya sudah meninggal, tetapi Nur Muhammad yang ada di dadanya terus
mengalir kepada pengganti-penggantinya yang akan terus ada sampai hari kiamat.
Pengganti-penggantinya itulah yang harus dijadikan sebagai panutan dan uswatun
hasanah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didasarkan kepada Hadits Nabi: ‘Alaikum
bisunnati wa sunnatil khulafa ar-rasyidin al-mahdiyyin (Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku
dan sunnah penggati-penggantiku yang lurus dan mendapat petunjuk) (HR. Muslim).
Rukun iman yang kelima, yaitu beriman kepada
hari akhir. Beriman kepada hari akhir dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di
SMA POMOSDA, yaitu beriman kepada tempat kembali asal manusia itu sendiri, dan
tempat kembali asal manusia yaitu Tuhan sendiri. Beriman kepada hari akhir
dalam pandangan umum ialah beriman
kepada hari akhirat yang akan terjadi setelah kematian.
Dari dua pandangan di atas terdapat perbedaan
yang mendasar, yakni bahwa dalam pandangan tasawuf di SMA POMOSDA, hari akhir
itu adalah tempat pulang kembali hamba kepada asalnya, yaitu sebagaimana firman
Allah dalam Al-qur’an surat Al-qamar: 55: “Fi maq’adi shidqin inda malikin
muqtadirin” (di tempat yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa). Oleh karena itu, apabila telah secara benar
mengenali Diri-Nya Dzat Al-Ghaib ini, lalu berusaha untuk mengingat-ingat-Nya
dalam rasa hati, maka mereka inilah yang tergolong beriman kepada hari akhir.
Rukun iman yang keenam, ialah beriman kepada taqdir Allah. Beriman kepada takdir Allah dalam pandangan
umum ialah meyakini nasib baik dan buruk itu semuanya berasal dari Allah. Dalam
pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa beriman kepada taqdir
Allah itu, selain meyakini bahwa nasib baik dan buruk itu ditentukan oleh Allah, juga
yang terpenting bagaimana supaya secara yakin tahu dan kenal pada Sang
Pembuat nasib baik dan buruk tersebut, sebab Dia adalah segala-galanya. Bagi
hamba yang rasa hatinya selalu lengket dengan Diri-Nya Ilahi, apa pun yang
dialami dan ditemui dalam hidup ini merupakan ujian dan cobaan dari Allah.
Karena itu, meskipun dilanda cobaan yang seberat apa pun, maka hatinya akan
tetap selalu ingat pada Allah dan bahkan semakin bertambah ingatnya, bahkan
ujian dan cobaan itu dianggapnya sebagai pembebas dosa-dosanya. Selain itu,
juga akan tumbuh kesadaran bahwa ternyata manusia itu merupakan hamba yang
apes, hina, dan tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, dan tidak tahu apa-apa,
sehingga dengan demikian akan menjadikan dirinya selalu bersandar kepada Tuhan
Yang Maha Segala-gala-Nya.
Apabila sedang mendapatkan nasib baik dalam
kehidupan ini, maka akan tetap memandang
bahwa hal itu juga merupakan ujian dan cobaan dari Allah, dan ia akan merasa
takut apabila menjadi hamba yang ingkar kepada Allah. Dengan demikian, akan
bangkitlah rasa syukurnya kepada Allah dan akan lebih banyak lagi melaksanakan
amal ibadah kepada Allah guna mencapai tujuan hidupnya memperoleh kebahagiaan
di akhirat kelak.
3) Makna Rukun Islam
Sebagaimana yang dikemukakan pada bagian temuan
penelitian di atas, bahwa rukun Islam
yang diajarkan di POMOSDA sama
seperti yang diajarkan di
sekolah-sekolah pada umumnya, yaitu meliputi:
(1) syahadat, (2) shalat, (3) zakat, (4) puasa, dan (5) haji ke baitullah bagi
yang mampu. Hanya saja penjelasannya yang berbeda, dan perbedaan tersebut sangat prinsip.
Perbedaan yang sangat prinsip ini terletak
pada makna syahadatain, yaitu “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA
POMOSDA bahwa yang dimaksud saya bersaksi itu ialah hatinya betul-betul
menyaksikan “Dzat Al-Ghaib yang Wajibul Wujud (Allah namanya).
Kata saya bersaksi, seperti kata saya bersepatu, saya berkopiah, saya
berpakaian, saya bersepeda, yakni sesuatu yang melekat dengan pelaku. Ungkapan
saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, berarti suatu kesaksian yang
melekat di hati karena terbukanya mata hati setelah melalui “proses pemberkahan”
oleh Guru Wasithah.
Itulah sebabnya, ada syahadat yang kedua,
“Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”. Bagaimana kita
mengatakan saya bersaksi, padahal kita tidak pernah bertemu dengan Nabi
Muhammad. Oleh karena itu, yang harus kita pahami bahwa hakikat Nabi Muhammad
itu ialah “Nur Muhammad”. Nabi Muhammad itu jasadnya telah mati, tetapi Nur Muhammad (cahaya
terpuji-Nya Allah) itu tidak mati, dan
terus mengalir kepada penerus-penerusnya. Oleh karena itu, makna saya bersaksi bahwa
Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, yaitu bersaksi kepada penerus atau
pengganti Nabi Muhammad yang ada saat ini, yakni Guru Wasithah yang hak
dan sah.
Dalam pandangan umum syahadatain itu
cukup diucapkan dan diyakini dalam hati bahwa tidak ada Tuhan yang harus kita
sembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad itu adalah utusan-Nya.
Dari dua pandangan di atas, sangat jelas
sekali perbedaannya. Dalam pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa saya bersaksi itu
harus betul-betul menyaksikan, yakni menyaksikan Dzat Allah dengan mata hatinya, sehingga beriman kepada itu
betul-betul disertai dengan pembuktian. Begitu juga dengan syahadat kedua,
yakni saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah. Bagaimana kita dapat
bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah, padahal kita tidak se zaman dengan
Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad itu sudah meninggal. Oleh karena itu, dalam
pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa yang dimaksud Muhammad itu ialah Nur
Muhammad yang terus mengalir kepada pengganti-penggantinya. Dalam pandangan
tasawuf di POMOSDA bahwa Nabi Muhammad itu sebagai Nabi terakhir, tapi bukan
Rasulullah terakhir, karena di dalam Al-qur’an pun dijelaskan: “Wa’lamu ana
fikum Rasul” (Ketahuihilah olehmu bahwa di tengah-tengah kita itu ada
Rasul). Jadi, Rasulullah itu ada saat ini, dan itulah yang kita saksikan ketika
kita bersyahadat.
4) Makna masuk Islam secara kaffah.
Dalam ajaran tasawuf yang diajarkan di SMA
POMOSDA bahwa yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah kita
harus kembali kepada unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri.
Dalam ajaran tasawuf di POMOSDA, bahwa manusia itu terdiri dari empat unsur
kejadian, yaitu jasad, hati nurani, ruh, dan rasa. Yang dimaksud masuk Islam secara kaffah
itu ialah bahwa jasad yang dijadikan tunggangan hati nurani, ruh, dan rasa
untuk mendekat kepada Tuhan hingga selamat sampai kepada-Nya harus menjalankan
kewajiban syari’at yang tiangnya shalat dengan khusyu’. Hati nurani
kewajibannya melaksanakan tarekat. Tarekat adalah jalan menuju Tuhan. Dan
karena yang dituju adalah Tuhan, maka hati ini harus mengenal Diri-Nya Tuhan Dzat
yang Ghaib, lalu berusaha terus menerus mengingat-Nya serta dengan
sungguh-sungguh memerangi nafsunya agar mau tunduk dan patuh memenuhi petunjuk
dan perintah Guru Wasithah. Ruh kewajibannya mencapai hakikat. Jika
ingin sampai kepada hakikat, maka harus dapat memenuhi kewajiban syari’at dan
menjalankan tarekat. Rasa adalah inti
atau dasar (fitrah) manusia. Rasa ini mempunyai tugas merasakan
kehadiran Tuhan, sehingga apabila telah sampai ajalnya dapat merasakan betapa
nikmat, indah, dan bahagia merasakan pertemuan dengan Tuhannya kembali. Itulah
yang dimaksud “Udkhulu fissilmi kaffah” dalam pandangan tasawuf yang
diajarkan di POMOSDA.
Dalam pandangan umum, yang dimaksud dengan
masuk Islam secara kaffah itu ialah masuk Islam secara totalitas, baik
akidahnya, ibadahnya maupun akhlaknya sesuai dengan ajaran Islam. Dari sini
terlihat jelas perbedaan yang sangat jauh. Bahkan apabila dibandingkan dengan pendapat para ulama yang dijelaskan dalam
tafsir Ibnu Katsir juga terdapat perbedaan. Ibnu Katsir (1988: 255) menjelaskan
beberapa pendapat para ulama, yaitu sebagai berikut: Menurut Mujahid, bahwa kaffah
itu ialah melaksanakah semua amal atas dasar ajaran Islam. Menurut Dhahak, kaffah
itu ialah menjalankan semua syari’at Islam. Dan sebagian para mufassir
ada juga yang mengatakan bahwa bahwa
kaffah itu ialah mengerjakan semua cabang-cabang iman dan semua syari’at
Islam.
Dari dua pandangan antara pemahaman masuk
Islam secara kaffah dalam tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA dengan
pandangan umat Islam pada umumnya terdapat perbedaan yang sangat jauh. Dalam
pandangan tasawuf di SMA POMOSDA makna kaffah itu bukan hanya sekedar
menjalankan keseluruhan syari’at seperti
yang dijelaskan dalam pandangan umum, melainkan kaffah itu meliputi
seluruh unsur manusia lahir dan batin. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam
pandangan para ahli unsur-unsur manusia itu berbeda-beda. Ada yang mengatakan
bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur, yakni jasmani dan ruhani, dan semua
para ahli nampaknya sepakat tentang hal itu. Namun, tatkala berbicara masalah
ruhani para ahli berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa ruhani itu terdiri
dari ruh, hati, dan akal. Ada juga yang mengatakan bahwa ruhani manusia itu
terdiri dari qalb, ruh, nafs, dan akal.
Sedangkan dalam pandangan tasawuf di SMA
POMOSDA bahwa manusia itu terdiri dari jasad, hati, ruh, dan rasa. Sehingga
yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah keseluruhan unsur-unsur yang
ada pada manusia itu sendiri. Jasad tugasnya menjalankan syari’at yang
ditetapkan oleh Guru Wasithah, seperti memperbanyak shalat, puasa,
membayar zakat, melaksanakan haji bagi yang mampu, membaca Al-qur’an dan
ibadah-ibadah lainnya yang diteteapkan oleh Guru Wasithah. Hati itu
tugasnya menjalankan tarekat, ruh itu tugasnya mencapai hakikat, dan rasa itu
merasa-rasakan keberadaan Wujud Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan masuk
Islam secara kaffah itu.
5) Keharusan Adaya Imamah.
Dalam ajaran tasawuf yang diajarkan kepada
para santri/siswa di SMA POMOSDA yaitu mengharuskan adanya imam yang dijadikan
panutan, yang dalam hal ini adalah Guru Wasithah. Karena Guru Wasithah itu merupakan
pengganti Rasulullah Muhammad saw, maka itba’ kepada Guru Wasithah harus seperti itba’
kepada Nabi Muhammad bagi umat Islam pada zamannya.
Dalam pandagan umum, khususnya dalam pandangan
sunni tidak mengharuskan adanya imam dalam menjalankan agama. Sedangkan dalam
pandangan syi’ah masalah imamah merupakan suatu keharusan. Namun begitu, antara
syi’ah dan ajaran tasawuf di POMOSDA itu berbeda. Dalam syi’ah itu imam hanya
sampai kepada imam yang ke dua belas, dan setelah itu tidak ada lagi. Berbeda
dengan ajaran tasawuf di POMOSDA bahwa imam itu akan terus ada sampai hari kiamat.
Imam itu harus merupakan pengganti Nabi Muhammad, dan kita diperintah harus
itba kepada imam tersebut. Imam yang dimaksud adalah guru Wasithah atau mursyid
dalam istilah lain.
Keharusan itba’ kepada imam itu
didasarkan kepada firman Allah: “Qul
in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uni, yuhbibkumullah” (Katakanlah: Jika
kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintai kamu) QS. Ali Imran: 31). Yang dimaksud ikutilah aku dalam ayat ini
difahami bukan hanya mengikuti Nabi Muhammad saja, melainkan mengikuti
penerus-penerusnya yang hak dan sah yang terus silih berganti hingga kini dan
sampai kiamat nanti.
Selain didasari oleh ayat Al-qur’an, juga
didasari oleh Hadits Nabi yang sangat populer: “Alaikum bisunnati wasunnatil
khulafa ar-rasyidin al-mahdiyyin”
(Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
pengganti-pengganti (ku) yang lurus dan mendapatkan petunjuk). Karena Guru Wasithah
itu diyakini sebagai pengganti Nabi yang hak dan sah, maka mau tidak mau harus
mengikuti apa pun yang dicontohkan oleh Guru Wasithah. Selain itu, ada
juga keterangan yang sangat populer di kalangan ahlul bait, seperti yang
dikemukakan oleh Afandi (2002: 37), bahwa “Seseorang sama sekali tidak akan
dapat mencapai derajat muqarrabin, kecuali apabila seseorang itu itba’
sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw (dan kepada wakilnya yang hak dan sah
setelah beliau tidak ada), baik ucapan dan perbuatannya, ilmu dan amalnya,
lahir dan batinnya. Lalu diikuti dengan rasa hati yang senantiasa
mengingat-ingat satu-satu-Nya Dzat
Yang Wajib Wujud-Nya.
Selain harus itba’ kepada Guru Wasithah,
juga seorang murid berbai’at kepadanya.
Berbai’at kepada Guru Wasithah (imam) merupakan suatu kemutlakan,
karena ada Hadits yang menjelaskan: “Barangsiapa yang mati dan tidak mengetahui
imam di zamannya, maka matinya adalah mati jahiliyah” (HR.Muslim). Dalam Hadits
yang lain, dijelaskan pula: “Barangsiapa yang mati dan ketika hidupnya tidak
ada ikatan bai’at, maka ia matinya mati jahiliyah” (HR. Muslim).
Dari Hadits itu menunjukkan bahwa bai’at
kepada imam itu merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim. Jika tidak, maka
konsekuensinya akan mati dalam keadaan jahiliyah. Dan Rasulullah semasa hidupnya
pernah beberapa kali melakukan pembai’atan kepada para pengikut-pengikutnya.
Apa pentingnya imam dalam hidup ini? Keberadaan imam itu sangat penting, karena
imam adalah wasilah (perantara) yang dapat menuntun kita untuk bisa sampai
kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Wabtaghu ilaihil
wasilah”, carilah olehmu untuk bisa sampai kepada Allah itu wasilah.
“Wasilah” dalam tafsir umum sering diartikan “al-amalush shalih”. Jadi,
untuk bisa sampai kepada Allah itu harus melakukan amal shaleh. Padahal, kalau
kita cermati kata “wasilah” itu adalah isim fa’il, yakni orang yang dapat
menjadi perantara. Oleh karena itu, makna yang tepat dari ayat itu ialah
“carilah olehmu (orang yang menjadi) perantara untuk untuk bisa sampai kepada Allah. Hal itu dikuatkan
oleh sebuah keterangan dari Guru Wasithah bahwa: “La biwushulin
ilaihi illa bi wasithatin” (tidak akan sampai kepada Allah, kecuali dengan Wasithah”).
Selain itu, di dalam ajaran tasawuf ada sebuah
keterangan yang sangat populer, yakni: Bahwa seseorang itu tidak akan sampai
kepada derajat muqarrabin, kecuali dengan mengikuti Nabi Muhammad (dan
penerus-penerusnya), baik ucapan dan perbuatannya, ilmu dan amalnya, maupun
lahir dan batinnya, yang disertai dengan selalu mengingat-mengingat Allah dalam
rasa hatinya.
Imam dalam istilah tasawuf disebut mursyid.
Keberadaan mursyid dalam tasawuf adalah hal yang sangat mutlak.
Berkaitan dengan perlunya mursyid ini,
Al-Ghazali mengatakan bahwa bagi
seorang murid yang berkehendak untuk bertemu dengan Tuhannya, maka wajib
mempunyai mursyid. Al-Ghazali berkata:
Di antara hal yang wajib bagi seorang yang menempuh jalan kebenaran
ialah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid
dan pendidik spiritual yang dapat memberinya suatu petunjuk dalam
perjalanannya, serta menghilangka akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya
dengan akhlak-akhlak yang mulia. Seorang pendidik spiritual hendaknya menjadi
seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau
tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung berinisiatif untuk
mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu merawat tanamannya dengan
menyiraminya agar dapat tumbuh dengan baik,
sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah
mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau juga akan mengetahui
bahwa seorang yang menempuh tasawuf
harus mempunyai seorang mursyid. Sebab, Allah mengutus para rasul
kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum
Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi wa
Sallam wafat, beliau telah menetapkan
penggantinya untuk menuntun manusia ke arah jalan yang lurus, dan begitulah seterusnya, sampai hari kiamat.
Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.
Pada tempat lain Al-Ghazali berkata, bahwa seorang murid
membutuhkan seorang mursyid yang dapat diikutinya agar dia menunjukkan
ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar, dan jalan setan sangat banyak
dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai syaikh
yang membimbingnya, maka pasti setan akan menggiringnya menuju jalannya.
Barangsiapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah
menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh
sendiri, dimana pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia
bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berbuah. Karenanya, bagi seorang
murid yang hendak menuju Tuhannya agar tetap berada pada jalan yang benar, maka
yang harus menjadi pegangannya adalah syaikh-nya,
dan hendaklah ia berpegang teguh kepadanya.
Di samping itu, Al-Ghazali juga pernah menyatakan, apabila Allah menghendaki
kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya
penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barangsiapa mata hatinya terbuka,
niscaya dia akan dapat melihat segala penyakitnya. Apabila dia mengetahui
penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun, mayoritas manusia
tidak mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara
mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya, tapi dia tidak dapat melihat
kotoran di matanya sendiri. Barangsiapa ingin mengetahui penyakit-penyakit
dirinya, maka dia harus mau duduk di hadapan mursyid yang mengetahui
penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mampu
mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyid-nya itu dalam
bermujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyid-nya.
Dengan demikian, mursyid akan dapat mengenalkannya terhadap
penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan memberikan cara-cara pengobatannya
(Isa, 2010: 36-38).
Pada tempat yang lain lagi, Al-Ghazali
berkata: Pada awalnya aku merupakan
orang yang tidak percaya terhadap kondisi spiritual orang-orang shaleh
dan derajat yang dicapai oleh ahli ma’rifat. Hal ini terus berlanjut padaku
sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an-Nasaj. Ia
menyarankan aku agar terus melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku
memperoleh karunia Ilahi. Dalam sebuah
mimpi aku melihat Tuhan, dan Dia berkata kepadaku. Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah kesibukanmu tentang dunia, bergaullah dengan
orang-orang yang Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka itu
adalah orang-orang yang telah menggadaikan dunia dan akhirat karena
mencintai-Ku. Aku berkata: Demi kemuliaan-Mu aku tidak akan melakukan hal itu,
kecuali jika Engkau menjadikan aku bisa merasakan nikmatnya berbaik sangka
kepada mereka. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku telah melakukannya. Yang
memutuskan hubungan antara engkau dan mereka
adalah kesibukanmu tentang urusan
dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu tentang
dunia dengan rela hati sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan.
Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Mahasuci.
Kemudian setelah itu aku bangun dengan penuh gembira, lalu aku mendatangi syaikh-ku,
Yusuf An-Nasaj, dan menceriterakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil
berkata: Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami
peroleh di awal perjalanan kami. Jika
engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatimu akan semakin tajam (Isa, 2010:
38).
Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Al-Jurjani
menjelaskan bahwa: “Mursyid itu
merupakan orang yang menunjukkan ke
jalan yang lurus sebelum sesat. Orang yang tidak mempunyai syaikh, maka syaikh-nya
adalah syaitan". Ibn Arabi dalam sumber yang sama juga mengatakan bahwa “Seorang murid harus
mempunyai syaikh (mursyid)” (Isma’il, 2008: 896).
Mursyid itu merupakan orang yang dapat menuntun
muridnya menuju jalan yang lurus, oleh karena itu seorang mursyid
haruslah orang yang betul memiliki syarat-syarat tertentu. Al-Baghdadi mengemukakan bahwa seorang syaikh (mursyid) itu harus
menguasai syari'at, menghindari yang haram, zuhudtentang dunia, dapat
mengobati murid yang menderita penyakit hati, dan mampu memberikan fatwa
tentang masalah-masalah fiqh. Selain itu,
seorang syaikh juga harus qonaah, takut terhadap kemaksiatan,
perbuatannya tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadits. Al-Baghdadi
mengatakan, janganlah mengikuti syaikh yang tidak memiliki sifat-sifat
yang telah disebutkan, karena syaikh yang demikian adalah
termasuk golongan syetan. Timbanglah ucapan dan perbuatannya dengan syari'at
dan tarekat, kalau engkau melihat tingkah lakunya bertentangan syari'at,
tinggalkanlah dia, sekalipun kelihatannya orang baik (shaleh). Menurut
Syari'at, tidak ada dosa bagimu untuk
meninggalkannya dan jangan jadikan dia sebagai mursyid (Isma’il, 2008: 896).
Sejalan dengan itu, Al-Ghazali mengemukakan bahwa syarat mursyid ialah tidak cinta kepada harta dan penghargaan dan telah
mendapatkan pendidikan berupa bimbingan dari seorang mursyid sebelumnya, sehingga namanya tercantum dalam silsilah yang
menghubungkannya dengan Nabi Muhammad. Seorang mursyid harus telah melakukan riyadhah, seperti sedikit makan,
sedikit minum, tidak banyak tidur, banyak shalat, banyak sedekah, dan banyak
puasa. Mursyid menjadikan Nabi sebagai contoh teladan, sehingga ia
berakhlak mulia, yaitu sabar, syukur, tawakal, yakin, tuma'ninah, qana'ah,
amanah, hilm, tawadhu’, ma’rifah, sidiq,
dan haya. Selain memiliki sifat terpuji, mursyid harus menjauhi sifat-sifat tercela, seperti takabbur, bakhil,
hasud, dan lain-lainnya. Lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mursyid yang memenuhi persyaratan yang telah disebutkan, tidak banyak
diketemukan saat ini, karena banyak mursyid yang mengajak kepada lahwun (permainan) dan laghw
(perbuatan tidak berguna). Bahkan ada mursyid yang menuntun orang kepada hal-hal yang bertentangan dengan
syari'at. Kalau seorang mursyid memiliki sifat-sifat terpuji seperti yang telah dikemukakan, maka
itulah mursyid haqiqi (mursyid yang benar), maka wajiblah ia dihormati. Al-Ghazali menjelaskan
bahwa mursyid itu bukan mengajar, tetapi hanya membimbing dan mengarahkan sang
murid untuk bermeditasi, karena setiap orang mempunyai pengalaman ruhani yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, tasawuf mustahil dipelajari, melainkan harus
dicapai melalui pengalaman langsung dan
transformasi batin (Isma’il, 2008: 897).
Al-Jailani
juga mengatakan
bahwa syaikh itu membimbing seorang murid hanya karena Allah, bukan
karena kepentingan pribadi. Ia bergaul dengan murid-muridnya dengan penuh kasih
sayang, banyak memberikan nasihat, tidak memberatkan murid dalam riyadhah,
tetapi ia memperlakukan muridnya dengan lemah lembut, bagaikan seorang ibu
terhadap anaknya. Syaikh tidak memberikan tugas kepada muridnya yang
tidak mampu dilaksanakannya, tetapi ia memberikan latihan ruhani sedikit demi
sedikit sampai murid dapat menjalankannya. Syaikh tidak mengharapkan
imbalan dari muridnya, tetapi ia mendidiknya hanya karena mencari ridha Allah (Isma’il, 2008: 897).
Menurut Al-Kurdi bahwa seorang syaikh
atau mursyid harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: (1)
Mengetahui fiqh dan tauhid yang diperlukan oleh para murid, sehingga mereka
tidak perlu bertanya kepada orang lain, (2) Mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan kesempurnaan hati, penyakit hati, dan cara memeliharanya, (3) Bersikap
kasih sayang kepada semua orang muslim, terutama kepada para murid, dan tidak
memaksakan muridnya meninggalkan perbuatan yang bertentangan dengan hawa
nafsunya, tetapi ia tetap berbelas kasihan sampai muridnya memperoleh petunjuk,
(4) Menyimpan rahasia para murid yang diketahuinya, (5) Tidak mengharapkan
sesuatu dari muridnya, termasuk hartanya, (6) Mengerjakan sendiri apa yang
pernah ia perintahkan, dan menjauhi apa yang pernah dilarang kepada para muridnya,
sehingga ucapannya didengar, (7) Tidak duduk bersama murid, kecuali dalam suatu
keperluan, dan mengingatkan pentingnya syari'at, termasuk membaca buku
"Tanwir al-Qulub, (8) Ucapannya bersih dari senda gurau, olok-olok, dan
omong kosong, (9) Tidak menuntut penghormatan dan penghargaan, tidak memaksakan
sesuatu yang membosankan mereka, tidak sering-sering bersuka cita dan berduka
cita, dan mempersulit mereka, (10) Memerintahkan murid yang berubah
penghormatannya karena pengaruh persahabatan untuk duduk menyepi, tetapi tidak terlalu
jauh dan tidak terlalu dekat, (11) Apabila syaikh mengetahui bahwa
prestisenya jatuh di mata muridnya, maka ia memalingkannya dengan cara lemah
lembut, (12) Ia selalu memberikan
bimbingan, sehingga para murid berada dalam kebaikan, (13) Tidak mengomentari
pengalaman ruhani seorang murid, seperti "ru'ya" (penglihatan), mukasyafah (ketersingkapan), dan musyahadah
(penyaksian), karena hal itu dapat menyebabkan murid merasa mulia dan hebat,
yang menyebabkabkan jatuh martabatnya, (14) Tidak membolehkan murid
menceriterakan pengalaman ruhaninya kepada ikhwannya, kecuali terpaksa, karena
hal itu dapat menimbulkan kesombongan, (15) Membuat tempat khalwat untuk
sendiri dan untuk jama’ah, dan tidak membolehkan ada yang masuk termasuk anaknya, kecuali orang-orang
tertentu, (16) Tidak membolehkan murid mengetahui aktivitas syaikh-nya,
seperti tidur, minum dan makannya, karena hal itu dapat menyebabkan rasa hormat kepada syaikh-nya semakin berkurang, (17)
Tidak membolehkan murid banyak makan, karena hal itu akan merusak upaya
pembinaan mental yang dilakukan syaikh kepada murid, sebab banyak orang
yang menjadi hamba perutnya, (18) Tidak membolehkan muridnya duduk bersama
dengan murid syaikh yang lain karena dapat menimbulkan madharat. Akan
tetapi, kalau cinta mereka tidak tergoyahkan terhadap syaikh-nya dan
tidak dikhawatirkan tergelincir, maka hal itu dibolehkan, (19) Tidak sering
mendatangi penguasa, supaya ia tidak diikuti oleh muridnya, (20) Diupayakan
murid berbicara dengan mempergunakan kata-kata yang sopan. Jangan mengumpat,
mencaci, dan menyakiti orang lain supaya tidak menimbulkan kebencian, (21)
Menerima undangan para murid sebagai tanda memuliakan mereka, (22) Syaikh
duduk dengan murid dengan tenang dan merunduk, ia tidak melemparkan pandangan
pada mereka dan tidak tidur di dekat mereka, dan tidak menjulurkan kaki pada
saat duduk dengan mereka, (23) Perlihatkanlah muka yang cerah kalau ada murid
yang menghadap, (24) Tanyakanlah murid yang tidak hadir, dan kalau ia tidak
hadir karena sakit, maka kunjungilah, dan kalau murid mendapatkan kesulitan,
maka bantulah dia. Al-Kurdi menyimpulkan bahwa seorang syaikh dalam
membimbing murid-muridnya bagaikan Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam terhadap
sahabat-sahabatnya (Isma’il, 2008: 898).
Sehubungan dengan itu, Al-Jaelani mengatakan bahwa
“Barangsiapa yang tidak memiliki syaikh (guru mursyid), maka
iblislah gurunya”. Ia juga mengatakan:
Wajib bagi seorang murid terus menerus berada di bawah bimbingan Syeikh
(Guru Murstid) dan mengikuti bimbingannya dan meyakininya sebagai wasilah dan
wasitha (perantara) antara dia dan Tuhan Azaa wa Jalla, sekaligus sebagai
thariqah (jalan) dan menjadi sebab dapat mengantarkannya sampai bertemu
Tuhannya. Ibarat seorang yang berkeinginan bertemu Raja dan dia sendiri tidak
mengenal raja tersebut, maka sudah barang tentu dia akan menghadapi hijab (rintangan, menemui tembok penghalang).
Hendaklah seseorang masuk (untuk bertemu Raja) melalui pintu dan jangan
sekali-kali memanjat tembok dari belakang. Cara ini tidak akan membawanya
bertemu Raja.
Syeikh (mursyid) adalah jalan
menuju kepada Tuhan dan petunjuk serta pintu masuk untuk bertemu dengan-Nya.
Karena itu, seorang murid tidak boleh
tidak harus memiliki syaikh (Khozin, 2009: 55).
Selain itu, pada tempat yang lainnya
Al-Jaelani juga mengatakan:
Wahai hamba Allah, kalau kamu semua hendak berada dalam “darul hikmah”,
maka wajib mempunyai Wasithah. Carilah (dengan meminta pertolongan)
Tuhan yang kamu sembah, seorang tabib (dokter) yang mengobati penyakit hatimu,
carilah petunjuk yang dapat menunjukkanmu dan menuntu tanganmu (Khozin, 2009:
56).
Hampir sejalan dengan Al-Jailani, Athaillah
juga berkata tentang pentingnya syaikh (guru mursyid).
Menurutnya:
Tidak boleh tidak bagi seorang salik yang menjalani tasawuf harus
memperoleh bimbingan guru, yakni guru yang mengenal jalan menuju Allah. Karena
itu, wajib atas murid mencari guru yang ahli tahqiq (yang berjalan menempuh
jalan itu), yakni jalan tasawuf .
Athaillah berkata bahwa syaikh (guru mursyid)
itu adalah orang yang mengeluarkan kamu dari penjara hawa nafsu dan membawamu
masuk bertemu Maula (yakni Allah swt). Jadi, dapatlah dikatakan bahwa imam atau
mursyid itu adalah orang yang dapat menunjukkan kita kepada jalan yang
lurus (shirathal mustaqim”). Untuk menempuh jalan yang lurus itu tentu
banyak godaan, tantangan, dan rintangannya, karenanya harus ada orang yang
menuntunnya, kalau tidak, pasti akan
tersesat.
Godaan dan rintangan hidup di dunia ini begitu
banyak. Godaan yang pertama datang dari diri sendiri, yaitu berupa hawa nafsu.
Hawa nafsu itu sifatnya “yajri ilassu”, selalu mengajak kepada yang
jelek. Godaan yang kedua yaitu datangnya dari luar, yaitu iblis (syaithan).
Iblis itu di dalam Al-qur’an dijelaskan akan selalu menggoda manusia dengan
berbagai cara agar manusia terjerus ke dalam kesesatan ikut bersama mereka
(Khozin, 2009: 58).
Di antara godaan iblis itu ialah dijelaskan
oleh Allah dalam Al-qur’an surat al-A’raf ayat 16-17:
Iblis berkata: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur.
Pada tempat yang lain, Allah swt dalam Al-qur’an surat al-Hijr ayat
39-40, menjelaskan pula:
Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, pasti aku aka menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di
muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba Engkau
yang mukhlis di antara mereka.
Dalam ayat di atas, jelaslah bagi kita
bagaimana iblis akan berusaha menggelincirkan manusia dari jalan yang lurus,
sehingga hampir semua manusia tergelincir ke jurang yang sesat, kecuali hanya
hamba Allah yang mukhlish. Untuk menjadi hamba Allah yang mukhlis, sehingga
selamat dari godaan iblis, maka perlu ada orang yang membimbing dan menuntun
kita ke jalan itu, dan orang itu adalah mursyid, atau istilah lain yang
sering digunakan di POMOSDA yaitu Guru Wasithah.
Siapakah orang yang harus dijadikan mursyid saat
ini, bagaimanakah menemukannya, dan bagaimana cara mengenalinya? Seorang mursyid
itu haruslah pewaris para Nabi. Dan untuk menemukan dan mengenalinya ada
beberapa poin yang akan dijelaskan.
Pertama, tatkala
murid membutuhkan seorang mursyid, seperti pasien membutuhkan
seorang dokter. Hendaklah dia meluruskan tekad dan memperbaiki niatnya, lalu
hendaklah dia menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, menyeru-Nya di tengah
kegelapan malam, dan berdo’a kepada-Nya. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku orang
yang dapat menunjukkan jalan untuk bisa sampai kepada-Mu, dan pertemukanlah aku
dengan orang yang dapat mengantarkanku menuju-Mu.
Kedua, hendaklah dia mencari, mengamati, dan bertanya
dengan teliti tentang mursyid tersebut di negerinya. Dan janganlah
terkecoh dengan apa yang dikabarkan sebagian kalangan bahwa mursyid kamil
sudah tidak dapat ditemukan lagi pada zaman sekarang.
Apabila tidak menjumpai seorang mursyid kamil di
kota tempat tinggalnya, maka hendaklah dia mencarinya di kota lain, seperti
seorang pasien yang pergi ke negara lain untuk berobat ketika dia tidak
menemukan seorang dokter spesialis atau ketika para dokter di negaranya tidak
dapat mendiagnosa penyakitnya dan tidak mengetahui obatnya. Dan pengobatan jiwa
membutuhkan dokter yang lebih
pandai dibandingkan dengan dokter
yang mengobati penyakit-penyakit jasmani. Lebih lanjut Syekh Abdul Qadir
Isa menjejelaskan bahwa seorang mursyid itu harus memenuhi empat syarat.
Keempat syarat tersebut yaitu:
Pertama, seorang mursyid harus mengetahui semua
hukum fardhu ‘ain, seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat, mu’amalah,
dan hukum-hukum Islam lainnya. Di samping itu, ia harus mengetahui aqidah ahli
sunnah, masalah keimanan, dan masalah
tauhid.
Kedua, seorang mursyid harus mengaktualisasikan
aqidah ahlussunnah dalam perbuatan dan perasaannya setelah ia
mengetahuinya sebagai ilmu. Dia harus mengakui di dalam hati dan jiwanya
kebenaran aqidah tersebut. Dia harus bersaksi bahwa Allah itu Esa di dalam Dzat-Nya,
Sifat-sifat-Nya, dan Af-‘al-Nya. Di samping itu, dia juga harus
mengetahui kehadiran nama-nama Allah, baik dengan cita rasa spiritualnya maupun
dengan pandangan mata hatinya, lalu mengembalikannya kepada kehadiran yang
tunggal yang mencakup semuanya. Dia tidak meragukan banyaknya nama-nama Allah,
sebab banyaknya nama tidak mengindikasikan banyaknya Dzat.
Ketiga, seorang mursyid harus mensucikan jiwanya
terlebih dahulu di bawah bimbingan seorang pendidik spiritual atau mursyid
sebelumnya. Dengan demikian, dia mengetahui tingkatan-tingkatan jiwa,
penyakit-penyakitnya, dan
godaan-godaannya. Dia mengetahui sarana-sarana yang digunakan oleh syetan dan
tempat-tempat masuknya. Dia mengetahui penghalang bagi setiap fase perjalanan
dan cara menanganinya sesuai dengan kondisi setiap orang.
Keempat, seorang mursyid hendaknya sudah
memperoleh ijazah dari syaikh-nya untuk melakukan pendidikan spiritual.
Apabila dia belum memperoleh pengakuan atas ilmu yang diklaimnya, maka dia
tidak layak untuk melakukan bimbingan. Yang dimaksud dengan ijazah adalah
pengakuan atas keahliannya untuk memberikan bimbingan dan kesucian sifat-sifat
jiwanya. Seseorang tidak boleh melakukan bimbingan spiritual tanpa mendapat
izin dari para mursyid sebelumnya yang silsilahnya bersambung kepada
Rasulullah (Isa, 2010: 47).
Selain itu, tanda-tanda mursyid kamil dapat
diperhatikan dari hal-hal berikut ini: (1) Jika engkau duduk bersamanya, maka
engkau akan merasa adanya hembusan iman dan aroma jiwa. Dia tidak berbicara
selain tentang Allah, tidak mengucapkan selain kebaikan dan tidak bercakap
selain tentang nasehat. Engkau dapat mengambil manfaat dari pergaulan
dengannya, sebagaimana dari pembicaraannya. Engkau dapat mengambil manfaat saat
berada di dekatnya, sebagaimana saat jauh darinya. Dan engkau dapat mengambil
manfaat dengan memandangnya, sebagaimana dengan mendengar ucapannya; (2) Engkau
mendapatkan potret keimanan, keikhlasan, ketaqwaan, dan kerendahan hati pada
diri para sahabat dan muridnya. Ketika engkau bergaul dengan mereka, engkau
teringat dengan sifat-sifat mulia, seperti cinta kasih, kejujuran, altruisme,
dan persaudaraan yang tulus. Banyak atau sedikitnya jumlah murid yang belajar
kepada seorang mursyid bukan ukuran, tapi yang menjadi ukuran adalah
kesalehan dan ketaqwaan para murid, terbebasnya mereka dari noda-noda dan penyakit-penyakit
jiwa dan istiqamah mereka dalam menjalankan syari’at Allah; (3) Engkau melihat
para muridnya berasal dari status sosial yang berbeda-beda, seperti halnya para
sahabat Rasulullah Muhammad saw (Isa (2010: 50).
Setelah seseorang salik atau murid (orang yang
berkehendak untuk bertemu dengan Allah) menemukan seorang mursyid yang
hak dan sah, maka kewajiban berikutnya yaitu berbai’at kepada mursyid.
Dalam ajaran tasawuf, berbai’at kepada mursyid itu merupakan suatu
keharusan. Seorang murid harus berbai’at kepada mursyid-nya dan berjanji
setia kepadanya untuk berjalan bersamanya dalam rangka mengosongkan jiwa dari
segala penyakit-penyakitnya dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, serta
merealisasikan rukun ihsan dan mendaki maqam-maqamnya.
6) Masalah dzikir.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian
temuan hasil penelitian, bahwa Dzikir yang dilakukan dalam ajaran tasawuf di POMOSDA itu ada dua macam, yaitu dzikir hati
dan dzikir lisan. Dzikir hati yaitu dzikir yang dilakukan
dalam hati dengan tanpa bersuara dengan cara mengingat-ingat Dzat Allah
(isinya “Hu”) yang dibisikkan
oleh Guru Wasithah pada proses pentalqinan atau pemberkahan
ketika berbai’at. Adapun dzikir
lisan dikenal dengan tujuh macam dzikir yang harus dilakukan oleh para
santri/siswa atau murid, yaitu dzikir thawaf, dzikir nafi itsbat,
dzikir itsbat faqot, dzikir Ismu Dzat, dzikit
taroqi, dzikir tanazul, dzikir Ismul Ghoib yang dilakukan ketika
setelah shalat Maghrib dan shalat malam yang penjelasannya telah dikemukakan
secara rinci di atas.
Dalam ajaran tarekat atau tasawuf yang lain, pelaksanaan dzikir itu
sebenarnya sudah biasa, hanya saja dalam pelaksanaannya ada persamaan dan
ada perbedaan. Salah satu contoh dalam
Tarekat Qodiriyah, seperti yang dikemukakan oleh Sri Mulyati yaitu mempunyai
metode dzikir yang dikenal dengan dzikir jahr atau jali,
yakni dzikir yang diucapkan
dengan lidah dan suara keras. Kalimat yang diucapkan yaitu kalimat tauhid “La
Ilaha Illallah”. Adapun tata caranya yaitu, seseorang duduk bersila,
menahan dengan jari kaki kanan (dan jari itu) digabungkannya dengan
urat/pembuluh darah yang disebut dengan “ka’imas”, yang berupa urat
besar diletakkan pada lekuk di belakang lutut kiri. Ia meletakkan tangannya
terbuka pada lutut, sehingga membentuk kata Allah. Lalu, ia mengucapkan nama
Allah, memperpanjangnya beberapa saat, memanjangkannya dengan ucapan empatis
(tafkhim), sehingga nafas habis, mengucapkan azamat al-Haqq
(Keagungan yang Besar) sambil menghembuskan nafas. Ia terus melakukan hal ini
sampai jatung rileks dan cahaya Ilahiyah tersingkap. Lalu, ia meneruskan
dengan awarid yaitu berupa dzikir fana dan dzikir kekal (baqa)
di dalam Hadhirat Allah, ditujukan kepada syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani. Hal ini dilakukan seperti dzikir yang disebtkan di atas,
dengan menengok ke pundak kanan sambil mengucapkan “ha”, menengok ke kiri dengan
mengucapkan “hu”, lalu menundukkan kepala dan menghembuskan nafas sambil
berkata “hayy”, lalu mengulangi hal itu tanpa berhenti. Adapun pelaksanaan
dzikir nafi itsbat dalam tarekat Qadiriyah
dilaksanakan dengan cara sebagai berikut. Seseorang duduk bersila seperti dalam
keadaan shalat, ia menghadap qiblat, menutup kedua matanya. Ia harus
mengucapkan kata “la” dengan menggambarkan suara dari pusatnya,
menariknya ke atas lalu ke pundaknya, dan mengucapkan “ilaha” menggambarkan suara dari otaknya. Sesudah itu,
ia menghentakkan kata “illallah” dengan kekuatan yang besar di dalam
hati, sambil menghayati bahwa tidak ada yang dicintai kecuali Allah, dan hanya
Dia satu-satunya Dzat yang Wujud dan tujuan dari semua kehidupan.
Ia harus mengarahkan semua ini untuk Dzat yang Suci, yaitu Tuhan sendiri (Isma’il, 2008:
974).
Dalam Tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah (TQN), sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Mulyati, bahwa dzikir
itu ada dua macam, yakni dzikir lisan yang dikeraskan (dzikir jahr)
dan dzikir hati (dzikir khafi). Dzikir jahr yaitu dzikir
harian yang dilakukan setiap sesudah shalat wajib, dengan bacaan “la ilaha
illallah” sebayak 165 kali, kemudian diikuti dengan Dzikir Khafi
yang tidak dibatasi. Dzikir
Khafi (hati) pada
tarekat ini bersifat rahasia. Kalimat dzikirnya adalah menyebut Ismu Dzat
(Allah) dan Ismu Ghoib (Hu, dari kata Huwa) dalam
hati secara berulang-ulang.
Dalam Tarekat Tijaniyah, sebagai bentuk latihan spiritual (riyadhah),
terdiri atas wirid, wadzifah, dan haylalah, (tahlil). Wirid yang sederhana ini
dibaca sesudah shalat Subuh dan Ashar, yang terdiri atas istighfar
(astaghfirullah), salawat dan tahlil
yang masing-masing dibaca 100 kali. Wadzifah terdiri atas istighfar,
shalawat, haylalah (tahlil). Istighfar dibaca 30 kali dan lafadznya
lebih panjang dari lafadz istighfar pada wirid, yaitu “Astaghfirullah
al-adhim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyum”. Membaca shalat 50 kali
yang lafadznya lebih panjang dari shalawat wirid, dan shalawat ini
dinamai shalawat al-fatih (pembuka), yaitu “Allahumma shalli ala
sayyidina Muhammad al-Fatih lima ughliqah wal khatim lima sabaqa, nashir
al-haqq bil haqq wal hadi ila shirathil mustaqim wa ’ala alihi haqqa qadrihil
adhim”. Sedangkan tahlil dibaca 100 kali, kemudian ditutup dengan do’a yang
sangat panjang yang dinamai “jauhar al-kamal”. Pembacaan wadzifah paling sedikit dua
kali sehari semalam, sore dan malam, dan lebih afdhal pada malam hari. Selain
itu, setiap Jum’at membaca tahlil (la ilaha illallah) dan Allah, Allah,
Allah setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam (Isma’il, 2008: 968).
Melihat macam-macam cara berdzikir yang dilaksanakan dalam berbagai
tarekat seperti yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa dzikir
yang dilakukan dalam ajaran tasawuf di POMOSDA, khususnya tentang dzikir
hati (dzikir khafi) terdapat perbedaan yang sangat esensial.
Perbedaan tersebut, yaitu terletak pada substansi dzikir itu sendiri. Dzikir
khafi yang dilakukan dalam
tarekat-tarekat seperti disebutkan di atas, yaitu hanya mengingat-ingat nama Tuhan, bukan Dzat Tuhan.
Sedangkan dzikir hati yang dilakukan
dalam tasawuf di POMOSDA yaitu mengingat Dzat Tuhan, yakni Dzat
Tuhan sebagaimana yang dibisikkan ketika proses pemberkahan.
Mungkin muncul pertanyaan, bisakah Dzat Tuhan itu dikenali? Dzat
Tuhan itu memang tidak bisa dipikirkan dengan akal, dan akal pasti tidak akan
sampai, yang akhirnya akan sesat, tetapi dengan bertanya kepada ahlinya, sesuai
dengan firman Allah: “Fas-alu ahladz dzikri in kuntum la ta’lamun”, maka
pasti bisa.
7) Masalah Shalat.
Shalat yang diperintahkan dalam ajaran tasawuf
di POMOSDA sangat banyak jumlahnya dan terdapat perbedaan dengan shalat pada
umumnya. Shalat tersebut mengacu kepada shalat yang dicontohkan oleh Wasithah
sebagai orang yang dijadikan panutan dan rujukan oleh para murid-muridnya.
Dalam pandangan umum, shalat wustha diartikan
sebagai shalat Ashar. Kalau kita perhatikan secara jernih, nampaknya kurang pas
kalau shalat wustha diartikan dengan shalat Ashar, karena shalat Ashar bagian
dari shalat lima waktu. Padahal shalat lima waktu sudah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, shalat wustha dalam pandangan tasawuf di POMOSDA diartikan
shalat yang dicontohkan oleh Wasithah. Shalat apa yang dicontohkan oleh Wasithah
itu? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian temuan penelitian, shalat-shalat
yang dilaksanakan di POMOSDA yang berbeda dengan shalat-shalat pada umumnya,
yaitu ada shalat qadha setiap waktu shalat, shalat taubat, shalat
tha’atan taqarruban ilallah, dan shalat tolak bala.
Shalat qadha dilaksanakan pada setiap
shalat fardhu mulai diperintahkan pada saat ke-Wasithah-an dipegang oleh
Kyai Imam Mursyid Muttaqin. Shalat qadha diperintahkan, karena disadari
bahwa kebanyakan para murid-muridnya tidak bisa melaksanakan shalat dengan khusyu’, yaitu “khudhurul qalb
ilallah ‘indash shalah”
(menghadirkan hati dengan selalu mengingat-ingat Tuhan ketika shalat),
sesuai dengan perintah Allah: “Aqimish shalata lidzikri” (dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14). Dan kalau shalat itu tidak
dilaksanakan dengan khusyu’, maka namanya sahun. Dan orang yang shalatnya
sahun, maka diancam dengan kecelekaan. Allah berfirman: “Maka celakalah
orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang shalatnya sahun”
(QS.Al-Ma’un:4-5). Oleh karena itu, untuk menutupi shalat-shalat yang sahun
itu, maka para murid-murid Wasithah diperintah untuk melaksanakan shalat
qadha setiap waktu.
Shalat taubat dilaksanakan setiap malam
setelah shalat Isya. Shalat taubat dilakukan karena sebagai hamba sadar bahwa
banyak sekali dosa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja, baik dosa yang dilakukan oleh jasad
maupun yang dilakukan oleh hati. Contoh dosa yang dilakukan oleh jasad yaitu
bahwa kita sering kali selalu manusia melakukan pelanggaran-pelanggaran atau
melakukan perbuatan maksiat yang bertentangan dengan ajaran agama. Contoh dosa yang dilakukan oleh hati, yaitu
(1) Kita diperintah oleh Allah untuk selalu mengingat-Nya, tetapi justeru kita
lebih banyak melupakannya, (2) Kita diperintah oleh Allah untuk mentauhidkan
Allah, menafikan segala sesuatu termasuk dirinya kecuali Allah. Tapi, kenyataannya
kita tetap saja masih merasa wujud, padahal merasa wujud itu
merupakan dosa besar. Maka oleh karena itu, kita selalu diperintah untuk
bertaubat kepada Allah, di antaranya melaksanakan shalat taubat setiap
malam.
Shalat tha’atan taqarruba ilallah dilaksanakan setiap malam sehabis
shalat taubat. Apabila seseorang pada malam tersebut tidak bermaksud untuk
untuk melaksanakan shalat malam (qiyamullail), maka shalat tha’atan taqarruban
ilallah dilaksanakan pada waktu shalat Isya, setelah shalat taubat. Ini tiada
lain, sebagai bentuk keta’atan para murid terhadap gurunya, dan juga sebagai
upaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Shalat taqrruban ilallah ini
dicontohkan oleh syekh Abdul Qadir jailani dan syekh Mudawwirul aflaq, kemudian
diperintahkan oleh Guru Wasithah untuk dilaksanakan oleh setiap
murid-muridnya.
Shalat
thalak bala, yaitu shalat yang dilaksanakan pada setiap hari Rabu
terakhir di bulan Safar. Pada bulan ini Allah banyak sekali menurunkan berbagai
macam penyakit. Agar kita terhindar dari penyakit-penyakit tersebut, maka Guru Wasithah
memerintahkan kepada murid-miridnya
untuk melaksanakan shalat.
Itulah shalat-shalat yang dicontohkan oleh
Guru Wasithah, yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh umat Islam pada
umumnya, pada dasarnya merupakan bentuk
keta’atan kepada Guru Wasithah, yang mana Guru Wasithah tersebut melaksanakannya
atas petunjuk Guru Wasithah sebelumnya, dan seterusnya. Kenapa berbeda
dengan shalat-shalat yang dilakukan oleh umat Islam pada umumnya.
Alasannya, karena Guru Wasithah itu
merupakan pelanjut Rasul dan diyakini sebagai Rasul yang ada saat ini, maka
setiap Rasul itu mempunyai syari’at yang berbeda-beda. Salah satu contoh,
syari’at yang dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim dengan syari’at yang dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad itu berbeda. Begitu juga dengan syari’at Nabi-nabi yang
lainnya, semuanya berbeda, baik tata cara shalatnya maupun tata cara
ibadah-ibadah lainnya. Bagaimanakah dengan tata cara shalat yang dilakukan pada
ajaran-ajaran tasawuf yang lainnya. Berdasarkan pada tulisan-tulisan yang ada
dalam Ensiklopedi Tasawuf, dapat disimpulkan bahwa antara ajaran tasawuf yang
satu dengan tasawuf yang lainnya memiliki perbedaan, terutama dalam masalah mursyid
tata cara dzikir. Sedangkan dalam tata cara shalat dan macam-macam
shalat yang dilaksanakan dalam keseharian tidak disebutkan adanya perbedaan.
Mengapa shalat di dalam ajaran tasawuf di
POMOSDA berbeda? Apa yang dijadikan dasar, sehingga mereka berbeda. Pada
dasarnya, shalat yang mereka laksanakan itu mengacu kepada firman Allah: “Hafizhu
‘alash shalawati wash shalatil wustha” (Peliharalah shalat yang lima waktu
dan shalat wustha) (QS. Al-Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustha
dalam pandangan mereka ialah shalat yang
dicontohkan oleh Wasithah bukan shalat Ashar seperti yang difahami oleh
umat Islam pada umumnya. Karena Guru Wasithah mencohtohkannya seperti
itu, maka murid-muridnya harus mengikutinya, karena mengikuti Guru Wasithah
merupakan suatu keharusan dalam menjalankan ajaran agama. Dengan dasar seperti
yang dikemukakan di atas itulah, maka mereka melaksanakan apa saja yang
dicontohkan oleh guru Wasithah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah
dan akidah. Dan di sinilah uniknya ajaran tasawuf yang diajarkan di POMOSDA,
sehingga peneliti dapat katakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan di
POMOSDA berbeda dengan ajaran-ajaran
tasawuf lainnya dan juga berbeda dengan ajaran-ajaran umat Islam pada umumnya,
namun memiliki dasar yang kuat.
3. Proses Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
a.
Metode dan Pendekatan Pendidikan Keimanan di
SMA POMOSDA
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas,
bahwa metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran Pendidikan
Keimanan di SMA POMOSDA yaitu menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi,
dan pemberian tugas. Sedangkan pedekatannya menggunakan pendekatan gabungan
antara pendekatan kajian ayat secara tematik atau tafsir tematik, pendekatan
qisah, pendekatan targhib-tarhib. Metode dan pendekatan tersebut pada dasarnya
tidak ada perbedaan dengan metode dan pendekatan yang dikemukakan para ahli
yang dijadikan dasar teori pada bab II.
Apa yang dimaksud pendekatan kajian ayat
tematik itu? Menurut Al-Farmawi (1977: 52), yang dimaksud pendekatan ayat Al-qur’an
tematik (maudh’i) yaitu suatu metode pendekatan yang berusaha mencari jawaban Al-qur’an
tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang ada
hubungannya dengan topik pembahasan, kemudian menganalisisnya melalui ilmu
bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, dan kemudian melahirkan
kesimpulan dari masalah tersebut sebagai suatu konsep utuhn dari Al-qur’an. Menurut
Shadr (1992: 14) bahwa yang dimaksud pendekatan maudhu'i itu ialah suatu
pengkajian tentang Al-qur’an dengan mengambil suatu tema khusus dari berbagai
tema doktrinal kehidupan, tema sosiologis atau kosmologis yang dibahas dalam Al-qur’an.
Shihab (1996: xii), mengemukakan bahwa
pendekatan kajian ayat Al-qur’an secara tematik (maudhu'i) ini benihnya
telah dikenal sejak masa Rasulullah, namun ia baru berkembang jauh sesudah masa
beliau. Dalam pendekatan tafsir tematik ini,
caranya yaitu dengan mengambil menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan Al-qur’an
yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Misalnya,
pesan-pesan pada surat Al-baqarah, Ali Imran, Al-kahfi,
atau surat lainnya. Ambillah misalnya
surat Al-kahfi, yang arti harfiahnya "Gua". Dalam uraiannya, gua
tersebut dijadikan tempat perlindungan sekelompok pemuda yang menghindar dari
kekejaman penguasa zamannya. Dari nama ini diketahui bahwa surat Al-kahfi
tersebut dapat dapat memberi perlindungan
bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Dari sini, kemudian setiap
ayat atau kelompok ayat yang terdapat dalam surat Al-kahfi
diupayakan untuk mengaitkannya dengan makna perlindungan itu.
Qisah qur’ani digunakan dalam
pembelajaran Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA, karena qisah qur’ani itu
mengandung makna yang bisa menyentuh
hati peserta didik. Di dalam Al-qur’an banyak sekali qisah-qisah tentang para Nabi
dan para Rasul, serta qisah-qisah umat-umat yang benar-benar terjadi sebagai
peristiwa sejarah yang dapat dibuktikan
kebenarannya secara filosofis dan secara ilmiah melalui saksi-saksi bisu berupa
peninggalan-peninggalan orang-orang terdahulu, seperti Ka’bah di Mekah,
Masjidil Aqsha di Palestina, Piramida dan Spink di Mesir, dan masih banyak lagi
yang lainnya. Semua kisah-kisah itu dapat menjadi nasihat dan pelajaran bagi
kita semua, sesuai dengan berfirman Allah:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang akal. Al-qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS. Yusuf:
111).
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
termasuk Pendidikan Keimanan pendekatan qisah itu amat penting, dengan alasan
sebagai berikut:
a)
Kisah selalu memikat, karena mengundang
pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya,
makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pendengarnya.
b)
Kisah qur’ani dapat menyentuh hati
manusia, karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh.
Dengan demikian, pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan
isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya.
c)
Kisah qur’ani mendidik perasaan
keimanan dengan cara: membangkitkan berbagai perasaan, seperti khauf, ridha,
dan cinta; mengarahkan seluruh perasaan, sehingga bertumpuk pada suatu puncak,
yaitu kesimpula kisah; melibatkan pendengar ke dalam kisah itu, sehingga ia
terlibat secara emosional (Sudiono (2009: 284).
Ramayulis (2011: 199) menjelaskan bahwa di
dalam Al-qur’an banyak cerita mengenai para Rasul atau Nabi terdahulu sebelum
Nabi Muhammad yang bertujuan menimbulkan kesadaran bagi yang mendengarkannya
agar meningkatkan iman dan berbuat amal kebaikan dalam menjalani hidup dan
kehidupan masing-masing.
Secara lebih rinci, Sudiono (2009: 285), menjelaskan bahwa qisah
qur’ani bukanlah hanya sebagai qisah
yang indah, melainkan suatu cara Tuhan mendidik umat manusia agar beriman
kepada-Nya. Qisah qur’ani mempunyai tujuan sebagai berikut:
a)
Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Mewujudkan
rasa mantap dalam menerima Qur’an dan pengutusan Rasul-Nya. Kisah-kisah itu
menjadi bukti kebenaran wahyu dan kebenaran Rasulullah;
b)
Menjelaskan bahwa secara keseluruhan, ad-din
itu datangnya dari Allah;
c)
Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mencintai
Rasul-Nya, menjelaskan bahwa kaum mu’min
adalah umat yang satu, dan Allah sebagai Rabnya;
d)
Kisah-kisah itu bertujuan menguatkan keimanan
kaum muslimin, menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa
mereka;
e)
Mengingatkan bahwa musuh orang mu’min adalah
syetan, menunjukkan permusuhan abadi, dan dengan qisah akan tampak lebih hidup
dan jelas.
Pendekatan
Targhib-Tarhib digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Keimanan di SMA
POMOSDA, karena pendekatan ini dapat
menimbulkan suatu kesan bagi para siswa untuk memiliki rasa takut melakukan
hal-hal yang dilarang dan dapat menumbuhkan rasa untuk mendorong para siswa
dalam melakukan kebaikan. Apa sebenarnya yang dimaksud pendekatan targhib-tarhib
itu?
Targhib secara bahasa berasal dari kata raghaba, yang artinya
menyenangi, menyukai, dan mencintai. Kemudian kata itu dirubah menjadi kata
benda "targhib" yang mengandung makna suatu harapan untuk
memperoleh kesenangan, kecintaan, dan kebahagiaan yang dimunculkan dalam bentuk
janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat merangsang/mendorong
seseorang hingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya. Sedangkan
istilah tarhib berasal dari kata "rahhaba" yang berarti
menakut-nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda "tarhib"
yang berarti ancaman hukuman (Syahidin, 2009: 124).
Berkaitan dengan itu, Abdurahman Al-Nahlawi dalam
Syahidin (2009: 125) mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan targhib
adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu
yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti,
serta bersih dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal shaleh dan menjauhi kenikmatan
selintas yang mengandung bahaya dan perbuatan buruk. Sedangkan tarhib yaitu
suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah atau akibat lengah dalam menjalankan
kewajiban yang diperintahkan Allah. Tarhib juga diartikan sebagai ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa takut kepada para hambanya sekaligus untuk memperlihatkan
sifat-sifat kebesaran dan keagungan Ilahiah, agar mereka selalu
berhati-hati dalam bertindak serta tidak melakukan kesalahan dan kesesatan.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
targhib adalah suatu cara atau model pendekatan untuk meyakinkan seseorang
terhadap janji Allah berupa kesenangan dan kebahagiaan yang akan diperoleh bagi
orang yang melakukan amal shaleh, sehingga ia terdorong untuk melakukannya.
Sedangkan tarhib adalah suatu cara atau model pendekatan untuk meyakinkan
seseorang terhadap ancaman Allah bagi orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang, sehingga ia berusaha untuk menghindarinya.
b. Proses Internalisasi Nilai Keimanan
di SMA POMOSDA
Proses internalisasi yang dilakukan
kepada para siswa/santri di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) untuk dapat
mengenal Allah memiliki ciri khas
tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu dilakukan melalui
proses pemberkahan (talqin) oleh
Guru Wasithah. Di dalam proses pemberkahan tersebut, ada bai’at
kepada Guru Wasithah, yang pada hakekatnya yaitu bai’at kepada
Allah sendiri. Saat pemberkahan atau pentalqinan
itu Guru Wasithah menanamkan benih iman ke dalam rasa hati calon
muridnya yang ditiupkan melalui telinga kirinya. Sejak itulah iman kepada Allah
itu mulai muncul dan sejak itulah seorang murid itu mulai mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya mengenal. Dengan
demikian, talqin dan bai’at kepada Wasithah merupakan
suatu keharusan bagi orang yang ingin mengenal Allah.
Secara umum proses pemberkahan (talqin) yang di dalamnya diserta
dengan bai’at dalam setiap ajaran tarekat sebagaimanan yang dijelaskan
pada kajian teori itu sudah biasa. Hanya
saja terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Dalam ajaran tasawuf di SMA
POMOSDA pada saat pentalqinan itu ditanamkan nilai iman dengan cara
dibisikkan oleh Guru Wasithah tentang Jati Diri Dzat Al-Ghaib
(Allah nama-Nya), dan itulah yang harus diingat-ingat dalam hati setiap
muridnya.
Kalau kita lihat dalam ajaran Islam, sebenarnya pelaksanaan bai’at itu sudah
ada pada zaman Rasulullah Muhammad saw,
dan di dalam Al-qur’an sendiri dijelaskan. Allah berfirman:
Bahwasanya orang-orang yang berbai’at kepadamu, sesungguhnya mereka berbai’at
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janjinya, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan
memberinya pahala yang besar (QS. Al-Fath: 10).
Abdurrahman (1993, J.1: 58) mengemukakan bahwa di dalam
Hadits diceriterakan bahwa Nabi Muhammad saw telah meminta kepada para
sahabatnya melakukan bai’at pada beliau lebih dari satu kali. Imam
Bukhari meriwayatkan suatu Hadits yang sanadnya datang dari Ubadah ibn
Ash-Shamit, sebagai berikut:
Nabi saw memanggil kami, kemudian kami berbai’at kepadanya seraya ia
berkata dalam bai’at yang diambil dari kami, bahwa kami berbai’at
kepadanya untuk mendengar, menaatinya dalam keadaan suka maupun duka, kesukaran
maupun kemudahan, dan telah mengarahkan kami kepada sesuatunyang terbaik, bukan
sebaliknya; dan agar kami tidak mendebat penguasa, kecuali apabila merreka
terlihat jelas-jelas kufur terhadap Allah dengan tanda-tanda yang terang.
Dalam sebuah hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah
bin Utsman bin Khaitsam bahwa Muhammad bin Aswad bin Khalaf mengabarkan perihal
bapaknya, Al-Aswad r.a. yang melihat Rasulullah membai’at manusia pada hari
futuh Makkah. Ia berkata:
Nabi duduk di atas puncak bukit yang berhadapan, maka beliau membai’at
manusia untuk membela Islam dan syahadat. Saya berkata, apakah syahadat itu? Ia
berkata, Ia mengabariku Muhammad bin
al-Aswad bin Khalaf bahwa ia (Nabi) membai’at manusia untuk iman dan syahadat bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Nabi SAW membai’at
laki-laki dan wanita setelah Futuh Makkah, Hundun binti Utbah, isteri Abu
Sufyan, termasuk yang dibai’at.
Dalam hadits sebuah yang lain yang datang dari Basyir bin
al-Khashashiyah dijelaskan pula:
Saya mendatangi Rasulullah saw, kemudian beliau mengulurkan tangannya
sambil berkata: Engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan tiada
sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau mendirikan
shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji ke
baitullah, dan berjuang di jala Allah.
Dalam salah satu Hadits yang terdapat dalam kitab
At-Tasawuf Al-Islam Al-Khalis karya Abul Faidh al-Manufi hal. 74 dijelaskan
bahwa: “Rasulullah Muhammad saw mentalqin (membisikkan dzikir) kepada
Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, kemudian Hasan Al-Bishri juga
meminta ditalkin oleh Ali dan
kata-katanya sama seperti apa yang datang dari Nabi” (Afandi, 2009: 36).
Selain itu, Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Sirrul Asrar pasal 5 tentang
taubah dan talqin menegaskan sebagai berikut:
“Ketauhilah, bahwa untuk mencapai martabat haqiqatul
insan itu harus denga jalan taubatan nasuha dan dengan jalan talqin yang diperoleh dari ahlinya, sebagaimana
firman Allah: “wa alzamahum kalimatat taqwa”, dan Allah mengukuhkan
kalimah taqwa kepada mereka (ahli talqin), yakni kalimah “la ilaha
illallah” dengan syarat diperoleh dari hati yang taqwa dan hati yang telah bisa
menafikan segala sesuatu selain Allah dan ia bukan kalimah yang diperoleh dari
lisan orang awam. Meskipun lafadznya sama, tetapi maknanya berbeda-beda.
Alasannya, hati itu akan hidup jika menerima benih tauhid dari hati yang hidup,
maka benih itu pun akan sempurna.
Dikatakan dalam kitab Asy-Syari’ah bahwa orang pertama
yang berkehendak memperoleh jalan yang paling dekat, paling mulia, dan paling
mudah bertemu Tuhan dari Nabi Muhammad saw adalah Ali bin Abi Thalib. Sesaat
Nabi menunggu wahyu, maka turunlah malaikat Jibril, lalu membisikkan kalimat
ini tiga kali, kemudian Nabi berkata sebagaimana apa yang dikatakan Jibril.
Setelah itu, Nabi mentalqin Ali, kemudian datang kepada para sahabatnya dan
mentalqin mereka (Khozin, 2009: 37).
Dari beberapa hadits yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa bai’at
itu merupakan suatu perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad saw.
Karenanya, dapat dikatakan bahwa bai’at merupakan suatu prinsip ajaran
Islam, dan merupakan tradisi kenabian
yang senantiasa dilakukan umat Islam sejak zaman dulu sampai sekarang. Di dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan: “Barangsiapa yang
mati dan di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati dalam keadaan
jahiliyah”. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, bai’at tetap dilaksanakan
kepada para pengganti beliau yang memperoleh petunjuk atau orang-orang tertentu
yang memimpin umat Islam.
Pada pelaksanaan bai’at, seperti yang
dikemukakan di atas yaitu ada suatu proses pemberkahan dan pentalqinan,
yakni merupakan proses internalisasi keimanan yang dilakukan oleh Guru Wasithah
pada calon murid-muridnya. Pada proses ini, guru mursyid memasukkan
butiran iman kepada calon muridnya dengan cara dibisikkan melalui telinga kirinya. Dan dari sanalah
mulai muncul keimanan kepada Allah, yakni mengenal Allah dengan
seyakin-yakinnya.
Proses bai’at dan talqin yang dilakukan di
POMOSDA, sebenarnya dalam ajaran tasawuf dan tarekat yang berkembang di dunia
Islam, khususnya di Indonesia sudah biasa dilakukan. Namun, dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan seperti berikut. Salah satu contoh, bai’at
dan talqin dalam Tarekat Qodiriyah seperti yang dijelaskan
oleh Isma’il (2008, J.3: 1257) dilakukan
dengan tata cara sebagai berikut. Pertama, seorang mursyid mengajak
calon ikhkwan yang akan melakukan bai’at atau mubaya’ah untuk membaca
surat Al-fatihah. Kedua, seorang mursyid mengajak calon ikhwan
untuk bersama-sama memohon ampun kepada Allah dengan dengan lafadz istighfar “Astaghfirullahal
‘adhim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atubu ilaih”. Ketiga,
seorang mursyid mengajak calon ikhwan untuk mengikuti ikrar bai’ah atau
mubaya’ah sebagai berikut: (1) Saya bersaksi kepada Allah, kepada para
malaikat, kepada para rasul, kepada para nabi, dan kepada para hadirin di
antara makhluk-makhluk Allah, bahwa sesungguhnya saya benar-benar taubat kepada
Allah dari berbagai dosa yang pernah saya lakukan, (2) Saya berjanji bahwa saya
akan senantiasa menyatakan halal terhadap segala sesuatu yang dinyatakan halal
oleh Allah dan menyatakan haram terhadap segala sesuatu yang dinyatakan haram
oleh Allah. (3) Saya berjanji bahwa saya akan senantiasa membiasakan dzikir
kepada Allah dan menunjukkan kekuatan kepada-Nya sesuai dengan kemampuan saya.
(4) Saya menyatakan, saya ridha bahwa syaikh dan guru kami, yakni syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani menjadi syaikh saya, guru-guru beliau menjadi
guru saya, tarekat beliau menjadi tarekat saya, dan saya menyadari bahwa Allah
menyaksikan apa yang kami ikrarkan. Keempat, mursyid menuntun para calon
ikhwan yang sedang menyatakan ikrar bai’ah untuk bersama-sama membacakan ayat Al-qur’an:
“Innalladzina yubayi’unaka innama
yubayi’unallah ... “. Kelima, mursyid mengatakan kepada para
calon ikhwan yang mengikuti bai’ah, “Simaklah dengan khidmat ucapan kalimah
tauhid ini “la ilaha illallah”. Syaikh mengucapkan kaliamh tauhid
ini tiga kali. Kemudian para calon ikhwan yang mengikuti bai’ah mengucapkan
kalimah “la ilaha illallah” itu tiga kali, sehingga terasa kokoh dan
mantap di dalam qalbu.
Setelah selesai melakukan lima langkah tersebut, mursyid
memberikan nasihat dan pesan-pesan agar murid-murid yang baru saja mengikuti talqin
atau bai’ah memperbanyak dzikir kepada Allah, baik ketika berdiri maupun
ketika duduk, di waktu malam maupun di siang hari, serta senantiasa menjaga
hak-hak sesama ikhwan. Proses bai’at atau talqin tersebut
kemudian ditutup dengan do’a.
Di dalam tarekat Tijaniah juga ada bai’at/talqin. Bai’at/talqin
yang dilakukan dalam tarekat Tujaniah
yaitu dengan cara cara meletakkan tangan diatas tangan syaikh sambil mengenggamkan
jari jemarinya di atas jari sang syaikh, seraya memejamkan mata.
Kemudian sang syaikh menuntunkan kata-kata, ”Saya berjanji untuk beriltizam
berwirid dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, kemudian sang syaikh memberikan wirid,
kemudian mereka membuat kata-kata perjanjian, bai’at, berjabat tangan
dan talqin.
Sesungguhnya baiat adalah sesuatu yang
disyariatkan, yakni sebagaimana Rosululloh sholallahu alaihi wassalam pernah
membaiat para shahabat radliallahu ‘anhum. Dengan bai’at ini,
dimaksudkan agar bisa memberikan bekas (atsar) pada jiwa mereka (yang akan
bergabung dengan kelompoknya), sehingga mereka bisa dikendalikan/diatur
dan mentaati hukum dan aturan sang syaikh, inilah hakekat baiat orang
tasawuf taarekat.
Dari beberapa penjelasan tentang proses bai’at/talqin
yang dilakukan dalam beberapa tarekat seperti di atas, terdapat suatu perbedaan
yang mendasar, yakni dalam proses bai’at/talqin tersebut, tidak
ada satu pun tarekat yang mengungkap tentang adanya proses penanaman
nilai-nilai keimanan yang mengantarkan para muridnya untuk dapat mengenal “Dzat
Allah”, melainkan semuanya hanya mengenalkan kalimah thoyyibah yakni kalimah “la
ilaha illallah” saat proses pentalqinan tersebut.
Lain halnya dengan apa yang dilaksanakan di
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), yang terkenal sebagai “Pondok
Sufi” yang mengembangkan suatu ilmu yang disebut “Ilmu Syathariah” atau
orang lain sering menyebutnya dengan “Tarekat Syathariah”. Pada
proses pentalqinan yang dilakukan
oleh Guru Wasithah atau dalam istilah umum dikenal dengan mursyid,
ada suatu proses penanaman benih iman, yakni mengenalkan Dzat Yang Ghoib
(Allah nama-Nya) yang dibisikkan melalui
telinga kiri.
Berkaitan dengan ini, sering ada sebuah
pertanyaan, sejak kapan sebenarnya manusia itu beriman kepada Allah.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman yang dilakukan oleh peneliti
sendiri, bahwa sebenarnya iman itu mulai ada pada diri kita sejak kita ditalqin
dan ditanamkan butiran iman melalui telinga kiri oleh Guru Wasithah dan
dari telinga kiri itu kemudian masuk ke dalam hati. Dengan ditanamkan butiran
iman itu, maka sejak itulah kita mulai mengenal Dzat Allah dan sejak
itulah kita sebenarnya mulai beriman kepada-Nya. Dengan ditanamkan butiran iman
ke dalam hati, maka kita akan merasakan
bahwa Allah itu dekat dengan kita dan Allah selalu bersama kita sesuai dengan apa
yang dijelaskan Allah dalam Al-qur’an.
Iman dalam pandangan warga sythariah seperti
yang telah dijelaskan pada uraian di atas yaitu “ma’rifatun wa tashdiqun”
(mengenal Allah dan membenarkan bahwa yang mengenalkan Allah itu ialah
utusan-Nya). Mengenal Allah (ma’rifatullah) yang dimaksud bukan hanya
mengenal Asma dan af’alnya, melainkan betul-betul mengenal “Jati Diri”
atau “Dzat” Allah itu sendiri, atau dengan kata lain ma’rifat secara
hakiki.
Mengenal Allah (ma’rifatullah)
merupakan dasar yang paling utama dalam beragama Islam. Dalam kajian tauhid ada
ungkapan bahwa pertama kali yang wajib bagi manusia ialah mengenal Allah dengan
seyakin-yakinnya. Ungkapan
tersebut menunjukkan bahwa mengenal Allah merupakan suatu keharusan bagi setiap
muslim, karena tanpa mengenal Allah keimanan seseorang belumlah sempurna.
Bahkan, tanpa ma’rifatullah, setiap amal tidak ada
nilainya. Amal-amal tersebut akan kehilangan ruhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Al-Ghazali (1986: 7) yang menjelaskan bahwa ibadah tanpa
ilmu dan tanpa ma’rifah tidak ada artinya. Ilmu dan ma’rifah
merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh seseorang dalam beribadah, karena
kalau tidak dia akan celaka. Artinya, ia harus belajar supaya bisa beribadah
dengan baik, menempuh jalan ini sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan
merenungkan sepenuhnya. Dengan belajar, bertanya kepada para ulama tentang
akhirat, kepada petunjuk-petunjuk jalan, para pemuka umat, para imam,
mudah-mudahan dengan demikian dapat berhasil mencapai ilmu yakin.
c. Proses Pembinaan Keimanan di SMA POMOSDA
Proses pembinaan keimanan untuk dapat mendekatkan diri
kepada Allah, sehingga dapat kembali kepada Allah dengan selamat yang dilakukan
di SMA POMOSDA kepada para santri/siswanya, ada langkah-langkah yang harus
dilakukan, yaitu mujahadah
(jihadunnafsi) atau memerangi hawa nafsu, yang dibarengi dengan menjalankan:
(1) ibadah yang dapat dilakukan oleh anggota badan, seperti memperbanyak
shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak sedekah, melakukan haji bagi yang
mampu, dan memperbanyak membaca Al-qur’an, (2) memperbagus akhlak, (3) tazkiatunnafsi,
dan (4) tashfiyatul qolbi.
Pada dasasrnya, proses pembinaan seperti itu merupakan
suatu hal yang biasa dalam setiap ajaran tasawuf. Pada bagian kajian teori,
masalah jihadunnafsi juga sudah dijelaskan, bahwa untuk dapat
mendekatkan diri kepada Allah itu seseorag harus melakukan jihadunnafsi (memerangi
hawa nafsu). Hanya saja, jihadunnafsi
yang diajarkan dalam tasawuf di SMA POMOSDA
memiliki cara-cara tersendiri sesuai dengan petunjuk Guru Wasithah,
karena Guru Wasithah merupakan panutan bagi murid-muridnya. Kecuali itu,
dalam ajaran tasawuf di POMOSDA bahwa melakukan jihadunnafsi itu
dianjurkan secara bersama-sama dan pada
waktu-waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama, seperti malam Jum’at,
malam Selasa, atau malam minggu dan itu sudah berlangsung sejak lama. Hal
demikian, tiada lain agar semua murid dapat termotivasi untuk melaksanakannya,
karena kalau melaksanakan sendiri-sendiri biasanya lebih sulit dan banyak
godaannya.
Kita sadari, bahwa melaksanakan jihadunnafsi
(memerangi hawa nafsu) itu memang tidak mudah, karena hawa nafsu selalu
mendorong manusia terhadap hal-hal jelek. Allah swt telah menciptakan manusia
dengan hawa nafsu yang selalu membujuk dan mendorong manusia untuk melakukan
kejahatan. Allah swt menjadikan hawa nafsu untuk menguji manusia sampai sejauh
mana manusia bersungguh-sungguh mengabdikan dirinya kepada Allah. Nafsu itu
diciptakan Allah memiliki karakteristik tidak mengenal Allah da selalu mengajak
kepada kejelekan. Karena itu, nafsu tidak pernah senang menerima pembebanan atau
tugas dari Allah swt apa pun bentuk dan wujud-nya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah:
Maka jika mereka tidak memenuhi permintaanmu,
ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsunya sendiri. Dan siapakan
orang yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsu dengan tidak
ada petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum
yang dhalim (QS. Al-Qashash: 50).
Oleh karena itu, Nabi Muhammad pernah bersabda, bahwa
“memerangi hawa nafsu merupakan perang yang paling besar”. Dikatakan perang
yang paling besar, karena tidak setiap orang bisa memerangi hawa nafsunya, dan
bahkan kebanyakan orang suka menuruti hawa nafsunya. Sekaitan dengan masalah
ini, Imam Ali pernah berkata: Aku dan nafsuku hanyalah seperti penggembala
domba. Setiap kali ia mengumpulkan domba-domba di satu sisi, maka domba-domba
itu berpencar di sisi yang lain. Barangsiapa yang mengendalikan nafsunya, ia
dibungkus dengan kain kafan rahmat dan dikubur di dalam tanah kemuliaan.
Sebaliknya, barangsiapa yang melalaikan qalbunya, ia dibungkus dengan
kain kafan laknat dan dikubur di dalam tanah siksaan (Khozin, 2009: 37).
Menurut keyakinan para sufi, tujuan tasawuf tidak akan
tercapai kecuali melalui mujahadah. Karenanya, Al-Qusyairi mengatakan, “Barangsiapa
pada awal perjalanannya tidak bermujahadah, ia tidak akan pernah
merasakan lezatnya tasawuf. Pendapat yang sama dikemukakan syaikh Abu
Ali Ad-Daqqaq, bahwa “orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan
spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya”.
Al-Hujwiri mengatakan, bahwa jalan mujahadah
jelas dan nyata, karena telah disepakati oleh semua agama dan madzhab, dan
diamalkan oleh para sufi. Istilah “jihadunnafsi” terkenal di kalangan para sufi
dari setiap lapisan, dan syaikh-syaikh sufi telah banyak
mengungkapkan pelajaran tentang masalah ini.
Ibrahim ibn A’dham mengatakan, “Seseorang baru
akan mencapai derajat kesalehan, sesudah melakukan enam hal, yaitu: (1) menutup
pintu senang-senang dan membuka pintu keprihatinan, (2) menutup pintu
keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati, (3) menutup pintu istirahat dan
membuka pintu mujahadah, (4) menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga,
(5) menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kesederhanaan, (6) menutup pintu
harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian.
Dzunnun
Al-Mishri mengatakan, bahwa kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam
hal: (1) memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat, (2) tubuh
mereka diperbudak oleh nafsu, (3) tidak henti-hentinya mengharapkan perolehan
duniawi, (4) lebih suka menyenangkan makhluk, (5) memperturutkan hawa nafsunya,
dan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap sunnah Rasulullah saw, (6)
membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur
prestasi pendahulunya.
Pelaksanaan mujahadah itu
bermacam-macam sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Kaum sufi,
membagi mujahadah menjadi dua macam sesuai dengan tingkatan iman.
Pertama, orang yang ilmu dan amalnya belum berkembang, maka mujahadah
mereka dalam bidang kualitas amal, yaitu dengan memurnikan dan meningkatkan
amal-amal kebajikannya, sehingga benar-benar menjadi orang yang bertaqwa.
Kedua, bagi orang-orang yang ilmu dan amalnya sudah berkembang, maka mujahadah
mereka ditujukan untuk memperbaiki kondisi spiritual yaitu dengan menyingkirkan
sifat-sifat keji dan tercela, dan menggantikannya dengan sifat-sifat yang
terpuji dan mulia, agar meningkat setingkat demi setingkat, hingga akhirnya
menjadi orang yang dekat dengan Tuhan.
Di dalam mujahadah bukan hanya berusaha
meningkatkan amal dan kondisi spiritual, tetapi juga berusaha menyingkirkan
halangan dan rintangan yang mungkin dapat menggagalkan mujahadahnya.
Adapun rintangan-rintangan yang dapat mengagalkan mujahadah, sehingga
tujuan murni tasawuf itu tidak tercapai, menurut para sufi ada empat hal, yaitu
dunia, manusia, syetan, dan nafsu.
Rintangan pertama adalah dunia. Yang dimaksud
dengan dunia adalah segala yang kita miliki atau yang kita nikmati selama kita
hidup, baik yang berupa benda, pangkat kekuasaan atau yang lainnya. Mujahadah
terhadap dunia ini ada dua macam, yaitu tajarrud dan zuhud. Tajarrud
ialah usaha untuk mengurangi perhatian dan kecintaan yang berlebihan kepada
dunia, dengan mengutamakan perhatian dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan zuhudyaitu merupakan sikap hidup yang
lebih mengutamakan yang lebih baik dan lebih bermanfaat, dan meninggalkan yang
kurang baik dan kurang bermanfaat. Zuhudterhadap dunia yaitu diperlukan
untuk meningkatkan perhatian dan membangkitkan kegairahan dalam melaksanakan
ibadah, dan untuk meningkatkan perhatian nilai dan mutu ibadah yang dikerjakan.
Rintangan kedua adalah manusia. Manusia bisa
menjadi penghalang bagi para pencari kesalehan, karena pergaulan dapat
mempengaruhi sikap dan kepribadian seseorang. Sebaliknya, seseorang pun dapat
mempengaruhi masyarakat. Agar manusia terhindar dari pengaruh negatif dalam
pergaulan, diperlukan adanya usaha untuk memisahkan diri dari pergaulan yang
akan mendatangkan kejahatan melalui uzlah dan memisahkan diri dari tuntutan
hawa nafsu.
Rintangan ketiga adalah syetan. Menurut Al-Ghazali, ada dua alasan yang mendorong
kita untuk memerangi syetan. Pertama, karena Allah menyatakan di dalam Al-qur’an
bahwa syetan adalah musuh manusia. Kedua, karena syetan telah bersumpah tidak
akan pernah berhenti mencari jalan untuk menyesatkan manusia dengan berbagai
cara. Untuk mengatasi tipu daya syetan, menurut al-Ghazali perlu pertolongan
Allah.
Penghalang keempat adalah nafsu. Adapun yang
dimaksud nafsu menurut kaum sufi adalah himpunan kekuatan yang ada pada diri
manusia, yang terdiri dari kekuatan marah (emosi) dan syahwat. Tugas manusia
adalah berjuang (mujahadah) untuk mengendalikan hawa nafsu. Mujahadah
melawan hawa nafsu itu adalah perjuangan yang sangat berat. Kesulitan yang
dihadapi dalam memerangi hawa nafsu dapat dilihat dari dua segi, yaitu (1)
karena nafsu itu musuh dalam selimut yang sulit diketahui tipu dayanya, (2)
walaupun nafsu itu diketahui sebagai musuh, tetapi manusia selalu mencintai dan
mengikuti kehendaknya.
Metode dalam mujahadah, yaitu
pertama-tama seseorang harus merasa tidak rela terhadap nafsunya sendiri dan
keyakinannya bahwa sifat nafsu adalah selalu menyuruh kepada kejahatan. Dia
harus tahu bahwa nafsu merupakan penghalang utama antara dirinya dan Allah.
Ketika nafsu selalu mengajak kepada kejahatan, maka dia tidak merasakan
kenikmatan kecuali dengan maksiat dan pelanggaran. Akan tetapi, setelah
dilakukan mujahadah terhadapnya dan disucikan, maka dia akan menjadi
ridha dan tidak merasa senang kecuali dengan mengajarkan ketaatan-ketaatan
kepada Allah.
Selanjutnya,
seorang muslim harus dapat menyingkap aib-aib dirinya dan dia berniat
tulus untuk mensucikannya. Dengan demikian,
dia tidak akan memiliki waktu untuk sibuk mencari aib-aib orang lain,
dan tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menghitung-hitung kesalahan mereka.
Ada juga seorang sufi yang berkata: “Jangan engkau melihat aib orang lain
selama dirimu masih memiliki aib. Dan seorang hamba selamanya tidak akan pernah
lepas dari aib”. Apabila seorang muslim telah mengetahui hal tersebut, maka dia
akan menyapih keinginan-keinginan hawa nafsunya yang menyimpang dan
kebiasaan-kebiasaannya yang jelak, lalu dia akan memaksanya untuk melakukan ketaatan dan
hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Langkah berikutnya, berusaha membebaskan
dirinya dari segala macam maksiat yang berkaitan dengan anggota badan yang
tujuh, yakni lisan, telinga, mata, tangan, kaki, perut, dan kemaluan. Kemudian
dia menghiasi ketujuh anggota badan tersebut dengan melakukan ketaatan-ketaatan
yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ketujuh anggota badan ini merupakan
jendela-jendela yang menghubungkan ke hati. Apabila yang dilimpahkan oleh
ketujuh anggota tubuh ini ke dalam hati adalah kegelapan, maka hati akan
menjadi keruh dan sakit. Sebaliknya, apabila yang dilimpahkannya adalah cahaya
ketaatan, maka hati akan bercahaya dan sembuh dari sakitnya.
Setelah itu dilakukan, lalu berpindah untuk
melakukan mujahadah terhadap sifat-sifat batin, yakni sifat-sifat batin
yang buruk, seperti sombong, ria, marah, dan lain-lainnya, dan berusaha
menggantinya dengan sifat-sifat yang terpuji, seperti tawadhu’, lkhlash,
penyantun, dan lain-lainnya.
Berkaitan
dengan hal di atas, seorang sufi Abul Qasim al-Junaid pernah ditanya, “kapan
jiwa itu bisa memperoleh harapan?”. Dia menjawab, jika penyakitnya menjadi obat
kesembuhannya. Dia ditanya
lagi, lalu kapan penyakitnya menjadi obat kesembuhannya? Dia menjawab, jika hawa nafsunya ditentang.
Abu al-Malik Al-Asy’ari
berkata: “Pahala tidak saja diberikan karena keberhasilanmu mengalahkan musuh.
Ia juga diberikan karena kegigihanmu dalam menaklukkan nafsu”. Pendapat ini didasarkan kepada sabda Nabi
bahwa “orang yang kuat adalah orang yang mampu menaklukkan hawa nafsunya”.
Seorang
sufi lainnya, Yunus bin Abdillah dengan manisnya memberikan komentar kepada orang-orang yang berhasil menaklukkan hawa
nafsunya. Dia berkata: Dunia ini
dipenuhi
oleh berbagai macam keajaiban.
Di antara yang paling ajaib ialah
orang yang selamat dari rayuan jiwanya. Aku
tidak merasa heran
terhadap orang yang banyak melakukan ibadah malam dan puasa
sunnah, namun aku sangat kagum kepada orang yang mengurungkan niat untu melakukan maksiat, sedang
nafsunya terus menerus mendorongnya. Aku tidak heran terhadap orang yang selalu melakukan
ketaatan, sebab ketaatan punya ukuran yang jelas. Namun, aku sangat kagum
kepada orang-orang yang selalu menghindarkan diri dari kemaksiatan. Sebab, untuk menghindari kemaksiatan tidak ada ukurannya.
Nafsu manusia itu ibarat
seekor anjing, jika ia diberi makan ia
menggonggong, dan jika tidak pun
ia
tetap menyalak (Isa, 2010: 74).
Peperangan itu ada dua macam, yaitu
perang lahir dan perang batin. Perang lahir yaitu memerangi orang-orang kafir
yang menentang Allah subhanahu wa
ta’ala
dan Rasul-Nya dengan mengangkat pedang, panah, dan tombak dengan pilihan
membunuh atau dibunuh. Sedangkan perang batin yaitu memerangi hawa nafsu,
watak, keinginan syetan, taubat dari maksiat dan meninggalkan segala sesuatu
keinginan terhadap yang haram. Perang batin lebih berat daripada perang lahir,
sebab perang batin dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang. Betapa
tidak, perang batin itu menuntut manusia untuk memutuskan segala keinginan hawa
nafsu yang diharamkan, kemudian menjalankan perintah agama dan meninggalkan
segala larangan-Nya. Barangsiapa yang mengikuti Allah dalam dua peperangan
tersebut, maka dia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Luka yang
diperoleh orang yang mati syahid tak ubahnya seperti aliran darah pada tangan
kalian, sama sekali tidak menyisakan rasa sakit, sedangkan kematian bagi
seseorang yang melawan hawa nafsunya dan bertaubat dari dosa-dosanya, tak
ubahnya seperti air segar yang diminum oleh orang-orang yang sedang kehausan (Al-Jailani, 2010: 114).
Berkaitan dengan jihadunnafsi, bahwa Allah swt
telah menciptakan manusia dengan hawa nafsu yang selalu membujuk dan mendorong
manusia kepada tindak kejahatan. Allah swt memberikan
hawa nafsu untuk menguji sampai sejauh mana kita bersungguh-sungguh mengabdikan
diri kepada Allah. Di samping itu, Allah swt
juga menjadikan dan memberikan kebodohan, kezholiman
dan kebakhilan sebagai karakteristik manusia yang sangat menonjol.
Karena itulah nafsu manusia selalu tidak pernah senang menerima pembebanan atau
tugas dari Allah swt apa pun bentuk dan wujudnya (Bya, 2006: 325).
Oleh
karena itu, perang tebesar atau jihad terbesar yang dialami oleh setiap manusia
adalah perang melawan hawa nafsu. Kedekatan dengan Allah tidak akan
tercapai jika hawa nafsu masih mendekam di dalam jiwa manusia. Sehubungan
dengan itu, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku dan nafsuku hanyalah seperti
penggembala domba. Setiap kali ia mengumpulkan domba-domba di satu sisi, maka
domba-domba itu berpencar di sisi yang lain. Barangsiapa yang mengendalikan
nafsunya, ia dibungkus dengan kain kafan rahmat dan
dikubur di dalam tanah kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang melalaikan kalbunya, ia dibungkus dengan kain kafan
laknat dan dikubur di dalam tanah siksaan” (Bya, 2006: 326).
Sebagai upaya menyucikan jiwa, selain harus melakukan hal-hal seperti di
atas, juga harus menanamkan sifat-sifat
yang baik dalam diri kita dengan cara-cara sebagai berikut: (1) Menjaga lisan
dari ucapan-ucapan yang tidak baik, (2)
Bersikap jujur, (3) Memegang amanah, (4) Memelihara sifat wara’, (5) Memelihara
budaya malu, (6) Menanamkan sifat tawadhu’, (7) Suka memberi maaf, (8)
Senantiasa bersyukur, (9) Sabar dalam segala hal, (10) Tawakkal
sepanjang hayat, (11) Ridha terhadap taqdir Allah (Bya, 2006: 339).
Berkaitan dengan memerangi hawa nafsu, Jaho berkata: Wahai manusia, taatlah kepada
perintah Allah dan jangan taat kepada perintah hawa nafsu yang akan merugikan
dan menghancurkanmu. Ketauhilah olehmu, bahwa hawa nafsu itu merupakan musuh, dan yang namanya musuh pasti akan
terus menerus berusaha menghancurkan
lawannya. Jangan memberi kesempatan terlalu banyak kepada musuh yang satu ini,
sehingga membahayakan kedudukanmu. Lebih sulit lagi adalah bahwa hawa nafsu itu
adalah musuh yang memakai jubah sahabat.
Kita membencinya, tapi kita juga memerlukannya. Jika kita tidak memiliki nafsu,
tentu kita tidak suka kepada makanan dan minuman yang merupakan faktor utama
untuk menguatkan badan(Jaho, 2002: 28).
Yang dimaksud dengan menjauhi hawa nafsu
adalah menjauhi perintahnya yang keji dan jahat. Sebab, secara alamiah nafsu
memag memiliki sifat yang senantiasa menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan
keji. Oleh karena itu, jangan biarkan hati kita terlampau cinta kepada
faktor-faktor keduniaan, seperti harta, anak-anak dan isteri, karena semua itu
bisa menjadi fitnah yang besar bagi diri kita. Oleh karena itu, ambillah dari
dunia ini sekedar yang dapat menguatkan badanmu untuk beribadah. Puaslah dengan
kadar yang sederhana dan jangan mengejar tambahan di luar batas
keperluanmu.
Sebagai wujud dari jihadunnafsi (memerangi
hawa nafsu), yang dilaksanakan di POMOSDA, maka setiap santri/siswa harus ada
hal-hal kongkrit yang harus dijalankan yaitu, (1) bagaimana kita berupaya menjalankan syari’at yang telah
ditetapkan oleh Guru Wasithah, (2) berusaha untuk memperbagus akhlak,
(3) berusaha untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, dan (4)
berusaha untuk menjernihkan hati dengan diisi dan dipenuhi dzikirullah
(selalu ingat kepada Allah), sehingga dengan selalu berdzikir kepada
Allah tidak tersisa ruang di dalam hati untuk selain Allah.
Di dalam perwujudan menjalankan syari’at dalam kehidupan
sehari-hari, dalam ajaran tasawuf di POMOSDA berbeda dengan ajaran-ajaran pada
umumnya. Syari’at yang harus diikuti ialah syari’at yang telah ditetapkan oleh Guru Wasithah, karena Guru Wasithah itu merupakan
pengganti dan penerus rasul yang ada
saat ini yang harus dijadikan panutan oleh para murid-muridnya.
Dalam tazkiyatunnafsi, yaitu bagaimana seorang
murid itu berusaha membersihkan hatinya dari berbagai macam penyakit hati,
seperti takabbur, riya, sum’ah, hasud, dholim, dan lain-lainnya. Karena semua
itu merupakan penyakit hati yang sangat
berbahaya, maka harus dibersihkan dengan cara menghilangkan penyakit hati dalam
dalam diri masing-masing juga harus berdasarkan petunjuk dari Guru Wasithah.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa manusia itu merupakan makhluk yang
terdiri atas jasad dan jiwa. Namun, hakikat manusia itu sesungguhnya terletak
pada jiwanya, karena jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk
lainnya. Dengan jiwa, manusia bisa merasa, berpikir, dan berbuat. Bahkan,
keselamatan dan kebahagiaan manusia itu tergantung pada kesucian jiwanya.
Kesucian jiwa itu dalam tasawuf biasa disebut dengan istilah "tazkiyah
al-nafs".
Tazkiyah al-nafs
merupakan proses penjernihan atau pembeningan hati agar tembus cahaya dari
Allah. Pandangan ini didasari oleh argumentasi bahwa hati itu ibarat kaca,
sedangkan dosa dan kejelekan itu ibarat noda yang mengotori kebeningan kaca.
Dari ungkapan itu dapat dipahami bahwa tazkiyah al-nafs itu merupakan
proses pensucian kotoran batin atau proses menghilangkan sifat-sifat jelek yang
merintangi jiwa dalam berhubungan dengan Allah,
kemudian mengisinya dengan sifat terpuji,
serta mengobatinya agar hidup menjadi bermakna, baik dalam berhubungan dengan
Allah, dengan diri sendiri, maupun dengan sesama
manusia.
Solihin menjelaskan bahwa Tazkiyah al-nafs itu terkait
dengan tujuan hidup manusia, yakni untuk memperoleh kebahagiaan jasmani dan
ruhani. Kebahagiaan ini merupakan kesempurnaan
jiwa, dan kesempurnaan jiwa itu sendiri tergantung pada kesuciannya. Sedangkan
yang menghalangi kesempurnaan jiwa itu ialah noda yang diakibatkan oleh
sfat-sifat jelek manusia. Pada dasarnya, manusia itu secara fitrah adalah
suci, namun setelah bersatu dengan badan, ia menjadi terpengaruh
oleh tuntutan badan sebagai dorongan dari nafsu. Oleh karena itu, bagi yang
ingin memperoleh kesempurnaan jiwa dan keharmonisan hubungan dengan Tuhan, maka
harus menempuh tazkiyah al-nafs. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara
umum, tujuan tazkiyah al-nafs adalah untuk memperoleh kesucian dan
kesempurnaan jiwa agar bisa berhubungan harmonis dengan Allah, dengan sesama
manusia, dan dengan makhluk Allah lainnya (Isma’il, 2008:
1320).
Adapun
tujuan khusus dari tazkiyah al-nafs menurut Solihin adalah: (1) pembentukan manusia yang berjiwa
suci, bersih akidahnya, dan luas ilmunya, (2) membentuk manusia berakhlak
mulia, (3) membentuk manusia yang terbebas dari perilaku tercela dan dipenuhi
akhlak mulia. Sedangkan tazkiyah al-nafs dalam pandangan para sufi
memiliki urgensi yang berbeda, yang pada umumnya adalah seperti berikut: (1)
Tazkiyah al-nafs itu akan mendatangkan kebahagiaa bagi manusia, (2) Dapat
mengembalikan jiwa manusia kepada fitrah-nya,
(3) Kesucian akal, (4) kedisiplinan, keteguhan, dan kebesaran jiwa, (5)
Memperoleh ilmu, dzawq, dan kasyf (Isma’il, 2008:
1321).
Untuk dapat merealisasikan tazkiyah al-nafs
dalam kehidupan sehari-hari ada langkah-langkah yang harus ditempuh oleh orang
yang akan melakukannya. Menurut Solihin, langkah-langkah
tersebut meliputi dua tahap. Pertama, adalah takhalli (mengosongkan sifat-sifat
jelek). Kedua, adalah tahalli (mengisi
dengan sifat-sifat terpuji). Tahap takhalli dilakukan dengan mengekang induk
sifat-sifat buruk, seperti tamak, nafsu seks, berkata berlebihan, amarah yang
tak terkendali, iri hati, dendam, cinta dunia, cinta harta, bakhil, cinta
pengaruh, kemegahan, kesombongan, kecongkakan, dan delusi (penipuan diri
sendiri). Sifat-sifat ini dinamakan sifat al-madzmumah yang menjijikan (khabaits
fi al-nafs), dan karenanya menjadi penyakit hati yang dapat merusak jiwa
manusia. Pengikisan terhadap sifat-sifat buruk itu dianggap sebagai langkah
pertama dalam tazkiyah al-nafs.
Tazkiyah al-nafs
hanya akan lengkap, jika semua sifat buruk di atas telah dapat ditinggalkan.
Untuk menopang itu, maka perlu analisa "interkoneksi" dari sifat-sifat
buruk. Interkoneksi yang dimaksud adalah munculnya satu sifat buruk tertentu,
dan bisa jadi sebagai akibat dari saling berhubungannya berbagai sifat buruk
lainnya yang terdapat dalam jiwa. Dan
perbuatan buruk itu akan memberikan pengaruh jelek pada jiwa. Selain analisis
interkoneksi, juga perlu analisis "relasi melingkar" antara
jiwa dan badan. Maksudnya, jika seseorang berbuat buruk, maka sifat buruk yang
merupakan asal perbuatan itu akan menjadi bertambah kuat (Isma’il, 2008:
1323).
Haqqi,
menjelaskan bahwa jalan yang harus ditempuh bagi orang yang akan menempuh
kehidupan tasawuf yaitu harus berusaha agar mampu mengatasi kecenderungan hawa
nafsunya yang sering mengajak berbuat buruk, merehabilitasi hati yang masih
berat menyikapi perbuatan baik untuk menaikkan prestasi rohani yang selalu
ingin mengikuti tuntunan Rasulullah dan jejak para Sahabatnya yang mulia.
Inilah yang disebut dengan "Al-Takhalli min al-radzail"
(membersihkan diri dari sikap dan perilaku buruk) dan "al-tahalli bi
al-fadhail" (menghiasi diri dengan sikap dan perilaku baik) (Majhuddin, 2010:
193).
Sebagai upaya nyata yang harus dilakukan oleh
calon peserta tasawuf sebelum memasuki dunia tasawuf sekurang-kurangnya harus
menempuh lima macam persoalan yang disebut dengan istilah "khamsu
al-maqashid li al-mutasawwif", yaitu: (a) Harus berusaha membersihkan
dirinya dari segala macam dosa kecil dan dosa besar, dengan cara istighfar
sebanyak-banyaknya dan selalu mengendalikan dirinya dari perbuatan dosa; (b) Selalu
berkonsentrasi kepada perintah Allah; (c) Konsisten dalam sikap faqir atau
menfaqirkan diri; (d) Selalu menempatkan rasa kasih sayang dan kecintaan dalam
hati; (e) Selalu menghiasi diri dengan sikap dan perilaku baik;
Lebih lanjut Haqqi menjelaskan bahwa lima
macam sikap dan perilaku calon peserta
Tasawuf itu harus dimatangkan terlebih dahulu bersamaan dengan proses pencarian
calon pembimbing tarekat dengan cara muraqabah dan muhasabah, yaitu suatu upaya
untuk selalu mengawasi diri dan mengendalikan segala perbuatan. Sedangkan
pengawasan dan pengendalian diri selalu dilakukan, bukan hanya ketika masih
berstatus sebagai calon peserta Tasawuf, tetapi hingga sudah memasuki
perjalanan Tasawuf, sikap muraqabah dan muhasabah tetap selalu
dilakukan, sampai peserta Tasawuf mencapai ma’rifah sebagai tujuannya.
Jadi, muraqabah dan muhasabah yang selalu dilakukan oleh peserta
Tasawuf pada tahapan proses pencarian mursyid itu disebut sebagai
"muraqabah wa al-muhasabah fi darajati rajulin thalibi al-mursyid".
Sedangkan muraqabah dan muhasabah yang selalu dilakukan peserta
Tasawuf setiap langkah dalam perjalanan Tasawuf disebutnya sebagai "muraqabah
wa al-muhasabah fi darajati rajulin saliki al-maqamat". Karena itu,
al-muraqabah dan al-muhasabah dalam tahapan ini disebut juga dengan
"hal" (kondisi rohani peserta tasawuf), yang selalu mendampingi
tingkatan maqam pertama yaitu maqam taubat.
Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, selain
melakukan tazkiyatunnafsi juga harus melakukan berbagai riyadhah yang
telah ditetapkan oleh Guru Wasithah.
Dalam melakukan mujahadah
dan riyadhah, sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah juga
harus dibarengi tashfiyatul qalbi. Tashfiyatul qalbi itu ialah
menjernihkan hati dari berbagai macam pikiran urusan keduniaan dengan berusaha
untuk selalu mengingat-ingat Allah dalam
hatinya, kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan apa saja. Hal seperti itu
tidaklah mungkin bisa dilakukan oleh orang yang belum mengenal Allah, bahkan
bagi orang yang sudah mengenal Allah pun sangat sulit hatinya untuk selalu
mengingat Allah. Oleh karena itu, belajar Ilmu Ma’rifah kepada Guru yang
hak dan sah wajib hukumnya bagi setiap muslim, karena melalui ilmu inilah seseorang
akan mengenal Allah, sehingga dapat mengingat-ingatnya.
Mengingat Allah dalam hati merupakan suatu perintah dari
Allah. Di dalam Al-qur’an surat Ali Imran 191, Allah pun menjelaskan bahwa
sebagai ciri “Ulul Albab” itu ialah orang-orang yang selalu mengingat
Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.
Di dalam suatu riwayat diceriterakan, bahwa ketika ayat
ini turun, Rasulullah semalaman menangis. Kenapa menangis, karena beliau sangat
khawatir bahwa umatnya tidak akan mampu
untuk selalu mengingat Allah dalam hatinya. Bagi yang mendapat rahmat dan kasih
sayang Allah, kemudian ia mampu mengingat Allah dalam hatinya, baik siang
maupun malam, tentu akan memperoleh keutamaan yang besar bagi dirinya. Di dalam Hadits Qudsi, Allah
berfirman: “Aku ini tergantung kepada dugaan hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia ingat
kepada-Ku, maka Aku akan ingat kepadanya. Jika ia ingat kepadaku satu jengkal,
maka Aku akan ingat kepadanya satu hasta. Jika ia ingat kepada-KU satu hasta,
maka Aku akan ingat kepadanya satu depa”. Tentu selain itu, banyak lagi
keutamaan-keutamaan yang akan Allah berikan kepada orang-orang yang selalu
mengingat-Nya.
Berkaitan dengan keutamaan dzikir, Abdullah Khozin
(2009: 61), menjelaskan, bahwa dalam sebuah Hadits Nabi Abu Sa’id al-Khudri berkata:
Seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya berkata:
Wahai Nabi, nasehatilah saya. Nabi menjawab: Kamu harus taqwa kepada Allah,
karena taqwa itu mengumpulkan semua kebaikan, kamu harus melakukan mujahadah,
karena sesungguhnya mujahadah itu adalah cara ibadah umat Islam, dan
kamu harus berdzikir kepada Allah, karena sesungguhnyadzikir itu
nur (cahaya) bagimu.
Imam Ali bin Abi Thalib dalam syarah Nahjul Balaghah,
Muj. VI, juz 11 hal. 176 berkata:
Sesungguhnya Allah SWT menjadikan dzikir
itu menjadi sinar penerang hati. Dengan dzikir itu hati dapat mendengar
setelah tertutup sebelumnya, hati melihat setelah tertutup sebelumnya. Dengan dzikir
itu hati terselamatkan setelah sebelumnya ingkar, dan dengan dzikir itu
Allah tak henti-hentinya menjaga hamba dari ancaman-ancaman pada setiap waktu
dan pada masa-masa sulit.
Keutamaan dan manfaat dzikir itu banyak sekali, di
antaranya: (1) Dapat memberikan keselamatan di dunia dan akhirat, (2) Dapat
memberikan ketenangan dan ketenteraman, (3) Dapat memberikan keberuntungan, (4)
Dapat menghilangkan kemunafikan, (5) Dapat mengusir syetan dan pengaruhnya atas
qalbu, (6) Merupakan amal yang paling baik, suci, dan agung, (7) Dapat
membersihkan karat-karat qalbu, (8) Dapat menguatkan jiwa yang lemah
(melindas sifat pengecut dan kikir digantikan dengan pengorbanan dan
keberanian), (9) Dapat mendatangkan kemaslahatan diri dan merawatnya (selalu
berorientasi pada hal-hal yang positif) (Solikhin, 2004: 213).
Sesungguhnya dzikir itu merupakan salah satu cara
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena melalui dzikir kita dapat
melakukan musyahadah, muraqabah, dan mukasyafah. Melalui dzikir kita dapat
membersihkan hati dan pikiran dari segala sesuatu selain Allah, dan dengan dzikir
hati akan menjadi tenteram. Allah berfirman: “Orang-orang yang beriman hati
mereka akan merasa tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah,
hanya dengan berdzikir kepada Allahlah hati akan menjadi tenteram” (QS.
Ar-Ra’du: 28).
Para salik atau orang yang melakukan perjalanan
rohani menuju Tuhan memandang dzikir
itu sebagai buah cinta seorang hamba kepada Khaliknya. Dalam berbagai kitab
tasawuf dikatakan bahwa orag yang berdzikir dengan benar adalah orag
yang sedang rindu. Rindu artinya cinta yang mendalam. Jadi mngingat Allah pada
dasarnya merupakan bentuk kecintaan kita kepada Allah. Dalam suatu riwayat
diceriterakan bahwa pada suatu ketika Nabi Isa berkata kepada kaumnya: “Wahai
Kaum Hawariyyin, bicaralah kepada Allah dengan banyak, dan bicaralah kepada
manusia dengan sedikit”. Mereka bertanya, bagaimana kami berbicara kepada Allah
secara banyak?. Nabi Isa berkata, berkhalwatlah bersama-Nya dengan cara
bermunajat kepada-Nya, berdzikir dan berdo’alah kepada-Nya.
Ibnu Athaillah berkata: “Dzikir adalah
menghilangkan lupa dan lalai dengan cara melanggengkan hadirnya hati kepada
Allah”. Karenanya, maka para ahli kalam berdzikir, ahli fiqh berdzikir,
bahkan alam semesta dan semua makhluk Allah pun berdzikir, hanya saja
kita tidak mampu menangkap bahasa mereka ketika mereka berdzikir dan
bertasbih (Bya (2006: 498). Selain itu,
tentu banyak lagi keutamaan-keutamaan berdzikir kepada Allah. Maka oleh
karena itu, bagi siapa saja yang ingin mendekatkan diri kepada Allah agar bisa sampai kepada Allah, maka tidak boleh
tidak harus berusaha berdzikir dalam hatinya setiap saat, di mana saja,
kapan saja, dan sedang apa saja.
a. Kondisi Keimanan Para Santri
Berbeda-beda
Sebagaimana telah dijelaskan pada badian
temuan penelitian, bahwa kondisi keimanan para santri dan alumni setelah
diberkah itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan penghayatan
mereka. Apabila dikaitkan dengan apa yang telah dikemukakan pada kajian teori
tentang “Al-Ahwal”, memang sangat
relevan bahwa bagi orang yang menempuh kehidupan tasawuf itu, terutama apabila
mereka sudah dianggap mengenal Allah, akan merasakan kondisi spiritual tertentu
sesuai dengan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka masing-masing. Di atas, telah dikemukakan bahwa kondisi
spitual para santri di POMOSDA setelah mengenal Allah melalui pemberkahan dan
setelah melalui proses pembinaan itu, yaitu: (1) Merasakan kedekatan dengan
Allah, (2) Bisa mengingat Allah kapan saja dan di mana saja, (3) Selalu Merasa Berada dalam Pengawasan Allah,
(4) Taat dalam beribadah kepada Allah dan merasa takut untuk berbuat maksiat.
Pertama, merasa dekat dengan Allah. Di dalam Al-qur’an
dijelaskan, bahwa keberadaan Allah itu
dekat dengan manusia. Allah berfirman: “Dan apabila hambaku bertaya kepadamu
tentang Aku, sesungguhnya Aku itu dekat. Aku akan mengabulkan do’anya
orang-orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku” (QS. Al-Baqarah: 185).
Walaupun Allah itu dekat dengan kita dan selalu bersama kita, tapi bagi mereka
yang belum mengenal Allah, mereka tidak akan merasakah hal itu.
Seseorang yang telah mencapai hakikat dan ma’rifat akan
merasakan bahwa Allah sangatlah dekat dengan dirinya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah bahwa: "Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat nadi yang ada di leher" (QS. Qaf: 16). Urat nadi leher itu berada di
dalam tubuh manusia itu sendiri, dan menjadi satu kesatuan dengan tubuhnya, dan
Allah lebih dekat lagi daripada itu. Dan itu hanya akan dirasakan oleh orang
yang mengenal Allah seyakin-yakinnya. Seseorang yang mengenal Allah akan paham sekali bahwa manusia tidak
memiliki daya dan upaya apa pun, yang ada hanya daya dan upaya Allah sendiri,
sehingga semangat "la haula wala quwwata illa billah" menjadi
keutamaannya. Akibatnya, apabila dia pada kenyataannya dapat melakukan kegiatan
kehidupannya (berpikir, beribadah, bekerja, berkeluarga, dan lain sebagainya),
maka kegiatan itu semua dirasakannya sebagai kehendak Tuhan, bukan kehendak
pribadinya.
Kedua, bisa mengingat Allah kapan saja dan di mana
saja. Mengingat Allah (dzikrullah) pada dasarnya merupakan salah satu perintah
Allah kepada setiap orang yang beriman. Allah firman: “Dan ingatlah kepada
Tuhanmu di dalam hatimu dengan merendahkan hati, dan dengan rasa takut, dan
tidak mengeraskan suara, baik di pagi hari maupun di sore hari” (QS. Al-A’raf:
205). Selain itu, Allah juga menjelaskan bahwa ciri-ciri ulul albab itu
ialah mereka yang mengingat Allah, baik ketika
berdiri, duduk maupun ketika berbaring (QS. Ali Imran: 191). Yang
dimaksud mengingat Allah dalam ayat itu menurut pandangan kaum Syathariah ialah
mengingat Dzat Allah itu sendiri. Oleh karena itu, bagi orang yang belum mengenal Allah atau
mencapai al-arif billah, mengingat Dzat Allah itu tidak akan bisa
dilakukan.
Ketiga, selalu merasa berada dalam pengawasan
Allah. Bagi seseorang yang sudah
mengenal Allah mereka merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan
Allah dimana saja dan kapan saja. Perasaan seperti ini tumbuh, karena mereka
yakin bahwa Allah itu dekat dengan dirinya dan selalu mengawasinya. Hal ini
sesuai dengan apa yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Dan Allah Maha
Mengawasi segala sesuatu” (QS. Al-ahzab: 52). Pada ayat yang lain, Allah pun
menjelaskan: “Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan
bisikan hati mereka, dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala yang ghaib”
(QS. At-taubah: 78).
Dengan memiliki kondisi bahwa mereka selalu
berada dalam pengawasan Allah, maka lahirlah apa yang disebut Ihsan, yakni
menyembah Allah seakan-akan kita melihat Allah, walaupun kita tidak melihat
Allah, maka sesungguhnya Allah melihat kita. Dengan demikian, maka tumbuhlah
suatu bentuk ketaatan kepada Allah dan selalu menjauhi larangan-larangan-Nya.
Ketiga, taat dalam beribadah kepada Allah dan
takut berbuat maksiat. Bagi seseorang
yang sudah mengenal Allah akan tumbuh suatu kondisi spiritual seperti yang
telah dijelaskan di atas, yakni merasakan kedekatan dengan Allah, merasakan
kehadiran Allah dalam dirinya, dan merasakan selalu berada dalam pengawasan
Allah. Dengan adanya kondisi spiritual seperti itu, maka muncullah suatu sikap
dan perilaku berupa ketaatan dalam beribadah kepada Allah swt, dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Sebagai wujud dari ketaatan kepada
Allah tersebut, mereka berusaha
untuk melaksanakan apa-apa yang
dicontohkan oleh Guru Wasithah sebagai pengganti dan pelanjut
Rasulullah. Di antaranya menjalankan shalat lima waktu dengan sunah-sunahnya
yang jumlahnya lebih dari 50 rakaat dalam sehari semalam. Dalam melaksanakan
shalat tersebut, mereka tidak pernah merasa keberatan, karena memang mereka
dituntut untuk selalu itba’ kepada Guru Wasithah.
4.
Evaluasi Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Untuk dapat mengukur pencapaian kompetensi
peserta didik dalam Pendidikan Keimanan
di SMA POMOSDA sebagaimanan telah dijelaskan pada temuan penelitian di atas,
yaitu dilakukan dengan berbagai teknik penilaian, berupa tes, observasi, dan
tugas perorangan atau kelompok.
Tes terdiri atas tes tertulis dan tes lisan.
Tes tertulis dilakukan dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester,
dan ulangan akhir semester. Bentuk soal ulangan dirancang dalam bentuk essay
dan pilihan ganda. Observasi dilakukan di dalam kelas dan di luar kelas,
khususnya yang berkaitan dengan akhlak mulia dan kepribadian. Adapun tugas
yaitu terdiri atas tugas harian (PR) dan tugas proyek.
Secara umum, sebagaimana yang telah dijelaskan
pada kajian teori bahwa evaluasi untuk mengukur keberhasilan Pendidikan
Keimanan dalam kurikulum berbasis kompetensi itu ialah dengan penilaian kelas,
tes, kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan, dan penilaian program.
Penilaian kelas dilakukan melalui ulangan harian, ulangan umum, dan ujian
akhir. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penilain berbasis kelas
adalah valid. Mendidik, berorientasi pada kompetensi, adil, terbuka,
berkesinambungan, menyeluruh, dan bermakna.
Melihat kedua macam evaluasi yang dilakukan
dalam Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
dan Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah lainnya, khususnya di
Madrasah Aliyah pada dasarnya hampir sama, yaitu ada tes yang berupa ulangan
harian, ulangan umum dan ujian akhir, penugasan, dan perilku sehari-hari. Ada
hal yang sedikit berbeda dengan sekolah pada umumnya, dan itu tidak akan bisa
dilakukan oleh sekolah-sekolah yang tidak berasarama, yakni untuk mengukur
keberhasilan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yaitu melalui suatu observasi
yang berkaitan dengan akhlak mulia dan kepribadian sehari-hari terhadap
santri/siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas selama para santri/siswa
berada di asrama/pondok. Penilaian akhlak mulia dan kepribadian tersebut
dilakukan melalui pengamatan guru dan laporan dari pembimbing kamar, guru BP dan
pengurus-pengurus lainnya tentang perilaku santri/siswa dalam ketaatan
beribadah, dalam pergaulan sehari-hari, dalam bertutur kata, dan lain-lainnya.
Evaluasi akhlak mulia dan kepribadian ini sangat
penting dalam Pendidikan Keimanan, karena iman itu bersifat abstrak dan tidak
bisa hanya diukur dengan tes, baik lisan maupun tulisan, yang hanya menekankan
kepada aspek kognitif. Untuk mengukur aspek afektif harus dilakukan melalui
perilaku sehari-hari. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Ramayulis (2011: 220) bahwa: “Evaluasi dalam
pendidikan Islam itu dibutuhkan dalam berbagai kegiatan kehidupan manusia
sehari-hari”.
Kegiatan kehidupan manusia sehari-hari ini
tentunya meliputi bagaimana akhlaknya, bagaimana ibadahnya, dan lain-lainnya. Untuk mengukur ketaatan beribadah, dapat
dilihat bagaimana shalatnya, baik yang wajib maupun yang sunnah, termasuk
apakah ia suka bangun malam untuk tahajjud atau tidak. Untuk mengukur akhlaknya
dalam kehidupan sehari, dapat dilihat bagaimana cara dalam bertutur kata, dalam berpakaian, dalam
pergaulan maupun dalam hal-hal lainnya.
Apa sebenarnya evaluasi itu dan fungsi
evaluasi itu dalam sebuah pembelajaran. Evaluasi menurut Thoha (Ramayulis, 2011: 221) merupakan
kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan menggunakan
instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh
kesimpulan. Sedangkan yang dimaksud evaluasi
pendidikan menurut Lembaga Administrasi Negara yaitu: (a) Proses atau
kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditemukan, (b) Usaha untuk
memperoleh informasi berupa umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan
(Ramayulis, 2011: 222).
Bertitik tolak dari pengertian di atas, dapat
dikembangkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk
menentukan sejauh mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, apa yang
belum dan apa sebabnya. Jadi, evaluasi
dalam proses pendidikan mengandung makna pengukuran dan penilaian. Adapun yang
dimaksud dengan evaluasi pendidikan Islam, yaitu merupakan suatu cara penilaian tentang
tingkah laku peserta didik dengan didasarkan kepada standar perhitungan yang
bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan
spiritual religius, karena sosok pribadi yang diharapkan dari hasil pendidikan
Islam adalah sosok pribadi yang religius,
berilmu dan juga berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti
kepada Tuhan dan masyarakatnya. Sasaran-sasaran daripada evaluasi pendidikan
Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar peserta didik, yaitu:
(a) Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya, (b)
Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat, (c)
Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam
sekitarnya, dan (d) Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri selaku hamba
Allah dan selaku anggota masyarakatnya (Arifin,1991: 238).
Keempat kemampuan dasar tersebut dijabarkan
dalam klasifikasi kemampuan teknis menjadi masing-masing sebagai berikut:
a.
Sejauh mana loyalitas dan kesungguhannya
mengabdikan dirinya kepada Tuhannya dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa
tinglah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.
b.
Sejauhmana ia selaku manusia hasil dari
pendidikan Islam mampu menerapkan nilai-nilai agamanya dalam kegiatan kehidupan
di masyarakat, seperti berakhlak mulia dalam pergaulan, disiplin dalam
menjalankan norma-norma agama dalam kaitannya dengan orang lain.
c.
Bagaimana ia berusaha mengelola dan memelihara
serta menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
d.
Bagaimanakah ia sebagai seorang muslim
memandang dirinya sendiri dalam berperan sebagai hamba Allah yang harus hidup
menghadapi kenyataan dalam masyarakat yang beraneka ragam budaya, suku, dan agama.
Dari uraian
di atas, dapat dipahami bahwa untuk mengukur Pendidikan Keimanan sebagai
bagian dari Pendidikan Agama Islam tidak bisa diukur hanya dari aspek kognitif
berupa kemampuan dan penguasaan teori-teori keimanan, melainkan harus ada
evaluasi yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari yang berkaitan dengan
akhlak mulia dan kepribadiannya, yang meliputi ketaatannya dalam menjalankan ibadah,
pergaulannya dengan sesama kawan, cara-cara bertutur kata, cara berpakaian, dan
lain-lainnya.
C. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pendidikan Keimanan di Persekolahan
1. Implikasi Filosofis
Berbicara
tentang pendidikan tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang manusia itu sendiri, khususnya tentang fitrah
dan tujuan hidupnya. Pengetahuan tentang fitrah dan tujuan hidup manusia merupakan bagian yang amat esensial
dalam pembicaraan tentang pendidikan, karena dalam proses pendidikan manusia
bukan saja objek, tetapi juga sekaligus subjek, sehingga pendekatan yang harus
dilakukan dan aspek yang diperlukan dalam pendidikan dapat direncanakan secara
matang. Manusia itu merupakan makhluk yang unik yang berbeda dengan makhluk
lainnya, baik dari segi jasmani maupun rohaninya.
Murthada Mutahari melukiskan gambaran Al-qur’an
tentang manusia, bahwa manusia itu sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai
makhluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya tertanam sifat
mengakui Tuhan, memiliki rasa tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap alam semesta,
serta dikarunia keunggulan untuk menguasai alam semesta. Manusia juga dibekali
sifat kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan’ Kemajuan mereka dimulai
dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang kemudian bergerak ke arah kekuatan,
tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka
dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas,
baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Walaupun begitu,
manusia sering kali melupakan hakekat dirinya sebagai hamba Allah. Manusia
sering bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi aturan yang mengikat dirinya,
dan sering merasa congkak dan takabur terhadap Allah swt (Ramayulis,
2011: 2).
Oleh
karena itu, dalam rangka menyadarkan manusia akan kedudukannya sebagai hamba
Allah, yang dalam Al-qur’an terdapat pernyataan agar manusia mau berpikir
tentang asal kejadiannya. Salah satu contoh, Allah berfirman: “Apakah manusia
tidak memperhatikan, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes
air mani. Maka tiba-tiba ia menjadi penentang yang nyata” (QS. Yasin: 77).
Manusia itu merupakan makhluk paedagogik yakni makhluk Allah yang
dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik, sehingga mampu
menjadi hamba Allah di muka bumi sebagai pendukung dan pengembang kebudayaan.
Ia dilengkapi dengan potensi dasar berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi
dengan berbagai kecakapan keterampilan yang dapat berkembang sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang
mulia. Manusia dikaruniai fitrah yang berasal dari fitrah Allah
sendiri (Sudiyono, 2009: 1). Manusia dalam proses pendidikan adalah inti utama. Ini dapat
dipahami dengan mudah dari kenyataan bahwa pendidikan itu berkepentingan untuk
mengarahkan manusia kepada tujuan-tujuan tertentu.
Seorang pendidik akan terbantu dalam profesinya, jika ia memahami dan
memiliki gagasan yang jelas tentang fitrah dasar manusia sebagaimana
halnya tukang pandai besi atau pelukis yang harus mengenal karakteristik
material yang dihadapinya. Praktek-praktek
pendidikan akan mengalami kegagalan apabila tidak dibangun atas dasar konsep
yang jelas mengenai fitrah dasar manusia (Shalih, 1991: 67).
Fitrah dasar manusia
itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri. Allah berfirman: “Maka
hadapkanlah dirimu kepada agama dengan lurus, itulah fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu” (QS. Ar-Rum: 30). Dalam
pandangan tasawuf yang diajarkan di SMA POMOSDA bahwa fitrah
dasar manusia itu adalah “Sirr” (rasa) yang ditempatkan di dalam hati
yang berasal dari “Nur Muhammad”, yakni “Cahaya terpuji-Nya Allah”. Rasa ini
tugasnya merasa-rasakan keberadaan Diri-Nya Ilahi dengan cara
mengingat-ingat-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana saja, kapan saja,
dan sedang apa saja. “Rasa” sebagai fitrah dasar manusia yang
ditempatkan Allah dalam hati asalnya sudah mengenal Allah. Namun, setelah
dibungkus oleh jasad dan dilengkapi dengan nafsu, maka tertutup atau terhijab
oleh nafsunya yang hakekatnya adalah jasad manusia itu sendiri. Oleh karena
itu, agar manusia dapat mengenal Allah dan dapat kembali kepada Allah, maka
harus ada upaya agar mengenal Allah, dan dapat mengingat-ingat-Nya dalam rasa
hatinya. Untuk dapat mengenal-Nya, maka harus bertanya kepada ahlinya, sesuai
dengan firman Allah: “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr jika kamu tidak
mengetahui” (QS. Al-Anbiya: 7).
Selain
itu, kita sadari bahwa setiap manusia itu mempunyai tujuan hidup yakni ingin
memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk dapat memperoleh
kebahagiaan di akhirat, manusia harus menyembah Allah, tunduk dan patuh
kepada-Nya, karena memang manusia itu diciptakan oleh Allah itu agar
menyembah-Nya. Allah berfirman: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
agar supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Tiada
Tuhan kecuali Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia” (QS. Al-An’am:
102). Harus kita fahami bahwa yang dimaksud menyembah dalam dua ayat di atas
bukanlah hanya sekedar dalam ritual shalat, melainkan dalam seluruh aktivitas
hidup kita harus kita. Jadi, ibadah dalam arti yang luas inilah tujuan kita
diciptakan.
Dalam
pandangan tasawuf di POMOSDA bahwa tujuan hidup ialah kembali kepada Tuhan
dengan selamat, berada di tempat yang benar di sisi Tuhan yang Berkuasa. Karena
merasa bahagia, maka “wajahnya berseri-seri, karena melihat Tuhannya”
(QS.al-Qiyamah: 22).
Implikasi filosofis dari pemikiran
di atas terhadap Pendidikan Keimanan di persekolahan, bahwa Pendidikan Keimanan itu
harus sesuai dengan fitrah manusia dan sesuai dengan kebutuhan manusia,
sehingga melalui Pendidikan Keimanan itu betul-betul dapat mengantarkan
manusia menjadi manusia yang beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya. Selain itu, juga bahwa Pendidikan Keimanan di persekolahan
juga harus berorientasi bukan hanya
terhadap kepentingan di dunia sesaat, melainkan harus berorientasi jauh ke
depan sesuai dengan tujuan akhir hidup manusia itu sendiri, memperoleh kebahagiaan
di akhirat kelak.
2. Implikasi Teoritis-Pedagogis
a.
Implikasi
terhadap Program Pendidikan di Persekolahan
Sebelum menjelaskan tentang implikasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA terhadap program Pendidikan di persekolahan, terlebih dahulu harus memahami istilah pendidikan dan ilmu pendidikan itu sendiri.
Menurut Abu Ahmadi (1991: 68), bahwa “Ilmu Pendidikan mempunyai
makna sama dengan “Paedagogiek”, sedangkan “Pendidikan” sama dengan istilah
“Paedagogie”. Ilmu Pendidikan lebih menitik beratkan kepada pemikiran dan
perenungan tentang pendidikan. Pemikiran bagaimana sebaiknya sistem pendidikan,
sarana, dan prasarana pendidikan, cara
penilaian, cara penerimaan siswa, dan gurunya yang bagaimana. Jadi, ilmu
pendidikan lebih menitik beratkan teori. Sedangkan pendidikan lebih menekankan
kepada praktek, yaitu menyangkut kegiatan belajar mengajar. Namun begitu,
keduanya tidak bisa dipisahkan, dan keduanya harus dilaksanakan secara
berdampingan, saling memperkuat peningkatan mutu dan tujuan pendidikan.
Pendidikan
itu hakekatnya adalah suatu upaya untuk membina jati diri kemanusiaan secara
utuh yang memiliki keterampilan hidup. Keterampilan hidup yang dimaksud yaitu
sebagaimana yang dicanangkan oleh UNESCO, yang mencakup kemampuan belajar untuk
mengetahui (lerning to know), belajar untuk melakukan sesuatu (lerning
to be), belajar menjadi seseorang (learning
to do), dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to live
together) Dalam konteks Indonesia,
penerapan konsep pilar-pilar pendidikan ini adalah bahwa sistem
pendidikan nasional berkewajiban untuk mempersiapkan seluruh warganya agar
mampu berperan aktif dalam semua sektor kehidupan guna mewujudkan
kehidupan yang cerdas, aktif, kreatif yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah swt. Proses pendidikan
tersebut tidak terbatas hanya berlangsung di lembaga pendidikan formal saja,
melainkan sesuai dengan prinsip pendidikan sepanjang hayat yang terjadi di
manapun, baik di dalam keluarga maupun
di tengah masyarakat (Hatimah, 2008:
3.11).
Secara yuridis formal, pendidikan di Indonesia sebenarnya memiliki fondasi yang sangat kuat yang
dilandasi dengan iman dan taqwa,
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN). Namun, secara the facto, pendidikan di Indonesia belum dilandasi oleh
iman dan taqwa, dan itu terbukti bahwa Pendidikan Keimanan belum mendapatkan
perhatian yang serius. Hal ini tampak jelas dari tidak adanya program yang
sungguh-sungguh mengembangkan Pendidikan Keimanan secara sistemik, baik berupa
pengembangan konseptual, metodologi, kurikulum, pelatihan guru-guru maupun yang
lain-lainnya. Ini menunjukkan bahwa Pendidikan Keimanan masih diposisikan secara marjinal dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Padahal, Pendidikan Keimanan memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, karena melalui Pendidikan Keimanan seseorang
akan tumbuh di dalam hatinya untuk beriman kepada Allah swt, Dzat Yang
Maha Mulia dan Maha Agung dan menyembah-Nya.
Oleh karena itu, implikasinya terhadap program Pendidikan di persekolahan bahwa
Pendidikan
itu harus berjalan sesuai amanat
yang ada dalam tujuan UUSPN, yakni menjadikan Pendidikan Keimanan sebagai pendidikan yang utama
dan tidak dimarjinalkan, dengan mendapatkan perhatian khusus, dan disejajarkan
dengan bidang-bidang lainnya, bahkan harus diprioritaskan. Pendidikan keimanan
tidak cukup hanya melalui pemberian bahan pelajaran oleh guru kepada siswanya,
apalagi kalau hanya dijalankan melalui kegiatan yang bersifat formal dalam
waktu tertentu. Sasaran pendidikan keimanan bukan hanya terletak pada wilayah
kognitif berupa kecerdasan intelek atau pikiran, melainkan harus menyentuh
wilayah hati. Sentuhan-sentuhan hati, pembiasaan, dan keteladanan dalam
kehidupan sehari-hari sebenarnya merupakan proses panjang yang harus dijalankan
secara terus menerus dalam mengimplementasikan pendidikan keimanan.
b.
Implikasi
terhadap Kurikulum Pendidikan di Persekolahan
Sebelum menjelaskan tentang
implikasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA terhadap kurikulum Pendidikan di persekolahan,
terlebih dahulu harus dapat memahami apa yang dimaksud kurikulum
itu. Crow and Crow (Ramayulis, 2009:
150) mendefinisikan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran atau sejumlah
mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu program
untuk memperoleh ijazah.
M. Arifin (1991: 183) memandang
kurikulum sebagai seluruh bahan
pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem
institusional pendidikan. Darajat (1992:
121) memandang kurikulum sebagai satu program yang direncanakan dalam bidang
pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan
tertentu.
Dari definisi
di atas, dapat dipahami bahwa kurikulum itu merupakan suatu program di dalam
kegiatan pendidikan yang berisi mata pelajaran-mata pelajaran yang harus
diajarkan kepada para peserta didik. Pengertian kurikulum semacam ini masih
sangat sederhana, dan dalam perkembangan selanjutnya menurut Ramayulis (2009: 152) kurikulum tidak
hanya terbatas pada program pendidikan, namun juga dapat diartikan menurut
fungsinya, yakni: (1) kurikulum sebagai program studi, (2) kurikulum sebagai
konten, (3) kurikulum sebagai kegiatan berencana, (4) kurikulum sebagai hasil
belajar, (5) kurikulum sebagai produksi kultura, (6) kurikulum sebagai
pengalaman belajar, dan (7) kurikulum sebagai produksi
Fungsi kurikulum dalam proses
pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karenanya
kurikulum memiliki bagian-bagian penting dan penunjang yang dapat mendukung
operasinya dengan baik. Bagian-bagian ini disebut komponen yang saling
berkaitan dan saling berinteraksi dalam
upaya mencapai tujuan.
Di antara para ahli pendidikan ada yang mengemukakan bahwa secara garis
besar, pada dasarnya ada empat
komponen utama dalam kurikulum, yaitu: (1) Tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh pendidikan, (2) Pengetahuan, informasi-informasi, data-data
aktifitas-aktifitas, dan pengalaman-pengalama dari mana terbentuk kurikulum
itu, dan bagian inilah yang disebut mata pelajaran, (3) Metode dan cara
mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan memotivasi murid untuk
membawa mereka ke arah yang dikehendakioleh kurikulum, (4) Metode dan cara
penilaian yang dipergunakan untuk mengukur dan menilai hasil proses pendidikan
yang direncanakan dalam kurikulum tersebut (Langgulung,1988:
303).
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti bahwa kurikulum yang digunakan di SMA POMOSDA untuk
mencapai tujuan yang diharapkan yaitu
menggunakan kurikulum perpaduan antara kurikulum nasional dari Kemendiknas dan
kurikulum pesantren. Dalam kurikulum
pesantren, berisi tentang mata pelajaran kepesantrenan yang terdiri dari:
Bahasa Arab, fiqh, dan pendidikan keimanan yang berbasis tasawuf. Untuk
pendidikan keimanan yang berbasis tasawuf ini diberi nama “Kelilmuqorroboinan”,
yang merupakan mata pelajaran untuk membina para santri agar dapat mencapai “al-arif
billah”, dan ini merupakan ciri khusus dari
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) sebagai “Pondok Sufi”.
Dengan menggunakan kurikulum seperti itu, ditambah dengan adanya pembinaan
selama 24 jam kepada para santri di lingkungan pondok, maka telah banyak menghasilkan para santri yang memiliki
kepribadian yang berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Oleh karena itu,
apabila pendidikan di Indonesia ingin memperoleh hasil pendidika seperti apa
yang dihasilkan oleh POMOSDA, maka
implikasinya terhadap kurikulum pendidikan di persekolahan,
yaitu:
a)
Dalam
struktur kurikulum pendidikan di persekolahan
harus bersifat komprehensif, yakni memuat
mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan kajian agama, kajian alam, dan
sosial yang porsinya seimbang.
b)
Dalam
struktur kurikulum, kajian agama, tidak hanya terdiri dari mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam yang hanya dua jam pelajaran, melainkan harus ada kajian
keagamaan lainnya, seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlaq, fiqh, Bahasa Arab, dan
kajian tasawuf.
c.
Implikasi
terhadap Tujuan Pendidikan di Persekolahan
Berbicara tentang implikasi terhadap tujuan Pendidikan
di persekolahan, kita harus berbicara tentang tujuan pendidikan secara umum.
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subjek
didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana
individu itu hidup (Sudiono, 2009: 31). Tujuan pendidikan merupakan masalah
inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan
demikian, tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya
pendidikan, sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan
pendidikan dilaksanakan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang Model Pendidikan Keimanan
Berbasis Tasawuf (Ke-Lilmuqarrabinan) di SMA POMOSDA, bahwa tujuan yang ingin
dicapai dari mata pelajaran Ke-Lilmuqarrabinan ini yaitu:
a) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat
beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, disiplin,
dan bersemangat dalam beribadah, cakap,
ukril dan kreatif, jujur, adil, pandai mengalah dan pandai bersyukur, serta
mengembangkan ajaran Islam sebagai agama tauhid dalam komunitas apa saja, kapan
saja dan dimana saja dalam hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, dan
alam lingkungan untuk proses pulang kembali kepada Allah dengan selamat bertemu
lagi dengan Diri-Nya Ilahi.
b) Menjanjikan kesiapan insan masa depan sebagai hamba Allah yang ’Arifun
Billah atau mengenal Tuhannya Dzat Al-GhaibAllah Asma-Nya,
supaya menjadi sumber daya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Inti dari tujuan Pendidikan Keimanan
Berbasis Tasawuf (Ke-Lilmuqarrabinan)
tersebut yaitu: (1) Taat beragama dan berakhlak mulia, dan (2) Menjadi hamba Allah yang “Arifun Billah”,
yakni mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga pada akhirnya dapat kembali
kepada Allah dengan selamat. Implikasinya, apabila pendidikan di Indonesia itu
ingin menghasilkan manusia yang “Arifun Billah”, taat beragama dan
berakhlak mulia, yang pada akhirnya dapat kembali kepada Allah dengan selamat,
yakni memperoleh kebahagiaan di akhirat,
maka implikasinya terhadap tujuan pendidikan di persekolahan
yaitu:
a)
Tujuan
pendidikan di persekolahan harus diarahkan kepada dua tujuan, yaitu
tujuan material dan tujuan spiritual. Tujuan spiritual harus menjadi prioritas,
karena tujuan itulah yang dapat mengantarkan para siswa untuk menjadi orang
yang beriman kepada Allah, sehingga menjadi hamba yang taat beribadah dan
berakhlak mulia.
b)
Tujuan
pendidikan di persekolahan harus
diarahkan sesuai dengan tujuan akhir hidup manusia itu sendiri, yakni
memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak. Karena itu, pendidikan di Indonesia
harus berdasarkan nilai-nilai Ilahiah, dan pendidikan keimanan harus mendapatkan porsi yang sama
dalam struktur kurikulum nasional.
3. Implikasi Praktis terhadap Pendidikan Keimanan di Persekolahan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh peneliti tentang Model Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA
POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur telah banyak menghasilkan para
lulusan atau alumni yang “Al-‘Arif Billah”, yaitu menjadi orang yang dapat mengenal Allah
dengan seyakin-yakinnya, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dan
merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Dengan memiliki kondisi seperti itu,
maka mereka dalam kehidupan sehari-hari
akan tampil menjadi orang yang taat beribadah kepada Allah, berakhlak mulia,
dan dapat menghidarkan diri berbagai kemaksiatan.
Keberhasilan
tersebut, tentu tidak terlepas dari program-program yang telah dirancang dengan
secara matang, baik tujuannya, materinya, metode dan pendekatannya, cara
internalisasinya, maupun pembinaannya.
Selain itu, sosok pribadi guru-guru pendidiknya pun tampil sebagai pendidik
yang memberikan keteladanan kepada para santri/siswanya, terutama sosok pribadi
pimpinan pondok pesantren yang tampil sebagai figur uswatun hasanah dalam segala aspek kehidupannya, dan
inilah yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan keimanan di POMOSDA. Apabila
kita melihat sejarah, bahwa pelaksanaan pendidikan keimanan yang paling sukses
adalah pendidikan keimanan yang dilakukan oleh para Rasulullah, terutama
Rasulullah Muhammad saw. Para Rasulullah sukses dalam melaksanakan pendidikan
keimanan, karena mereka terlebih dahulu telah menyandang karakter sebagai orang
yang beriman.
Oleh
karena itu, jika pendidikan keimanan yang diajarkan di sekolah-sekolah ingin
menghasilkan out put seperti yang digambarkan di atas, yakni manusia yang beriman kepada Allah dengan
seyakin-yakinnya, maka
implikasinya harus menjadikan pola Pendidikan Keimanan
di SMA POMOSDA menjadi sebuah pola yang
diterapkan dalam Pendidikan Keimanan di
sekolah-sekolah di Indonesia, yakni:
a.
Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah di
Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf, sehingga Pendidikan
Keimanan tersebut tidak hanya sekedar mengantarkan peserta didik agar percaya
akan adanya Allah, melainkan harus yang dapat mengatarkan peserta didik agar mengenal
Allah seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan
merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
b.
Pendidikan
keimanan tidak diberikan terbatas hanya pada kegiatan formal di kelas pada
waktu tertentu, melainkan juga diberikan secara non formal pada waktu-waktu yang dirancang secara khusus
berupa segiatan ekstra kurikuler.
c.
Pendidikan
keimanan tidak diberikan hanya terletak pada wilayah kognitif, berupa pemahaman
atau kecerdasan intelek, melainkan harus menyentuh wilayah hati dengan
diberikan kajian-kajian tasawuf.
d.
Guru
pendidikan keimanan harus tampil sebagai figur yang menjadi teladan bagi para
muridnya, karena guru pendidikan keimanan bukan hanya orang yang menguasai
keilmuan tentang pendidikan keimanan, melainkan harus orang yang sudah dapat
mengamalkan teori keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
e.
Guru
pendidikan keimanan harus melakukan peran-peran prophetik atau kenabian, dan
pandangan itu tidaklah berlebihan. Dalam arti, seorang pendidik pendidikan
keimanan harus dapat mengambil pelajaran tentang bagaimana para Rasulullah mengajarkan keimanan
kepada para umatnya. Hal-hal yang harus dicontoh tersebut, selain harus tampil
sebagai figur teladan, juga bagaimana pendidikan keimanan itu dirancang
programnya secara matang, yang tidak hanya di dalam kelas melainkan harus
berjalan selama anak-anak berada di lingkungan sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar