PERANAN
PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
TERHADAP
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK-ANAK
----------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Fachrudin
Abstraksi
Pendidikan agama di lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam
pembentukan kepribadian bagi anak-anak, karena di lingkungan keluargalah
anak-anak pertama kali menerima pendidikan yang dapat mempengaruhi perkembangan
anak selanjutnya. Agar
anak-anak memiliki kepribadian yang baik dan
terhindar dari pelanggaran-pelanggaran moral, maka perlu adanya pembinaan agama sejak
dini kepada anak-anak dalam keluarga.
Proses pembinaan nilai-nilai agama
dalam membentuk kepribadian aak-anak dapat dimulai sejak anak lahir sampai ia dewasa. Ketika lahir
diperkenalkan dengan kaliamah thoyyobah,
kemudian setelah mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, maka
yang pertama harus ditanamkan ialah nilai-nilai agama yang berkaitan dengan
keimanan, sehingga anak meyakini adanya Allah dan dapat mengenal Allah dengan
seyakin-yakinnya (ma’rifatullah.
Bersamaan dengan itu, anak-anak juga
dibimbing mengenai nilai-nilai moral, seperti cara bertutur kata yang baik,
berpakaian yang baik, bergaul dengan baik, dan lain-lainnya. Kepada anak-anak
juga ditanamkan sifat-sifat yang baik, seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan,
hidup serderhana, sabar dan lain-lainnya. Selain itu, agar anak-anak memiliki
nilai-nilai moral yang baik, juga di dalam keluarga, khususnya antara ibu dan
bapak harus menjaga harmonisasi hubungan
antara keduanya dan harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya.
Kata-kata Kunci: Pendidikan Agama, keluarga, kepribadian.
A. Pendahuluan
Orang tua
memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian bagi anak-anaknya. Baik buruknya kepribadian anak-anak
di masa yang akan datang banyak ditentukan oleh pendidikan dan bimbingan orang
tuanya. Karena, di dalam keluarga itulah anak-anak pertama kali memperoleh
pendidikan sebelum pendidikan-pendidikan
yang lain. Sejak anak-anak lahir dari rahim ibunya, orang tua tua selalu
memelihara anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang dan mendidiknya dengan
secara baik dengan harapan anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia
dewasa yang baik. Pendidikan yang diberikan di lingkungan keluarga berbeda dengan
pendidikan yang dilaksanakan di sekolah, karena pendidikan dalam keluarga
bersifat informal yang tidak terikat oleh waktu dan program pendidikan secara
khusus.
Pendidikan dalam keluarga berjalan
sepanjang masa, melalui proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga itu
sendiri. Esensi pendidikannya tersirat dalam integritas keluarga, baik di dalam
komunikasi antara sesama anggota keluarga, dalam tingkah laku keseharian orang
tua dan anggota keluarga lainnya juga dalam hal-hal lainnya yang berjalan dalam
keluarga semuanya merupakan sebuah proses pendidikan bagi anak-anak. Oleh
karena itu, orang tua harus selalu memberikan contoh tauladan yang baik kepada
anak-anak mereka, karena apa pun kebiasaan orang tua di rumah akan selalu
dilihat dan dicerna oleh anak-anak.
Sebagai
lingkungan pendidikan yang pertama keluarga memainkan peran yang sangat besar
dalam membentuk pola kepribadian anak. Karena itu orangtua sebagai
penanggungjawab atas kehidupan keluarga harus memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada anak-anaknya dengan menanamkan ajaran agama dan akhlakul
karimah.
Sejalan dengan semakin pesatnya arus globalisasi yang
dicirikan dengan derasnya arus informasi dan teknologi ternyata dari satu sisi
memunculkan persoalan-persoalan baru yang kerap kita temukan pada diri individu
dalam suatu masyarakat. Munculnya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar,
narkoba, penyimpangan seksual, kekerasan serta berbagai bentuk penyimpangan
penyakit kejiwaan, seperti stress, depresi, dan kecemasan, adalah bukti yang
tak ternafikan dari adanya dampak negatif dari kemajuan peradaban kita. Hal ini
kemudian secara tidak langsung berpengaruh tidak baik pula pada kemapanan dan
tatanan masyarakat damai seperti kita semua harapkan.
Masalah kepribadian adalah suatu masalah yang menjadi
perhatian orang dimana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun
dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang merupakan ciri dari kepribadian buruk orang tersebut dan
dapat mengganggu
ketenteraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak yang rusak moralnya,
maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu.
Jika kita tinjau
keadaan masyarakat di Indonesia terutama di kota-kota besar sekarang ini akan
kita dapati bahwa sebagian anggota masyarakat memiliki kepribadian yang buruk. Dimana kita lihat, kepentingan umum
tidak lagi menjadi nomor satu, akan tetapi kepentingan dan keuntungan
pribadilah yang menonjol pada banyak orang.
Kejujuran,
kebenaran, keadilan dan keberanian telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan,
baik yang terlihat ringan maupun berat; banyak terjadi adu domba, hasud dan
fitnah, menjilat, menipu, berdusta, mengambil hak orang lain sesuka hati, di
samping juga perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Orang-orang yang
dihinggapi kepribadian buruk, tidak saja orang yang telah dewasa,
akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan
untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan Negara kita.
Belakangan ini kita banyak mendengar keluhan-keluhan orang tua, ahli-ahli
pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial,
anak-anak terutama yang sedang berumur belasan tahun dan mulai remaja, banyak
yang sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, berbuat keonaran, maksiat dan
hal-hal yang mengganggu ketenteraman umum.
Buruknya kepribadian yang disebutkan di atas adalah di antara macam-macam
kelakuan anak-anak yang menggelisahkan orang tuanya sendiri dan juga ada yang
menggelisahkan dirinya sendiri. Tidak sedikit orang tua yang mengeluh kebingungan
menghadapi anak-anak yang tidak bisa lagi dikendalikan baik oleh orang tua itu
sendiri maupun oleh guru-gurunya. Contoh-contoh dalam hal ini sangat banyak,
dapat kita rasakan, kita saksikan dan kita perhatikan sendiri, dan kiranya
tidak perlu dikemukakan di sini.
Berdasarkan
uraian di atas, perlu kiranya kita
memikirkan tentang model pendidikan agama bagi anak-anak di
lingkungan keluarga, sehingga anak-anak remaja kita saat memiliki kepribadian yang baik yang akan berdampak pula terhadap
kehidupan bangsa ini.
Pembahasan makalah ini dimaksudkan untuk: (1) mengetahui peranan
keluarga bagi anak-anak, (2) mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak memiliki
kepribadian yang buruk, (3) mengetahui peranan pendidikan Agama dalam lingkungan keluarga terhadap pembentukan
kepribadian anak.
B.
Peranan Keluarga
bagi Anak-anak
Keluarga secara etimologis berasal dari
rangkaian kata “kawula” dan “warga”.
Kawula artinya abdi yakni hamba sedangkan warga berarti anggota .
Sebagai abdi di dalam keluarga, seseorang wajib menyerahkan segala kepentingan
kepada keluarganya dan sebagai warga atau anggota, ia berhak untuk ikut
mengurus segala kepentingan di dalam keluarganya.
Sedangkan menurut M.I Sulaiman , 1994 :
12) ciri hakiki suatu keluarga ialah bahwa keluarga itu merupakan : “Satu
persekutuan hidup yang dijalin kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia
yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri”.
Dalam
Ensyclopedi Umum yang dimaksud dengan keluarga yaitu kelompok orang yang ada
hubungan darah atau perkawinan yang terdiri dari ibu, ayah, anak–anaknya
(yang belum memisahkan diri sebagai keluarga.
Dalam bahasa
Inggris kata keluarga diartikan dengan Family. Everet Wilson mengartikan family
(keluarga ) adalah ” the face to face group (kelompok tatap muka). Dia mengartikan lebih ke arah
fungsi keluarga.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu
masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya.
Lingkungan keluarga merupakan tempat di mana anak-anak dibesarkan dan merupakan
lingkungan yang pertama kali dijalanai oleh seorang anak di dalam mengarungi
hidupnya, sehingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh anak-anak dalam keluarga
akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak.
Keluarga
merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan
yang terdapat di dalamnya, sebahagian besarnya bersifat hubungan langsung dan
di situlah berkembang individu dan di situ pulalah terbentuknya tahap-tahap
awal proses sosialisasi bagi anak-anak.
Dari interaksi dalam keluarga inilah anak-anak memperoleh pengetahuan,
keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu
pulalah mereka memperoleh ketenteraman
dan ketenangan.
Pembentukan keluarga dalam Islam
bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang laki-laki dan
seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat sahnya perkawinan tersebut. Oleh karena itu, kedua suami dan
isteri itu merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi, keluarga dalam
pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang
suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain, keluarga adalah perkumpulan
yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat terus
menerus di mana yang satu merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang
ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika kedua suami isteri itu
dikaruniai seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama
ketiga pada keluarga tersebut di samping dua unsur sebelumnya.
Keluarga merupakan lingkungan
pertama bagi setiap individu di mana ia berinteraksi. Dari interaksi dengan
lingkungan pertama inilah individu memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar
daripada kepribadiannya. Juga dari situlah ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan
dan emosinya dan dengan itu ia merobah banyak kemungkinan-kemungkinan, kesanggupan-kesanggupan
dan kesedian-nya
menjadi kenyataan dalam hidup dan tingkah laku yang tampak. Jadi keluarga itu
bagi seorang individu merupakan simbol atas nilai-nilai yang mulia, seperti
keimanan yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban untuk
kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain lagi nilai
mulia yang dengannya keluarga dapat menolong individu untuk menanamkannya pada
dirinya.
Individu itu perlu pada keluarga
bukan hanya pada tingkat awal hidupnya dan pada masa kanak-kanak, tetapi ia
memerlukannya sepanjang hidupnya, sebab di dalam keluargalah, baik anak-anak, remaja, orang dewasa, orang tua
maupun manula mendapatkan rasa kasih
sayang, rasa tenteram dan ketenangan.
Keberadaan keluarga bukan hanya
penting bagi seorang individu, tetapi juga bagi masyarakat, sehingga masyarakat
menganggap keluarga sebagai institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit
sosial yang utama melalui individu-individu yang telah dipersiapkan di
dalamnya, baik berupa nilai-nilai, kebudayaan, kebiasaan maupun tradisi yang
ada di dalamnya. Dari segi inilah, maka keluarga dapat menjadi ukuran dalam
sebuah masyarakat, dalam arti apabila masing-masing keluarga itu berada dalam
keluarga yang sehat, maka akan sehatlah suatu masyarakat. Dan sebaliknya, jika
masing-masing keluarga itu tidak sehat, dampaknya terhadap masyarakat pun akan
menjadi tidak sehat.
Keluarga
sebagai tempat di mana anak-anak dibesarkan memiliki peranan yang sangat
penting dalam pendidikan anak, karena pertama-pertama yang akan dilihat dan
dirasakan oleh anak sebelum orang lain adalah keluarga. Peranan pendidikan
keluarga tidak akan tergeser oleh banyaknya institusi-institusi dan lembaga-lembaga
pendidikan yang ada, seperti Taman Kanak-kanak, Sekolah-sekolah,
Akademi-akademi dan lain-lainnya. Begitu juga dengan bertambahnya
lembaga-lembaga kebudayaan, kesehatan, politik, agama tidak akan menggeser
fungsi pendidikan keluarga.
Walaupun begitu tingginya tingkat
perkembangan dan perubahan yang berlaku disebahagian besar masyarakat modern,
termasuk masyarakat muslim sendiri, tetapi keluarga tetap memelihara fungsi
pendidikannya dan menganggap bahwa hal itu merupakan sebagian tugasnya, khususnya dalam rangka menyiapkan sifat cinta mencintai
dan keserasian di antara anggota-anggotanya. Begitu juga ia harus memberi
pemeliharaan kesehatan, psikologikal, spiritual, akhlak, jasmani, intelektual,
emosional, sosial di samping menolong mereka menumbuhkan pengetahuan,
keterampilan, sikap dan kebiasaan yang diingini yang berguna dalam segala
lapangan hidup mereka serta sanggup mengambil manfaat dari pelajaran
lembaga-lembaga lain.
Peranan pendidikan yang sepatutnya
dipegang oleh keluarga bagi anggota-anggotanya secara umum adalah peranan yang
paling pokok dibanding dengan peranan-peranan lain. Lembaga-lembaga lain dalam
masyarakat, misalnya lembaga politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain tidak
dapat memegang peranan itu. Walaupun lembaga-lembaga lain dapat menolong
keluarga dalam tindakan pendidikan, akan tetapi ia tidak sanggup menggantikan,
kecuali dalam keadaan-keadaan luar biasa, seperti ketika ibu bapak meninggal
atau karena ibu bapak rusak akhlak dan menyeleweng dari kebenaran, atau mereka
acuh tak acuh dan tidak tahu cara-cara yang betul dalam mendidik anak. Orang tua semacam ini tidak akan sanggup
mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik dan terhormat, karenanya akan menjadi
mashlahat apabila anak-anak itu dididik di luar keluarga mereka, misalnya dalam
institusi-institusi yang yang baik, teratur dan bertanggungjawab atas baik dan
buruknya kepribadian.
Menurut Syamsu Yusuf
(2007), keluarga dipandang sebagai penentu utama pembentukan kepribadian anak.
Alasannya adalah: (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi
pusat identifikasi anak, (2) anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan
keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan “significant people” bagi
pembentukan kepribadian anak.
Di samping itu, keluarga
juga dipandangn sebagai lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan insani, terutama
bagi pengemnbagan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Melalui
perlakuan dan perawatan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi
kebutuhannya, baik kebutuhan fisik-biologis, maupun kebutuhan sosio
psikologisnya. Apabila anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka
dia cenderung berkembang menjadi seorang pribadi yang sehat.
Perlakuan orang tua yang
penuh kasih sayang dan pendidikan nilai-nilai kehidupan, baik nilai agama
maupun nilai sosial budaya yang diberikan kepada anak merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan warga masyarakat yang
sehat dan produktif.
Suasana keluarga sangat
penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, yaitu suasana yang memberikan
curahan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan dalam bidag agama, maka perkembangan
kepribadian anak tersebut cenderung positif, sehat. Sedangkan anak yang
dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang berantakan, tidak harmonis, keras
terhadap anak dan tidak memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan
kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam
penyesuaian dirinya.
Apabila fungsi keluarga dalam kajian
psikologikal modern menekankan pendidikannya kepada pembinaan jiwa mereka dengan rasa cinta,
kasih sayang dan ketenteraman, justeru para ahli ilmu jiwa Muslim jauh sebelum
itu telah menekankan perkara ini dalam berbagai tulisannya. Ulama-ulama Muslim
dahulu kala menekankan pentingnya peranan pendidikan keluarga itu pada
tahun-tahun pertama usia anak-anak yang berdasar kepada pengalaman-pengalaman
mereka sendiri. Di samping itu, nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah banyak yang
menekankan pentingnya pendidikan dalam keluarga, di antaranya: Allah berfirman:
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Q.S.(66):6). Juga
Rasulullah bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu
bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani atau Majusi (H.R.Tabrani dan
Baihaqi). Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah menjelaskan: “Awasilah
anak-anakmu dan perbaikilah adabnya” (H.R.Ibnu Majah).
Dari bukti-bukti yang dikemukakan di
atas, menunjukkan bahwa mendidik anak dalam keluarga kewajiban paling utama.
Kewajiban ini tidak dapat ditinggalkan kecuali karena udzur, dan juga tidak
akan membebaskan ia dari tanggungjawab ini dengan adanya institusi-institusi
pendidikan yang didirikan khusus untuk anak-anak dan generasi muda. Sebab,
institusi itu tidak akan sanggup menggantikan keluarga dalam menanamkan rasa
cinta dan kasih sayang kepada anak-anak.
Keluarga merupakan
pendidikan pertama dan utama, pertama karena keluarga merupakan lingkungan awal
sebelum anak itu mengenal luar dan utama
karena keluarga menjadi lingkungan sosial dan emosional dimana hal itu sangat memberikan kualitas pengalaman sehingga menjadi faktor determinan untuk
pembentukan kepribadian seorang anak.
Menurut M.I. Sulaeman (1994: 84), fungsi keluarga itu ada delapan jenis, yaitu: (1) fungsi
edukasi, (2) fungsi sosialisasi, (3) fungsi proteksi, (4) fungsi afeksi, (5) fungsi religius, (6) fungsi ekonomi, (7) fungsi rekreasi, (8) fungsi biologis.
Berdasarkan kepada
beberapa fungsi keluarga di atas terlihat bahwa salah satu fungsi keluarga ialah
fungsi pendidikan. Hal ini berarti bahwa orangtua sebagai pendidik pertama dan
utama mempunyai kewajiban dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya termasuk pendidikan nilai moral.
C. Faktor-Fakor
yang Mempengaruhi Kepribadian
Kepribadian menurut Woodwort dalam Elizabeth
B. Hurlock (1976) yaitu kualitas keseluruhan perilaku individu. Sedangkan
menurut Allport masih dalam Elizabeth B. Hurlock (1976), kepribadian adalah
organisasi atau tata aturan dinamis dalam diri seseorang dengan sstem
psiko-fisknya yang menentukan karakter tingkah laku dan pemikirannya.
Kepribadian yang dimiliki seseorang tidak lepas dari pengaruh
yang datang dari luar dirinya. Paling tidak, ada tiga
faktor utama yang bekerja di dalam menentukan perkembangan kepribadian
seseorang. Pertama, pengaruh
keturunan individu; kedua, pengalaman awal dalam keluarga; dan ketiga,
peristiwa-peristiwa penting di kemudian hari di luar lingkungan rumah. Dengan demikian, pola
kepribadian bukanlah hasil belajar secara eksklusif atau keturunan eksklusif.
Sebaliknya, itu berasal dari interaksi dari keduanya.
Kepribadian yang dimiliki seseorang tidak bisa lepas dari faktor keturunan, terutama yag berkaitan dengan pematangan karakteristik fisik
dan mental. Meskipun faktor lingkungan sosial dan
lainnya besar pengaruhnya terhadap kepribadian, namun
tidak lepas dari potensi yang
ada dalam individu.
Bahan baku utama kepribadian, seperti fisik, kecerdasan, dan temperamen adalah hasil
dari keturunan. Anak memiliki warisan-warisan sifat bawaan yang berasal dari
kedua orang tuanya, merupakan potensi tertentu yang sudah terbentuk dan sukar
dirubah. Menurut H.C. Witherington dalam Uyoh Sa’dullah (2007) heriditas adalah
proses penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu dari suatu generasi ke
generasi lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu
adalah struktur tubuh. Jadi, apa yang diturunkan orang tua kepada anak-anaknya
berdasar kepada perpaduan gen-gen, yang pada umumnya haya mencakup sifat atau
ciri-ciri struktur individu. Yang diturunkan itu sangat kecil menyangkut ciri
atau sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan atau hasil belajar dari
lingkungannya. Beberapa ciri atau sifat orang tua yang kemungkinan dapat
diturunkan , misalnya: warna kulit, kecerdasan, bentuk fisik, seperti bentuk
mata, hidung dan lain sebagainya yang berkaitan dengan struktur fisik individu.
Selain dipengaruhi oleh faktor keturunan, kepribadian
juga terbentuk dari interaksi figur yang signifikan dari semua anggota keluarga
(pertama ibu, kemudian ayah dan saudara, dan kemudian figur keluarga yang
lainnya) dengan anak. Anak itu membawa kepada interaksi ini, seperti konstitusi
biologis tertentu, kebutuhan tertentu, dan kapasitas intelektual tertentu yang
menentukan reaksinya dengan cara di mana ia menindaklanjuti figur yang
signifikan tersebut.
Dalam interaksi antara faktor dan lingkungan, individu
memilih dari lingkungannya apa yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dan
menolak apa yang tidak. Oleh karena itu, pola kepribadian berkembang dimulai
dari interaksi dengan lingkungannya sendiri.
Salah satu alasan untuk menekankan peran keturunan
dalam pengembangan pola kepribadian adalah fakta bahwa
pola kepribadian
merupakan sesuatu
yang tunduk pada keterbatasan. Seseorang yang mewarisi kecerdasan tingkat rendah, misalnya, tidak bisa, bahkan di bawah kondisi lingkungan
paling menguntungkan, mengembangkan pola kepribadian yang akan menyebabkan sama bagusnya penyesuaian pribadi dan sosial sebagai orang yang mewarisi tingkat yang lebih tinggi dari kemampuan
intelektual.
Selanjutnya,
pengakuan keterbatasan yang dikenakan oleh keturunan menggarisbawahi fakta
bahwa orang tidak benar-benar bebas untuk memilih dan mengembangkan jenis pola
kepribadian yang mereka inginkan. Menggunakan kecerdasan
lagi sebagai ilustrasi: Seseorang dengan kecerdasan tingkat rendah tidak dapat
mengembangkan pola kepribadian seorang pemimpin meskipun ia ingin melakukannya
dan walaupun keinginannya memberinya motivasi yang kuat untuk mencoba
mengembangkan ciri kepribadian yang penting untuk kepemimpinan.
Pendidikan dalam
berbagai bentuk, khususnya, atau belajar di bawah bimbingan dan arahan yang lain, memainkan peran utama dalam pengembangan pola kepribadian.
Sikap terhadap diri, model karakteristik menanggapi orang dan
situasi, sikap terhadap asumsi peran sosial disetujui, dan metode penyesuaian
pribadi dan sosial, termasuk penggunaan mekanisme pertahanan, dipelajari
melalui pengulangan dan diperkuat oleh kepuasan yang mereka bawa. Secara
bertahap, konsep-diri dibangun dan tanggapan belajar menjadi kebiasaan, yang
merupakan ciri dalam pola kepribadian individu.
Ada dua alasan, mengapa pendidikan
memainkan peran dalam pengembangan pola kepribadian, yaitu: Pertama, ia memberitahu kita bahwa pengendalian dapat
dilaksanakan untuk memastikan bahwa individu akan mengembangkan jenis pola
kepribadian yang akan dapat menyesuaikan pribadi dan sosial yang baik. Kedua hal itu mengatakan kepada kita bahwa
konsep diri yang tidak sehat dan pola sosial tidak dapat diterima penyesuaiannya dapat diubah dan dimodifikasi. Seperti dalam mempelajari semua, semakin
cepat perubahan atau modifikasi dicoba, akan
semakin mudah.
D. Faktor-faktor
yang Menyebabkan Anak-Anak Berpribadi Buruk
Apabila bila kita analisis faktor-faktor
yang menyebabkan anak-anak memiliki kepribadian buruk, sehingga
mengakibatkan merosotnya moral pada
masyarakat sangat banyak sekali. Menurut Zakiyah Darajat (1988), antara
lain yang terpenting adalah:
1.
Kurang tertanamnya jiwa agama
pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.
Keyakinan
beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat tentang
ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran
tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh. Apabila keyakinan beragama itu betul-betul
telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinannya
itulah yag akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Jika
terjadi tarikan orang kepada sesuatu yang tampaknya menyenangkan dan
menggembirakan, maka keimanannya cepat bertindak meneliti apakanhal tersebut
boleh atau terlarang oleh agamanya. Andaikan termasuk hal yang terlarang,
betapapun tarikan luar itu tidak akan diindahkannya, karena ia takut
melaksanakan yang terlarang dalam agama.
Jika setiap
orang kuat keyakinannya kepada Tuhan, mau menjalankan agama dengan
sungguh-sungguh, maka tidak perlu polisi, tidak perlu pengawasan yag ketat,
karena setiap orang dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar
hukum-hukum dan ketentuan Tuhannya. Semakin jauh masyarakat dari agama, semakin
susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah
suasana, karena semakin banyaknya pelanggaran-pelanggaran atas hak dan
hukum.
2.
Keadaan masyarakat yang kurang
stabil, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik.
Faktor
kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan,
baik ekonomi, sosial, maupun politik. Kegoncangan
atau ketidakstabilan suasana yang melingkungi seseorang menyebabkan gelisah dan
cemas, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketenteraman dalam hidup.
Demikian juga dengan keadaan sosial dan politik, jika tidak stabil, maka akan
menyebabkan orang merasa takut, cemas dan gelisah, dan keadaan seperti ini akan
mendorong pula kepada kelakuan-kelakuan yang mencari rasa aman yang
kadang-kadang menimbulkan kecurigaan, tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan,
kebencian kepada orang lain, adu domba, fitnah dan lain sebagainya. Hal ini
semua mudah terjadi pada orang yang kurang keyakinannya kepada agama, dan mudah
menjadi gelisah.
3.
Pendidikan moral tidak terlaksana
menurut mestinya, baik di rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.
Faktor ketiga
yang juga penting adalah tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik dalam
rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pembinaan moral seharusnya dilaksanakan
sejak anak kecil sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir
belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas
dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik untuk pertumbuhan moral, anak-anak
aka dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Juga perlu
diingat bahwa pemahaman tentang moral
belum dapat menjamin tindakan moral. Moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu
pengetahuan yang dapat dicapai dengan mempelajari, tanpa membiasakan hidup
bermoral dari kecil, karena moral itu
tumbuh dari tindakan kepada pengertian.
Di sinilah peranan orangtua, guru dan lingkungan yang sangat penting. Jika anak
dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak
mengerti cara mendidik, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat yang goncang
dan kurang mengindahkan moral, maka sudah barang tentu hasil yang akan terjadi tidak
menggembirakan dari segi moral.
4.
Suasana rumah tangga yang kurang
baik.
Faktor yang
terlihat pula dalam masyarakat sekarang ialah kerukunan hidup dalam rumah
tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima,
saling menghargai, saling mencintai di antara suami isteri. Tidak rukunnya
ibu-bapak menyebabkan gelisahnya aak-anak, mereka menjadi takut, cemas dan
tidak tahan berada ditengah-tengah orangtua yang tidak rukun. Maka anak-anak
yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan
ungkapan dari rasa hatinya, biasanya akan mengganggu ketenteraman orang lain.
Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang mendapat perhatian,
kasih saying dan pemeliharaan orang tua akan mencari kepuasan di luar rumah.
5.
Diperkenalkannya secara populer
obat-obat dan alat-alat anti hamil.
Suatu hal yang
sementara pejabat tidak disadari bahayanya terhadap moral anak-anak muda adalah
diperkenalkanya secara populer obat-obatan dan alat-alat yang digunakan untuk
mencegah kehamilan. Seperti kita ketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru
mengalami dorongan seksuil akibat pertumbuhan biologis yang dilaluinya, mereka
belum mempunyai pengalama, dan jika mereka juga belum mendapat didikan agama
yang mendalam, merka akan dengan mudah dapat dibujuk oleh orang-orang yag tidak
baik, yang hanya melampiaska hawa nafsunya.
Dengan demikian, akan terjadilah obat atau alat-alat itu digunakan oleh
anak-anak muda yang tidak terkecuali anak-anak sekolah atau mahasiswa yang
dapat dibujuk oleh orang yang tidak baik
itu oleh kemauan mereka sendiri yang mengikuti arus darah mudanya, tanpa
terkendali. Orang tidak ada yang tahu, karena bekasnya tidak terlihat dari
luar.
6.
Banyaknya tulisan-tulisan,
gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang tidak mengindahkan
dasar-dasar dan tuntunan moral.
Suatu hal yang
belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah tulisan-tulisan,
bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, kesenian-kesenian, dan
permainan-permainan yang seolah-olah mendorong aak muda untuk mengikuti arus
mudanya. Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni
itu sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat
dipenuhi begitu saja. Lalu digambarka dengan sangat realistis, sehingga semua
yang tersimpan di dalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat
dalam cerita, lukisan atau permainan tersebut. Ini pun mendorong aak-anak muda
ke jurang kemerosotan moral.
7.
Kurang adanya bimbingan untuk
mengisi waktu luang (leisure time) dengan cara yang baik, dan yang membawa
kepada pembinaan moral.
Suatu faktor
yang juga telah ikut memudahkan rusaknya moral anak-anak muda ialah kurangnya
bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan yang baik dan sehat. Umur muda
adalah umur suka berkhayal, melamunkanhal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan
tanpa bimbingan dalam mengisi waktunya, maka akan banyak lamunan dan kelakuan
yang kurang sehat timbul dari mereka.
8.
Tidak ada atau kurangnya
markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda-pemuda.
Terakhir perlu
dicatat, bahwa kurangnya markas bimbingan dan penyuluhan yang akan menampung
dan menyalurkan aak-aak kea rah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak
adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka
pergilah mereka berkelompok dan bergabung dengan aak-anak yang juga gelisah.
Dari sini akan keluarlah model kelakuan yang kurang menyenangkan.
E.
Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pembentukan Kepribadian
Setelah
kita mengetahui penyebab anak-anak memiliki kepribadian buruk yang
mengakibatkan merosotnya moral seperti yang diuraikan di atas, menunjukkan
betapa pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak kita,
dan betapa pula besarnya bahaya yang terjadi akibat kurangnya pendidikan agama itu. Untuk itu,
perlu kiranya kita mencari jalan yang dapat mengantarkan kita kepada
terjaminnya kepribadian anak-anak yang
kita harapkan menjadi warga Negara yang cinta akan bangsa dan tanah airnya,
dapat menciptakan dan memelihara ketenteraman dan kebahagiaan masyarakat dan bangsa
di kemudian hari.
Keluarga
memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan agama bagi anak-anaknya, terutama dalam pembentukan kepribadian. Menurut M.I.
Soelaeman (1978: 66), salah satu fungsi
keluarga ialah fungsi religius. Artinya keluarga berkewajiban
memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lainnya kepada kehidupan
beragama. Untuk melaksanakannya, orang tua sebagai tokoh-tokoh inti dalam
keluarga itu terlebih dulu harus menciptakan iklim religius dalam keluarga itu,
yang dapat dihayati seluruh anggotanya, terutama anak-anaknya.
Pendidikan agama harus dimulai sejak dini, terutama dalam keluarga, sebab
anak-anak pada usia tersebut siap untuk menerima ajaran agama yang berkaitan
dengan keimanan kepada Allah tanpa harus menuntut dalil yang menguatkannya.
Dalam pendidikan usia dini, ia juga tidak berkeinginan untuk memastikan atau
membuktikan kebenaran ajaran agama yang diterimanya.
Dalam penanaman pendidikan agama di lingkungan keluarga yang harus diberikan kepada anak-anak tidak
terbatas kepada masalah ibadah seperti sholat, zakat, puasa, mengaji, tetapi
harus mencakup keseluruhan hidup, sehingga
menjadi pengendali dalam segala tindakan. Bagi orang yang menyangkan
bahwa agama itu sempit, maka pendidikan agama terhadap anak-anak dianggap cukup
dengan memanggil guru ngaji ke rumah atau menyuruh anaknya belajar mengaji ke
madrasah atau ke tempat lainnya. Padahal yang terpenting dalam penanaman jiwa
agama adalah di dalam keluarga, dan harus terjadi melalui pengalaman hidup
seorang anak dalam keluarga. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh aak
sejak ia kecil akan mempengaruhi kepribadiannya.
Supaya pembinaan nilai-nilai agama itu betul-betul membuat kuatnya jiwa
anak-anak untuk menghadapi tantangan segala zaman dan suasana dikemudian hari,
hendaknya ia dapat terbina sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan sampai ia
mencapai usia dewasa dalam masyarakat.
Hasan Langgulung (1986) mengemukakan bahwa pendidikan agama dan spiritual
termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh
keluarga terhadap anak-aaknya. Pendidikan agama dan spiritual ini berarti
membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada
pada anak-anak melalui bimbingan agama
yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dan upacara-upacaranya. Begitu
juga membekali anak-anak dengan pengetahuan-pengetahuan agama dan kebudayaan
Islam yang sesuai dengan umurnya dalam bidang aqidah, ibadah, mu’amalah dan
sejarah. Begitu juga dengan mengajarkan kepadanya cara-cara yang betul untuk
menunaokan syi’ar-syi’ar dan kewajiban-kewajiban agama, dan menolongnya
mengembangkan sikap agama yang betul,
dan yang pertama-tama harus ditanamkan ialah iman yang kuat kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhirat, dan selalu mendapat pengawasan
dari orang tua dalam segala perbuatan dan perkataannya.
Di antara cara-cara praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk
menanamkan semangat keagamaan pada diri anak-anak adalah sebagai berikut:
a.
Memberi tauladan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman kepada Allah
dan berpegang dengan ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam
waktu tertentu.
b.
Membiasakan mereka menunaikan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga
penunaian itu menjadi kebiasaan yang mendarah daging, mereka melakukannya
dengan kemauan sendiri dan merasa tentram sebab mereka melakukannya.
c.
Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang sesuai di rumah di mana mereka
berada.
d.
Membimbing mereka membaca bacaan-bacaan agama yang berguna dan memikirkan
ciptaan-ciptaan Allah dan makhluk-makhluknya untuk menjadi bukti kehalusan
sistem ciptaan itu dan atas wujud dan keagungannya.
e.
Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama, dan lain-lain
lagi cara-cara lain.
Ketika keluarga menunaikan hal-hal tersebut di atas, sebelumnya menurut
kepada petunjuk dari Al Qur-an, Sunnah Nabi s.a.w. dan peninggalan
Assalaf-Assaleh yang semuanya mengajak untuk melaksanakan pendidikan,
mengharuskan orangtua mendidik anak-anak nya akan iman dan akidah yang betul
dan membiasakannya mengerjakan syari’at, terutama sembahyang. Seperti firman
Allah swt: “Perintahlah keluargamu
bersembahyang dan tekunlah engkau mengerjakannya. Kami tidak minta darimu
rezeki. Kami memberimu rezeki. Akibat yang baik bagi taqwa”. Sabda Rasulullah
saw: “Perintahlah anak-anak mu bersembahyang sedang mereka berumur tujuh tahun.
Pukullah mereka kalau tidak mau jika mereka berumur sepuluh tahun. Dan
pisahkanlah mereka dalam pembaringan”. (H.R. Abu Daud, Al Turmuzi, Ahmad dan Al
Hakim).
Juga agama memestikan mereka menanamkan nilai-nilai agama dan
kebiasaan-kebiasaan Islam pada jiwa anak-anak dan menyuruh mereka menghafal
sebagian Al Qur-an, Sunnah Nabis.a.w. dan sejarah sahabat-sahabat dan Khulafa’a
Al Rasyidin supaya mereka terbimbing kejalan yang lurus.Rasulullah s.a.w.
bersabda : “Hak anak kepada ibu-bapaknya adalah bahwa ibu-bapak mengajarkannya
Kitab Allah s.w.t., memanah, berenang dan memberinya warisan yang baik”. Juga
sabda Rasulullah s.a.w. mencintai keluarga Nabi s.a.w., dan membaca Al Qur-an.
Selain pendidikan agama seperti yang dijelaskan di atas, pendidikan akhlak
dalam keluarga juga sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian anak. Tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa pendidikan
akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang
buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai
akhlak-akhlak keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak
dan keutamaan yang diajarkan oleh abama.Sehingga seorang Muslim tidak sempurna
agamanya sehingga akhlaknya menjadi baik. Hampir-hampir sepakat filosof-filosof
pendidikan Islam, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab
tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
Keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan akhlak untuk
anak-anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi dengannya oleh
sebab mereka mendapat pengaruh daripadanya atas segala tingkah lakunya. Oleh
sebab itu haruslah keluarga mengambil berat tentang pendidikan ini, mengajar
mereka akhlak yang muliayang diajarkan Islam seperti kebenaran,
kejujuran,keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, berani
dan lain-lain sebagainya. Dia juga mengajarkan nilai dan faedahnya berpegang
teguh pada akhlak di dalam
hidup,membiasakan mereka berpegang kepada akhlak semenjak kecil. Sebab manusia
itu sesuai dengan sifat asasinya menerima nasihat jika datangnya melalui rasa
cinta dan kasih sayang, sedang ia menolaknya jika disertai dengan kekerasan dan
biadab. Tepat sekali firman Allah s.w.t. : “Jika engkau (hai Muhammad) kasar
dan bengis tentu mereka akan meninggalkanmu” (Ali Imran: 159).
Di antara kewajiban keluarga dalam penanaman akhlak kepada anak-anak agar memiliki kepribadian yang baik adalah sebagai
berikut:
a.
Memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada
akhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah
tidak sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya.
Di antara kata-kata mutiara yang terkenal dari Ali R.A. adalah : “Medan perang
pertama adalah dirimu sendiri, jika kamu telah mengalahkannya, tentu kamu akan
mengalahkan yang lain. Jika kalah disitu, niscaya ditempat lain kamu akan lebih
kalah. Jadi berjuanglah disitu lebih dahulu”. Tepat sekali firman Allah s.w.t.
:“Adakah kamu memerintah orang berbuat baik sedang kamu melupakan dirimu sendiri”.
(Al Baqarah : 44).
b.
Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan suasana praktis di mana
mereka dapat mempraktekkan akhlak yang diterima dari orang tuanya.
c.
Memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anaknya supaya mereka bebas
memilih dalam tindak-tanduknya
d.
Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan
bijaksana.
e.
Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat
kerusakan, dan lain-lain lagi cara di mana keluarga dapat mendidik akhlak
anak-anaknya
Di antara dalil-dalil yang digunakan pendidik-pendidik Islam tentang pentingnya pendidikan akhlak dan
pentingnya peranan keluarga di situ, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari dalam sejarahnya dari Nabi s.a.w. bersabda : Tidak memberi seorang
bapak lebih baik daripada akhlak yang baik”.
Juga diriwayatkan oleh Al Turmudzi dan Al Tabarani dari Jabir bin Samrah
katanya Rasulullah s.a.w. bersabda : “Jika seseorang mengajar anaknya lebih
baik baginya daripada ia bersedekah setiap hari setengah gantang kepada orang
miskin”. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas, mereka berkata : wahai
Rasulullah engkau telah mengajar kami tentang hak orang tua terhadap anaknya.
Maka apa pula hak anak terhadap orang tuanya, Beliau bersabda : “Bahwa engkau
memberi nama yang baik dan membaiki adabnya”. Juga diriwayatkan bahwa beliau
s.a.w. bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan baikanlah adab mereka” (H.R.Ibnu
Majah).
F.
Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Lingkungan keluarga sangat besar
peranannya dalam pembentukan kepribadian bagi anak-anak, karena di lingkungan
keluargalah anak-anak pertama kali menerima pendidikan yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak selanjutnya.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan buruknya kepribadian anak-anak yang dapat menimbulkan
kemerosotan moral pada anak-anak, di antaranya: (1) Kurang
tertanamnya nilai-nilai keimanan pada anak-anak, (2) lingkungan masyarakat yang kurang baik, (3) Pendidikan moral
tidak berjalan menurut semestinya, baik di keluarga, sekolah dan masyarakat,
(4) Suasana rumah tangga yag kurang baik, (5) Banyak diperkenalkannya obat-obat
terlarang dan alat-alat anti hamil, (6) Banyak tulisan-tulisan, gambar-gambar,
saran-siaran yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral, (7) Kurang adanya
bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan cara yang baik yang membawa kepada
pembinaan nilai moral, (8) Kurangnya markas-markas bimbingan da penyuluhan bagi
anak-anak.
Agar anak-anak
memiliki kepribadian yang baik dan terhindar dari
pelanggaran-pelanggaran moral, maka perlu adanya pembinaan agama sejak dini kepada
anak-anak dalam keluarga dan adanya kerjasama antara
keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebaik apa pun pendidikan moral dalam
keluarga tanpa adanya dukungan dari sekolah dan masyarakat, sulit bagi
anak-anak untuk memiliki kepribadian yang baik. Begitu juga pendidikan kepribadian di sekolah, tanpa adanya dukungan dari keluarga
dan masyarakat sulit bagi anak untuk memiliki pribadi yang baik. Dengan demikian, ketiga jenis
lembaga ini tidak bisa dipisahkan dan harus saling mendukung.
Proses pembinaan nilai-nilai agama
dalam membentuk kepribadian aak-anak dapat dimulai sejak anak lahir sampai ia dewasa. Ketika lahir
diperkenalkan dengan kaliamah thoyyobah,
kemudian setelah mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, maka
yang pertama harus ditanamkan ialah nilai-nilai agama yang berkaitan dengan
keimanan, sehingga anak meyakini adanya Allah dan dapat mengenal Allah dengan
seyakin-yakinnya (ma’rifatullah.
Bersamaan dengan itu, anak-anak juga
dibimbing mengenai nilai-nilai moral, seperti cara bertutur kata yang baik,
berpakaian yang baik, bergaul dengan baik, dan lain-lainnya. Kepada anak-anak
juga ditanamkan sifat-sifat yang baik, seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan,
hidup serderhana, sabar dan lain-lainnya. Selain itu, agar anak-anak memiliki
nilai-nilai moral yang baik, juga di dalam keluarga, khususnya antara ibu dan
bapak harus menjaga harmonisasi hubungan
antara keduanya dan harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Nasih Ulwan (2007), Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Imani.
Daradjat, Zakiah
(1971), Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang
Djahiri, A. K. (1966). Menelusur Dunia
Afektif. Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP.
Ihat Hatimah,
dkk. (2007), Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Jakarta: Universitas
terbuka.
M.I. Soelaeman
(1978), Pendidikan dalam Keluarga, Diktat Kuliah.
Safyan Sauri (2010), Meretas Pendidikan Nilai, Bandung:
Arfino Raya.
...................... (2011), Filsafat dan Teosofat
Akhlak, Bandung: Rizqi Press.
Linda, N.Eyre, Richard. 1995. Teaching Your Children Values.
New York: Simon sand Chuster.
Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
................. (1999). Cakrawala Pendidikan Umum.
Bandung: Ikatan Mahasiswa dan Alumni Pendidikan Umum (IMA-PU) PPS IKIP Bandung.