PADA MASA
ORDE BARU DAN ORDE REFORMASI
-------------------------------------------------------------------------
Oleh: Drs.
Fahrudin, M.Ag.
Abstraksi
Politik umat Islam pada masa
Orde baru, di kancah politik nasional tidak begitu nampak, karena partai-partai
Islam tidak diperkenankan tumbuh pada masa itu. Bahkan partai Masyumi yang
dibubarkan oleh Soekarno tidak diperkenankan muncul kembali walaupun diganti
dengan Parmusi. Para politikus Islam
banyak yang ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, sehingga
umat Islam banyak yang merasa ketakutan pada masa itu. Pada masa Orde Baru umat
Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang
digulirkan oleh pemerintah.
Di era Orde reformasi umat
Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, khususnya dalam masalah
politik. Umat Islam dalam mengadakan gerakan tidak lagi merasa takut dengan
adanya tuduhan-tuduhan subversif seperti yang terjadi pada era orde baru,
sehingga bermunculanlah partai-partai Islam dan gagasan-gagasan untuk
menerapkan syari’at Islam di Indonesia. Semua itu, tiada lain merupakan salah
satu wujud politik umat Islam di era Orde Reformasi.
Kata-kata Kunci: Politik, Umat Islam, Orde Baru,
Orde Reformasi
A.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara
yang penduduknya mayoritas muslim, namun umat islam, khasusnya dalam kancah politik nasional, selalu
mengalami kekalahan dan tidak pernah
memegang kendali pemerintahan. Sejarah membuktikan, bahwa sejak
menjelang Indonesia merdeka, umat Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
dasar dan ideologi negara. Yang menyakitkan lagi, “Piagam Jakarta” yang telah
disepakati, dan di dalamnya ada tujuh kata kunci bagi umat Islam untuk dapat menjalankan
syari’at Islam di Indonesia baru satu
hari setelah kemerdekaan diganti
kembali.
Perjuangan umat Islam tidak berhenti sampai di
sana. Bagi para tokoh militan Islam yang tidak puas dengan Pancasila sebagai
dasar negara dan digantinya Piagam Jakarta itu, mereka akhirnya mendeklarasikan
sebuah Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori oleh Kartosuwirjo. Namun,
gerakan ini akhirnya dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Indonesia.
Pada masa
Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung
pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah, sehingga pemerintahan dikendalikan
oleh orang-orang nasionalis, dan partai-partai Islam tidak diberikan kebebasan
untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga Partai, yaitu
wakil partai Islam, wakil partai nasionalis dan Golongan Karya yang berada di
bawah kendali pemerintah Orde Baru.
Sejak
runtuhnya orde baru, umat Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, baik
dalam segi politik pemerintahan, ekonomi dan lain-lainnya, khususnya setelah
reformasi digulirkan oleh para tokoh-tokoh muslim. Dengan adanya reformasi
tersebut, umat Islam telah mengalami suatu kebebasan dalam berpikir dan
bergerak yang tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan subversif
seperti yang terjadi pada era Orde Baru.
Untuk lebih jelasnya bagaimana
dinamika pemikiran politik umat Islam
Indonesia pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi akan dijelaskan pada
tulisan ini.
B. Politik Umat Islam pada Masa Orde Baru
Seiring dengan runtuhnya Orde Lama, maka pada masa awal Orde Baru,
partai-partai Islam banyak mengambil kesempatan dari jatuhnya PKI yang melakukan “silent coup d’etat” yang gagal terhadap pemerintahan Orde
Lama Soekarno. Naiknya ABRI sebagai pemenang atas PKI, tidak memberikan angin
segar kepada umat Islam. ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai
politik Masyumi, maupun usaha para bekas anggota Masyumi untuk mendirikan
Parmusi. Partai Politik Islam ditekan untuk berorientasi pada program dan
meninggalkan orientasi ideologi. Orientasi ideologi ini, tidak hanya berfungsi
membedakan kelompok dalam struktur politik, tapi juga sebagaimana terlihat
dalam pengalaman masa Orde Lama dapat memecah-belah rakyat. Rakyat yang mulai
dinamis dalam berpolitik, akhinya hanya mampu menghela napas panjang ketika
kebijakan-kebijakan Orde Baru yang muncul satu per satu hanya menghasilkan
pengekangan bagi “room for improvement” politik Islam yang makin menyempit.
Akomodasi Islam masa Orde Baru lebih banyak pada hal-hal yang non-politik. Hal
ini lantaran orientasi pragmatis pemerintahan Orde Baru yang lebih
memperhatikan pembangunan ekonomi dan membatasi pembangunan politik
Pada masa Orde Baru, isu modernisasi telah menimbulkan persoalan di
kalangan umat Islam, terutama, dalam kaitannya dengan pemahaman umat terhadap
ajaran Islam ketika itu. Adalah Deliar Noer, salah seorang intelektual modernis
Muslim yang pertama kali berbicara tentang persoalan tersebut. Dalam sebuah
tulisannya yang berjudul “Umat Islam dan Masalah Modernisasi” , ia berpendapat
bahwa modernisasi sesungguhnya tidak akan menimbulkan suatu problema teologis.
Sebab, menurutnya, inti modernisasi adalah sesuai dengan ajaran-ajaran sosial
Islam. Suatu masyarakat modern bagi Deliar noer bukan saja tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, melainkan merupakan suatu yang harus diwujudkan oleh
setiap Muslim
Sehubungan dengan adanya isu modernisasi ini, bermunculanlah berbagai
respon dari kalangan intelektual Islam yang dimuat di berbagai media massa pada
waktu itu, yang pada dasarnya respon mereka berawal dari pemikiran tentang
hubungan antara modernisasi dan agama Islam serta implikasinya terhadap
kehidupan politik umat Islam. Hamka salah seorang tokoh senior, dalam sebuah
tulisannya, mencoba memberi respon dengan menitik-beratkan persoalan
modernisasi dalam dimensi politiknya. Menurutnya, proses modenisasi dalam
perkembangannya akan melibatkan persoalan bantuan luar negeri, baik yang
bersifat finansial maupun teknikal. Jika hal demikian berlangsung dan memang
demikianlah yang diha.rapkan negara-negara eks kolonial Barat, maka yang akan
terjadi adalah neo-kolonialisme dalam bentuk baru di mana masyarakat dunia
ketiga akan terus bergantung pada kekuasaan perekonomian negara maju.
Indonesia, dengan rancangan modernisasi yang dilakukannya, bukan tidak mustahil
terperangkap dalam desain kolonialisme baru semacam itu.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan eksistensi umat Islam, jika
modernisasi mempunyai implikasi sebagaimana disebutkan di atas, maka modernisasi
tidak lebih merupakan kamuflase sebuah rencana besar untuk mendegradasikan
nilainilai Islam yang telah lama tertanam pada diri umat Islam. Bagi kelompok
yang melakukan reaksi semacam ini, modernisasi yang benar adalah suatu
transformasi dan situasi penjajahan ke situasi merdeka, dan suatu struktur
budaya masyarakat feodalistik ke terciptanya suasana demokrasi, dan dari suatu
masyarakat agraris menuju terciptanya masyarakat industri. Jika hal demikian
menjadi tujuan modernisasi, maka kita berjalan menuju arah yang benar.
Sementara itu Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh dan pimpinan
organisasi Mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), sebelum sampai pada pikiran-pikiran pembaruannya yang mengejutkan
berbagai pihak pada awal tahun 1970-an, sehubungan dengan gagasan modernisasi
ini, berpendapat bahwa modernisasi merupakan sesuatu yang identik atau hampir
identik dengan rasionalisasi. Di dalamnya terkandung suatu proses penghilangan
pola-pola ppikir ttidak rnasionalistik. Hal ini menurutnya, dimaksudkan untuk
memperoleh kegunaan maksimal dan efisiensi sebuah pekerjaan. Proses demikian
didapat berdasarkan penerapan-penerapan temuan-temuan ilmu pengetahuan
mutakhir. Karena ilmu pengetahuan merupakan hasil sebuah pemahaman manusia atas
hukum-hukum oobyektif yang mengatur alam semesta ini, maka penerapannya pun bersifat rasional
dan karenanya dapat disebut modern.
“Bagi seorang muslim”, kata Nurcholish Madjid, “modernisasi merupakan
suatu keharusan mutlak. Sebab, modernisasi dalam pengertian demikian itu,
berarti bekerja dan berfikir menurut aturan hukum alam. Menjadi modern berarti
mengembangkan kemampuan berfikir secara ihmiah, bersikap dinamis dan progresif
dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal.” Pernyataan demikian tampaknya
bukan tanpa dasar. Beberapa ayat di dalam Al Quran memberikan panduan
kehidupan, sedangkan modernisasi, dalam pengertian sebagaimana di atas,
sepenuhnya dapat dirujukkan dalam ayat-ayat Quran tersebut.
Dan pembicaraan singkat tentang respon ideologis kalangan intelektual Islain
Indonesia terhadap isu modernisasi yang diketengahkan oleh pemerintahan Orde
Baru, dapat kita peroleh gambaran umum tentang pola dasar pemikiran umat Islam.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa para intelektual Islam justeru lebih
cenderung mempersoalkan terlebih dahulu apa itu modernisasi dan apa
implikasinya bagi kehidupan keagamaan mereka. Karenanya, persoalan modemnisasi
kemudian untuk kepentingan legalisme, dan boleh jadi juga untuk kepentingan
justifikasi selalu dirujukkan ke prinsip-prinsip ajaran Islam. Alasan
konvensional untuk melihat persoalan ini biasanya adalah untuk kepentingan
legalistis: apakah gagasan modeniisasi dapat diterima atau tidak. Sepanjang
gagasan modernisasi ini tidak berarti westernisasi, maka hal itu tidak menjadi
persoalan bagi umat Islam. Justru modernisasi dalam pengertian rasionalisasi
atau suatu proses untuk maju itulah yang ingin dilakukan umat Islam. Sebab,
dalam proses modernisasi semacam itu terdapat hubungan erat dengan konsepsi
ijtihad. Karenanya, hal demikian ini tidak saja menjadi kebutuhan masyarakat
Islam, tetapi sekaligus merupakan kewajiban keagamaan yang harus dilaksanakan.
Sayangnya, tanggapan kemudian terhadap persoalan demikian itu, sebagian umat
Islam hanya berhenti sampai pada statement
of intent. Hal ini terlihat dalam kenyataan bahwa umat Islam masih berada
pada posisi marjinal dalam arus proses modernisasi dan pembangunan. Akibatnya,
sebagian besar pemegang kebijaksanaan kunci modernisasi berasal dari kalangan
non-Islam atau kalangan Islam dalam pengertian non-santri.
Pola kecenderungan umat Islam semacam mi mengandung bahaya. Selain
mengesankan sikap sangat hati-hati, juga mencerminkan kondisi kondisi nyata
belum siapnya umat Islam dengan rumusan-rumusan bagaimana memajukan umat ini.
Hal itu juga berarti bahwa umat Islam belum mempunyai identifikasi persoalan
terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat Islam pada awal kepemimpinan Orde
baru. Dalam banyak hal, kasus demikian merupakan kelemahan umat Islam Indonesia
yang telah kehilangan semangat, mereka kurang terlatih untuk melihat persoalan-persoalan umat
secara canggih dan kemudian berfikir ke arah perumusan pikiran-pikiran
alternatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Dalam kondisi
demikian, yang muncul justru sikap reaktif terhadap suatu gagasan seperti
modernisasi yang tengah dibicarakan ini, dan bukan bagaimana memanfaatkan isu
tersebut, yang telah menjadi konsensus nasional, untuk kepentingan umat Islam.
Dalam posisi bertahan sedemikian, umat Islam pada awal pemerintahan Orde
Baru semakin tersisih dan kurang mampu berbuat banyak. Proses marjinalisasi
umat Islam berjalan deras, bahkan kemudian umat Islam dituduh sebagai tidak
siap untuk terlibat dalam proses modernisasi. Karena, umat Islam dianggap tidak
mempunyai tradisi intelektual sebagaimana dimiliki kalangan Kristen dan
nasionalis sekular (kalangan priyayi), sedang mayoritas mereka merupakan produk
didikan Barat. Bahkan, umat Islam, karena menempati posisi marjinal dalam
proses pembangunan nasional (modernisasi), acapkali dianggap sebagai “anti
pembangunan” dan “anti modernisasi” dan lain sebagainya.
Selain
persoalan-persoalan modernisasi yang disorot kalangan Islam, umat Islam juga
melihat hubungan antara pemerintah Orde Baru dan Islam politik. Semula, kehadiran Orde Baru dianggap
membawa angin segar bagi kemungkinan naiknya kekuatan Islam di panggung politik
nasional. Harapan itu semakin memudar ketika maujud realitas bahwa Masyumi
tetap tidak mendapatkan hak hidupnya. Sementara itu, pemerintah Orde Baru
enggan melihat persaingan tak sehat antar berbagai partai politik yang ada.
Untuk itu, pemerintah membekukan segala kegiatan politik.
Sementara itu, restrukturisasi politik dimaksudkan sebagai dasar untuk
meneguhkan pendapat bahwa ketidakstabilan politik masa lalu disebabkan adanya
sistem banyak partai. Dalam pandangan para pemimpin Islam, sistem politik Indonesia
yang berorientasi ke program dan didominasi kalangan militer, merupakan
strategi untuk marjinalisasi keterlibatan pemimpin Islam dalam panggung politik
nasional. Tumbuhnya pengaruh kuat kalangan Sosial dan Kristen pada pemerintah
Orde Baru merupakan strategi yang telah dirancang, terutama setelah kemenangan
Golkar pada tahun 1971, yang disebabkan oleh adanya kekhawatiran kemungkinan
munculnya Islam sebagai kekuatan politik. Untuk itu, semenjak dini Islam
sebagai kekuatan politik memang sudah harus didomestikasikan. Faksionisme
muslimnonmuslim segera terbentuk ketika banyak kalangan Kristen muncul dalam
susunan Kabinet Pembangunan I, dan terlebih lagi, setelahi umat Islam merasa
sering kali dipojokkan dengan tuduhan “anti pembangunan dan anti Pancasila”.
Tuduhan itu muncul, selain dikarenakan sikap umat Islam terhadap gagasan
modernisasi, sebagaimana terlihat di atas, berawal dari kesulitan pemerintahan
Orde Baru dalam meyakinkan umat Islam agar mau menerima “tafsiran formal”
tentang Pancasila.
Hubungan antara pemimpin politik Islam dan pemerintahan Orde Baru menjadi
semakin buruk ketika muncul isu kristenisasi dalam panggung politik nasional.
Namun, setelah sepuluh tahun usia Orde Baru, orientasi pemerintah terhadap umat
Islam mulai menunjukkan perubahan. Kali ini terdapat angin segar yang
dihembuskan pemerintah untuk mendekati umat Islam. Dengan alasan untuk
meningkatkan stabilitas nasional, keamanan dan keharmonisan kehidupan umat
beragama, pemerintah pada tahun 1967 mulai menutup lembaga missi dan zendmg Dua
tahun kemudian, Departemen Agama mengeluarkan peraturan yang mengatur bantuan-bantuan
aasing untuk lembaga-lembaga keagamaan. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan
larangan kegiatan mempengaruhi kelompok masyarakat yang sudah memeluk sesuatu
agama tertentu untuk diajak masuk ke dalam agama lain. Begitu pula, kesediaan
pemerintah untuk menarik kembali rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) pada
tahun 1973 yang sulit untuk dapat diterima kalangan Islam, kkarena dinilai
bertentangan dengan hukum Islam; serta penolakan pemerintah pada tahun 1970-an
atas tuntutan kalangan Abangan agar kepercayaan mereka diakui sebagai salah
satu agama (resmi) oleh pemerintah Indonesia merupakan serangkaian tindakan
yang cukup menggembirakan umat Islam.
Alasan yang banyak dikemukakan oleh para pengamat tentang orientasi baru
kebijaksanaan Pemerintah terhadap umat Islam ini adalah demi keseimbangan
kekuasaan. Namun demikian,
perkembangan baru ini tidak berarti melicinkan jalan politik Islam ke arah
partisipasi dalam kehidupan pembangunan politik nasional. Sebagai indikasi
kasar adalah bahwa keadaan demikian tidak juga mengubah posisi Masyumi sebagai
partai politik Islam yang tidak pernah dicairkan hak-haknya untuk bergerak.
Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, peta politik Islam tidak lagi mengenal
sistem banyak partai. Aspirasi politik umat Islam disalurkan melalui suatu
institusi politik yang merupakan gabungan partai politik Islam yang pernah ada,
yang dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara itu, di dalam tubuh PPP sendiri, apa
yang disebut sebagai fusi, sebenarnya, tidak pernah terjadi. Karenanya, wajar
jika agenda persoalan yang dihadapi partai Islam ini (PPP), atau lebih tepatnya
perjuangan partai, bukan lagi bagaimana menyalurkan aspirasi politik umat
Islam, tetapi bagaimana mengatasi konflik-konflik intern kepartaian antar
sesama unsur partai. Perkembangan demikian, hingga dewasa ini, dalam tubuh PPP,
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa aspirasi politik umat Islam tidak
sepenuhnya dapat disalurkan atau terwakili oleh PPP.
Kendatipun dibidang politik, perkembangan Islam kurang menggembirakan,
namun Islam tetap berkembang pada dua dimensinya yang lain, yaitu dimensi
ritual dan kemasyarakatan. Bahkan, pada masa pemerintahan Orde Baru ini pula,
Islam mengalami perkembangan fundamental dalam kehidupan keagamaan. Betapapun,
mendiang Presiden Soekarno adalah yang pertama kali memaldumkan gagasan agama
(Islam) sebagai sarana mutlak untuk membangun bangsa, namun pada kenyataannya,
pemerintah Orde Barulah yang mewujudkan gagasan-gagasan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Analisis teoritis demikian dapat menjelaskan munculnya fenomena baru
kebangkitan Islam sejak beberapa tahun terakhir ini. Kebangkitan itu ditandai
dengan semakin semaraknya kehidupan keagamaan Islam, kendatipun dilihat dari
sisi eksoteriknya saja; banyaknya bangunan Masjid, munculnya berbagai lembaga
pendidikan Islam seperti pesantren dan lain sebagainya, serta lembaga-lembaga
studi Islam lainnya. Demikian pula, kebangkitan pesantren di tengah masyarakat
kota itu ditandai dengan munculnya berbagai kelompok remaja Masjid, kelompok
studi Islam, baik yang berada di lingkungan Universitas maupun lembaga non
formal lainnya. Pesantren telah memainkan peran aksi keagamaan penting bagi
rakyat, namun tak mendapat tempat dalam Orde Baru. Kesemuanya itu merupakan
data fisik perkembangan Islam di Indonesia. Kenyataan ini pulalah yang menyebabkan,
Islam tetap bertahan sebagai agama utama yang dianut mayoritas penduduk
Indonesia.
Gagasan “pemikiran baru” Islam mendapatkan bentuknya
paling awal ketika Nurcholish Madjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah
makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah lntegrasi
umat”. Di dalam makalah itu yang
kemudian menimbulkan polemik dan kritikan tajam dan sayangnya para pengkritik
tidak menghiraukan orientasi empirisisme yang ada dalam “pemikiran baru” itu
karena dianggap kontroversial dan bahkan mengesankan pemikiran seorang
sekularis. Nurcholish mengawali konstatasinya dengan pernyataan bahwa “umat
Islam Indonesia telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan
daya gerak psikologis. Untuk menjaga keberlangsungan umat, umat Islam
dihadapkan pada dua pilihan antar keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap
tradisionalisme. Pilihan-pilihan tersebut mempunyai konsekuensi-konsekuensi
tertentu. Pilihan pada keharusan pembaruan tampaknya mempunyai potensi yang
dapat menimbulkan perpecahan umat, sementara pilihan mempertahankan
tradisionalisme dan konservatisme Islam, berarti memperpanjang situasi
kejumudan intelektual umat Islam.
Bagi Nurcholish, mempertahankan persatuan umat, dengan konsekuensi
menghindar melakukan penyegaran pemahaman keagamaan-Islam, bukanlah suatu
bentuk pendekatan praktis dalam mengikuti proses modernisasi. Kondisi politik
pemerintahan Orde Baru tampaknya mengharuskan adanya suatu perubahan, baik
dalam sikap maupun dalam pikiran msyarakat Islam Indonesia. Dengan demikian,
mempertahankan konsepsi persatuan umat, yang juga belum jelas sosoknya, justru
tidak akan menghasilkan sesuatu, sebab memang tidak melakukan perubahan apa-apa,
bahkan hanya akan menyebabkan kemandulan dan kejumudan berpikir umat Islam
sendiri. Hilangnya apa yang disebut Nurcholish sebagai daya gerak psikologis, yang menurut Mintareja
telah menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran sampai pada masa dua puluh
lima tahun yang silam, merupakan suatu persoalan yang sulit diselesaikan
melalui upaya-upaya yang berorientasi ke persatuan umat. Sebab, persoalannya
memang tidak terletak pada masalah persatuan atau bukan persatuan umat.
Sementara, pendekatan gerakan “pemikiran baru” yang bersifat liberalistis,
kendatipun tampaknya hal ini mempunyal potensi membahayakan persatuan umat,
merupakan suatu alternatif yang dianggap mampu mendobrak kejumudan dan stagnasi
berpikir umat Islam. Karenanya, bagi Nurcholish, perpecahan umat merupakan
resiko yang masih lebih baik untuk diterima. Kendatipun gerakan “pemikiran
baru” semacam ini nantinya akan menemui kegagalan, hal ini masih lebih baik dan
cukup bermanfaat, sebab bagaimanapun upaya melepaskan diri dari tirai Jumud dan
stagnasi berpikir telah dilakukan. Memulai menggerakkan usaha-usaha semacam
inilah tampaknya yang diperlukan masyarakat Muslimin Indonesia, apalagi
mengingat ketertinggalan umat Islam dalam merebut kesempatan-kesempatan
ekonomi dan pendidikan selama masa pembangunan Orde Barn ini. Gerakan pemikiran
baru ini sekaligus mentransformasikan gerakan Islam di Indonesia, ddan
aktivisme politik kepada idealisme pemikiran.
Melihat realitas kondisi umat Islam pra-tahun 1970-an, kita akan sampai
pada suatu kesimpulan bahwa gerakan “pemikiran baru” memang sudah waktunya
dirumuskan. Banyak indikasi untuk menyatakan bahwa kondisi umat Islam pada
waktu itu tidak menggembirakan. Berbagai organisasi seperti Muhammadiyah, AlIrsyad,
Persis (Persatuan Islam) dan lain sebagainya, yang dulunya merupakan organisasi
pembaru Islam Indonesia pada awal abad kedua puluh itu, ternyata kini telah
kehilangan ruh dinamika atau pembaruannya. Bahkan, dalam segi tertentu,
misalnya dilihat dan segi perjuangan politik, organisasi-organisasi pembaru ini
telah jauh mundur ke belakang— walaupun dibandingkan dengan manuver-manuver
yang diciptakan oleh organisasi yang dianggap tradisionalis seperti NU.
C. Politik Umat Islam di Era Reformasi
Ketika mantan Presiden Soeharto membaca “surat pengunduran” dirinya pada
tanggal 21 Mei 1998, maka berakhirlah sudah suatu era yang dinamakan Orde Baru,
kemudian diganti dengan Orde Reformasi.
Runtuhnya orde baru ini memberikan harapan angin segar
kepada umat Islam untuk bangkit kembali dalam percaturan politik nasional yang
pada masa Orde Baru termarjinalkan. Apabila melihat ke belakang, khususnya pada
awal-awal kemerdekaan bahwa kegagalan politik umat Islam pada saat itu,
terutama dalam hubungannya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara
memang merupakan suatu kenyataan pahit. Oleh karena itu, sehubungan dengan
bergulirnya era reformasi ini banyak ide dan gagasan dari umat Islam untuk
mengangkat kembali citra umat Islam, sehingga dapat memegang peran dalam
percaturan politik nasional.
Pada tahun 1999, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya
di era reformasi ini mengadakan pemilu yang diikuti oleh 48 partai politik yang
terdiri dari partai berhaluan Kristen, partai nasionalis, dan partai Islam.
Partai Islam sendiri terbagi dua, ada partai nasionalis Islamis yang plat
formnya berasas Pancasila, seperti PAN dan PKB dan ada pula partai Islam yang
plat formnya berasaskan Islam, seperti PPP, PBB, PK dan PNU. Dan pada pemilihan presiden, dengan adanya pembentukan
fraksi reformasi, maka dapat menggolkan seorang presiden dari kalangan “ulama”
yakni KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Ini suatu bukti bahwa apabila umat
Islam itu bersatu, sesungguhnya masih memiliki kekuatan yang solid. Namun, baru
satu tahun berjalan, dan tepatnya pada sidang MPR yang pertama, Gus Dur
dilengserkan, dan digantikan oleh Megawati sebagai presiden dari kalangan
partai Nasionalis PDI Perjuangan. .
Di masa pemerintahan Megawati, umat Islam terus memperjuangkan
hak-haknya, khususnya dari kalangan intelektual muslim untuk memunculkan
kembali gagasan penerapan syari’at Islam. Di era reformasi ini, UUD 45 yang
pada era Orde Baru dianggap suatu hal yang sakral, yang tidak boleh
diubah-ubah, namun hal itu tidak berlaku lagi di era reformasi ini, sehingga
pada sidang MPR, UUD 45 berhasil diamandemen pada beberapa pasal. Dari kalangan
umat Islam, muncul gagasan untuk mengamandemen UUD 45 pasal 29 tentang masalah
kehidupan beragama. Kalangan Islam mengusulkan agar Piagam Jakarta diberlakukan
kembali, untuk dijadikan landasan bagi umat Islam untuk memberlakukan syari’at
Islam di Indonesia. Namun, karena orang-orang Islam yang ada di Parlemen itu
terbagi dua: ada yang berpikiran bahwa syari’at Islam harus diundang-undangkan
dan ada juga yang menganggap tidak perlu, melainkan Islam harus tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan, maka lagi-lagi umat Islam mengalami
kekalahan politik seperti yang terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan.
Melihat kegagalan
politik umat Islam di tingkat nasional yang tidak berhasil mengangkat kembali
Piagam Jakarta, seiring dengan
digulirkannya program otonomi daerah, maka sebagai salah satu wujud perjuangan
politik umat Islam, bermunculanlah ide dan gagasan pada setiap kabupaten/kota
untuk mendeklarasikan berlakunya syari’at Islam di daerah masing-masing,
seperti di kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Garut dan lain-lainnya. Namun,
karena kurang dukungan dari umat Islam itu sendiri, maka ide dan gagasan
penegakan syari’at Islam di daerah itu kurang berkembang dengan baik, di tambah
lagi kurang adanya dukungan dari pemerintah pusat.
Berkaitan dengan
pemikiran politik umat Islam di era reformasi ini, salah satu sosok intelektual
Muslim, Nurcholis Madjid yang gencar dengan konsep-konsep pembaharuannya, di
era reformasi ini ia memunculkan kembali pandangannya, bahwa karena Islam
merupakan agama mayoritas di Indonesia, hhal itu semakin mendorong dirinya untuk merasa lebih terikat
pada Islam dan umatnya, bukan pada kelembagaan umat Islam, seperti partal
politik Islam atau wadah persatuan umat Islam. Hal demikian tercermin dalam
pemikiran barunya tentang “Islam, yes,
Partai Islam, No”. Pikiran Nurcholish pada tabun 1970-an ini dihidupkan kembali. Dengan gagasan ini jelas
terlihat komitmen Nurcholish kepada Islam, bukan kepada institusi ke-Islaman. Karena
penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam harus dipahami sebagai
penolakan bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap pemanfaatan atas
Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkah
laku pemanfaatan terhadap Islam secara demikian ini, menurut Nurcholish, justru
menjatuhkan nilai-mlai ajaran Islam sebenarnya. Buat apa partai-partai Islam
kalau pemilu-pemilu yang diadakan di negeri ini hanya semacam demoknasi
kosmetik. Dan kalau ada yang berani menandinginya, maka dengan rekayasa kaki
tangannya, ia bisa membabat mereka sampai habis. Untuk menuntaskan ini semua,
peradilan dan terutama pengadilan dijadikan bastion bahwa “L’etate c’est Moi’ (Negara adalah saya). Praktis para hakim tidak
berani berkutik dan mereka betul-betul menyuarakan ‘his master voice”. Sri Bintang Pamungkas betul-betul
dipangkas dan Mochtar Pakpahan yang sangat benci terhadap umat Islam, tanpa
rasa belas kasihan terhadap penyakit yang dideritanya, juga dijungkir balik
melalui ketentuan hukum yang tidak mungkin diberikan hak “Peninjauan Kembali”
kepada jaksa. Situasi benar-benar anarkis. Tapi, meski demikian, Islam
mencintai orang-orang yang membencinya. Memang dalam beberapa hal Soeharto
harus dipuji, bukan saja tentang keberhasilan di bidang ekonomi dengan dasamya
yang kropos, kendatipun rakyat terus menderita melalui kepanjangan tangan para
birokrat demi kepentingan dan kerakusan konglomerat yang memelaratkan rakyat.
Semua itu harus dibayar dengan harga yang kini begitu tinggi lagi mahal oleh
dirinya sendiri. Para pembantunya yang berbintang perlu pula diminta
pertanggungjawaban secara yuridis, terutama yang bertalian dengan perkosaan
HAM, tindakan penculikan dan peristiwa berdarah tanggal 27 Juli 1998 di Jakarta
dan tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti di Jakarta.
Bukan hanya Nurcholish
yang sesungguhnya membangun “pemikiran-pemikiran baru” untuk Indonesia masa
depan itu. Gagasan persatuan umat Islam yang tidak mesti diletakkan di atas
segala-segalanya tercermin dari pandangan Ahmad Wahib beserta teman-temannya
yang tergabung dalam kelompok diskusi Limited
Group, di bawah bimbingan Prof. Dr. Mukti Ali. Kelompok ini, sebagaimana
tercermin dalam catatan harian Ahmad Wahib yang telah dibukukan, berpendapat
bahwa komitmen seorang muslim, pertama-tama dan terutama, adalah pada
nilai-nilai Islam, pada kedaulatan rakyat, bukan pada organisasi atau tokoh
Islam. Bahkan dalam diri Ahmad Wahib mengkristal “pemikiran-pemikiran baru”
yang tak kalah dahsyatnya dan, jika diungkapkan secara keseluruhan, akan
menimbulkan kritikan-kritikan tajam pula. Tapi pikiran-pikiran itu kini harus
segera diaplikasi dalam Indonesia modern sekarang ini. Karena hal itu memang
terasa sangat kontroversial dan melawan arus pemikiran yang berkembang pada
waktu ini. Potret institusi politik Islam seperti sekarang ini jelas hanya
dapat berperan sebagai lembaga yang memberi keuntungan-keuntungan tertentu
kepada kelompok umat tertentu pula. Melihat kondisi demikian, tampaknya akan
sangat sulit mengharapkan partai-partai politik Islam untuk dapat menyalurkan
aspirasi umat Islam secara menyeluruh. Bahkan seandainya partai-partai Islam
dapat berperan sebagai wadah ide dan gagasan-gagasan ke-Islaman, tampaknya hal
ini bukan merupakan sesuatu yang menarik. Sebab, ide-ide yang hendak
diperjuangkan ini telah kehilangan dinamikanya.
D. Kesimpulan
Keberadaan umat Islam,
khususnya dalam kancah politik nasional, baik di masa Orde baru maupun di masa
Orde Reformasi belumlah menunjukkan tanda-tanda akan bangkitnya politik umat
Islam di Indonesia. Kalau di masa Orde baru umat Islam tidak mendapatkan
kesempatan untuk bergerak, karena tidak adanya kebebasan dalam berpolitik,
bahkan umat Islam tersisihkan dalam kancah politik nasional, maka pada masa
Orde Reformasi ini sesungguhnya tidak jauh berbeda.
Pada masa Orde Reformasi
yang telah memberikan kebebasan dalam berpolitik, umat Islam belum bisa
menunjukkan kekuatannya. Banyaknya partai Islam di era Orde Reformasi ini,
belumlah menunjukkan tanda-tanda bahwa umat Islam akan menang dan akan memegang
kendalai pemerintahan di Indonesia. Kegagalan umat Islam untuk mengangkat
kembali “Piagam Jakarta” pada sidang MPR tahun 2003 sebagai suatu bukti bahwa
Umat Islam belum memiliki kekuatan. Bahkan, justru banyak di antara politisi
Islam yang berubah orientasi dengan tidak lagi menjadikan syari’at Islam
sebagai isu sentral dalam politik nasional, melainkan bercita-cita menjadikan
Indonesia sebagai negara modern. Itu suatu bukti bahwa pemikiran politik umat
Islam sudah berubah orientasi dan pada saatnya nanti umat Islam akan mengalami
kehancuran. Namun begitu, masih banyak para politikus Islam yang tetap
bercita-cita mewujudkan syari’at Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Chaidar (1419
H.), Reformasi Prematur: Jawaban Islam
terhadap Reformasi Total, Jakarta: Darul
Falah.
Fachry Ali dan Bahtiar
Effendy (1986), Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde baru, Bandung: Mizan.
Iran Arnayadi,
Fragmentasi Kondisi Umat Islam Indonesia Pasca Orde baru, Paradigma Polistaat,
Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung,
Vol.4 Juni-Agustus 2003.
M.
Muchsin Jamil, dkk. (2007), Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan NU,
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar