Minggu, 06 Februari 2011

Peranan Orang Tua dlm Mendidik Anak Mnrt Islam


PERANAN ORANG TUA  
DALAM  PENANAMAN  PENDIDIKAN NILAI
BAGI ANAK  DALAM KELUARGA MENURUT  ISLAM
----------------------------------------------------------------------------  
Oleh: Fachrudin

Abstraksi:
Pendidikan dalam keluarga sangat penting artinya bagi anak-anak, karena pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama kali diterima oleh anak-anak dan waktunya juga lebih banyak dan lebih panjang dibandingkan dengan pendidikan di sekolah.
Pendidikan nilai yang harus ditanamkan kepada anak-anak dalam keluarga agar anak-anak kelak menjadi manusia yang berpribadi utuh harus bersifat menyeluruh, yang meliputi pendidikan jasmani dan kesehatan, pendidikan akal (intelektual), pendidikan psikologi dan emosi, pendidikan agama dan spiritual, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial.
Metode penanaman nilai-nilai pendidikan dalam keluarga menurut Islam, khususnya dalam transformasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak agar anak menjadi manusia yang berpribadi luhur pada dasarnya mengacu kepada dasar-dasar yang ada dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan realisasinya memiliki banyak variasi sesuai dengan situasai dan kondisi  serta aspek mana dari pendidikan tersebut. Dengan kata lain, bahwa masing-masing aspek pendidikan itu memiliki metode yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.

Kata-kata Kunci: Orang Tua, Keluarga,  Pendidikan nilai, Anak
A. Pendahuluan
            Orang tua memegang peranan yang sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Baik buruknya anak-anak di masa yang akan datang banyak ditentukan oleh pendidikan dan bimbingan orang tuanya. Karena, di dalam keluarga itulah anak-anak pertama kali memperoleh pendidikan  sebelum pendidikan-pendidikan yang lain. Sejak anak-anak lahir dari rahim ibunya, orang tua tua selalu memelihara anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang dan mendidiknya dengan secara baik dengan harapan anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang baik. Pendidikan yang diberikan di lingkungan keluarga berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah, karena pendidikan dalam keluarga bersifat informal yang tidak terikat oleh waktu dan program pendidikan secara khusus.
            Pendidikan dalam keluarga berjalan sepanjang masa, melalui proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga itu sendiri. Esensi pendidikannya tersirat dalam integritas keluarga, baik di dalam komunikasi antara sesama anggota keluarga, dalam tingkah laku keseharian orang tua dan anggota keluarga lainnya juga dalam hal-hal lainnya yang berjalan dalam keluarga semuanya merupakan sebuah proses pendidikan bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus selalu memberikan contoh tauladan yang baik kepada anak-anak mereka, karena apa pun kebiasaan orang tua di rumah akan selalu dilihat dan dicerna oleh anak-anak.
            Walaupun di dalam keluarga tidak ada kurikulum khusus tentang pendidikan anak-anak, tetapi orang tua  harus tetap dapat memberikan bimbingan kepada anak-anaknya dengan metode yang baik, baik yang berkaitan dengan pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anak maupun pendidikan agama, akhlak, psikologi, sosial dan pendidikan lainnya yang diperlukan oleh anak-anak dalam rangka menyongsong hari esok agar menjadi manusia yang berpribadi luhur. Dengan kata lain, bahwa orang tua memiliki peran penting  dalam pendidikan anak di lingkungan keluarga. Dan agar pendidikan dalam keluarga tersebut dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan suatu metode transformasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak dalam keluarga tersebut.        
Oleh karena itu, masalah utama yang aka dibahas dalam tulisan ini yaitu: “Bagaimana Peranan Keluarga dalam Penanaman Pendiikan Nilai  Bagi Anak Menurut Islam”.  Dari tulisan ini diharapkan dapat menghasilkan sesuatu konsep tentang cara-cara menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak dalam keluarga menurut Islam yang tentunya akan sangat bermanfaat, khususnya bagi orang tua yang mempunyai cita-cita agar anaknya kelak menjadi manusia yang baik dan berpribadi luhur.   

B. Makna Keluarga dan Peranannya
             Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya (M.Arifin (1991). Lingkungan keluarga merupakan tempat di mana anak-anak dibesarkan dan merupakan lingkungan yang pertama kali dijalanai oleh seorang anak di dalam mengarungi hidupnya, sehingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh anak-anak dalam keluarga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak.
Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebahagian besarnya bersifat hubungan langsung dan di situlah berkembang individu dan di situ pulalah terbentuknya tahap-tahap awal proses sosialisasi bagi anak-anak.  Dari interaksi dalam keluarga inilah anak-anak memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu pulalah mereka  memperoleh ketenteraman dan ketenangan.
            Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan tersebut. Oleh karena itu, kedua suami dan isteri itu merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi, keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain, keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus di mana yang satu merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika kedua suami isteri itu dikaruniai seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di samping dua unsur sebelumnya.
            Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap individu di mana ia berinteraksi. Dari interaksi dengan lingkungan pertama inilah individu memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar daripada kepribadiannya. Juga dari situlah ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan emosinya dan dengan itu ia merobah banyak kemungkinan-kemungkinan, kesanggupan-kesanggupan dan kesediannya menjadi kenyataan dalam hidup dan tingkah laku yang tampak. Jadi keluarga itu bagi seorang individu merupakan simbol atas nilai-nilai yang mulia, seperti keimanan yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban untuk kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain lagi nilai mulia yang dengannya keluarga dapat menolong individu untuk menanamkannya pada dirinya.
            Individu itu perlu pada keluarga bukan hanya pada tingkat awal hidupnya dan pada masa kanak-kanak, tetapi ia memerlukannya sepanjang hidupnya, sebab di dalam keluargalah, baik  anak-anak, remaja, orang dewasa, orang tua maupun  manula mendapatkan rasa kasih sayang, rasa tenteram dan ketenangan.
            Keberadaan keluarga bukan hanya penting bagi seorang individu, tetapi juga bagi masyarakat, sehingga masyarakat menganggap keluarga sebagai institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial yang utama melalui individu-individu yang telah dipersiapkan di dalamnya, baik berupa nilai-nilai, kebudayaan, kebiasaan maupun tradisi yang ada di dalamnya. Dari segi inilah, maka keluarga dapat menjadi ukuran dalam sebuah masyarakat, dalam arti apabila masing-masing keluarga itu berada dalam keluarga yang sehat, maka akan sehatlah suatu masyarakat. Dan sebaliknya, jika masing-masing keluarga itu tidak sehat, dampaknya terhadap masyarakat pun akan menjadi tidak sehat.
       
C. Peranan  Pendidikan Keluarga 
            Keluarga sebagai tempat di mana anak-anak dibesarkan memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak, karena pertama-pertama yang akan dilihat dan dirasakan oleh anak sebelum orang lain adalah keluarga. Peranan pendidikan keluarga tidak akan tergeser oleh banyaknya institusi-institusi dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada, seperti Taman Kanak-kanak, Sekolah-sekolah, Akademi-akademi dan lain-lainnya. Begitu juga dengan bertambahnya lembaga-lembaga kebudayaan, kesehatan, politik, agama tidak akan menggeser fungsi pendidikan keluarga.
            Walaupun begitu tingginya tingkat perkembangan dan perubahan yang berlaku disebahagian besar masyarakat modern, termasuk masyarakat muslim sendiri, tetapi keluarga tetap memelihara fungsi pendidikannya dan menganggap bahwa hal itu merupakan sebagian tugasnya, khususnya  dalam rangka menyiapkan sifat cinta mencintai dan keserasian di antara anggota-anggotanya. Begitu juga ia harus memberi pemeliharaan kesehatan, psikologikal, spiritual, akhlak, jasmani, intelektual, emosional, sosial di samping menolong mereka menumbuhkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kebiasaan yang diingini yang berguna dalam segala lapangan hidup mereka serta sanggup mengambil manfaat dari pelajaran lembaga-lembaga lain.
            Peranan pendidikan yang sepatutnya dipegang oleh keluarga bagi anggota-anggotanya secara umum adalah peranan yang paling pokok dibanding dengan peranan-peranan lain. Lembaga-lembaga lain dalam masyarakat, misalnya lembaga politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain tidak dapat memegang peranan itu. Walaupun lembaga-lembaga lain dapat menolong keluarga dalam tindakan pendidikan, akan tetapi ia tidak sanggup menggantikan, kecuali dalam keadaan-keadaan luar biasa, seperti ketika ibu bapak meninggal atau karena ibu bapak rusak akhlak dan menyeleweng dari kebenaran, atau mereka acuh tak acuh dan tidak tahu cara-cara yang betul dalam mendidik anak.  Orang tua semacam ini tidak akan sanggup mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik dan terhormat, karenanya akan menjadi mashlahat apabila anak-anak itu dididik di luar keluarga mereka, misalnya dalam institusi-institusi yang yang baik, teratur dan bertanggungjawab atas baik dan buruknya kepribadian.
            Apabila fungsi keluarga dalam kajian psikologikal modern menekankan pendidikannya kepada  pembinaan jiwa mereka dengan rasa cinta, kasih sayang dan ketenteraman, justeru para ahli ilmu jiwa Muslim jauh sebelum itu telah menekankan perkara ini dalam berbagai tulisannya. Ulama-ulama Muslim dahulu kala menekankan pentingnya peranan pendidikan keluarga itu pada tahun-tahun pertama usia anak-anak yang berdasar kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Di samping itu, nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah banyak yang menekankan pentingnya pendidikan dalam keluarga, di antaranya: Allah berfirman: “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Q.S.(66):6). Juga Rasulullah bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani atau Majusi (H.R.Tabrani dan Baihaqi). Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah menjelaskan: “Awasilah anak-anakmu dan perbaikilah adabnya” (H.R.Ibnu Majah).
            Dari bukti-bukti yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa mendidik anak dalam keluarga kewajiban paling utama. Kewajiban ini tidak dapat ditinggalkan kecuali karena udzur, dan juga tidak akan membebaskan ia dari tanggungjawab ini dengan adanya institusi-institusi pendidikan yang didirikan khusus untuk anak-anak dan generasi muda. Sebab, institusi itu tidak akan sanggup menggantikan keluarga dalam menanamkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anak-anak.
             
D. Peranan Orang Tua dalam  Penanaman Pendidikan Nilai
1.      Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Keluarga mempunyai peranan penting dalam menolong pertumbuhan anak-anaknya dari segi jasmani, baik aspek perkembangan atau aspek perfungsian juga dalam hal memperoleh pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan-keterampilan, kebiasaan-kebiasaan, dan sikap terhadap kesehatan yang harus dimiliki untuk mencapai kesehatan jasmani yang sesuai dengan usia menurut kematangan dan pengamatan mereka.
Peranan keluarga dalam menjaga kesehatan anak-anaknya dapat dilaksanakan sebelum bayi lahir, yaitu melalui pemeliharaan terhadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik dan sehat selama mengandung, sebab hal itu akan berpengaruh terhadap anak dalam kandungan. Sehingga apabila bayi lahir, maka tanggungjawab keluarga terhadap kesehatan anak dan ibunya akan semakin banyak.
Di dalam al-Qur’an dan al-Hadits banyak dikemukakan tentang bagaimana cara mendidik anak-anak dalam bidang pendidikan jasmani dan kesehatan, agar anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat kelak.  Di antaranya, Allah berfirman: “Makan dan minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan” (QS.(7):51). “Bersihkanlah pakaianmu” (QS (74):4). “Hendaklah ibu-ibu menyusukan anak-anaknya dua tahun penuh” (QS (2):233). Selain dalam al-Qur’an, dalam Hadits juga banyak dijelaskan, di antaranya: Berobatlah, sebab yang menciptakan penyakit juga menciptakan obat (H.R. Ahmad).   “Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah dan suruhlah mereka melompat ke atas kuda” (H.R.Muslim). Selain dalam al-Qur’an dan Al-Hadits, ada juga perkataan Sahabat Umar RA: “Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah dan suruhlah mereka melompat ke atas kuda.
Dari ayat al-Qur’an dan Hadits serta perkataan sahabat di atas, jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan tentang pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anaknya. Hanya saja, bagaimana metode penyampaiannya itu diserahkan kepada para ahli dalam bidangnya, yang dalam hal ialah para ahli pendidikan. Di antara metode  yang dapat menolong untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anak itu adalah:
a. Memberi peluang yang cukup untuk menikmati air susu ibu, jika kesehatan ibu memungkinkan, sebab pada air susu ibu, terkandung makanan jasmani, psikologikal dan spiritual yang tidak terdapat pada susu botol, walau bagaimanapun kandungan dan susunan bahan-bahannya.
b. Menjaga kesehatan dan kebersihan jasmani dan pakaiannya dan melindunginya dari serangan angin, panas, terjatuh, kebakaran, tenggelam, meminum bahan-bahan berbahaya, dan lain sebagainya.
c. Menyiapkan makanan yang cukup yang mengandung unsur-unsur makanan pokok dan kalori yang sesuai dengan tingkat umur anak-anak. 
d. Memberikan imunisasi, seperti imunisasi polio, difteria, campak, lumpuh anak-anak, TBC dan lain-lainnya berupa penyakit anak-anak yang telah ditemukan oleh para ahli kedokteran.
e. Selalu memeriksakan ke dokter terhadap berbagai alat tubuh dan memberi peluang untuk bergerak badan dan mengajarnya berbagai kegiatan dan permainan yang berfaedah dan dapat menolong pertumbuhan dan menguatkan otot-otot dan berbagai anggota tubuhnya, juga harus diberi peluang untuk istirahat yang diperlukan untuk kesehatan jasmaninya.
f. Diberi pengetahuan tentang konsep-konsep kesehatan yang baik sesuai dengan usianya dan menolong membentuk kebiasaan dan sikap kesehatan yang baik dan menjadi tauladan yang baik dalam menjalani konsep hidup sehat.
g. Memberi contoh yang baik dalam kebersihan, cara-cara duduk, makan, minum dan membimbing anak-anak ke arah pertumbuhan kesehatan jasmani yang normal.
h. Menyiapkan tempat tinggal yang sehat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan selalu meneliti penyakit yang diidapnya sejak awal pertumbuhannya dan berusaha mengobatinya.
   
2.      Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Akal (Intelektual)
Walaupun pendidikan akal telah dikelola oleh institusi-institusi yang khusus semenjak dulu, tetapi keluarga masih tetap memegang peranan penting dan tidak dapat dibebaskan dari tanggungjawab ini. Bahkan ia memegang tanggungjawab besar sebelum anak-anaknya memasuki sekolah. Di antara tugas-tugas keluarga dalam hal ini adalah untuk menolong anak-anaknya menemukan, membuka dan menumbuhkan kesediaan-kesediaan bakat-bakat, minat dan kemampuan akalnya dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan sikap intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut.
Islam sangat memperhatikan pendidikan akal bagi anak-anak dan ini terbukti dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan As-Sunnah yang menekankan keutamaan akal, ilmu dan perintah untuk merenung dan berpikir tentang kekuasaan Allah, di antaranya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan adanya pergantian siang dan malam itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal” (QS (3):190).
Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dalam mengaplikasikan pendidikan akal dalam keluarga, maka di antara metode yang dapat digunakan ialah:
a. Mempersiapkan peralatan di rumah  dengan segala macam perangsang intelektual dan budaya. Di anatara berbagai perangsang ini adalah permainan-permainan pengajaran, gambar-gambar, buku-buku dan majalah yang dapat menyebabkaan anak-anak gemar menelaah kandungan buku-buku dan majalah-majalah dan bersedia membaca sebelum ia belajar membaca dan menulis.
b. Membiasakan anak-anak secara umum berpikir logis dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dan memberi contoh yang baik  dalam berpikir logis tersebut.
c. Membiasakan mereka mengaitkan akibat-akibat dengan sebabnya dan pendahuluan dengan kesimpulannya. Begitu juga dengan membiasakan berfikir objektif, kejernihan dalam mengambil keputusan, terus terang dalam perkataan dan jangan membelok dalam pemikiran, dan lain-lain lagi cara yang dapat menolong keluarga dal;am mendidik anak-anaknya dari segi intelektual sebelum dan sesudah masuk sekolah.

3.      Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Psikologi
Di antara bidang-bidang yang mana keluarga dapat memainkan peranan penting adalah pendidikan psikologikal dan emosional. Melalui pendidikan itu, keluarga dapat menolong anak-anaknya dan anggota-anggotanya secara umum untuk menciptakan pertumbuhan emosi yang sehat menciptakan kematangan emosi yang sesuai dengan umurnya, menciptakan penyesuaian psikologikal yang sehat dengan dirinya sendiri dan dengan orang-orang lain di sekelilingnya. Begitu juga dengan menumbuhkan emosi kemanusiaan yang mulia, seperti cinta kepada orang lain, mengasihani orang lemah dan teraniaya, menyayangi dan mengasihani fakir miskin, kehidupan emosi yang rukun dengan orang-orang lain dan menghadapi masalah-masalah psikologikal secara positif dan dinamis.
Berkaitan dengan pendidikan psikologi dalam keluarga ini dalam Hadits banyak dikemukakan, di antaranya: Hadits yang diriwayatkan dari  Aisyah RA: “Telah datang orang Badwi kepada Nabi dan Nabi bersabda: “Adakah kamu suka mencium anak-anakmu?. Kami tidak pernah menciumnya. Nabi bersabda: Tidakkah Allah telah mencabut dari hatimu rasa kasih sayang (HR.Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata:  Bahwa Nabi SAW mencium Hasan bin Ali, sedang al-‘Aqra bin Habits al-Tamimi duduk di sampingnya. Kemudian Al-‘Aqra berkata: Aku mempunyai sepuluh orang anak, belum pernah aku seorang pun di antara mereka. Rasulullah memandang Semua cara-cara di atas telah dibuktikan oleh penmuan-penemuan para peneliti dalam bidang psikologi dan pendidikan dan diterima oleh logika yang waras. Juga dikuatkan oleh ajaran agama yang bertujuan untuk menanamkan rasa tenteram, harapan, dan kepercayaan diri dan menguatkan unsur kebenaran, kebaikan, keadilan dan persamaan bagi anak-anak. kepadanya, lalu bersabda: Barangsiapa tidak mengasihani dia, maka tidak akan dikasihani (HR.Bukhari dan Muslim).
            Untuk dapat mengaplikasikan pendidikan psikologi dalam keluarga agar memperoleh hasil sesuai dengan apa yang diharapkan, maka  langkah-langkah yang harus diambil oleh orang tua dalam mendidik dan memelihara anak-anaknya dari segi psikiologi adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui segala keperluan psikologi dan sosialnya serta mengetahui kepentingan tentang cara-cara memuaskannya untuk mencapai penyesuaian psikologi bagi anak-anak.
b.      Mengetahui gejala-gejala dan sifat-sifat merasa puas atau ketidak puasannya dalam tingkah laku anak-anak.
c.       Berusaha memberikan kesempatan bergerak dan cara-cara bergaul yang akan menolong ia memuaskan kebutuhan tersebut supaya mereka jangan merasa tidak tenteram dan juga merasa tidak mendapat perhatian dan penghargaan.
d.      Dalam memberikan hukuman jangan menggunakan cara-cara ancaman, kekejaman dan siksaan badan, dan juga jangan sampai menimbulkan perasaan diabaikan.
e.       Jangan melukai perasaan anak-anak dengan kritikan tajam, ejekan, cemoohan, menganggap enteng pendapat anak-anak, membandingkan mereka dengan anak-anak tetangga dan kaum kerabat dan lain-lainnya.
f.       Memberikan kepada mereka peluang untuk menyatakan diri, keinginan, pikiran, dan pendapat mereka dengan sopan dan hormat, di samping menolong mereka berehasil dalam pelajaran dan menunaikan tugas yang dipikulkan kepadanya.

4.      Penanaman Nilai-nilai Pendidikan  Spiritual
Pendidikan spiritual termasuk bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh dari orang tua kepada anak-anaknya. Pendidikan spiritual ini akan dapat membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam al-Qur’an dan As-Sunnah banyak dikemukakan tentang perlunya pendidikan spiritual dalam keluarga, di antaranya: Ketika lukman mendidik anaknya dan berkata: “Hai anakku, dirikanlah sholat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (QS (31):17). Dalam Hadits dijelaskan: “Perintahlah anak-anakmu sholat ketika mereka berumur tujuh tahun” (HR.Abu Dawud).
Agar pendidikan spiritual dalam keluarga mencapai hasil yang memuaskan, maka di antara metode praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk menanamkan semangat keagamaan pada diri anak-anak adalah sebagai berikut:
a. Memberi tauladan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu.
b. Membiasakan mereka melaksanakan syi’ar-syi’ar agama sejak kecil, sehingga pelaksanaan itu menjadi kebiasaan  yang mendarah daging  dan mereka melakukannya dengan kemauan sendiri serta merasa tenteram dengan melakukannya.
c.  Menyiapkan suasana  spiritual yang sesuai di rumah di mana mereka berada.
d.      Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas pembinaan spiritual.

5.      Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
Pendidikan agama erat kaitannya dengan pendidikan akhlak . Tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai akhlak, keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama. Dan seorang Muslim tidak sempurna agamanya sehingga akhlaknya menjadi baik. Para filosof pendidikan Islam hampir semuanya sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab, tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
Keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan akhlak untuk anak-anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi dengannya. Oleh karena itu, keluarga harus mengambil porsi yang banyak tentang pendidikan akhlak ini. Mengajar mereka akhlak yang mulia yang diajarkan Islam, seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, berani dan lain-lainnya. Orang tua juga harus mengajarkan nilai dan faedah berpegang teguh pada akhlak di dalam hidup, dan membiasakan mereka berpegang kepada akhlak sejak kecil.
Di antara dalil yang digunakan pendidik Islam tentang pentingnya pendidikan akhlak dan pentingnya peranan keluarga dalam hal itu adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, di mana Nabi pernah bersabda: “Tidak ada pemberian seorang Bapak kepada anaknya yang melebihi dari akhlak yang baik” . Juga dalam hadits riwayat At-Turmudzi dan At-Tabrani, bahwa Rasulullah bersabda: Jika seseorang mengajar anaknya, lebih baik baginya daripada ia bersedekah setiap hari setengah gantang kepada orang miskin”. Ada pula Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas, ia berkata: Wahai Rasulullah: Engkau telah mengajar kami tentang hak orang tua terhadap anaknya. Maka apa pula hak anak terhadap orang tuanya. Beliau bersabda: “Bahwa engkau memberinya nama yang baik dan memperbaiki adabnya”. Juga ada Hadits riwayat Ibnu Majah, bahwa Nabi bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”.
Sedangkan metode penanaman akhlak  kepada anak dalam keluarga menurut Hasan Langgulung (1989) dapat menggunakan cara-cara sebagai berikut:
a.       Memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak akan sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya.
b.      Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka dapat memperaktekkan akhlak yang diterima dari orang tuanya.
c.       Memberi tanggungjawab yang sesuai kepada anak-anaknya supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak tanduknya.
d.      Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana.
e.       Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat kerusakan.

6.      Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Sosial
Keluarga belum melengkapi tugasnya dengan sempurna dalam pendidikan anak-anak, sehingga ia menolong anak-anak memberikan pertumbuhan dari segi sosial. Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka mengokohkan akidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan, adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.
Di antara dalil-dalil agama yang menjadi dasar pentingnya pendidikan sosial dalam keluarga ialah: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu” (HR.Muslim). Dan banyak lagi ayat al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan pendidikan sosial bagi anak-anak dalam keluarga. Sedangkan di antara metode yang patut digunakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya dari segi sosial ini menurut Hasan Langgulung (1989) adalah sebagai berikut:
a.       Memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya dalam tingkah laku sosial yang sehat berdasar pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama.
b.      Menjadikan keluarga sebagai tempat yang tercipta di dalamnya hubungan-hubungan sosial yang baik.
c.       Membiasakan anak-anak secara berangsur-angsur berdikari dan memikul tanggungjawab dan membimbingnya jika mereka bersalah dengan lemah lembut.
d.      Menjauhkan mereka dari sifat manja dan berfoya-foya dan jangan menghina dan merendahkan mereka dengan kasar, sebab sifat memanjakan dan kekasaran itu dapat merusak kepribadian anak-anak.
e.       Menolong anak-anaknya menjalin persahabatan dengan kawan-kawannya yang baik-baik, sebab anak  akan ikut terbawa baik jika berkawan dengan orang baik.
f.       Menggalakkan mereka mendapatkan kerja yang dapat menolong mereka berdikari dari segi ekonomi.
g.      Membiasakan mereka hidup sederhana supaya lebih bersedia menghadapi kesulitan hidup sebelum terjadi.
h.      Membiasakan mereka dengan cara-cara Islam dalam makan, minum, duduk, tidur, memberi salam, masuk rumah dan lain-lain lagi yang berkaitan dengan kegiatan hidup.
i.        Membiasakan bersifat adil dalam memecahkan masalah yang terjadi di antara anak-anak   
 
E. Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang metode pendidikan keluarga menurut Islam di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.      Keluarga dalam Islam memegang peranan penting dalam membentuk pribadi anak, karena keluarga merupakan institusi pertama yang yang secara langsung berinteraksi dengan anak, sehingga apa pun yang terjadi dalam keluarga akan berdampak terhadap anak.
2.      Pendidikan dalam keluarga yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sampai dengan dewasa, yang berupa pendidikan jasmani dan kesehatan, pendidikan akal (intelektual), pendidikan psikologi, pendidikan agama, pendidikan akhlak dan pendidikan sosial  sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan pribadi anak, karena pendidikan tersebut berlangsung sepanjang masa oleh orang tua kepada anak-anaknya dan disertai dengan rasa kasih sayang, keikhlasan dan tanggungjawab yang penuh dari orang tua kepada anak-anaknya.
3.      Metode penanaman nilai-nilai pendidikan dalam keluarga menurut Islam pada dasarnya mengacu kepada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits. Namun, karena Al-Qur’an dan Hadits tidak memberikan rincian tentang metode tersebut, maka realisainya disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan tujuan yang diharapkan diperoleh pendidikan yang diberikannya, sehingga metode tersebut bersifat fleksibel.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemah (1984), Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Pepartemen Agama RI.  

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Taomy (1979), Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang.

Abu Ahmadi, dkk (1991),  Ilmu Pendidikan,  Jakarta: Rineka Cipta

Hasan Langgulung (1989), Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna

M.Arifin (1991), Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.



pemikiran politik umat islam

                              DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK UMAT ISLAM  INDONESIA
PADA MASA ORDE BARU DAN ORDE  REFORMASI
------------------------------------------------------------------------ 
     Oleh: Drs. Fachrudin, M.Ag.

Abstraksi
Politik umat Islam pada masa Orde baru, di kancah politik nasional tidak begitu nampak, karena partai-partai Islam tidak diperkenankan tumbuh pada masa itu. Bahkan partai Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno tidak diperkenankan muncul kembali walaupun diganti dengan Parmusi.   Para politikus Islam banyak yang ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, sehingga umat Islam banyak yang merasa ketakutan pada masa itu. Pada masa Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah.
Di era Orde reformasi umat Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, khususnya dalam masalah politik. Umat Islam dalam mengadakan gerakan tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan subversif seperti yang terjadi pada era orde baru, sehingga bermunculanlah partai-partai Islam dan gagasan-gagasan untuk menerapkan syari’at Islam di Indonesia. Semua itu, tiada lain merupakan salah satu wujud politik umat Islam di era Orde Reformasi.
                     
Kata-kata Kunci: Politik, Umat Islam, Orde Baru, Orde Reformasi
A. Pendahuluan
            Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim, namun umat islam, khasusnya  dalam kancah politik nasional, selalu mengalami kekalahan dan tidak pernah  memegang kendali pemerintahan. Sejarah membuktikan, bahwa sejak menjelang Indonesia merdeka, umat Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Yang menyakitkan lagi, “Piagam Jakarta” yang telah disepakati, dan di dalamnya ada tujuh kata kunci  bagi umat Islam untuk dapat menjalankan syari’at Islam  di Indonesia baru satu hari setelah kemerdekaan  diganti kembali.
            Perjuangan umat Islam tidak berhenti sampai di sana. Bagi para tokoh militan Islam yang tidak puas dengan Pancasila sebagai dasar negara dan digantinya Piagam Jakarta itu, mereka akhirnya mendeklarasikan sebuah Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori oleh Kartosuwirjo. Namun, gerakan ini akhirnya dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Indonesia.
Pada masa Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah, sehingga pemerintahan dikendalikan oleh orang-orang nasionalis, dan partai-partai Islam tidak diberikan kebebasan untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga Partai, yaitu wakil partai Islam, wakil partai nasionalis dan Golongan Karya yang berada di bawah kendali pemerintah Orde Baru.    
Sejak runtuhnya orde baru, umat Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, baik dalam segi politik pemerintahan, ekonomi dan lain-lainnya, khususnya setelah reformasi digulirkan oleh para tokoh-tokoh muslim. Dengan adanya reformasi tersebut, umat Islam telah mengalami suatu kebebasan dalam berpikir dan bergerak yang tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan subversif seperti yang terjadi pada era Orde Baru.  Untuk lebih jelasnya bagaimana  dinamika pemikiran politik umat Islam  Indonesia pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi akan dijelaskan pada tulisan ini.    
           
B. Politik Umat  Islam pada Masa Orde Baru
Seiring dengan runtuhnya Orde Lama, maka pada masa awal Orde Baru, partai-partai Islam banyak mengambil kesempatan dari jatuhnya PKI  yang melakukan “silent coup d’etat” yang gagal terhadap pemerintahan Orde Lama Soekarno. Naiknya ABRI sebagai pemenang atas PKI, tidak memberikan angin segar kepada umat Islam. ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi, maupun usaha para bekas anggota Masyumi untuk mendirikan Parmusi. Partai Politik Islam ditekan untuk berorientasi pada program dan meninggalkan orientasi ideologi. Orientasi ideologi ini, tidak hanya berfungsi membedakan kelompok dalam struktur politik, tapi juga sebagaimana terlihat dalam pengalaman masa Orde Lama dapat memecah-belah rakyat. Rakyat yang mulai dinamis dalam berpolitik, akhinya hanya mampu menghela napas panjang ketika kebijakan-kebijakan Orde Baru yang muncul satu per satu hanya menghasilkan pengekangan bagi “room for improvement” politik Islam yang makin menyempit. Akomodasi Islam masa Orde Baru lebih banyak pada hal-hal yang non-politik. Hal ini lantaran orientasi pragmatis pemerintahan Orde Baru yang lebih memperhatikan pembangunan ekonomi dan membatasi pembangunan politik
Pada masa Orde Baru, isu modernisasi telah menimbulkan persoalan di kalangan umat Islam, terutama, dalam kaitannya dengan pemahaman umat terhadap ajaran Islam ketika itu. Adalah Deliar Noer, salah seorang intelektual modernis Muslim yang pertama kali berbicara tentang persoalan tersebut. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Umat Islam dan Masalah Modernisasi” , ia berpendapat bahwa modernisasi sesungguhnya tidak akan menimbulkan suatu problema teologis. Sebab, menurutnya, inti modernisasi adalah sesuai dengan ajaran-ajaran sosial Islam. Suatu masyarakat modern bagi Deliar noer bukan saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan merupakan suatu yang harus diwujudkan oleh setiap Muslim
Sehubungan dengan adanya isu modernisasi ini, bermunculanlah berbagai respon dari kalangan intelektual Islam yang dimuat di berbagai media massa pada waktu itu, yang pada dasarnya respon mereka berawal dari pemikiran tentang hubungan antara modernisasi dan agama Islam serta implikasinya terhadap kehidupan politik umat Islam. Hamka salah seorang tokoh senior, dalam sebuah tulisannya, mencoba memberi respon dengan menitik-beratkan persoalan modernisasi dalam dimensi politiknya. Menurutnya, proses modenisasi dalam perkembangannya akan melibatkan persoalan bantuan luar negeri, baik yang bersifat finansial maupun teknikal. Jika hal demikian berlangsung dan memang demikianlah yang diha.rapkan negara-negara eks kolonial Barat, maka yang akan terjadi adalah neo-kolonialisme dalam bentuk baru di mana masyarakat dunia ketiga akan terus bergantung pada kekuasaan perekonomian negara maju. Indonesia, dengan rancangan modernisasi yang dilakukannya, bukan tidak mustahil terperangkap dalam desain kolonialisme baru semacam itu.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan eksistensi umat Islam, jika modernisasi mempunyai implikasi sebagaimana disebutkan di atas, maka modernisasi tidak lebih merupakan kamuflase sebuah rencana besar untuk mendegradasikan nilai­nilai Islam yang telah lama tertanam pada diri umat Islam. Bagi kelompok yang melakukan reaksi semacam ini, modernisasi yang benar adalah suatu transformasi dan situasi penjajahan ke situasi merdeka, dan suatu struktur budaya masyarakat feodalistik ke terciptanya suasana demokrasi, dan dari suatu masyarakat agraris menuju terciptanya masyarakat industri. Jika hal demikian menjadi tujuan modernisasi, maka kita berjalan menuju arah yang benar.
Sementara itu Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh dan pimpinan organisasi Mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebelum sampai pada pikiran-pikiran pembaruannya yang mengejutkan berbagai pihak pada awal tahun 1970-an, sehubungan dengan gagasan modernisasi ini, berpendapat bahwa modernisasi merupakan sesuatu yang identik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Di dalamnya terkandung suatu proses penghilangan pola-­pola ppikir ttidak rnasionalistik. Hal ini menurutnya, dimaksudkan untuk memperoleh kegunaan maksimal dan efisiensi sebuah pekerjaan. Proses demikian didapat berdasarkan penerapan-penerapan temuan-temuan ilmu pengetahuan mutakhir. Karena ilmu pengetahuan merupakan hasil sebuah pemahaman manusia atas hukum­-hukum oobyektif yang mengatur alam semesta  ini, maka penerapannya pun bersifat rasional dan karenanya dapat disebut modern.
“Bagi seorang muslim”, kata Nurcholish Madjid, “modernisasi merupakan suatu keharusan mutlak. Sebab, modernisasi dalam pengertian demikian itu, berarti bekerja dan berfikir menurut aturan hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berfikir secara ihmiah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal.” Pernyataan demikian tampaknya bukan tanpa dasar. Beberapa ayat di dalam Al Quran memberikan panduan kehidupan, sedangkan modernisasi, dalam pengertian sebagaimana di atas, sepenuhnya dapat dirujukkan dalam ayat-ayat Quran tersebut.
Dan pembicaraan singkat tentang respon ideologis kalangan intelektual Is­lain Indonesia terhadap isu modernisasi yang diketengahkan oleh pemerintahan Orde Baru, dapat kita peroleh gambaran umum tentang pola dasar pemikiran umat Islam. Secara umum dapat disimpulkan bahwa para intelektual Islam justeru lebih cenderung mempersoalkan terlebih dahulu apa itu modernisasi dan apa implikasinya bagi kehidupan keagamaan mereka. Karenanya, persoalan modemnisasi kemudian untuk kepentingan legalisme, dan boleh jadi juga untuk kepentingan justifikasi selalu dirujukkan ke prinsip-prinsip ajaran Islam. Alasan konvensional untuk melihat persoalan ini biasanya adalah untuk kepentingan legalistis: apakah gagasan modeniisasi dapat diterima atau tidak. Sepanjang gagasan modernisasi ini tidak berarti westernisasi, maka hal itu tidak menjadi persoalan bagi umat Islam. Justru modernisasi dalam pengertian rasionalisasi atau suatu proses untuk maju itulah yang ingin dilakukan umat Islam. Sebab, dalam proses modernisasi semacam itu terdapat hubungan erat dengan konsepsi ijtihad. Karenanya, hal demikian ini tidak saja menjadi kebutuhan masyarakat Islam, tetapi sekaligus merupakan kewajiban keagamaan yang harus dilaksanakan. Sayangnya, tanggapan kemudian terhadap persoalan demikian itu, sebagian umat Islam hanya berhenti sampai pada statement of intent. Hal ini terlihat dalam kenyataan bahwa umat Islam masih berada pada posisi marjinal dalam arus proses modernisasi dan pembangunan. Akibatnya, sebagian besar pemegang kebijaksanaan kunci modernisasi berasal dari kalangan non-Islam atau kalangan Islam dalam pengertian non-santri.
Pola kecenderungan umat Islam semacam mi mengandung bahaya. Selain mengesankan sikap sangat hati-hati, juga mencerminkan kondisi kondisi nyata belum siapnya umat Islam dengan rumusan-rumusan bagaimana memajukan umat ini. Hal itu juga berarti bahwa umat Islam belum mempunyai identifikasi persoalan terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat Islam pada awal kepemimpinan Orde baru. Dalam banyak hal, kasus demikian merupakan kelemahan umat Islam Indonesia yang telah kehilangan semangat, mereka kurang terlatih  untuk melihat persoalan-­persoalan umat secara canggih dan kemudian berfikir ke arah perumusan pikiran-­pikiran alternatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Dalam kondisi demikian, yang muncul justru sikap reaktif terhadap suatu gagasan seperti modernisasi yang tengah dibicarakan ini, dan bukan bagaimana memanfaatkan isu tersebut, yang telah menjadi konsensus nasional, untuk kepentingan umat Islam.
Dalam posisi bertahan sedemikian, umat Islam pada awal pemerintahan Orde Baru semakin tersisih dan kurang mampu berbuat banyak. Proses marjinalisasi umat Islam berjalan deras, bahkan kemudian umat Islam dituduh sebagai tidak siap untuk terlibat dalam proses modernisasi. Karena, umat Islam dianggap tidak mempunyai tradisi intelektual sebagaimana dimiliki kalangan Kristen dan nasionalis sekular (kalangan priyayi), sedang mayoritas mereka merupakan produk didikan Barat. Bahkan, umat Islam, karena menempati posisi marjinal dalam proses pembangunan nasional (modernisasi), acapkali dianggap sebagai “anti pembangunan” dan “anti modernisasi” dan lain sebagainya.
Selain persoalan-persoalan modernisasi yang disorot kalangan Islam, umat Islam juga melihat hubungan antara pemerintah Orde Baru dan Islam politik. Semula, kehadiran Orde Baru dianggap membawa angin segar bagi kemungkinan naiknya kekuatan Islam di panggung politik nasional. Harapan itu semakin memudar ketika maujud realitas bahwa Masyumi tetap tidak mendapatkan hak hidupnya. Sementara itu, pemerintah Orde Baru enggan melihat persaingan tak sehat antar berbagai partai politik yang ada. Untuk itu, pemerintah membekukan segala kegiatan politik.
Sementara itu, restrukturisasi politik dimaksudkan sebagai dasar untuk meneguhkan pendapat bahwa ketidakstabilan politik masa lalu disebabkan adanya sistem banyak partai. Dalam pandangan para pemimpin Islam, sistem politik Indo­nesia yang berorientasi ke program dan didominasi kalangan militer, merupakan strategi untuk marjinalisasi keterlibatan pemimpin Islam dalam panggung politik nasional. Tumbuhnya pengaruh kuat kalangan Sosial dan Kristen pada pemerintah Orde Baru merupakan strategi yang telah dirancang, terutama setelah kemenangan Golkar pada tahun 1971, yang disebabkan oleh adanya kekhawatiran kemungkinan munculnya Islam sebagai kekuatan politik. Untuk itu, semenjak dini Islam sebagai kekuatan politik memang sudah harus didomestikasikan. Faksionisme muslim­nonmuslim segera terbentuk ketika banyak kalangan Kristen muncul dalam susunan Kabinet Pembangunan I, dan terlebih lagi, setelahi umat Islam merasa sering kali dipojokkan dengan tuduhan “anti pembangunan dan anti Pancasila”. Tuduhan itu muncul, selain dikarenakan sikap umat Islam terhadap gagasan modernisasi, sebagaimana terlihat di atas, berawal dari kesulitan pemerintahan Orde Baru dalam meyakinkan umat Islam agar mau menerima “tafsiran formal” tentang Pancasila.
Hubungan antara pemimpin politik Islam dan pemerintahan Orde Baru menjadi semakin buruk ketika muncul isu kristenisasi dalam panggung politik nasional. Namun, setelah sepuluh tahun usia Orde Baru, orientasi pemerintah terhadap umat Islam mulai menunjukkan perubahan. Kali ini terdapat angin segar yang dihembuskan pemerintah untuk mendekati umat Islam. Dengan alasan untuk meningkatkan stabilitas nasional, keamanan dan keharmonisan kehidupan umat beragama, pemerintah pada tahun 1967 mulai menutup lembaga missi dan zendmg Dua tahun kemudian, Departemen Agama mengeluarkan peraturan yang mengatur bantuan­-bantuan aasing untuk lembaga-lembaga keagamaan. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan larangan kegiatan mempengaruhi kelompok masyarakat yang sudah memeluk sesuatu agama tertentu untuk diajak masuk ke dalam agama lain. Begitu pula, kesediaan pemerintah untuk menarik kembali rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) pada tahun 1973 yang sulit untuk dapat diterima kalangan Is­lam, kkarena dinilai bertentangan dengan hukum Islam; serta penolakan pemerintah pada tahun 1970-an atas tuntutan kalangan Abangan agar kepercayaan mereka diakui sebagai salah satu agama (resmi) oleh pemerintah Indonesia merupakan serangkaian tindakan yang cukup menggembirakan umat Islam.
Alasan yang banyak dikemukakan oleh para pengamat tentang orientasi baru kebijaksanaan Pemerintah terhadap umat Islam ini adalah demi keseimbangan kekuasaan. Namun demikian, perkembangan baru ini tidak berarti melicinkan jalan politik Islam ke arah partisipasi dalam kehidupan pembangunan politik nasional. Sebagai indikasi kasar adalah bahwa keadaan demikian tidak juga mengubah posisi Masyumi sebagai partai politik Islam yang tidak pernah dicairkan hak-haknya untuk bergerak. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, peta politik Islam tidak lagi mengenal sistem banyak partai. Aspirasi politik umat Islam disalurkan melalui suatu institusi politik yang merupakan gabungan partai politik Islam yang pernah ada, yang dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
 Sementara itu, di dalam tubuh PPP sendiri, apa yang disebut sebagai fusi, sebenarnya, tidak pernah terjadi. Karenanya, wajar jika agenda persoalan yang dihadapi partai Islam ini (PPP), atau lebih tepatnya perjuangan partai, bukan lagi bagaimana menyalurkan aspirasi politik umat Islam, tetapi bagaimana mengatasi konflik-konflik intern kepartaian antar sesama unsur partai. Perkembangan demikian, hingga dewasa ini, dalam tubuh PPP, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa aspirasi politik umat Islam tidak sepenuhnya dapat disalurkan atau terwakili oleh PPP.
Kendatipun dibidang politik, perkembangan Islam kurang menggembirakan, namun Islam tetap berkembang pada dua dimensinya yang lain, yaitu dimensi ritual dan kemasyarakatan. Bahkan, pada masa pemerintahan Orde Baru ini pula, Islam mengalami perkembangan fundamental dalam kehidupan keagamaan. Betapapun, mendiang Presiden Soekarno adalah yang pertama kali memaldumkan gagasan agama (Islam) sebagai sarana mutlak untuk membangun bangsa, namun pada kenyataannya, pemerintah Orde Barulah yang mewujudkan gagasan-gagasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Analisis teoritis demikian dapat menjelaskan munculnya fenomena baru kebangkitan Islam sejak beberapa tahun terakhir ini. Kebangkitan itu ditandai dengan semakin semaraknya kehidupan keagamaan Islam, kendatipun dilihat dari sisi eksoteriknya saja; banyaknya bangunan Masjid, munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan lain sebagainya, serta lembaga-lembaga studi Islam lainnya. Demikian pula, kebangkitan pesantren di tengah masyarakat kota itu ditandai dengan munculnya berbagai kelompok remaja Masjid, kelompok studi Is­lam, baik yang berada di lingkungan Universitas maupun lembaga non formal lainnya. Pesantren telah memainkan peran aksi keagamaan penting bagi rakyat, namun tak mendapat tempat dalam Orde Baru. Kesemuanya itu merupakan data fisik perkembangan Islam di Indonesia. Kenyataan ini pulalah yang menyebabkan, Islam tetap bertahan sebagai agama utama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
            Gagasan “pemikiran baru” Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika Nurcholish Madjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah lntegrasi umat”. Di dalam makalah itu yang kemudian menimbulkan polemik dan kritikan tajam dan sayangnya para pengkritik tidak menghiraukan orientasi empirisisme yang ada dalam “pemikiran baru” itu karena dianggap kontroversial dan bahkan mengesankan pemikiran seorang sekularis. Nurcholish mengawali konstatasinya dengan pernyataan bahwa “umat Islam Indonesia telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan daya gerak psikologis. Untuk menjaga keberlangsungan umat, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antar keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap tradisionalisme. Pilihan-pilihan tersebut mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu. Pilihan pada keharusan pembaruan tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat, sementara pilihan mempertahankan tradisionalisme dan konservatisme Islam, berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual umat Islam.
Bagi Nurcholish, mempertahankan persatuan umat, dengan konsekuensi menghindar melakukan penyegaran pemahaman keagamaan-Islam, bukanlah suatu bentuk pendekatan praktis dalam mengikuti proses modernisasi. Kondisi politik pemerintahan Orde Baru tampaknya mengharuskan adanya suatu perubahan, baik dalam sikap maupun dalam pikiran msyarakat Islam Indonesia. Dengan demikian, mempertahankan konsepsi persatuan umat, yang juga belum jelas sosoknya, justru tidak akan menghasilkan sesuatu, sebab memang tidak melakukan perubahan apa­-apa, bahkan hanya akan menyebabkan kemandulan dan kejumudan berpikir umat Islam sendiri. Hilangnya apa yang disebut Nurcholish sebagai  daya gerak psikologis, yang menurut Mintareja telah menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran sampai pada masa dua puluh lima tahun yang silam, merupakan suatu persoalan yang sulit diselesaikan melalui upaya-upaya yang berorientasi ke persatuan umat. Sebab, persoalannya memang tidak terletak pada masalah persatuan atau bukan persatuan umat. Sementara, pendekatan gerakan “pemikiran baru” yang bersifat liberalistis, kendatipun tampaknya hal ini mempunyal potensi membahayakan persatuan umat, merupakan suatu alternatif yang dianggap mampu mendobrak kejumudan dan stagnasi berpikir umat Islam. Karenanya, bagi Nurcholish, perpecahan umat merupakan resiko yang masih lebih baik untuk diterima. Kendatipun gerakan “pemikiran baru” semacam ini nantinya akan menemui kegagalan, hal ini masih lebih baik dan cukup bermanfaat, sebab bagaimanapun upaya melepaskan diri dari tirai Jumud dan stagnasi berpikir telah dilakukan. Memulai menggerakkan usaha-­usaha semacam inilah tampaknya yang diperlukan masyarakat Muslimin Indone­sia, apalagi mengingat ketertinggalan umat Islam dalam merebut kesempatan­-kesempatan ekonomi dan pendidikan selama masa pembangunan Orde Barn ini. Gerakan pemikiran baru ini sekaligus mentransformasikan gerakan Islam di Indone­sia, ddan aktivisme politik kepada idealisme pemikiran.
Melihat realitas kondisi umat Islam pra-tahun 1970-an, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa gerakan “pemikiran baru” memang sudah waktunya dirumuskan. Banyak indikasi untuk menyatakan bahwa kondisi umat Islam pada waktu itu tidak menggembirakan. Berbagai organisasi seperti Muhammadiyah, Al­Irsyad, Persis (Persatuan Islam) dan lain sebagainya, yang dulunya merupakan organisasi pembaru Islam Indonesia pada awal abad kedua puluh itu, ternyata kini telah kehilangan ruh dinamika atau pembaruannya. Bahkan, dalam segi tertentu, misalnya dilihat dan segi perjuangan politik, organisasi-organisasi pembaru ini telah jauh mundur ke belakang— walaupun dibandingkan dengan manuver-manuver yang diciptakan oleh organisasi yang dianggap tradisionalis seperti NU.

C.  Politik Umat Islam di Era Reformasi
Ketika mantan Presiden Soeharto membaca “surat pengunduran” dirinya pada tanggal 21 Mei 1998, maka berakhirlah sudah suatu era yang dinamakan Orde Baru, kemudian diganti dengan Orde Reformasi. 
            Runtuhnya orde baru ini memberikan harapan angin segar kepada umat Islam untuk bangkit kembali dalam percaturan politik nasional yang pada masa Orde Baru termarjinalkan. Apabila melihat ke belakang, khususnya pada awal-awal kemerdekaan bahwa kegagalan politik umat Islam pada saat itu, terutama dalam hubungannya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara memang merupakan suatu kenyataan pahit. Oleh karena itu, sehubungan dengan bergulirnya era reformasi ini banyak ide dan gagasan dari umat Islam untuk mengangkat kembali citra umat Islam, sehingga dapat memegang peran dalam percaturan politik nasional.
            Pada tahun 1999, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya di era reformasi ini mengadakan pemilu yang diikuti oleh 48 partai politik yang terdiri dari partai berhaluan Kristen, partai nasionalis, dan partai Islam. Partai Islam sendiri terbagi dua, ada partai nasionalis Islamis yang plat formnya berasas Pancasila, seperti PAN dan PKB dan ada pula partai Islam yang plat formnya berasaskan Islam, seperti PPP, PBB, PK dan PNU.   Dan pada pemilihan presiden, dengan adanya pembentukan fraksi reformasi, maka dapat menggolkan seorang presiden dari kalangan “ulama” yakni KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Ini suatu bukti bahwa apabila umat Islam itu bersatu, sesungguhnya masih memiliki kekuatan yang solid. Namun, baru satu tahun berjalan, dan tepatnya pada sidang MPR yang pertama, Gus Dur dilengserkan, dan digantikan oleh Megawati sebagai presiden dari kalangan partai Nasionalis PDI Perjuangan. . 
Di masa pemerintahan Megawati, umat Islam terus memperjuangkan hak-haknya, khususnya dari kalangan intelektual muslim untuk memunculkan kembali gagasan penerapan syari’at Islam. Di era reformasi ini, UUD 45 yang pada era Orde Baru dianggap suatu hal yang sakral, yang tidak boleh diubah-ubah, namun hal itu tidak berlaku lagi di era reformasi ini, sehingga pada sidang MPR, UUD 45 berhasil diamandemen pada beberapa pasal. Dari kalangan umat Islam, muncul gagasan untuk mengamandemen UUD 45 pasal 29 tentang masalah kehidupan beragama. Kalangan Islam mengusulkan agar Piagam Jakarta diberlakukan kembali, untuk dijadikan landasan bagi umat Islam untuk memberlakukan syari’at Islam di Indonesia. Namun, karena orang-orang Islam yang ada di Parlemen itu terbagi dua: ada yang berpikiran bahwa syari’at Islam harus diundang-undangkan dan ada juga yang menganggap tidak perlu, melainkan Islam harus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan, maka lagi-lagi umat Islam mengalami kekalahan politik seperti yang terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan.
            Melihat kegagalan politik umat Islam di tingkat nasional yang tidak berhasil mengangkat kembali Piagam Jakarta,  seiring dengan digulirkannya program otonomi daerah, maka sebagai salah satu wujud perjuangan politik umat Islam, bermunculanlah ide dan gagasan pada setiap kabupaten/kota untuk mendeklarasikan berlakunya syari’at Islam di daerah masing-masing, seperti di kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Garut dan lain-lainnya. Namun, karena kurang dukungan dari umat Islam itu sendiri, maka ide dan gagasan penegakan syari’at Islam di daerah itu kurang berkembang dengan baik, di tambah lagi kurang adanya dukungan dari pemerintah pusat.
            Berkaitan dengan pemikiran politik umat Islam di era reformasi ini, salah satu sosok intelektual Muslim, Nurcholis Madjid yang gencar dengan konsep-konsep pembaharuannya, di era reformasi ini ia memunculkan kembali pandangannya, bahwa karena Islam merupakan agama mayoritas di Indo­nesia, hhal itu semakin  mendorong dirinya untuk merasa lebih terikat pada Islam dan umatnya, bukan pada kelembagaan umat Islam, seperti partal politik Islam atau wadah persatuan umat Islam. Hal demikian tercermin dalam pemikiran barunya tentang “Islam, yes, Partai Islam, No”. Pikiran Nurcholish pada tabun 1970-an ini   dihidupkan kembali. Dengan gagasan ini jelas terlihat komitmen Nurcholish kepada Islam, bukan kepada institusi ke-Islaman. Karena penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam harus dipahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkah laku pemanfaatan terhadap Islam secara demikian ini, menurut Nurcholish, justru menjatuhkan nilai-mlai ajaran Islam sebenarnya. Buat apa partai-partai Islam kalau pemilu-pemilu yang diadakan di negeri ini hanya semacam demoknasi kosmetik. Dan kalau ada yang berani menandinginya, maka dengan rekayasa kaki tangannya, ia bisa membabat mereka sampai habis. Untuk menuntaskan ini semua, peradilan dan terutama pengadilan dijadikan bastion bahwa “L’etate c’est Moi’ (Negara adalah saya). Praktis para hakim tidak berani berkutik dan mereka betul-betul menyuarakan ‘his master voice”. Sri Bintang Pamungkas betul-betul dipangkas dan Mochtar Pakpahan yang sangat benci terhadap umat Islam, tanpa rasa belas kasihan terhadap penyakit yang dideritanya, juga dijungkir balik melalui ketentuan hukum yang tidak mungkin diberikan hak “Peninjauan Kembali” kepada jaksa. Situasi benar-benar anarkis. Tapi, meski demikian, Islam mencintai orang-orang yang membencinya. Memang dalam beberapa hal Soeharto harus dipuji, bukan saja tentang keberhasilan di bidang ekonomi dengan dasamya yang kropos, kendatipun rakyat terus menderita melalui kepanjangan tangan para birokrat demi kepentingan dan kerakusan konglomerat yang memelaratkan rakyat. Semua itu harus dibayar dengan harga yang kini begitu tinggi lagi mahal oleh dirinya sendiri. Para pembantunya yang berbintang perlu pula diminta pertanggungjawaban secara yuridis, terutama yang bertalian dengan perkosaan HAM, tindakan penculikan dan peristiwa berdarah tanggal 27 Juli 1998 di Jakarta dan tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti di Jakarta.
            Bukan hanya Nurcholish yang sesungguhnya membangun “pemikiran-pemikiran baru” untuk Indonesia masa depan itu. Gagasan persatuan umat Islam yang tidak mesti diletakkan di atas segala-segalanya tercermin dari pandangan Ahmad Wahib beserta teman-temannya yang tergabung dalam kelompok diskusi Limited Group, di bawah bimbingan Prof. Dr. Mukti Ali. Kelompok ini, sebagaimana tercermin dalam catatan harian Ahmad Wahib yang telah dibukukan, berpendapat bahwa komitmen seorang muslim, pertama-tama dan terutama, adalah pada nilai-nilai Islam, pada kedaulatan rakyat, bukan pada organisasi atau tokoh Islam. Bahkan dalam diri Ahmad Wahib mengkristal “pemikiran-pemikiran baru” yang tak kalah dahsyatnya dan, jika diungkapkan secara keseluruhan, akan menimbulkan kritikan-kritikan tajam pula. Tapi pikiran-pikiran itu kini harus segera diaplikasi dalam Indonesia modern sekarang ini. Karena hal itu memang terasa sangat kontroversial dan melawan arus pemikiran yang berkembang pada waktu ini. Potret institusi politik Islam seperti sekarang ini jelas hanya dapat berperan sebagai lembaga yang memberi keuntungan-keuntungan tertentu kepada kelompok umat tertentu pula. Melihat kondisi demikian, tampaknya akan sangat sulit mengharapkan partai-partai politik Islam untuk dapat menyalurkan aspirasi umat Islam secara menyeluruh. Bahkan seandainya partai-partai Islam dapat berperan sebagai wadah ide dan gagasan-gagasan ke-Islaman, tampaknya hal ini bukan merupakan sesuatu yang menarik. Sebab, ide-ide yang hendak diperjuangkan ini telah kehilangan dinamikanya.
   
D. Kesimpulan
            Keberadaan umat Islam, khususnya dalam kancah politik nasional, baik di masa Orde baru maupun di masa Orde Reformasi belumlah menunjukkan tanda-tanda akan bangkitnya politik umat Islam di Indonesia. Kalau di masa Orde baru umat Islam tidak mendapatkan kesempatan untuk bergerak, karena tidak adanya kebebasan dalam berpolitik, bahkan umat Islam tersisihkan dalam kancah politik nasional, maka pada masa Orde Reformasi ini sesungguhnya tidak jauh berbeda.
            Pada masa Orde Reformasi yang telah memberikan kebebasan dalam berpolitik, umat Islam belum bisa menunjukkan kekuatannya. Banyaknya partai Islam di era Orde Reformasi ini, belumlah menunjukkan tanda-tanda bahwa umat Islam akan menang dan akan memegang kendalai pemerintahan di Indonesia. Kegagalan umat Islam untuk mengangkat kembali “Piagam Jakarta” pada sidang MPR tahun 2003 sebagai suatu bukti bahwa Umat Islam belum memiliki kekuatan. Bahkan, justru banyak di antara politisi Islam yang berubah orientasi dengan tidak lagi menjadikan syari’at Islam sebagai isu sentral dalam politik nasional, melainkan bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara modern. Itu suatu bukti bahwa pemikiran politik umat Islam sudah berubah orientasi dan pada saatnya nanti umat Islam akan mengalami kehancuran. Namun begitu, masih banyak para politikus Islam yang tetap bercita-cita mewujudkan syari’at Islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
                       
            Al-Chaidar (1419 H.),  Reformasi Prematur: Jawaban Islam terhadap Reformasi Total,  Jakarta: Darul Falah.

            Fachry Ali dan Bahtiar Effendy (1986), Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde baru, Bandung: Mizan.
   
Iran Arnayadi, Fragmentasi Kondisi Umat Islam Indonesia Pasca Orde baru, Paradigma Polistaat, Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung, Vol.4 Juni-Agustus 2003.
                                               
            M. Muchsin Jamil, dkk. (2007), Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan NU,  Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.