MA’RIFATULLAH
DALAM
PERSPEKTIF TASAWUF
--------------------------------------------------------------------------
Oleh:
Fahrudin
Abstrak
A.
Pendahuluan
Berbicara
tentang ma’rifatullah para ahli agama berbeda-beda pendap dan pandangannya.
Ma’rifatullah dalam pandangan para sufi
berbeda dengan ma’rifatullah dalam pandangan para ahli syari’at. Menurut
pandangan para ahli syari’at, ma’rifatullah itu hanya sebatas mengenal asma dan
af’al Allah, sehingga tumbuhlah keyakinan akan keberadaan Allah Yang maha Esa,
Maha Pencipta, Maha Agung, Maha Kaya, dan seterusnya seperti yang tertera dalam
asmaul husna. Para ahli tasawuf, memaknai ma’rifatullah tidak sebatas itu,
melainkan juga ada yang disebut dengan ma’rifat hakiki, yakni bukan hanya
mengenal asma dan af’al-Nya, melainkan juga mengenal Dzat-Nya atau Jati
Diri-Nya. Untuk dapat mengenal Jati Diri Ilahi itu memang tidak bisa hanya
menggunakan akal pikiran, karena tidak
bisa menjangkaunya, melainkan harus bertanya kepada ahlinya (ahli dzikir).
Dengan bertanya kepada ahlinya, maka kita akan sampai mengenal Allah secara
hakiki. Dalam pandangan tasawuf, Allah
itu disebut ismu Dzat, yakni nama dari Dzat Yang Al-Ghaib. yang harus dikenali
bukan hanya nama-Nya, melainkan juga Dzat-Nya, dan yang kita sembah itu juga
bukan nama-Nya, melainkan dzat-Nya. Untuk itu, maka mengenal Dat-Nya merupakan
suatu keharusan. Untuk dapat mengenal Allah secara hakiki, selain harus
bertanya kepada ahlinya (ahli dzikir), juga bisa dengan cara mengenali jati
diti sendiri (fitrah jati diri). Fitrah jati diri manusia itu berasal dari
fitrah Allah itu sendiri, sehingga dengan mengenal fitrah jatinya, maka akan
mengenal Tuhannya. Untuk itu, dalam jurnal ini akan dikupas apa yang dimaksud
ma’rifatullah menurut pandangan para fufi dan bagaimana cara untuk bisa sampai
ke arah sana.
B.
Makna dan Cara Ma’rifatullah
Apa yang dimaksud ma’ritatullah itu? Menurut
Dahlan (Isma’il, 2008: 794), secara harfiah “ma'rifat” berarti pengetahuan, sedangkan dalam kajian tasawuf, ma'rifat maksudnya pengetahuan tentang Allah”. Ma’rifatullah,
menurut Hawwa (2008: 1) merupakan dasar yang paling utama dalam Islam, karena
tanpa ma’rifatullah setiap amal tidak ada nilainya”. Menurut Sabiq
(1990: 30), “ma’rifatullah merupakan seluhur-luhurnya ma’rifat,
sebab ma’rifatullah itu merupakan azas
atau fundamen yang di atasnya didirikan segala kehidupan kerohanian”. Kalau kita perhatikan dalam sejarah, ma'rifatullah
mulai banyak diperbincangkan dalam kalangan para zahid dan sufi pada
abad ke tiga Hijriyah”. Ma'rifah itu memiliki tingkatan-tingkatan, dan
tingkatan tertinggi yaitu ma'rifah yang dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma'rifah
haqiqi. Dan orang-orang yang telah memperoleh ma'rifah
itu disebut Arifun billah". Cara untuk mengenal Allah itu banyak
macamnya. Para ulama berbeda-beda pendapat tentang bagaimana cara kita mengenal
Allah.
Untuk mengenal Allah, menurut Sabiq
(1990: 31) ada dua cara: Pertama, dengan menggunakan akal pikiran dan mengkaji
secara teliti apa-apa yang diciptakan Allah berupa benda-benda yang beraneka
ragam yang ada di alam ini. Kedua, dengan mengkaji nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan menggunakan kedua metode ini, maka
seseorang akan mengenal Tuhannya dan akan memperoleh petunjuk ke arah itu.
Berkaitan dengan
mengenal Allah menggunakan akal pikiran, bahwa sesungguhnya setiap anggota
tubuh itu ada tugasnya. Tugas akal ialah mengangan-angankan, memeriksa,
memikirkan, dan mengamati. Jika potensi akal seperti itu tidak digunakan, maka
hilanglah fungsi akal dan terhenti pulalah kegiatan hidup. Agama Islam
menghendaki agar akal itu bergerak dan
melepaskan keterkekangannya dengan
segera bangun dari tidur nyenyaknya, kemudian mengajak untuk mengadakan
perenungan dan pemikiran. Dan ini sesuai dengan perintah Allah dalam Al-qur’an, yang artinya: "Katakanlah:
Perhatikanlah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi" (QS.Yunus:101). Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita semua menggunakan akal untuk memikirkan ciptaan
Allah yang ada di langit dan bumi, sehingga kita bisa mengenal Allah. Kalau
manusia tidak menggunakan akal dari tugas yang semestinya akan menurunkan
manusia itu sendiri ke suatu tarap yang lebih rendah dan lebih hina dari tarap
binatang. Keadaan seperti itulah yang merupakan penghalang besar bagi umat yang
dahulu untuk langsung menembus kepada hakikat-hakikat yang ada di dalam diri,
jiwa dan alam semesta.
Cara yang tepat untuk mengenal Allah
adalah dengan menganalisa dan meneliti tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menjadi
tanda keberadaan-Nya.
Akal, pikiran,
dan ilmu pengetahuan merupakan syarat fundamental bagi orang yang ingin mengenal Allah denga menggunakan
metode ini. Sebab, tanpa akal kita tidak akan bisa mengetahui ayat (tanda
bukti) kekuasaan-Nya. Tanpa pikiran, maka Sang Pencipta ayat itu tidak akan
bisa dikenal. Demikian pula tanpa ilmu pengetahuan, maka pengetahuan tentang
ayat atau Penciptanya tidak akan tercapai (Hawa,
2008:11).
Orang yang memperhatikan Al-qur’an pasti tahu bahwa Al-qur’an secara tegas
mengajak manusia untuk memanfaatkan potensi akal, pikiran, ilmu pengetahuan,
dan sejarah yang kesemuanya merupakan syarat asasi untuk mengenal Allah (ma'rifatullah). Salah satu contoh, Allah berfirman, yang
artinya:
Katakanlah!
Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah! Perlihatkanlah
kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka
berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab
yang sebelum (Al-qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orag-orang
dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar (QS.Al-ahqaf: 4).
Apakah
ada secercah ilmu pengetahuan yang memberikan kesaksian bahwa Sang Pencipta itu
bukan Allah? Jika manusia mengingkari Tuhannya,
berarti ia bodoh tidak punya pengetahuan. Dan kebodohan tersebut bukan
kebodohan biasa, melainkan kebodohan yang menyesatkan dirinya.
Al-qur’an
berulangkali menyebut kata mengetahui, berpikir, dan berakal yang secara jelas
mengajak akal manusia agar memperhatikan ciptaan Allah. Salah satu contoh Allah
berfirman, yang artinya: "Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat)
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal" (QS.Ar-ra'ad: 4).
Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) pelajaran bagi kaum yang
mengetahui (QS. An-naml:52).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan
(QS. An-nahl:
11).
Orang yang tidak
bisa menyaksikan Allah dengan akalnya setelah mengetahui ayat-ayat (tanda-tanda
kekuasaan)-Nya laksana orang yang membawa setumpuk buku tetapi tidak mengerti
siapa penulisnya. Akibatnya, dia dianggap bodoh dan tidak ada. Dan yang
menyebabkan orang menjadi kafir bukanlah karena ayat-ayat (tanda-tanda
kekuasaan) Allah itu sedikit atau samar, karena ayat-ayat Allah itu banyak dan
jelas sekali. Penyebab kekafiran itu terletak di dalam diri mereka sendiri,
yaitu pada sikapnya yang
tidak sudi mengakui kebenaran, menyimpang dari fitrah dan nilai-nilai
kemanusiaan, sehingga hatinya tertutup dan menjadi buta, yang jika tanpa kuasa
Allah dia akan tetap tenggelam dalam kekafiran. Pada bagian yang lain, Hawa (2008: 24) menjelaskan:
“Bahwa ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang bisa dijadikan alat
untuk mengenal Allah itu dapat ditemukan pada tiga hal, yaitu: alam semesta,
Al-qur’an, dan mu’jizat”.
Pertama, alam semesta. Alam semesta dan apa yang ada di dalamnya merupakan salah
satu bukti keberadaan Allah swt, karena alam semesta ini tidak mungkin ada
tanpa adanya yang menciptakan. Allah
berfirman: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?” (QS. Adz-dzariyat: 20-21). “Dan banyak sekali tanda-tanda
(kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka
berpaling darinya” (QS. Yusuf: 105).
Dalam ayat yang lain yang lebih detail lagi, sebagai
bukti keberadaan dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, Allah menjelaskan:
Dan suatu tanda kekuasaan Allah bagi mereka adalah malam.
Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka
dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan
di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan
bagi bulan fase-fase, sehingga (setelah dia sampai ke fase terakhir) kembalilah
dia sebagai bentuk tandan yang tua (QS. Yasin: 37-39).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tempat
tidurmu di waktu malam, dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya di siang
hari. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang mendengarkan (QS. Ar-rum: 23).
Dari beberapa ayat Al-qur’an di atas jelaslah kepada kita
bahwa Allah itu wajib wujud-Nya, yang ditandai dengan adanya alam semesta dan
seisinya, dan juga adanya hal-hal yang terjadi di alam semesta ini. Untuk itu,
maka kita wajib mengenal keberadaan Dzat Allah dengan seyakin-yakinnya.
Bukan hanya mengenal asma dan af’al-Nya saja, karena tanpa mengenal Jati
Diri-Nya atau Dzat-Nya kita tidak akan bisa mentauhidkan-Nya.
Kedua, Al-qur’an. Al-qur’an
juga menjadi bukti keberadaan Allah. Al-qur’an merupakan firman Allah,
kalamullah yang tidak boleh diragukan oleh kita semua. Allah menurunkan Al-qur’an
sebagai petunjuk bagi kita semua, merupakan rahmat dan pelajaran bagi
orang-orang yang beriman. Allah berfirman:
Dan apakah tidak
cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-qur’an)
yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-qur’an) itu terdapat
rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-ankabut:
50-51).
Sebenarnya Al-qur’an
itu ayat-ayat (tanda-tanda keberadaan Allah) yang nyata di dalam dada
orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami
kecuali orang-orang yang dzalim (Al-ankabut: 49).
Bagaimana sampai
kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan
Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu. Barangsiapa siapa yang berpegang
teguh kepada (agama), maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus (QS. Ali Imran: 101).
Dari ketiga ayat Al-qur’an di atas, jelaslah kepada kita
bahwa Al-qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya menjadi bukti
keberadaan-Nya, tetapi masih banyak orang yang mengingkari-Nya.
Ketiga, mukjizat. Di dalam Al-qur’an banyak sekali
mu’jizat yang Allah berikan
kepada para Rasul-Nya tatkala menghadapi orang-orang yang tidak beriman
kepadanya. Salah satu dari sekian banyak mu’jizat tersebut yaitu seperti yang
dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
Hai kaumku, inilah
unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu.
Sebab itu, biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya
dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu ditimpa adzab yang dekat
(QS. Hud: 64).
Dan (sebagai) rasul
kepada Bai Israil (yang berkata kepada mereka), sesungguhnya aku telah datang
kepadamu dengan membawa satu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat
untuk kamu dari tanah berbentuk burung, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi
seekor burung dengan seizin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak
lahir dan orang yang berpenyakit sopak,
dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa
yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah satu
tanda (benarnya kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman (QS. Ali
Imran: 49).
Dua ayat Al-qur’an di atas, merupakan bukti kekuasaan Allah yang diberikan kepada para
rasul-Nya berupa kemukjizatan yang ditunjukkan kepada orang-orang yang tidak
beriman. Ini sebagai bukti bahwa Allah itu benar-benar ada.
Untuk dapat mengenal Allah, selain harus melalui
langkah-langkah seperti tersebut di atas, menurut Bya (2006: 59) yaitu: “harus mengenal
diri sendiri”. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ali (Al-Hariri, 2009: 127) bahwa: “Barangsiapa
yang telah mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Secara umum,
yang dimaksud mengenal diri ialah mengenal asal usul manusia, proses penciptaan manusia, dan juga mengenal
struktur keberadaan manusia itu sendiri.
Manusia itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada
Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya
kami akan kembali kepada Allah (QS.2: 156).
Manusia itu diciptakan Allah dari berasal dari tanah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna ...” (QS.22: 5).
Manusia diciptakan Allah terdiri dari jasmani dan ruhani.
Jasmani yaitu jisim manusia, tubuh atau badan. Jasad ialah tubuh manusia yang
berupa darah, daging, dan tulang. Namun demikian, realitas jasad adalah
realitas manusia yang pokok, karena tanpa adanya jasad tidak dapat dipahami
adanya manusia. Dengan adanya jasad, manusia dapat dilihat pada aktifitas dalam
ruang dan waktu tertentu (Asy’ari, 1992: 62). Menurut Al-Ghazali (Nasution,
1988: 65), ‘Jasmani itu ialah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia.
Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa
rusak’, sedangkan ruhani adalah bagian dalam manusia yang tidak tampak, yang
terdiri dari “ruh dan nafs”.
Ruh adalah persoalan yang amat pelik, sehingga banyak
orang beranggapan bahwa soal ruh itu tidak perlu dibicarakan, karena dapat
membingungkan. Sungguhpun demikian, ruh adalah sesuatu yang amat penting bagi
kehidupan manusia. Adapun tentang an-nafs, terdapat perbedaan pendapat
di antara para ahli dalam memaknai a-nafs. Ada yang mengartikan nafs
dengan jiwa, dan ada pula yang mengartikannya dengan nyawa atau nafas yang
menjadi tanda adanya kehidupan pada tubuh manusia (Asy’ari, 1992: 70).
Dari uraian tentang metode mengenal Allah seperti yang
dikemukakan oleh para ahli di atas, dapatlah dikatakan bahwa metode mengenal
Allah itu banyak caranya. Untuk dapat mengenal Allah atau untuk dapat menyakini
keberadaan Allah itu bisa dengan cara memahami hal-hal sebagai berikut: (1)
Memahami ciptaannya yang ada di alam
semesta ini, karena segala sesuatu ciptaan Allah itu bisa menjadi bukti bahwa
Allah itu ada; (2) Memahami asma dan sifat-sifatnya. Dengan memahami asma dan sifat-sifatnya,
maka akan tumbuh keyakinan bahwa Allah itu merupakan Dzat Yang Maha
Rahman, Maha Rahim, Maha Kaya, Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan
lain-lainnya; (3) Memahami firman-firman-Nya. Firman Allah berarti kalam Allah itu sendiri. Dengan memahami
firman-firman-Nya, akan akan tumbuh keyakinan Allah itu ada, dan dibuktikan
dengan adanya firman-firman-Nya.
C. Ma’rifatullah dalam Perspektif Tasawuf
Pandang para sufi tentang ma’rifatullah sangat berbeda dengan
pandangan para ahli pada umumnya. Dalam pandangan sufi, ma’rifatullah bukanlah
hanya sekedar mengenal asma dan af’al-Nya, melainkan juga mengenal Dzat-Nya. Yang
jadi pertanyaan, mungkinkah Dzat Allah itu
bisa dikenali?. Banyak orang
mengatakan bahwa Dzat Allah itu tidak bisa dikenali, karena akal manusia bisa
akan bisa menjangkaunya. Memang
betul, kalau kita ingin mengenal Dzat Tuhan tidak bisa hanya dengan
menggunakan akal, karena akal tidak akan sampai kepada-Nya, atau hanya dengan
memahami ciptaan-Nya, asma dan sifat-Nya. Kalau kita ingin mengenal Dzat
Tuhan harus sesuai dengan petunjuk Tuhan yakni harus bertanya kepada ahlinya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam Al-qur’an: “Fas-alu ahladzdzikri inkuntum la ta’lamun”
(bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak tahu (Diri-Nya Ilahi)” (QS.
Al-Anbiya: 7). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa untuk dapat mengenal
Allah itu tidak bisa hanya menggunakan akal, melainkan harus bertanya kepada
ahlinya atau harus ada yang membimbing dan menunjukkan kita ke arah sana.
Yang perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud mengenal Dzat
Allah dalam pandangan tasawuf itu ialah mengenal Dzat Allah dalam rasa yang ada
dalam hati, sehingga rasa tersebut bisa merasakan keberadaan
dan kehadiran Allah dalam dirinya.
Untuk dapat mengenal Allah, selain kita harus bertanya
kepada ahlinya, menurut pandangan
tasawuf, harus dengan cara “memahami fitrah jati diri manusia yang berasal
dari fitrah Allah itu sendiri”, sesuai dengan firman Allah:
“Hadapkanlah wajahmu kepada agama secara lurus. Itulah fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS.30: 30).
Fitrah
manusia adalah inti manusia itu sendiri, dan inti manusia ialah rasa. Di dalam rasa itu ada Nur
Muhammad (cahaya Allah Yang Terpuji). Antara Allah dan cahaya itu ialah menyatu
bagaikan lampu dan sinarnya atau bagaikan matahari dan sinarnya. Oleh karena
itu, bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah itu ialah Allah itu sendiri
yang ada di dalam rasa.
Allah itu ismu Dzat (nama dari Dzat) yang
Ghoib. Jadi yang harus kita kenali bukan hanya nama-Nya, dan bukan hanya percaya akan keberadaan Allah, tapi
harus mengenal Dzat-Nya. Dan sebenarnya, sebagaimana di jelaskan di
dalam Al-qur’an bahwa keberadaan Allah itu sangat dekat dengan kita, dan bahkan
lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher kita, yaitu adanya di dalam rasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Hadits Qudsi: “Aku jadikan pada manusia
itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di
dalam shadr itu ada qalb, di dalam qalb itu ada fuad,
di dalam fuad itu ada syanghf, di dalam syanghf itu ada lubb,
di dalam lubb itu ada sirr, di dalam sirr itu ada Aku (Tafsir,
2010: 28). Dalam Hadits Qudsi ini dijelaskan bahwa Aku (Allah) itu ada dalam sirr
(rasa) dan sirr (rasa) itu merupakan inti manusia, dan itulah fitrah
manusia. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa barangsiapa mengenal dirinya
(fitrah jati dirinya), maka akan kenal pada Tuhannya, karena fitrah
manusia itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri.
Untuk dapat mencapai ma’rifah itu memang tidaklah
mudah, karena pada dasarnya ma’rifah
itu merupakan anugerah Ilahi bagi siapa pun yang dikehendaki oleh-Nya. Karena
itu, siapa pun orangnya harus melepaskan
asumsi bahwa ma'rifah yang diberikan Allah swt itu merupakan akibat dari
perenungan dan amal kebaikannya, sebab jika hanya dengan perenungan dan amal
ibadah, tidak akan sampai kepada ma’rifatullah, melainkan hanya akan
sampai meyakini adanya Allah.
Apabila kita berbicara ma’rifatullah lebih jauh
lagi, sesungguhnya ma’rifatullah itu memiliki kedudukan yang sangat
esensial dalam kehidupan umat Islam,
sebab tanpa ma’rifatullah hidup ini akan hampa. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Al-Ghazali (1986:
7), bahwa:
“Ibadah tanpa ilmu dan tanpa ma’rifah
tidak ada artinya”. Ilmu dan ma’rifah
merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh seseorang dalam beribadah, karena
kalau tidak dia akan celaka. Artinya, ia harus belajar supaya bisa beribadah
dengan baik, menempuh jalan ini sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan
merenungkan sepenuhnya. Dengan belajar, bertanya kepada para ulama tentang
akhirat, kepada petunjuk-petunjuk jalan, para pemuka umat, para imam,
mudah-mudahan dengan demikian dapat berhasil mencapai ilmu yakin.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang
dimaksud ma’rifatullah itu, Bya (2006: 268) menjelaskan beberapa
pandangan para tokoh tentang apa sebenarnya ma’rifatullah itu. Ketika Abu
Bakar Ash-Shiddiq ditanya tentang ma’rifatullah yang ada pada dirinya,
ia berkata: Sangat mustahil datangnya ma’rifat masuk ke hati sanubari
seorang hamba, kecuali karena ma’unah Allah. Beliau
mengatakan bahwa ma’unah itu tidak akan ditemukan pada panca indera
manusia, tidak ada ukurannya. Ma’rifat itu dekat tapi jauh, dan jauh
tapi dekat. Tidak dapat diucapkan dan dinyatakan. Di bawahnya ada sesuatu dan
berada di depan segala sesuatu. Dialah Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu, tiada sesuatu yang ada pada sesuatu yang lain. Tiada yang sama
seperti itu, hanyalah Dia Dzat Yang Suci itu, yakni Allah swt.
Imam Ja’far ash-Shadiq, salah seorang
keturunan Rasulullah saw juga pernah ditanya: Apakah anda melihat Allah?
Beliau menjawab: Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihat. Ia pun
ditanya lagi, lalu bagaimana anda melihatnya, sementara Ia tidak dapat dilihat
dengan mata kepala. Imam Ja’far kembali menjawab: Aku tidak akan mampu
melihat-Nya dengan pandangan mata, tetapi melihat-Nya dengan mata hati melalui
hakikat keimanan. Dia tidak kasat indera dan tidak pula dapat diukur oleh
manusia.
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dalam pandangan
para sufi, pemahaman ma’rifatullah itu berbeda dengan pandangan pada
umumnya. Di antaranya, Dahlan menjelaskan bahwa dalam kajian tasawuf, ma'rifatullah itu memiliki
tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma’rifah yang dicari
dan diharapkan oleh sufi yaitu ma’rifah hakiki. Dan
orang-orang yang telah memperoleh ma’rifah itu disebut Arifun
billah" (Isma’il,
2008: 794).
Dahlan lebih lanjut menjelaskan bahwa munculnya gagasan
tentang ma'rifat hakiki itu menjadi tahapan penting bagi perubahan
tujuan dari ibadah para zahid dan ahli ibadah di kalangan kaum
muslimin. Sebelumnya para zahid dan
ahli ibadah sampai pertengahan abad ke dua Hijriyah memilih jalan zuhudpada
dunia karena dorongan mencari kehidupan yang lebih sesuai dengan corak
kehidupan Nabi Muhammad saw yang diridhai Tuhan atau sangat terdorong oleh
emosi takut pada neraka sebagai akibat penghayatan yang sungguh-sungguh atas
peringatan-peringatan keras dari ayat-ayat suci Al-qur’an dan Hadits-hadits
Nabi atau sangat berharap mendapatkan surga sesuai dengan janji-janji yang dinyatakan
kedua sumber pokok ajaran Islam itu.
Pada paruh kedua abad dua Hijriah, muncul di kalangan
mereka zahidah terkenal, Rabi'ah al-Adawiyah yang di hatinya sangat bergelora
emosi cinta pada Tuhan. Dengan cinta itu, tampak bahwa sang pencinta sebagai zahidah,
sama sekali tidak dikuasai emosi takut pada neraka atau oleh harapan pada
surga, tetapi oleh emosi cinta yang bergelora memenuhi hati. Pencinta Tuhan itu
tidak mengharapkan surga dari Tuhan atau keterhindaran dari neraka, tetapi
mengharapkan cintanya pada Tuhan berbalas pula dengan cinta Tuhan kepadanya.
Pada paruh pertama abad tiga Hijriyah barulah muncul gagasan dan perbincangan
tentang ma’rifah hakiki.
Sejak abad tiga Hijriyah itulah gerakan zuhud (asketisme)
memperoleh tujuan yang baru yaitu ma’rifah
hakiki, dan dengan demikian asketisme meningkat kualitasnya menjadi tasawuf.
Para zahid yang berhasil memperoleh ma’rifah hakiki selain disebut "arif",
juga disebut sufi atau waliyullah.
Gagasan adanya ma’rifah hakiki dimunculkan oleh
Dzunnun Al-Misri, karena itu ia dapat disebut sebagai bapak gagasan ma’rifah
dalam tasawuf. Menurut Dzunnun Al-Misri, ada tiga macam ma’rifah.
Pertama, ma’rifah di kalangan awam, yaitu mereka mengetahui bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran
syahadat. Kedua, ma’rifah di kalangan ulama dan para filusuf yang
memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini; mereka mengetahui adanya Allah
melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, ma’rifah di
kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifah
tingkat ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf
sebagai ma’rifah hakiki dan tertinggi.
Sebelum Dzunnun Al-Misri,
sebenarnya sudah muncul satu dua ungkapan dari zahid yang mendahuluinya,
yang bisa mengilhaminya untuk melahirkan pandangan yang penting tentag ma’rifah. Pertama,
ungkapan Rabi'ah Al-Adawiyah tentang terbukanya hijab sehingga dapat melihat
Tuhan dengan hatinya. Kedua, ungkapan yang muncul dari Abu Sulaiman Ad-Darani,
ia berkata: Sesungguhnya Allah membukakan bagi sang arif yang sedang
berbaring tidur, sesuatu yang tidak dibukakan kepada yang lain, meskipun yang
lain itu sedang menegakkan shalat.
Ma’rifah
hakiki selain sering dibicarakan Dzunnun Al-Misri, juga sering dibicarakan oleh
para zahid dan sufi sesudahnya, kendati pembicaraan mereka baru dalam
bentuk butir-butir ungkapan yang berserakan. Ma’rifah dan sang arif
dalam tebaran ungkapan para sufi itu antara lain sebagai berikut. Dzunnun
Al-Misri menuturkan antara lain: "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku;
kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku".
Manusia yang paling mengenal Tuhan adalah yang paling terpesona pada-Nya. Ada
tiga tanda sang arif, yaitu cahaya ma’rifahnya tidaklah
memadamkan cahaya kewara'annya, ia tidak percaya bahwa aspek batin hukum
bertentangan dengan aspek lahirnya, dan keberlimpahan nikmat Tuhan bagi dirinya
tidak mendorongnya untuk mengoyak tirai yang menutup kawasan sakral Tuhan.
Arwah para Nabi berlomba di padang ma’rifah, dan ruh Nabi kita Muhammad
saw memimpin mereka semuanya menuju taman wasal (perjumpaan dengan Tuhan).
Pergaulan sang arif seperti pergaulan Tuhan, ia pemurah dan lapang dada
kepada orang lain, karena ia berakhlak dengan akhlak Allah. Bagi setiap orang
ada bentuk hukuman tertentu dan hukuman bagi sang arif adalah terputus dzikir
kepada Allah.
Menurut Abu Yazid, sang arif tidak melihat sesuatu
pun selain Allah dalam tidurnya, tidak pula melihat sesuatu dalam jaganya
kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak memandang
kecuali kepada Allah. Manusia biasa mempunyai keadaan-keadaan (ahwal),
tetapi sang arif tidak; sifat-sifat manusiawinya telah sirna, dan Dzatnya
telah berobah menjadi Dzat yang lain; sifatnya telah sirna karena
sifat-sifat selain dirinya telah menggatikannya. Ketika Abu Yazid ditanya,
dengan apa ia mencapai ma’rifah, ia menjawab, dengan perut yang lapar
dan tubuh tanpa pakaian. Para arif mencapai ma’rifah dengan
menghilangkan (tidak memperdulikan) apa saja yang mereka miliki, dan tinggal
dengan apa yang dimiliki Allah.
Menurut Al-Hallaj, bila seseorang mencapai maqam ma’rifah,
Allah akan mengilhamkan baginya lintasan-lintasan ide dan Ia menjaga hatinya
agar tidak muncul pada hatinya itu selain lintasan kebenaran. Tanda sang arif
adalah kosong perhatian hatinya kepada dunia dan akhirat. Sejalan dengan
itu, Asy-Syibli menyatakan, bahwa sang arif tidak memperhatikan sesuatu
selain Allah, tidak berbicara dengan kalam selain-Nya, dan tidak melihat satu
pun bagi dirinya selain Dia sebagai pelindung. Abu Utsman Al-Maghribi
menuturkan, bahwa sinar-sinar pengetahuan menerangi sang arif, sehingga ia
melihat hal-hal ghaib yang menakjubkan dengan pengetahuan itu. Abu Tayyib
Al-Samarri mengatakan, ma’rifah adalah terbitnya kebenaran atas batin
seseorang dengan cahaya yang terus menerus.
Dari sejumlah penuturan tentang ma’rifah dan sang arif
di atas, jelaslah pada kita bahwa para sufi sejak dari Dzunnun Al-Misri dan
para sufi sesudahnya memberikan deskripsi yang istimewa tentang ma’rifah dan
sang sufi, yang pada intinya ma’rifah adalah keterbukaan hijab pada
hati, melihat Tuhan dengan hati, dan karena itu ia mengenal Tuhan dengan
hatinya itu.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa mengenal Allah (ma'rifatullah)
merupakan dasar yang paling utama dalam beragama Islam. Kenapa dalam kajian tauhid ada ungkapan
bahwa “Pertama
kali yang wajib bagi manusia ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa mengenal Allah merupakan suatu
keharusan bagi setiap muslim, karena tanpa mengenal Allah keimanan seseorang
belumlah sempurna. Sehubungan dengan itu, Imam Ali menjelaskan
bahwa pokok agama adalah ma’rifat tentang Allah. Kesempurnaan ma’rifat
tentang Allah adalah dengan tashdiq (membenarkan) terhadap-Nya.
Kesempurnaan tashdiq terhadap Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, dan
kesempurnaan tauhid kepada-Nya yaitu dengan ikhlas kepada-Nya (Al-Hariri, 2009: 7). Sejalan dengan itu, Al-Jailani (2010:71) mengemukakan:
Wahai orang-orang, kenalilah Allah dan janganlah engkau tidak mengenal-Nya,
taatlah kepada-Nya dan janganlah sekali-kali bermaksiat kepada-Nya, ridhalah
kepada takdir-Nya dan jangan menentang-Nya. Kenalilah al-Haq ‘Azza
wa Jalla dengan segala sifat-Nya. Dia Maha Pencipta dan Maha Pemberi Rizki,
Dia Yang Awal dan Yang Terakhir, Dialah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Yang
Qadim, Yang Abadi dan Maha Berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia adalah Tuhan
yang menjadikan kaya dan miskin, Yang memberikan manfaat, Yang menghidupkan,
Yang mematikan, Yang memberi balasan, Yang dijadikan tempat pengharapan.
Takutlah kepada-Nya, dan tidak perlu takut kepada apa pun selain Dia,
berharaplah kepada-Nya dan
jangan menyimpan
harapan kepada selain Dia, berjalanlah bersama dengan takdir dan hikmah-Nya hingga kodrat melampauai
hikmah. Terapkanlah adab dengan berpegang penuh pada kitab pedoman, hingga
datang apa yang menghalangi antara engkau dengan-Nya. Engkau akan terpelihara
dari panasnya batas syari'at. Tidak ada yang dapat mencapai derajat ini kecuali sebagian kecil dari orang-orang yang
shalih.
Menurut
Ar-Rumi, Ma’rifah
yaitu pengetahuan tentang Tuhan yang dirasakan hati secara langsung oleh
seseorang apabila hatinya bersih dari noda. Namun, tidak semua
orang bisa mencapai ma’rifah, karena ma’rifah itu bukan merupakan
hasil usaha, tetapi merupakan anugerah dari
Allah (Isma’il, 2008: 632).
Dalam
sebuah tamsil, Ar-Rumi mengumpamakan para pencari ma’rifah dengan para
pencari mutiara yang terdiri atas tiga kelompok. Pertama, orang yang senang
dengan perhiasan mutiara, dan mereka menginginkan mutiara itu. Karena itu,
mereka pergi ke pantai untuk mengambil mutiara dari laut; akan tetapi mereka
tidak bisa berenang, apalagi menyelam ke dasar laut di tempat mutiara berada,
sementara peralatan untuk menyelam pun tidak mereka miliki. Karena itu, mereka
hanya bisa melihat orang lain berenang dan menyelam, dan kemudian kembali ke
tempat semula dengan tangan kosong. Kedua, orang-orang yang memiliki
keterampilan berenang dan mereka memiliki alat untuk menyelam ke dasar laut.
Sebab itu, tidak ada hambatan bagi mereka untuk meraut lokan-lokan yang ada di
dasar laut untuk dibawa ke daratan; akan tetapi setelah lokan-lokan itu
diangkut ke atas, lalu dipecahkan, mereka tidak menemukan satu butir mutiara
pun, dan mereka pun pulang dengan tangan hampa. Ketiga, orang-orang yang
memiliki keterampilan berenang dan dilengkapi peralatan yang cukup untuk
menyelam ke dasar laut. Mereka memungut lokan-lokan di dasar laut untuk
diangkut ke daratan. Setelah lokan-lokan itu terkumpul, mereka memecahkannya
satu demi satu. Dan dengan berkah dari Allah mereka mendapatkan mutiara
berharga. Mereka inilah dalam tamsil Ar-Rumi orang yang beruntung. Karena
anugerah Allah, mereka mencapai ma’rifah kepada-Nya.
Puncak
ma’rifah ialah ketika seorang sufi mencapai mahabbah, dan puncak
mahabbah ialah ketika seorang sufi mencapai fana selakigus baqa bersama
Tuhan. Baginya, mahabbah belum tercapai sepenuhnya sebelum dia lebur (fana) ke
dalam Yang Dicintainya dan sekaligus baqa bersama sang Kekasih (Tuhan). Ketika
manusia telah benar-benar dapat memusnahkan kesadaran tentang dirinya (fana
al-fana), niscaya ia akan mencapai baqa. Di sini jarak antara
"aku" dan "Engkau" sudah tidak ada, sehingga aku sirna
dalam "Aku" mutlak. Dalam persatuan demikian, esensi manusia tidak
sirna, tapi kualitasnya sudah hilang dan berganti dengan kualitas Ilahiah,
laksana besi dan api ketika dibakar. Besi adalah besi dan api adalah api,
tetapi kualitas besi sudah hilang dan berganti dengan kualitas api, meskipun
esensi besi masih tetap ada.
Seseorang
yang telah mengenal Allah (ma'rifatullah) dan mencapai hakikat akan merasakan dampak positif dalam kehidupannya. Paling tidak
ada sembilan nilai positif yang akan dirasakan
oleh seseorang yang telah mengenal Allah dan mencapai hakikat.
Kesembilan nilai tersebut adalah sebagai berikut: (1) Merasakan kebenaran atas kedekatan Allah
pada dirinya, (2) Merasakan
Kenikmatan Akibat Terbebas dari Kesyirikan, (3) Merasakan Nikmat Dapat Selalu
Bersamanya, (4) merasakan Keamanan dan Ketenteraman Hati, (5) Dapat Merasakan
Keindahan dan Keserasian dalam Setiap Firman-firman Allah, (6) Merasakan
Kemudahan dalam Memahami Hakikat
Firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an, (7) Merasakan Kemudahan dalam
menjalani Hidup dan Kehidupannya dengan Tanpa Beban, (8) Merasakan Nikmat,
Ringan, dan Khusyu’ dalam Beribadah kepada-Nya, (9) Merasakan Tidak Memiliki
Daya dan Upaya dalam Menjalani Kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat
akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah” (Al-Kadiri, 2010: 225).
Pertama,
merasakan kebenaran atas kedekatan Allah pada dirinya. Seseorang yang telah
mencapai ma’rifat akan merasakan bahwa Allah itu sangat dekat dengan dirinya,
bahkan kedekatan tersebut tidak bisa digambarkan, sehingga hampir tidak bisa
membedakan mana Tuhan dan mana makhluk.
Seseorang yang
telah mencapai hakikat dan ma’rifat akan paham bahwa kekuasaan Allah itu
meliputi segala sesuatu yang tidak terbatas pada lahir, hidup, mati, kaya,
miskin, dan jodoh saja, melainkan
berpikirnya juga berada dalam liputan Allah, ibadahnya, bekerjanya, berkeluarganya, dan lain-lainnya
semuanya berada dalam liputan Allah. Demikian juga pada perasaan, tingkah laku,
pandangan, pembicaraan, pendengaran, penciuman, semuanya berada pada liputan
Allah.
Seseorang yang
mencapai hakikat dan ma’rifat tidak akan muncul lagi dalam dirinya perasaan
ke-aku-an, ego, ataupun nafsu dalam diri pribadi. Semuanya telah terganti
dengan kepemilikan Tuhannya, semuanya telah menjadi af’al Tuhannya.
Dalam diri seseorang yang telah berhakikat telah terjadi revolusi dalam hati,
jiwa, dan perasaannya, sehingga timbullah kesadaran bahwa sifatnya menjadi
sifat Allah, Asmanya menjadi Asma Allah, dan af’alnya
menjadi af’al Allah.
Dengan
demikian, apabila dia berjalan, ia yakin bahwa itu berjalannya Tuhan, apabila
ia melirik berarti itu adalah lirikan Tuhan, apabila ia memandang itu adalah
pandangan Tuhan, apabila ia mendengar itu adalah pendengaran Tuhan, apabila ia
berbicara itu adalah pembicaraan Tuhan, apabila ia merasa itu adalah perasaan
Tuhan. Demikian juga segala gerak gerik dan urusannya semua itu gerak gerik dan
urusan Tuhan.
Kedua, dapat merasakan
kenikmatan akibat terbebas dari kesyirikan. Seseorang yang telah mencapai
hakikat akan menyadari bahwa perbuatan syirik adalah sangat berbahaya, karena
perbuatan syirik merupakan dosa besar dan tidak akan diampuni Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni (dosa) orang yang mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang lain, dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya (QS. An-Nisa: 116).
Dengan
memahami ayat tersebut, maka seseorang yang telah mencapai hakikat merasa tidak
mungkin dan tidak mampu melanggarnya, karena dia merasa bahwa dia tidak
memiliki apa pun. Nyawanya, jiwanya, fisik tubuhnya, segala ibadahnya, segala
prilakunya, dan bahkan keberadaannya pun terfanakan. Yang ada hanyalah
keberadaan Tuhan sendiri, dan semuanya adalah mutlak milik Allah. Apabila sudah
demikian, apa yang akan disekutukan dengan-Nya, sehingga akhirnya berbahagialah
dia karena telah terbebas dari kesyirikan itu.
Ketiga, dapat merasakan nikmat dapat selalu bersamanya.
Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa nikmat dalam kehidupannya,
karena dia tidak terbebani apa pun. Semua sudah tergantung dengan kehendak
Tuhannya, semua sudah menjadi af’al-Nya, sehingga akan merasa nyaman apa yang
dijalani dalam hidup dan kehidupannya.
Seseorang akan
merasa nikmat apabila dia bergerak adalah sebagai kehendak gerak-Nya
Tuhan, apabila dia tersenyum sebagai
kehendak senyum-Nya Tuhan, apabila dia berani sebagai kehendak keberanian-Nya
Tuhan, apabila dia ibadah sebagai kehendak ibadah-Nya Tuhan, apabila dia shalat
sebagai kehendak shalat-Nya Tuhan, apabila dia puasa sebagai kehendak puasa-Nya
Tuhan. Demikianlah segala yang dilakukan hingga yang dirasakan, semuanya adalah
sebagai kehendak-Nya Tuhan, sebagai af’al-Nya Tuhan.
Keempat, dapat merasakan keamanan dan ketenteraman hati.
Seseorang yang telah mencapai hakikat akan merasa aman dan tenteram dalam hati
dan perasaannya. Betapa tidak, Dia telah terbebas dari kekhawatiran akan
kesyirikan, sehingga tidak ada lagi rasa ketakutan menghadapi kehidupan
keakhiratan. Kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat, tidak menjadi
perhatian lagi, karena semuanya sudah bergantung kehendak Tuhan sendiri yang
selama ini telah menggerakkan hati, pikiran, kelakuan, dan ibadahnya. Sementara
pribadinya telah tiada, tergantikan dengan keberadaan-Nya. Dengan demikian,
tidak ada lagi syirik walaupun sekecil apa pun. Seorang yang berhakikat akan
selalu tenteram hatinya, tenteram jiwanya, tenteram perilakunya, tenteram
imannya, tenteram ibadahnya, tenteram shalatnya, tenteram puasanya, tenteram
zakatnya, tenteram amalnya, dan lain sebagainya.
Kelima, dapat merasakan keindahan dan keserasian
dalam setiap firman-firman Allah. Seorang yang telah mencapai hakikat akan
merasakan betapa indahnya firman-firman Allah dalam Al-qur’an. Indah dalam
bunyinya, indah dalam susunannya, indah dalam arti dan kedalamannya. Salah satu
contoh surat al-Ikhlas. Betapa indah bunyinya kalau dibaca, dan indah pula
susunan kata-katanya. Singkat sekali firman Allah dalam surat al-Ikhlas tersebut.
Namun, tiada terukur betapa dalam dan luas maknanya.
Keenam, dapat merasakan
kemudahan dalam memahami hakikat firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an.
Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa mudah dan jelas dalam memaknai
ayat-ayat dalam Al-qur’an. Dirasakannya
sedemikian terang dan logisnya ayat-ayat tersebut sehingga tidak tersisa lagi
keraguan atas kebenarannya. Seorang yang
mencapai hakikat memiliki keimanan yang mendalam kepada Tuhannya, dia akan
larut dalam setiap ayat Al-qur’an yang dibacanya, sehingga dia hanya
mengangguk-angguk membenarkan dengan sepenuh hati dan perasaannya. Seorang yang
telah mencapai hakikat akan merasa lebih mudah memahami dan menguraikan
ayat-ayat dalam Al-qur’an. Dia akan mampu memahami yang tersirat, apalagi yang
tersurat. Karena semuanya dipahami atas akal, logika berpikir, dan
pengertiannya, bukan atas hafalan atau sekedar katanya.
Ketujuh, dapat merasakan kemudahan dalam menjalani hidup
dan kehidupannya dengan tanpa beban. Seorang yang telah mencapai hakikat tidak
memiliki kekhawatiran akan beban hidupnya. Keyakinan pada Tuhannya menjadikan
dia sedemikian yakin akan selalu berada dalam lindungan-Nya, selalu dalam
perhatian-Nya. Orang yang telah mencapai hakikat demikian besar keyakinan
terhadap firman-firman Tuhannya,
sehingga keimanannya tidak akan terkikis oleh waktu, tempat, situasi, dan
kondisi. Kefanaan dirinya menjadikannya tidak dapat terpengaruhi oleh badai
bagaimanapun besarnya. Kehidupannya dirasakan menjadi nyaman dan tenteram
selamanya. Apabila Allah menentukan kedukaan, dia hanya bersabat atasnya; dan
apabila Allah menentukan kegembiraan, dia akan bersyukur karenanya. Karena dia
telah memahami bahwa kesabaran dan kesyukurannya pun tidak lain merupakan
kehendak-Nya pula.
Kedelapan, dapat merasakan nikmat, ringan, dan khusyu’
dalam beribadah kepada-Nya. Seorang yang telah berhakikat akan merasakan nikmat
dalam ibadahnya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka akan merasakan nikmatnya
shalat tersebut. Dia mendapatkan kenikmatan dalam gerakan, ucapan, ketundukan
hati, dan dalam ketenangan jiwanya. Kefanaannya meliputi seluruh lahir
batinnya, sehingga dia menjadi khusyu karenanya. Tidak ada gangguan syetan yang
dapat memasuki wilayah ibadah seorang yang telah mencapai hakikat. Di mana pun,
kapan pun, dan dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, tidak ada celah
yang dapat dimasuki setan pada dirinya.
Kesembilan,
dapat merasakan tidak memiliki daya dan upaya dalam menjalani kehidupan. Seorang
yang telah mencapai hakikat akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala
quwwata illa billah”. Seorang yang telah mencapai hakikat akan tumbuh
kesadaran bahwa dia tidak memiliki daya dan upaya apa pun kecuali bersama
Allah. Apabila kemudian dia terlihat melakukan peribadatan misalnya, maka itu
merupakan daya dan kekuatan Allah
sendiri, atas keinginan dan kehendak Allah sendiri. Semangat “la haula wala
quwwata illa billah” tidak hanya berlaku dalam ibadah semata, tetapi
berlaku pula dalam segala tindakannya, segala kesibukannya, segala usahanya,
segala prosesnya, dan segala hasilnya. Jadi, berlaku pada segala kegiatan dalam
hidup dan kehidupannya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasakan apa
yang dilakukannya adalah realitas rencana Tuhan, realitas kehendak-Nya,
realitas keinginan-Nya, Sedangkan dia sendiri tidak ikut serta dalam apa yang
dilakukannya tersebut.
Dari beberapa ungkapan tentang kondisi spiritual orang
yang telah ma’rifatullah seperti diungkapkan di atas, dapat dipahami
bahwa ma’rifatullah itu ialah mengenal Allah dengan mata hati kita,
sehingga kita merasakan kehadiran Allah dalam diri kita, yang secara hakiki
Allah itu dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di
leher. Ma’rifatullah sangat penting bagi
seseorang, karena ma’rifatullah merupakan esensi dari ajaran Islam.
Tanpa mengenal Allah hidup ini akan hampa dan tidak jelas siapa yang kita tuju,
baik dalam ibadah maupun dalam melakukan aktivitas-aktivitas lainnya dalam
hidup ini. Ibadah, baik shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya tanpa dibarengi dengan ma’rifatullah
akan sia-sia. Begitu juga, segala aktifitas yang baik yang dilakukan kita dalam
kehidupan sehari-hari akan bernilai
ibadah apabila didasari dengan ma’rifatullah.
Orang yang
mencapai ma’rifatullah yang haqiqi akan menjadikan orang itu selalu fana
billah. Apa yang menjadi sifat dalam hidup dan kehidupannya, tidak lain adalah
realitas dari sifat Tuhan. Apa pun yang dia lafalkan, yang dia dzikirkan,
yang dia ucapkan, yang dia suarakan, tiada lain adalah realitas Asma-Nya.
Apa yang dia lakukan dan yang dia alami merupakan realitas af’al-Nya semata.
D.
Kesimpulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar