Kamis, 16 April 2015

Ma'rifatullah

 MA’RIFATULLAH
DALAM PERSPEKTIF TASAWUF
--------------------------------------------------------------------------
Oleh: Fahrudin

Abstrak

A.     Pendahuluan
Berbicara tentang ma’rifatullah para ahli agama berbeda-beda pendap dan pandangannya. Ma’rifatullah dalam pandangan para sufi  berbeda dengan ma’rifatullah dalam pandangan para ahli syari’at. Menurut pandangan para ahli syari’at, ma’rifatullah itu hanya sebatas mengenal asma dan af’al Allah, sehingga tumbuhlah keyakinan akan keberadaan Allah Yang maha Esa, Maha Pencipta, Maha Agung, Maha Kaya, dan seterusnya seperti yang tertera dalam asmaul husna. Para ahli tasawuf, memaknai ma’rifatullah tidak sebatas itu, melainkan juga ada yang disebut dengan ma’rifat hakiki, yakni bukan hanya mengenal asma dan af’al-Nya, melainkan juga mengenal Dzat-Nya atau Jati Diri-Nya. Untuk dapat mengenal Jati Diri Ilahi itu memang tidak bisa hanya menggunakan akal pikiran, karena  tidak bisa menjangkaunya, melainkan harus bertanya kepada ahlinya (ahli dzikir). Dengan bertanya kepada ahlinya, maka kita akan sampai mengenal Allah secara hakiki. Dalam pandangan tasawuf,  Allah itu disebut ismu Dzat, yakni nama dari Dzat Yang Al-Ghaib. yang harus dikenali bukan hanya nama-Nya, melainkan juga Dzat-Nya, dan yang kita sembah itu juga bukan nama-Nya, melainkan dzat-Nya. Untuk itu, maka mengenal Dat-Nya merupakan suatu keharusan. Untuk dapat mengenal Allah secara hakiki, selain harus bertanya kepada ahlinya (ahli dzikir), juga bisa dengan cara mengenali jati diti sendiri (fitrah jati diri). Fitrah jati diri manusia itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri, sehingga dengan mengenal fitrah jatinya, maka akan mengenal Tuhannya. Untuk itu, dalam jurnal ini akan dikupas apa yang dimaksud ma’rifatullah menurut pandangan para fufi dan bagaimana cara untuk bisa sampai ke arah sana. 
                   
B.     Makna dan Cara Ma’rifatullah
Apa yang dimaksud ma’ritatullah itu? Menurut Dahlan (Isma’il, 2008: 794), secara  harfiah “ma'rifat berarti pengetahuan, sedangkan dalam kajian tasawuf, ma'rifat maksudnya pengetahuan tentang Allah”. Ma’rifatullah, menurut Hawwa (2008: 1) merupakan dasar yang paling utama dalam Islam, karena tanpa ma’rifatullah setiap amal tidak ada nilainya”. Menurut Sabiq (1990: 30), “ma’rifatullah merupakan seluhur-luhurnya ma’rifat, sebab  ma’rifatullah itu merupakan azas atau fundamen yang di atasnya didirikan segala kehidupan kerohanian”.  Kalau kita perhatikan dalam sejarah, ma'rifatullah mulai banyak diperbincangkan dalam kalangan para zahid dan sufi pada abad ke tiga Hijriyah”. Ma'rifah itu memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma'rifah yang dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma'rifah haqiqi. Dan orang-orang yang telah memperoleh ma'rifah itu disebut Arifun billah".  Cara untuk mengenal Allah itu banyak macamnya. Para ulama berbeda-beda pendapat tentang bagaimana cara kita mengenal Allah.
Untuk mengenal Allah, menurut Sabiq (1990: 31) ada dua cara: Pertama, dengan menggunakan akal pikiran dan mengkaji secara teliti apa-apa yang diciptakan Allah berupa benda-benda yang beraneka ragam yang ada di alam ini. Kedua, dengan mengkaji nama-nama  dan sifat-sifat-Nya.  Dengan menggunakan kedua metode ini, maka seseorang akan mengenal Tuhannya dan akan memperoleh petunjuk ke arah itu.
Berkaitan dengan mengenal Allah menggunakan akal pikiran, bahwa sesungguhnya setiap anggota tubuh itu ada tugasnya. Tugas akal ialah mengangan-angankan, memeriksa, memikirkan, dan mengamati. Jika potensi akal seperti itu tidak digunakan, maka hilanglah fungsi akal dan terhenti pulalah kegiatan hidup. Agama Islam menghendaki agar   akal itu bergerak dan melepaskan keterkekangannya dengan segera bangun dari tidur nyenyaknya, kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Dan ini sesuai dengan perintah Allah dalam Al-qur’an, yang artinya: "Katakanlah: Perhatikanlah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi" (QS.Yunus:101).  Dalam ayat ini Allah memerintahkan  kita semua menggunakan akal untuk memikirkan ciptaan Allah yang ada di langit dan bumi, sehingga kita bisa mengenal Allah. Kalau manusia tidak menggunakan akal dari tugas yang semestinya akan menurunkan manusia itu sendiri ke suatu tarap yang lebih rendah dan lebih hina dari tarap binatang. Keadaan seperti itulah yang merupakan penghalang besar bagi umat yang dahulu untuk langsung menembus kepada hakikat-hakikat yang ada di dalam diri, jiwa dan alam semesta.
Cara yang tepat untuk mengenal Allah adalah dengan menganalisa dan meneliti tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menjadi tanda keberadaan-Nya. Akal,  pikiran,  dan ilmu pengetahuan merupakan syarat fundamental bagi orang yang ingin mengenal Allah denga menggunakan metode ini. Sebab, tanpa akal kita tidak akan bisa mengetahui ayat (tanda bukti) kekuasaan-Nya. Tanpa pikiran, maka Sang Pencipta ayat itu tidak akan bisa dikenal. Demikian pula tanpa ilmu pengetahuan, maka pengetahuan tentang ayat atau Penciptanya tidak akan tercapai (Hawa,  2008:11). Orang yang memperhatikan Al-qur’an pasti tahu bahwa Al-qur’an secara tegas mengajak manusia untuk memanfaatkan potensi akal, pikiran, ilmu pengetahuan, dan sejarah yang kesemuanya merupakan syarat asasi untuk mengenal Allah (ma'rifatullah).  Salah satu contoh, Allah berfirman, yang artinya:
Katakanlah! Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah! Perlihatkanlah kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orag-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar (QS.Al-ahqaf: 4).
 
Apakah ada secercah ilmu pengetahuan yang memberikan kesaksian bahwa Sang Pencipta itu bukan Allah? Jika manusia mengingkari Tuhannya, berarti ia bodoh tidak punya pengetahuan. Dan kebodohan tersebut bukan kebodohan biasa, melainkan kebodohan yang menyesatkan dirinya.
Al-qur’an berulangkali menyebut kata mengetahui, berpikir, dan berakal yang secara jelas mengajak akal manusia agar memperhatikan ciptaan Allah. Salah satu contoh Allah berfirman, yang artinya: "Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal" (QS.Ar-ra'ad: 4). Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) pelajaran bagi kaum yang mengetahui (QS. An-naml:52). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda  (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS. An-nahl: 11).
Orang yang tidak bisa menyaksikan Allah dengan akalnya setelah mengetahui ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya laksana orang yang membawa setumpuk buku tetapi tidak mengerti siapa penulisnya. Akibatnya, dia dianggap bodoh dan tidak ada. Dan yang menyebabkan orang menjadi kafir bukanlah karena ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah itu sedikit atau samar, karena ayat-ayat Allah itu banyak dan jelas sekali. Penyebab kekafiran itu terletak di dalam diri mereka sendiri, yaitu pada sikapnya yang tidak sudi mengakui kebenaran, menyimpang dari fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga hatinya tertutup dan menjadi buta, yang jika tanpa kuasa Allah dia akan tetap tenggelam dalam kekafiran. Pada bagian yang lain, Hawa (2008: 24) menjelaskan: “Bahwa ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang bisa dijadikan alat untuk mengenal Allah itu dapat ditemukan pada tiga hal, yaitu: alam semesta, Al-qur’an, dan mu’jizat”.
Pertama, alam semesta. Alam semesta  dan apa yang ada di dalamnya merupakan salah satu bukti keberadaan Allah swt, karena alam semesta ini tidak mungkin ada tanpa adanya yang menciptakan.  Allah berfirman: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-dzariyat: 20-21). “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling darinya” (QS. Yusuf: 105).
Dalam ayat yang lain yang lebih detail lagi, sebagai bukti keberadaan dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta,  Allah menjelaskan:
Dan suatu tanda kekuasaan Allah bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka  dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa  lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan fase-fase, sehingga (setelah dia sampai ke fase terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (QS. Yasin: 37-39).   

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tempat tidurmu di waktu malam, dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya di siang hari. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan (QS. Ar-rum: 23).

Dari beberapa ayat Al-qur’an di atas jelaslah kepada kita bahwa Allah itu wajib wujud-Nya, yang ditandai dengan adanya alam semesta dan seisinya, dan juga adanya hal-hal yang terjadi di alam semesta ini. Untuk itu, maka kita wajib mengenal keberadaan Dzat Allah dengan seyakin-yakinnya. Bukan hanya mengenal asma dan af’al-Nya saja, karena tanpa mengenal Jati Diri-Nya atau Dzat-Nya kita tidak akan bisa mentauhidkan-Nya.
Kedua, Al-qur’an.  Al-qur’an juga menjadi bukti keberadaan Allah. Al-qur’an merupakan firman Allah, kalamullah yang tidak boleh diragukan oleh kita semua. Allah menurunkan Al-qur’an sebagai petunjuk bagi kita semua, merupakan rahmat dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman:
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-qur’an) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-ankabut: 50-51). 

Sebenarnya Al-qur’an itu ayat-ayat (tanda-tanda keberadaan Allah) yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim (Al-ankabut: 49).

Bagaimana sampai kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu. Barangsiapa siapa yang berpegang teguh kepada (agama), maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS. Ali Imran: 101).

Dari ketiga ayat Al-qur’an di atas, jelaslah kepada kita bahwa Al-qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya menjadi bukti keberadaan-Nya, tetapi masih banyak orang yang mengingkari-Nya.
Ketiga, mukjizat. Di dalam Al-qur’an banyak sekali mu’jizat yang Allah berikan  kepada para Rasul-Nya tatkala menghadapi orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Salah satu dari sekian banyak mu’jizat tersebut yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu. Sebab itu, biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu ditimpa adzab yang dekat (QS. Hud: 64).

Dan (sebagai) rasul kepada Bai Israil (yang berkata kepada mereka), sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa satu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit sopak,  dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan  dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah satu tanda (benarnya kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman (QS. Ali Imran: 49).

Dua ayat Al-qur’an di atas, merupakan bukti  kekuasaan Allah yang diberikan kepada para rasul-Nya berupa kemukjizatan yang ditunjukkan kepada orang-orang yang tidak beriman.  Ini sebagai  bukti bahwa Allah itu benar-benar ada.            
Untuk dapat mengenal Allah, selain harus melalui langkah-langkah seperti tersebut di atas, menurut Bya (2006: 59) yaitu:  “harus  mengenal diri sendiri”. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ali  (Al-Hariri, 2009: 127) bahwa: “Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Secara umum, yang dimaksud mengenal diri ialah mengenal asal usul manusia,  proses penciptaan manusia, dan juga mengenal struktur keberadaan manusia itu sendiri.  
Manusia itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah (QS.2: 156).  Manusia itu diciptakan Allah dari berasal dari tanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna ...” (QS.22: 5).
Manusia diciptakan Allah terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani yaitu jisim manusia, tubuh atau badan. Jasad ialah tubuh manusia yang berupa darah, daging, dan tulang. Namun demikian, realitas jasad adalah realitas manusia yang pokok, karena tanpa adanya jasad tidak dapat dipahami adanya manusia. Dengan adanya jasad, manusia dapat dilihat pada aktifitas dalam ruang dan waktu tertentu (Asy’ari, 1992: 62). Menurut Al-Ghazali (Nasution, 1988: 65), ‘Jasmani itu ialah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak’, sedangkan ruhani adalah bagian dalam manusia yang tidak tampak, yang terdiri dari “ruh dan nafs”
Ruh adalah persoalan yang amat pelik, sehingga banyak orang beranggapan bahwa soal ruh itu tidak perlu dibicarakan, karena dapat membingungkan. Sungguhpun demikian, ruh adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Adapun tentang an-nafs, terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli dalam memaknai a-nafs. Ada yang mengartikan nafs dengan jiwa, dan ada pula yang mengartikannya dengan nyawa atau nafas yang menjadi tanda adanya kehidupan pada tubuh manusia (Asy’ari, 1992: 70).
Dari uraian tentang metode mengenal Allah seperti yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapatlah dikatakan bahwa metode mengenal Allah itu banyak caranya. Untuk dapat mengenal Allah atau untuk dapat menyakini keberadaan Allah itu bisa dengan cara memahami hal-hal sebagai berikut: (1) Memahami  ciptaannya yang ada di alam semesta ini, karena segala sesuatu ciptaan Allah itu bisa menjadi bukti bahwa Allah itu ada; (2) Memahami asma dan sifat-sifatnya. Dengan memahami asma dan sifat-sifatnya, maka akan tumbuh keyakinan bahwa Allah itu merupakan Dzat Yang Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Kaya, Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan lain-lainnya; (3) Memahami firman-firman-Nya. Firman Allah berarti kalam Allah  itu sendiri. Dengan memahami firman-firman-Nya, akan akan tumbuh keyakinan Allah itu ada, dan dibuktikan dengan adanya firman-firman-Nya.

C.  Ma’rifatullah dalam Perspektif Tasawuf
Pandang para sufi tentang ma’rifatullah sangat berbeda dengan pandangan para ahli pada umumnya. Dalam pandangan sufi, ma’rifatullah bukanlah hanya sekedar mengenal asma dan af’al-Nya, melainkan juga mengenal Dzat-Nya. Yang jadi pertanyaan, mungkinkah Dzat Allah itu  bisa dikenali?.  Banyak orang mengatakan bahwa Dzat Allah itu tidak bisa dikenali, karena akal manusia bisa akan bisa menjangkaunya. Memang betul, kalau kita ingin mengenal Dzat Tuhan tidak bisa hanya dengan menggunakan akal, karena akal tidak akan sampai kepada-Nya, atau hanya dengan memahami ciptaan-Nya, asma dan sifat-Nya. Kalau kita ingin mengenal Dzat Tuhan harus sesuai dengan petunjuk Tuhan yakni harus  bertanya kepada ahlinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-qur’an: “Fas-alu ahladzdzikri inkuntum la ta’lamun” (bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak tahu (Diri-Nya Ilahi)” (QS. Al-Anbiya: 7). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa untuk dapat mengenal Allah itu tidak bisa hanya menggunakan akal, melainkan harus bertanya kepada ahlinya atau harus ada yang membimbing dan menunjukkan kita ke arah sana.
Yang perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud mengenal Dzat Allah dalam pandangan tasawuf itu ialah mengenal Dzat Allah dalam rasa yang ada dalam hati, sehingga rasa tersebut bisa merasakan keberadaan dan kehadiran Allah dalam dirinya.
Untuk dapat mengenal Allah, selain kita harus bertanya kepada ahlinya,  menurut pandangan tasawuf, harus dengan cara  “memahami  fitrah jati diri manusia yang berasal dari fitrah Allah itu sendiri”, sesuai dengan firman Allah:
“Hadapkanlah wajahmu kepada agama secara lurus. Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.  Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS.30: 30).
                                    
Fitrah manusia adalah inti manusia itu sendiri, dan inti manusia  ialah rasa. Di dalam rasa itu ada Nur Muhammad (cahaya Allah Yang Terpuji). Antara Allah dan cahaya itu ialah menyatu bagaikan lampu dan sinarnya atau bagaikan matahari dan sinarnya. Oleh karena itu, bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah itu ialah Allah itu sendiri yang ada di dalam rasa.
Allah itu ismu Dzat (nama dari Dzat) yang Ghoib. Jadi yang harus kita kenali bukan hanya nama-Nya, dan bukan hanya percaya akan keberadaan Allah, tapi harus mengenal Dzat-Nya. Dan sebenarnya, sebagaimana di jelaskan di dalam Al-qur’an bahwa keberadaan Allah itu sangat dekat dengan kita, dan bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher kita, yaitu adanya di dalam rasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Hadits  Qudsi: “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di dalam shadr itu ada qalb, di dalam qalb itu ada fuad, di dalam fuad itu ada syanghf, di dalam syanghf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr, di dalam sirr itu ada Aku (Tafsir, 2010: 28). Dalam Hadits Qudsi ini dijelaskan bahwa Aku (Allah) itu ada dalam sirr (rasa) dan sirr (rasa) itu merupakan  inti manusia, dan itulah fitrah manusia. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa barangsiapa mengenal dirinya (fitrah jati dirinya), maka akan kenal pada Tuhannya, karena fitrah manusia itu berasal dari fitrah Allah itu sendiri.    
Untuk dapat mencapai ma’rifah itu memang tidaklah mudah, karena pada dasarnya  ma’rifah itu merupakan anugerah Ilahi bagi siapa pun yang dikehendaki oleh-Nya. Karena itu, siapa pun orangnya  harus melepaskan asumsi bahwa ma'rifah yang diberikan Allah swt itu merupakan akibat dari perenungan dan amal kebaikannya, sebab jika hanya dengan perenungan dan amal ibadah, tidak akan sampai kepada ma’rifatullah, melainkan hanya akan sampai meyakini adanya Allah. 
Apabila kita berbicara ma’rifatullah lebih jauh lagi, sesungguhnya ma’rifatullah itu memiliki kedudukan yang sangat esensial dalam kehidupan umat Islam,  sebab tanpa ma’rifatullah hidup ini akan hampa. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Al-Ghazali  (1986: 7), bahwa: “Ibadah tanpa ilmu dan tanpa ma’rifah tidak ada artinya.  Ilmu dan  ma’rifah merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh seseorang dalam beribadah, karena kalau tidak dia akan celaka. Artinya, ia harus belajar supaya bisa beribadah dengan baik, menempuh jalan ini sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan merenungkan sepenuhnya. Dengan belajar, bertanya kepada para ulama tentang akhirat, kepada petunjuk-petunjuk jalan, para pemuka umat, para imam, mudah-mudahan dengan demikian dapat berhasil mencapai ilmu yakin.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang dimaksud ma’rifatullah itu, Bya (2006: 268) menjelaskan beberapa pandangan para tokoh tentang apa sebenarnya ma’rifatullah itu. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq ditanya tentang ma’rifatullah yang ada pada dirinya, ia berkata: Sangat mustahil datangnya ma’rifat masuk ke hati sanubari seorang hamba, kecuali karena ma’unah Allah. Beliau mengatakan bahwa ma’unah itu tidak akan ditemukan pada panca indera manusia, tidak ada ukurannya. Ma’rifat itu dekat tapi jauh, dan jauh tapi dekat. Tidak dapat diucapkan dan dinyatakan. Di bawahnya ada sesuatu dan berada di depan segala sesuatu. Dialah Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiada sesuatu yang ada pada sesuatu yang lain. Tiada yang sama seperti itu, hanyalah Dia Dzat Yang Suci itu, yakni Allah swt.
Imam Ja’far ash-Shadiq, salah seorang keturunan Rasulullah saw  juga pernah ditanya: Apakah anda melihat Allah? Beliau menjawab: Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihat. Ia pun ditanya lagi, lalu bagaimana anda melihatnya, sementara Ia tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Imam Ja’far kembali menjawab: Aku tidak akan mampu melihat-Nya dengan pandangan mata, tetapi melihat-Nya dengan mata hati melalui hakikat keimanan. Dia tidak kasat indera dan tidak pula dapat diukur oleh manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam pandangan para sufi, pemahaman ma’rifatullah itu berbeda dengan pandangan pada umumnya. Di antaranya, Dahlan menjelaskan bahwa  dalam kajian tasawuf,  ma'rifatullah itu memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma’rifah yang dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma’rifah hakiki. Dan orang-orang yang telah memperoleh ma’rifah itu disebut Arifun billah" (Isma’il, 2008: 794).
Dahlan lebih lanjut menjelaskan bahwa munculnya gagasan tentang ma'rifat hakiki itu menjadi tahapan penting bagi perubahan tujuan dari ibadah para zahid dan ahli ibadah di kalangan kaum muslimin.  Sebelumnya para zahid dan ahli ibadah sampai pertengahan abad ke dua Hijriyah memilih jalan zuhudpada dunia karena dorongan mencari kehidupan yang lebih sesuai dengan corak kehidupan Nabi Muhammad saw yang diridhai Tuhan atau sangat terdorong oleh emosi takut pada neraka sebagai akibat penghayatan yang sungguh-sungguh atas peringatan-peringatan keras dari ayat-ayat suci Al-qur’an dan Hadits-hadits Nabi atau sangat berharap mendapatkan surga sesuai dengan janji-janji yang dinyatakan kedua sumber pokok ajaran Islam itu.
Pada paruh kedua abad dua Hijriah, muncul di kalangan mereka zahidah terkenal, Rabi'ah al-Adawiyah yang di hatinya sangat bergelora emosi cinta pada Tuhan. Dengan cinta itu, tampak bahwa sang pencinta sebagai zahidah, sama sekali tidak dikuasai emosi takut pada neraka atau oleh harapan pada surga, tetapi oleh emosi cinta yang bergelora memenuhi hati. Pencinta Tuhan itu tidak mengharapkan surga dari Tuhan atau keterhindaran dari neraka, tetapi mengharapkan cintanya pada Tuhan berbalas pula dengan cinta Tuhan kepadanya. Pada paruh pertama abad tiga Hijriyah barulah muncul gagasan dan perbincangan tentang ma’rifah hakiki.
Sejak abad tiga Hijriyah itulah gerakan zuhud (asketisme) memperoleh tujuan yang baru  yaitu ma’rifah hakiki, dan dengan demikian asketisme meningkat kualitasnya menjadi tasawuf. Para zahid yang berhasil memperoleh ma’rifah hakiki selain disebut "arif", juga disebut sufi atau waliyullah.
Gagasan adanya ma’rifah hakiki dimunculkan oleh Dzunnun Al-Misri, karena itu ia dapat disebut sebagai bapak gagasan ma’rifah dalam tasawuf. Menurut Dzunnun Al-Misri, ada tiga macam ma’rifah. Pertama, ma’rifah di kalangan awam, yaitu mereka mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat. Kedua, ma’rifah di kalangan ulama dan para filusuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini; mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, ma’rifah di kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifah tingkat ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma’rifah hakiki dan tertinggi.
Sebelum Dzunnun Al-Misri,  sebenarnya sudah muncul satu dua ungkapan dari zahid yang mendahuluinya, yang bisa mengilhaminya untuk melahirkan pandangan  yang penting tentag ma’rifah. Pertama, ungkapan Rabi'ah Al-Adawiyah tentang terbukanya hijab sehingga dapat melihat Tuhan dengan hatinya. Kedua, ungkapan yang muncul dari Abu Sulaiman Ad-Darani, ia berkata: Sesungguhnya Allah membukakan bagi sang arif yang sedang berbaring tidur, sesuatu yang tidak dibukakan kepada yang lain, meskipun yang lain itu sedang menegakkan shalat.
Ma’rifah hakiki selain sering dibicarakan Dzunnun Al-Misri, juga sering dibicarakan oleh para zahid dan sufi sesudahnya, kendati pembicaraan mereka baru dalam bentuk butir-butir ungkapan yang berserakan. Ma’rifah dan sang arif dalam tebaran ungkapan para sufi itu antara lain sebagai berikut. Dzunnun Al-Misri menuturkan antara lain: "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku; kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku". Manusia yang paling mengenal Tuhan adalah yang paling terpesona pada-Nya. Ada tiga tanda sang arif, yaitu cahaya ma’rifahnya tidaklah memadamkan cahaya kewara'annya, ia tidak percaya bahwa aspek batin hukum bertentangan dengan aspek lahirnya, dan keberlimpahan nikmat Tuhan bagi dirinya tidak mendorongnya untuk mengoyak tirai yang menutup kawasan sakral Tuhan. Arwah para Nabi berlomba di padang ma’rifah, dan ruh Nabi kita Muhammad saw memimpin mereka semuanya menuju taman wasal (perjumpaan dengan Tuhan). Pergaulan sang arif seperti pergaulan Tuhan, ia pemurah dan lapang dada kepada orang lain, karena ia berakhlak dengan akhlak Allah. Bagi setiap orang ada bentuk hukuman tertentu dan hukuman bagi sang arif adalah terputus dzikir kepada Allah.
Menurut Abu Yazid, sang arif tidak melihat sesuatu pun selain Allah dalam tidurnya, tidak pula melihat sesuatu dalam jaganya kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak memandang kecuali kepada Allah. Manusia biasa mempunyai keadaan-keadaan (ahwal), tetapi sang arif tidak; sifat-sifat manusiawinya telah sirna, dan Dzatnya telah berobah menjadi Dzat yang lain; sifatnya telah sirna karena sifat-sifat selain dirinya telah menggatikannya. Ketika Abu Yazid ditanya, dengan apa ia mencapai ma’rifah, ia menjawab, dengan perut yang lapar dan tubuh tanpa pakaian. Para arif mencapai ma’rifah dengan menghilangkan (tidak memperdulikan) apa saja yang mereka miliki, dan tinggal dengan apa yang dimiliki Allah.
Menurut Al-Hallaj, bila seseorang mencapai maqam ma’rifah, Allah akan mengilhamkan baginya lintasan-lintasan ide dan Ia menjaga hatinya agar tidak muncul pada hatinya itu selain lintasan kebenaran. Tanda sang arif adalah kosong perhatian hatinya kepada dunia dan akhirat. Sejalan dengan itu, Asy-Syibli menyatakan, bahwa sang arif tidak memperhatikan sesuatu selain Allah, tidak berbicara dengan kalam selain-Nya, dan tidak melihat satu pun bagi dirinya selain Dia sebagai pelindung. Abu Utsman Al-Maghribi menuturkan, bahwa sinar-sinar pengetahuan menerangi sang arif, sehingga ia melihat hal-hal ghaib yang menakjubkan dengan pengetahuan itu. Abu Tayyib Al-Samarri mengatakan, ma’rifah adalah terbitnya kebenaran atas batin seseorang dengan cahaya yang terus menerus.
Dari sejumlah penuturan tentang ma’rifah dan sang arif di atas, jelaslah pada kita bahwa para sufi sejak dari Dzunnun Al-Misri dan para sufi sesudahnya memberikan deskripsi yang istimewa tentang ma’rifah dan sang sufi, yang pada intinya ma’rifah adalah keterbukaan hijab pada hati, melihat Tuhan dengan hati, dan karena itu ia mengenal Tuhan dengan hatinya itu.                    
Dengan demikian, dapatlah dipahami  bahwa mengenal Allah (ma'rifatullah) merupakan dasar yang paling utama dalam beragama Islam. Kenapa dalam kajian tauhid ada ungkapan bahwa “Pertama kali yang wajib bagi manusia ialah mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa mengenal Allah merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, karena tanpa mengenal Allah keimanan seseorang belumlah sempurna. Sehubungan dengan itu, Imam Ali menjelaskan bahwa pokok agama adalah ma’rifat tentang Allah. Kesempurnaan ma’rifat tentang Allah adalah dengan tashdiq (membenarkan) terhadap-Nya. Kesempurnaan tashdiq terhadap Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, dan kesempurnaan tauhid kepada-Nya yaitu dengan ikhlas kepada-Nya (Al-Hariri, 2009: 7). Sejalan dengan itu, Al-Jailani (2010:71) mengemukakan: Wahai orang-orang, kenalilah Allah dan janganlah engkau tidak mengenal-Nya, taatlah kepada-Nya dan janganlah sekali-kali bermaksiat kepada-Nya, ridhalah kepada takdir-Nya dan jangan menentang-Nya. Kenalilah al-Haq ‘Azza wa Jalla dengan segala sifat-Nya. Dia Maha Pencipta dan Maha Pemberi Rizki, Dia Yang Awal dan Yang Terakhir, Dialah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Yang Qadim, Yang Abadi dan Maha Berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia adalah Tuhan yang menjadikan kaya dan miskin, Yang memberikan manfaat, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang memberi balasan, Yang dijadikan tempat pengharapan. Takutlah kepada-Nya, dan tidak perlu takut kepada apa pun selain Dia, berharaplah kepada-Nya dan jangan menyimpan harapan kepada selain Dia, berjalanlah bersama dengan takdir dan hikmah-Nya hingga kodrat melampauai hikmah. Terapkanlah adab dengan berpegang penuh pada kitab pedoman, hingga datang apa yang menghalangi antara engkau dengan-Nya. Engkau akan terpelihara dari panasnya batas syari'at. Tidak ada yang dapat mencapai derajat ini  kecuali sebagian kecil dari orang-orang yang shalih.  
Menurut Ar-Rumi, Ma’rifah yaitu pengetahuan tentang Tuhan yang dirasakan hati secara langsung oleh seseorang  apabila  hatinya bersih dari noda. Namun, tidak semua orang bisa mencapai ma’rifah, karena ma’rifah itu bukan merupakan hasil usaha, tetapi merupakan anugerah dari Allah (Isma’il, 2008: 632).
Dalam sebuah tamsil, Ar-Rumi mengumpamakan para pencari ma’rifah dengan para pencari mutiara yang terdiri atas tiga kelompok. Pertama, orang yang senang dengan perhiasan mutiara, dan mereka menginginkan mutiara itu. Karena itu, mereka pergi ke pantai untuk mengambil mutiara dari laut; akan tetapi mereka tidak bisa berenang, apalagi menyelam ke dasar laut di tempat mutiara berada, sementara peralatan untuk menyelam pun tidak mereka miliki. Karena itu, mereka hanya bisa melihat orang lain berenang dan menyelam, dan kemudian kembali ke tempat semula dengan tangan kosong. Kedua, orang-orang yang memiliki keterampilan berenang dan mereka memiliki alat untuk menyelam ke dasar laut. Sebab itu, tidak ada hambatan bagi mereka untuk meraut lokan-lokan yang ada di dasar laut untuk dibawa ke daratan; akan tetapi setelah lokan-lokan itu diangkut ke atas, lalu dipecahkan, mereka tidak menemukan satu butir mutiara pun, dan mereka pun pulang dengan tangan hampa. Ketiga, orang-orang yang memiliki keterampilan berenang dan dilengkapi peralatan yang cukup untuk menyelam ke dasar laut. Mereka memungut lokan-lokan di dasar laut untuk diangkut ke daratan. Setelah lokan-lokan itu terkumpul, mereka memecahkannya satu demi satu. Dan dengan berkah dari Allah mereka mendapatkan mutiara berharga. Mereka inilah dalam tamsil Ar-Rumi orang yang beruntung. Karena anugerah Allah, mereka mencapai ma’rifah kepada-Nya.
Puncak ma’rifah ialah ketika seorang sufi mencapai mahabbah, dan puncak mahabbah ialah ketika seorang sufi mencapai fana selakigus baqa bersama Tuhan. Baginya, mahabbah belum tercapai sepenuhnya sebelum dia lebur (fana) ke dalam Yang Dicintainya dan sekaligus baqa bersama sang Kekasih (Tuhan). Ketika manusia telah benar-benar dapat memusnahkan kesadaran tentang dirinya (fana al-fana), niscaya ia akan mencapai baqa. Di sini jarak antara "aku" dan "Engkau" sudah tidak ada, sehingga aku sirna dalam "Aku" mutlak. Dalam persatuan demikian, esensi manusia tidak sirna, tapi kualitasnya sudah hilang dan berganti dengan kualitas Ilahiah, laksana besi dan api ketika dibakar. Besi adalah besi dan api adalah api, tetapi kualitas besi sudah hilang dan berganti dengan kualitas api, meskipun esensi besi masih tetap ada.
Seseorang yang telah mengenal Allah (ma'rifatullah) dan mencapai hakikat akan merasakan dampak positif dalam kehidupannya.  Paling tidak ada  sembilan nilai  positif yang akan dirasakan oleh seseorang yang telah mengenal Allah dan mencapai hakikat. Kesembilan nilai tersebut adalah sebagai berikut: (1) Merasakan kebenaran atas kedekatan Allah pada dirinya, (2) Merasakan Kenikmatan Akibat Terbebas dari Kesyirikan, (3) Merasakan Nikmat Dapat Selalu Bersamanya, (4) merasakan Keamanan dan Ketenteraman Hati, (5) Dapat Merasakan Keindahan dan Keserasian dalam Setiap Firman-firman Allah, (6) Merasakan Kemudahan dalam Memahami  Hakikat Firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an, (7) Merasakan Kemudahan dalam menjalani Hidup dan Kehidupannya dengan Tanpa Beban, (8) Merasakan Nikmat, Ringan, dan Khusyu’ dalam Beribadah kepada-Nya, (9) Merasakan Tidak Memiliki Daya dan Upaya dalam Menjalani Kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah (Al-Kadiri, 2010: 225).
Pertama, merasakan kebenaran atas kedekatan Allah pada dirinya. Seseorang yang telah mencapai ma’rifat akan merasakan bahwa Allah itu sangat dekat dengan dirinya, bahkan kedekatan tersebut tidak bisa digambarkan, sehingga hampir tidak bisa membedakan mana Tuhan dan mana makhluk. 
Seseorang yang telah mencapai hakikat dan ma’rifat akan paham bahwa kekuasaan Allah itu meliputi segala sesuatu yang tidak terbatas pada lahir, hidup, mati, kaya, miskin, dan jodoh saja,  melainkan berpikirnya juga berada dalam liputan Allah, ibadahnya,  bekerjanya, berkeluarganya, dan lain-lainnya semuanya berada dalam liputan Allah. Demikian juga pada perasaan, tingkah laku, pandangan, pembicaraan, pendengaran, penciuman, semuanya berada pada liputan Allah.
Seseorang yang mencapai hakikat dan ma’rifat tidak akan muncul lagi dalam dirinya perasaan ke-aku-an, ego, ataupun nafsu dalam diri pribadi. Semuanya telah terganti dengan kepemilikan Tuhannya, semuanya telah menjadi af’al Tuhannya. Dalam diri seseorang yang telah berhakikat telah terjadi revolusi dalam hati, jiwa, dan perasaannya, sehingga timbullah kesadaran bahwa sifatnya menjadi sifat Allah, Asmanya menjadi Asma Allah, dan af’alnya menjadi af’al Allah.
Dengan demikian, apabila dia berjalan, ia yakin bahwa itu berjalannya Tuhan, apabila ia melirik berarti itu adalah lirikan Tuhan, apabila ia memandang itu adalah pandangan Tuhan, apabila ia mendengar itu adalah pendengaran Tuhan, apabila ia berbicara itu adalah pembicaraan Tuhan, apabila ia merasa itu adalah perasaan Tuhan. Demikian juga segala gerak gerik dan urusannya semua itu gerak gerik dan urusan Tuhan.
Kedua, dapat merasakan kenikmatan akibat terbebas dari kesyirikan. Seseorang yang telah mencapai hakikat akan menyadari bahwa perbuatan syirik adalah sangat berbahaya, karena perbuatan syirik merupakan dosa besar dan tidak akan diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) orang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka  sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisa: 116).
   
Dengan memahami ayat tersebut, maka seseorang yang telah mencapai hakikat merasa tidak mungkin dan tidak mampu melanggarnya, karena dia merasa bahwa dia tidak memiliki apa pun. Nyawanya, jiwanya, fisik tubuhnya, segala ibadahnya, segala prilakunya, dan bahkan keberadaannya pun terfanakan. Yang ada hanyalah keberadaan Tuhan sendiri, dan semuanya adalah mutlak milik Allah. Apabila sudah demikian, apa yang akan disekutukan dengan-Nya, sehingga akhirnya berbahagialah dia karena telah terbebas dari kesyirikan itu.
Ketiga,  dapat merasakan nikmat dapat selalu bersamanya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa nikmat dalam kehidupannya, karena dia tidak terbebani apa pun. Semua sudah tergantung dengan kehendak Tuhannya, semua sudah menjadi af’al-Nya, sehingga akan merasa nyaman apa yang dijalani dalam hidup dan kehidupannya.
 Seseorang akan merasa nikmat apabila dia bergerak adalah sebagai kehendak gerak-Nya Tuhan,  apabila dia tersenyum sebagai kehendak senyum-Nya Tuhan, apabila dia berani sebagai kehendak keberanian-Nya Tuhan, apabila dia ibadah sebagai kehendak ibadah-Nya Tuhan, apabila dia shalat sebagai kehendak shalat-Nya Tuhan, apabila dia puasa sebagai kehendak puasa-Nya Tuhan. Demikianlah segala yang dilakukan hingga yang dirasakan, semuanya adalah sebagai kehendak-Nya Tuhan, sebagai af’al-Nya Tuhan.
Keempat,  dapat merasakan keamanan dan ketenteraman hati. Seseorang yang telah mencapai hakikat akan merasa aman dan tenteram dalam hati dan perasaannya. Betapa tidak, Dia telah terbebas dari kekhawatiran akan kesyirikan, sehingga tidak ada lagi rasa ketakutan menghadapi kehidupan keakhiratan. Kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat, tidak menjadi perhatian lagi, karena semuanya sudah bergantung kehendak Tuhan sendiri yang selama ini telah menggerakkan hati, pikiran, kelakuan, dan ibadahnya. Sementara pribadinya telah tiada, tergantikan dengan keberadaan-Nya. Dengan demikian, tidak ada lagi syirik walaupun sekecil apa pun. Seorang yang berhakikat akan selalu tenteram hatinya, tenteram jiwanya, tenteram perilakunya, tenteram imannya, tenteram ibadahnya, tenteram shalatnya, tenteram puasanya, tenteram zakatnya, tenteram amalnya, dan lain sebagainya.
Kelima,  dapat merasakan keindahan dan keserasian dalam setiap firman-firman Allah. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasakan betapa indahnya firman-firman Allah dalam Al-qur’an. Indah dalam bunyinya, indah dalam susunannya, indah dalam arti dan kedalamannya. Salah satu contoh surat al-Ikhlas. Betapa indah bunyinya kalau dibaca, dan indah pula susunan kata-katanya. Singkat sekali firman Allah dalam surat al-Ikhlas tersebut. Namun, tiada terukur betapa dalam dan luas maknanya.
Keenam, dapat merasakan kemudahan dalam memahami hakikat firman-firman Allah dalam Kitab Suci Al-qur’an. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa mudah dan jelas dalam memaknai ayat-ayat dalam Al-qur’an.  Dirasakannya sedemikian terang dan logisnya ayat-ayat tersebut sehingga tidak tersisa lagi keraguan atas kebenarannya.  Seorang yang mencapai hakikat memiliki keimanan yang mendalam kepada Tuhannya, dia akan larut dalam setiap ayat Al-qur’an yang dibacanya, sehingga dia hanya mengangguk-angguk membenarkan dengan sepenuh hati dan perasaannya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasa lebih mudah memahami dan menguraikan ayat-ayat dalam Al-qur’an. Dia akan mampu memahami yang tersirat, apalagi yang tersurat. Karena semuanya dipahami atas akal, logika berpikir, dan pengertiannya, bukan atas hafalan atau sekedar katanya.
Ketujuh,  dapat merasakan kemudahan dalam menjalani hidup dan kehidupannya dengan tanpa beban. Seorang yang telah mencapai hakikat tidak memiliki kekhawatiran akan beban hidupnya. Keyakinan pada Tuhannya menjadikan dia sedemikian yakin akan selalu berada dalam lindungan-Nya, selalu dalam perhatian-Nya. Orang yang telah mencapai hakikat demikian besar keyakinan terhadap firman-firman  Tuhannya, sehingga keimanannya tidak akan terkikis oleh waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Kefanaan dirinya menjadikannya tidak dapat terpengaruhi oleh badai bagaimanapun besarnya. Kehidupannya dirasakan menjadi nyaman dan tenteram selamanya. Apabila Allah menentukan kedukaan, dia hanya bersabat atasnya; dan apabila Allah menentukan kegembiraan, dia akan bersyukur karenanya. Karena dia telah memahami bahwa kesabaran dan kesyukurannya pun tidak lain merupakan kehendak-Nya pula.
Kedelapan,  dapat merasakan nikmat, ringan, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya. Seorang yang telah berhakikat akan merasakan nikmat dalam ibadahnya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka akan merasakan nikmatnya shalat tersebut. Dia mendapatkan kenikmatan dalam gerakan, ucapan, ketundukan hati, dan dalam ketenangan jiwanya. Kefanaannya meliputi seluruh lahir batinnya, sehingga dia menjadi khusyu karenanya. Tidak ada gangguan syetan yang dapat memasuki wilayah ibadah seorang yang telah mencapai hakikat. Di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, tidak ada celah yang dapat dimasuki setan pada dirinya.
Kesembilan, dapat merasakan tidak memiliki daya dan upaya dalam menjalani kehidupan. Seorang yang telah mencapai hakikat akan dapat mengamalkan semangat “la haula wala quwwata illa billah”. Seorang yang telah mencapai hakikat akan tumbuh kesadaran bahwa dia tidak memiliki daya dan upaya apa pun kecuali bersama Allah. Apabila kemudian dia terlihat melakukan peribadatan misalnya, maka itu merupakan daya dan kekuatan  Allah sendiri, atas keinginan dan kehendak Allah sendiri. Semangat “la haula wala quwwata illa billah” tidak hanya berlaku dalam ibadah semata, tetapi berlaku pula dalam segala tindakannya, segala kesibukannya, segala usahanya, segala prosesnya, dan segala hasilnya. Jadi, berlaku pada segala kegiatan dalam hidup dan kehidupannya. Seorang yang telah mencapai hakikat akan merasakan apa yang dilakukannya adalah realitas rencana Tuhan, realitas kehendak-Nya, realitas keinginan-Nya, Sedangkan dia sendiri tidak ikut serta dalam apa yang dilakukannya tersebut.
Dari beberapa ungkapan tentang kondisi spiritual orang yang telah ma’rifatullah seperti diungkapkan di atas, dapat dipahami bahwa ma’rifatullah itu ialah mengenal Allah dengan mata hati kita, sehingga kita merasakan kehadiran Allah dalam diri kita, yang secara hakiki Allah itu dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher. Ma’rifatullah sangat penting bagi seseorang, karena ma’rifatullah merupakan esensi dari ajaran Islam. Tanpa mengenal Allah hidup ini akan hampa dan tidak jelas siapa yang kita tuju, baik dalam ibadah maupun dalam melakukan aktivitas-aktivitas lainnya  dalam  hidup ini. Ibadah, baik shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya  tanpa dibarengi dengan ma’rifatullah akan sia-sia. Begitu juga,  segala  aktifitas yang baik yang dilakukan kita dalam kehidupan sehari-hari akan bernilai  ibadah apabila didasari dengan ma’rifatullah.
Orang yang mencapai ma’rifatullah yang haqiqi akan menjadikan orang itu selalu fana billah. Apa yang menjadi sifat dalam hidup dan kehidupannya, tidak lain adalah realitas dari sifat Tuhan. Apa pun yang dia lafalkan, yang dia dzikirkan, yang dia ucapkan, yang dia suarakan, tiada lain adalah realitas Asma-Nya. Apa yang dia lakukan dan yang dia alami merupakan realitas af’al-Nya semata.
D.     Kesimpulan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar