Kamis, 16 April 2015

Internalisasi Nilai Iman



INTERNALISASI NILAI KEIMANAN
BERBASIS TASAWUF SYATHARIYAH
SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK KARAKTER MANUSIA
‘ARIFUN BILLAH
--------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh:
Fahrudin, Jurusan MKDU FPIPS UPI, HP. 081320029490,

A.  Pendahuluan
Salah satu karakter yang dapat mempengaruhi pribadi seseorang yaitu karakter religius. Berbicara tentang karakter religius, sangat erat kaitannya dengan masalah nilai keimanan. Nilai keimanan merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang lainnya, karena nilai ini bersumber dari Tuhan. Di era globalisasi yang dihadapkan kepada berbagai  tantangan ini, masalah nilai keimanan merupakan suatu  hal yang paling mendasar yang dianggap penting ada pada setiap orang. Pentingnya mengangkat nilai keimanan dalam segala aspek kehidupan, dikarenakan banyak sekali saat ini terjadi pelanggaran nilai keimanan sebagai akibat dari semakin merosotnya kepedulian manusia akan pentingnya makna nilai keimanan dalam kehidupan.
Apabila melihat kondisi dan mutu keimanan umat Islam di Indonesia saat ini sungguh sangat memperihatinkan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa umat Islam saat ini sedang mengalami krisis iman. Aziz (2008: 318) mengatakan bahwa:  “Krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia itu sesungguhnya berasal dari krisis iman”. Krisis iman di antaranya ditandai dengan banyaknya orang yang lupa pada Allah. Dengan lupa kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, akhirnya Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Banyak orang-orang Islam yang hatinya sudah berpenyakit, sudah tertutup untuk menerima kebenaran. Banyak orang-orang Islam yang tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama dalam hidupnya. Al-Qur’an sudah tidak lagi dijadikan pedoman dalam hidupnya,  banyak orang yang menuruti hawa nafsunya, sehingga kemaksiatan merajalela di mana-mana. Dengan adanya krisis iman tersebut telah membuat umat manusia mendapat bencana  dari Allah sebagai ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Bencana itu dalam beberapa tahun belakangan dan yang terjadi pada tahun-tahun ini berbentuk bencana  yang bertubi-tubi, mulai dari tsunami, gempa bumi, longsor, banjir dan lain-lainnya yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
Oleh karena itu, masalah nilai keimanan  merupakan  suatu masalah yang harus menjadi perhatian semua orang di mana saja, baik di dalam masyarakat yang telah maju, maupun di dalam masyarakat yang masih terbelakang, karena rusaknya nilai keimanan  seseorang  akan mengganggu ketenteraman orang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak yang rusak nilai keimanannya, maka akan hancurlah  keadaan masyarakat itu. Kualitas masyarakat muslim di abad ke-21 sekarang ini tidak lebih baik dari abad-abad sebelumnya. Itu suatu bukti bahwa kualitas umat Islam sekarang ini tidak pernah mengalami perbaikan secara mendasar” (Aziz, 2008: 1). Sejalan dengan hal itu, Muhammad Quthub (Aziz, 2008: 458) mengemukakan bahwa: “Umat Islam  saat ini sedang mengalami krisis iman, yang ditandai dengan banyaknya umat Islam yang  melupakan Allah”.
Jika kita amati fenomena keadaan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar sekarang ini, sebagian anggota masyarakat telah banyak terjadi pelanggaran nilai-nilai keimanan  atau dapat dikatakan nilai-nilai keimanan  masyarakat sudah mulai merosot. Pada kebanyakan orang kepentingan umum tidak lagi menjadi diprioritaskan, akan tetapi kepentingan pribadilah yang ditonjolkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran telah tertutup oleh penyimpangan-penyimpangan, baik yang terlihat ringan maupun berat; banyak terjadi saling menghasud,  saling menfitnah, saling menjilat, saling menipu, berdusta, mengambil milik  orang lain seenaknya, dan juga banyak lagi kelakuan-kelakuan pelanggaran nilai keimanan  lainnya. Bahkan yang dihinggapi oleh kemerosotan nilai keimanan itu tidak saja orang yang telah dewasa, akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan negara kita.         
Penyebab semua itu, di antaranya karena proses Pendidikan Keimanan belum dilaksanakan dengan baik. Pendidikan Keimanan belum menyentuh akar permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya manusia tidak beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya. Pendidikan keimanan di Indonesia baru dapat mengantarkan para siswa untuk percaya kepada Allah, tetapi belum mengantarkan siswa mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Oleh karena itu, disinilah perlunya adanya suatu Pendidikan Keimanan yang berorientasi kepada pembinaan hati atau Pendidikan Keimanan yang berbasis tasawuf yang dapat mengantarkan seseorag  menjadi “Al-‘Arif Billah”.  
Untuk dapat tercapainya Al-‘Arif Billah,  maka perlu adanya suatu  proses internalisasi nilai keimanan dan proses  pembinaan yang terarah dan terstruktur,  karena tanpa adanya  proses internalisasi dan  pembinaan seperti itu, maka tujuan Pendidikan Keimanan sulit untuk bisa tercapai. Proses yang dimaksudkan di sini yaitu, khususnya proses internalisasi  dan proses pembinaan yang mungkin dilaksanakan dalam mencapai tujuan. Dalam  Pendidikan Keimanan, proses internalisasi dan pembinaan  menjadi sesuatu  aspek yang sangat menentukan dalam mencapai target pendidikan, karena efek yang dimaksudkan tidak berada di dalam objek ajar secara langsung, artinya sebagai instructional effect.  Objek ajar dalam Pendidikan Nilai Keimanan  bersifat instrumental yang berfungsi sebagai penggoyang, pengguncang dan penggerak jiwa.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran logis di atas, maka yang menjadi rumusan masalah utama dalam makalah ini yaitu: “Bagaimanakah Proses  Internalisasi Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf Syathariah sebagai Upaya Membentuk Karakter Manusia ‘Arifun Billah”? Tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini secara umum yaitu untuk mengetahui   tentang proses internalisasi nilai keimanan berbasis tasawuf syathariah sebagai upaya membentuk karakter manusia  ‘Arifun Billah.



B.  Makna Iman  
Iman yaitu suatu pembenaran yang ada dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan amal perbuatan (Sabiq, 1974: 20). Iman merupakan fondasi dalam kehidupan seseorang, yang dapat menentukan baik buruknya prilaku orang itu. Inti iman itu tauhidullah yang terletak pada kalimah “La ilaha illallah”. Di atas kalimah la ilaha illallah inilah berdiri tegak bangunan Islam seseorang  (Al-Maududi, 1983: 68). Tauhidullah merupakan inti dari keimanan, karena dengan mentauhidkan Allah seseorang akan terhindar dari kemusyrikan. Menurut Asmuni  (1996: 1), tauhidullah yaitu  mengesakan Allah. Maksudnya,  menanamkan keyakinan dalam hati bahwa tidak ada Tuhan yang harus kita sembah kecuali Allah Yang Maha Esa. Tauhid  yaitu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya.  
Tauhidullah merupakan dasar pertama dan utama dalam Islam, dan Rasulullah selama hayatnya berjuang dengan gigih menegakkan tauhid di tengah masyarakat yang hidup dalam kekafiran dan kemusyrikan. Beliau mengajak umat manusia untuk bertauhid  dan memberikan pendidikan ketauhidan secara terus menerus kepada para sahabat dan pengikutnya. Beliau memberikan contoh kongkrit dan teladan yang baik bagaimana sikap hidup manusia bertauhid yang tercermin dalam perkataan, sikap hidup, kepribadian, dan perilaku beliau sehari-hari (Asmuni, 1996: 3). Pendidikan Keimanan yaitu suatu pendidikan yang diarahkan agar peserta didik beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa dan mentauhidkannya, sehingga terhindar dari kemusyrikan (Permenag No.2 Tahun 2008). 

C.  Pendidikan  Tasawuf
Tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. (Nasution, 1995: 56). Menurut Al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya (Majhuddin, 2009: 66). Untuk dapat menuju kehidupan tasawuf, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah, maka ada  langkah-langkah atau upaya yang harus dilakukan oleh seseorang. Langkah-langkah tersebut, yaitu: (1) Tazkiyah al-Nafs, (2) Mujahadah dan riyadhah.
Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk menjadikan hati  menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun  keyakinannya” (Taimiyah, 2010: 117). Azra (Isma’il, 2008: ix), menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu terfokus pada tiga hal sebagai berikut: (1) tazkiyat  an-nafs, yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa kecil, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela; (2) taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher (QS.50:16). Persoalannya, kedekatan Allah dengan manusia tidak selalu dapat dirasakan manusia; (3) hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni menfokuskan diri kepada usaha untuk merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan dengan Allah.
Mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) adalah menyapih nafsu, membawanya keluar dari keinginan-keinginan yang tercela dan mengharuskannya untuk melaksanakan syari’at Allah, baik perintah maupun larangan (Isa, 2010: 72).  Menurut Al-Shadiqi, bahwa mujahadah itu ialah kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa nafsu yang selalu ingin berbuat hal-hal yang tidak benar, lalu mampu memaksanya untuk berbuat hal-hal yang baik (Majhudin, 2010, J. 2: 200).
Rosyidi (Isma’il, 2008: 871),  menjelaskan pengertian mujahadah dengan mengutip beberapa pendapat para sufi, yaitu bahwa kata mujahadah berasal dari kata jihad, yang artinya "berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan pada jalan yang diyakini baik dan benar". Dalam pengertian kaum sufi, mujahadah yaitu "upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa rendah". Mujahadah adalah perang terus menerus melawan hawa nafsu, dan perang ini dianggap sebagai perang besar (al-jihad al-akbar), dan perang ini menggunakan senjata samawi  berupa dzikir kepada Allah. Sedangkan menurut Al-Qusyairi, mujahadah ialah suatu upaya untuk membebaskan diri dari kekangan hawa nafsunya yang menjadi sifat manusiawi, dan berusaha mengendalikan diri serta tidak memperturutkan kehendaknya dalam kebanyakan waktu. Al-Ghazali mendefinisikan mujahadah sebagai pengerahan kesungguhan dalam menyingkirkan nafsu dan syahwat atau menghapuskannya sama sekali. Sedangkan menurut Ali Ar-Rudzbari, bahwa prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang waktu.       
Riyadhah menurut Ash-Shidiqi ialah latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara perkataan, perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang benar, yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan kedekatan hamba dengan Tuhannya (Majhudin, 2010, J.2: 201). Tiga macam cara tersebut, yaitu: Pertama, riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan cara berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, berbuat dengan sikap yang ikhlash, tidak tercampur dengan sikap riya, dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan hidupnya. Riyadhah tersebut ditentukan oleh tuntunan teks agama mengenai sesuatu yang akan dilakukan, baik dilakukan dengan perbuatan nyata maupun dengan perbuatan yang tidak nyata. Kedua, riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan sekelilingnya, penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan kata hatinya. Ketiga, riyadhah orang khowasul khowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu dengan Allah dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalik dan manusia yang bersatu dengan Allah tetap makhluk. Termasuk juga proses riyadhah yang dilakukan oleh peserta tasawuf (al-mutasawwif) ketika melakukan suluk (kegiatan dzikir dan tafakur) untuk memperoleh kedudukan spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal) hingga mencapai ma’rifah sebagai tujuan tasawuf.
Bagi orang yang menjalani  tasawuf, untuk bisa mencapai kedekatan dengan Allah swt, maka harus menempuh tahapan-tahapan spiritual  yang  disebut dengan maqamat. Menurut Zainul Bahri, maqamat itu ialah kedudukan atau tahapan-tahapan spiritual dalam menempuh jalan menuju Tuhan (Isma’il, 2008: 781). Maqam adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah), dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya. Al-Maqamat tersebut meliputi: taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridha  (As-Sarraj, 2009: 89). 
Bagi seseorang yang telah lulus dalam melalui maqamat, maka akan lahirlah yang disebut al-ahwal yakni suatu kondisi spiritual yang akan dirasakan oleh seorang yang menjalani kehidupan tasawuf. Ahwal adalah keadaan-keadaan spiritual yang menguasai qalbu dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Istilah ahwal dalam tasawuf digunakan untuk menunjukkan keadaan spiritual. Al-ahwal  merupakan sebuah kondisi yang melekat dalam qalbu, merupakan efek dari peningkatan maqomat seseorang. Secara teoritis memang bisa dipahami, bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memancarkan cahaya dalam qalbu hamba tersebut. Yang termasuk kepada al-ahwal menurut yaitu muraqabah, qurbah, mahabbah, khauf dan   roja, syauq, uns, thuma’ninah, musyahadah, dan yaqin (As-Sarraj, 2008: 88).
Setiap orang yang ingin menempuh jalan kebenaran yang dapat menunjukkan jalan menuju Allah dan mengantarkannya untuk sampai kepada derajat ma’rifatullah itu memerlukan mursyid. Mursyid yaitu orang yang menunjukkan kepada jalan yang benar.  Kata mursyid berasal dari bahasa Arab, arsyada yang berarti memberi petunjuk.  Kata mursyid ditemukan di dalam Al-Qur’an, misalnya dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi: 17, seperti berikut: "Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk (waliyyan mursyida) kepadanya".
Mursyid mempunyai peranan penting dalam tarekat, karena ia bukan hanya sebagai pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dari penyimpagan ajaran Islam, tetapi ia juga sebagai pemimpin keruhanian yang tinggi dalam tarekat. Rahman menjelaskan bahwa “mursyid itu sebagai penuntun yang akan membawa murid-muridnya kepada tujuan tarekat, dan sebagai penghubung dalam ibadah antara murid dan Tuhan” (Isma’il, 2008: 896). Sejalan dengan itu, Al-Suhrawardi menjelaskan bahwa mursyid itu memiliki peranan yang sangat penting terhadap muridnya. Mursyid (Syaikh) adalah  khalifah Nabi saw, karena ia mewakili Nabi saw menyeru kepada Allah (Isma’il, 2008: 901).
Karena itu, kedudukan mursyid di kalangan sufi sangat tinggi dan luhur, karena mursyidlah yang membimbing muridnya untuk mensucikan hati. Dari hati yang suci ini akan terpancar  cahaya ketuhanan (nur ilahi) dan mendapatkan ma'rifah yang menyebabkan ia mendapat keuntungan. Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Sungguh telah beruntung orang yang bersihkan hatinya" (QS. Al-syams: 31).

D.  Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf
Yang dimaksud Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf ialah suatu Pendidikan Keimanan yang dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf, yang menekankan kepada kajian hati yang tujuan akhirnya untuk dapat mengantarkan para peserta didik agar dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya (‘Arifun Billah), sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.  
Ma’rifatullah dalam kajian tasawuf menurut Dahlan (Isma’il, 2008: 794),  maksudnya pengetahuan tentang Allah”. Ma’rifatullah menurut Hawwa (2008: 1) merupakan dasar yang paling utama dalam Islam, karena tanpa ma’rifatullah setiap amal tidak ada nilainya”. Menurut Sabiq (1990: 30), “ma’rifatullah merupakan seluhur-luhurnya ma’rifat, sebab  ma’rifatullah itu merupakan azas atau fundamen yang di atasnya didirikan segala kehidupan kerohanian”.  Masalah ma'rifatullah mulai banyak diperbincangkan dalam kalangan para zahid dan sufi pada abad ke tiga Hijriyah”, dan  Ma'rifatullah itu memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma'rifah yang dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma'rifah hakiki. Dan orang-orang yang telah memperoleh ma'rifah hakiki itu disebut Arifun billah. 

E.   Proses Internalisasi Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf Syathariah
Untuk dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya atau menjadi hamba yang memiliki karakter ‘arifun billah, ada  suatu proses internalisasi yang harus dijalani. Proses internalisasi tersebut merupakan ketetapan yang bersifat mahdhah (ketetapan yang sudah pasti) yang harus dijalani.  Bagi seseorang yang telah mempunyai tekad kuat dan hati yang mantap untuk memasuki Ilmu ma’rifah atau disebut juga Ilmu Nubuwah ini ada  beberapa langkah  yang harus  dilakukan oleh seseorang.  Langkah-langkah tersebut, yaitu: (1) Niat memasuki Ilmu Ma’rifah Billah, (2) Mandi besar, (3) Berpuasa tiga hari berturut-turut (paling sedikit).  Pada hari ketiga  berpuasa, menghadap guru untuk mendapat izin memperoleh Ilmunya. Adapun niatnya yaitu: saya berniat puasa untuk masuk ilmunya Guru yang Shaleh fardlu karena Allah Ta’ala, (4)  Latihan muqaddimah Ilmu Syathariah, (5)   Setelah selesai ditunjukkan ilmu (diberkah), lalu berjaga (tidak tidur) sehari semalam, yaitu sejak mulai diberkah hingga besok harinya, (6) Membayar kifarat. Adapun besar kecilnya kifarat, yang diserupakan uang yang diserahkan kepada Guru yang hak dan sah sebagai pelanjut Guru Wasithah sebelumnya, yaitu, seharga dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan matinya seseorang, sebab Ilmu Syaththariah ini adalah ilmunya mati, atau tergantung pada tingkat kemampuan masing-masing. Uang kifarat tersebut kemudian akan ditashorufkan untuk berbagai kegiatan berupa pendidikan, da’wah, sosial, pembangunan sarana dan sarana, dan lain sebagainya.
Langkah selanjutnya, untuk memperoleh Ilmu Ma’rifah yang akan diisikan ke dalam rasa hati (untuk dapat mengenal Dzat Allah harus melewati tata-cara berkah (talqin) oleh Guru Wasithah. Disebut berkah, karena akan mendapatkan keberkahan ilmu tentang Dzat Allah dari Guru yang hak dan sah, dan dalam pemberkahan itu di dalamnya ada bai’ah.
Dalam proses pemberkahan itu, para calon murid Wasithah diperintah untuk melakukan dzikir, kemudian dibisikkanlah melalui telinga kiri tentang Dzat Al-Ghaib yang Allah nama-Nya, yang keberadaan-Nya amat dekat dengan kita, dan harus selalu diingat-ingat dalam kehidupan kita sambil berbarengan dengan keluar masuknya nafas yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, dimana saja, kapan saja, dan sedang apa saja, lebih-lebih ketika sedang shalat.    
Di dalam proses bai’at ini, seorang murid harus bersumpah  dan berjanji. Bagi seseorang yang telah dibai’at akan diminta bersama-sama bersumpah di hadapan guru yang hak dan sah dengan mengikuti apa-apa yang diucapkan oleh Guru Wasithah. Sumpah itu diawali dengan dua kalimah syahadat, kemudian  diikuti dengan ucapan sebagai berikut: 
a.    Rela, suka, dan cita hati bahwa Allah, yakni Dzat Yang Wajib Wujud-Nya adalah Tuhan kita;
b.    Rela bahwa Islam agama saya, dari dunia hingga akhirat;
c.    Rela bahwa Nabi Muhammad saw adalah panutan saya. Segala ucapan dan tingkah polahnya, lahir dan batinnya, akan saya jadikan panutan dari dunia hingga akhirat.
d.   Rela bahwa Al-quran adalah Kalamullah. Hukum fardhu dan sunat akan saya tekadkan wajib dan sunatnya; hukum wenang dan halal akan saya tekadkan wenang dan halalnya; demikian juga mana yang hak dan mana yang batal; dan hukum haram akan saya tekadkan haram dan akan saya cegah dari dunia hingga akhirat. Bahwa semua itu dari Kalam-Nya Allah yang difirmankan dalam Al-quran.
e.    Rela dalam beribadah (dalam melaksanakan shalat wajib maupun sunat) menghadap Kabah sebagai kiblat lahir saya; sedangkan kiblat batin saya adalah menyentralnya cipta angan-angan untuk mensucikan Dzat, Sifat, dan Af``al-Nya Allah swt.
f.     Saya bersenang hati kepada Guru yang mengajari saya, dan ini terjadi karena mendapat rahmat dari Allah, dari dunia hingga ke akhirat. Maka dari itu hati saya siang dan malam selalu mandep, derek (mengikuti, itba` sepenuh hati) pada semua petunjuk Guru, sedang rasa hati saya mantep (hanya mengarah secara istiqomah) dalam mengingat-ngingat Diri-Nya Ilahi.
g.     Dan saya bersenang hati kepada semua faqir (hamba yang menyadari apes-nya, lalu kuat tekadnya butuh kepada Tuhannya), yang taat kepada Guru, mereka semua adalah saudara saya lahir bathin, dunia hingga ke akhirat. Saya bersenang hati selalu bersama-sama dalam ibadahnya, dan saya bersenang hati untuk saling bertolong-tolongan dalam kemelaratannya. Tetapi saya juga bersenang hati untuk berpisah di dalam kedurhakaanya”.
Selain melakukan sumpah, bagi orang yang sudah memperoleh Ilmu Syathariah, akan menerima janji dari Guru, yang sejatinya janji itu langsung dari Allah. Adapun janjinya, secara garis besarnya ada 4 (empat), yaitu:
a.    Sama sekali tidak boleh melakukan dosa-dosa besar dan dosa kecil yang terus terusan;
b.    Melaksanakan perintah Allah yang menjadi madlul-nya Al-quran: Wa`bud Rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin (Sembahlah Tuhanmu hingga kamu yakin – bahwa Tuhan yang disembah itu – hadir kepadamu), yakni dibelaskasihani oleh-Nya dengan menyatakan bahwa semua yang selain DiriNya, terutama dzat, sifat, dan af`al (perbuatan) Wujud-nya diri sendiri dan akunya adalah fana (tidak ada); serta membuktikan bahwa Yang Ada dan Wujud hanyalah Dzat, Sifat, dan Af`al-Nya Allah SWT, karena memperoleh berberan, sawab, berkah, dan pangestunya Guru Wasithah, sehingga menjadi hamba yang ”man atallaha bi qolbin salim  (orang yang sampai kepada Allah dengan hati yang selamat).
c.    Melaksanakan perintah Nabi Muhammad  saw yang menjadi madlul-nya hadits: “muutu qobla an tamuutu” (matilah sebelum mati yang sebenarnya). Karena telah memperoleh ilmunya mati, maka jadikanlah untuk belajar mati sebelum mati yang sebenarnya, supaya matinya seperti matinya para kekasih Ilahi, khusnul-khatimah.
d.   Dan janji berikutnya adalah tentang bagaimana belajar mati itu, yaitu harus melaksanakan perintahnya Guru yang menunjuki ilmu itu, yakni mengumpulkan syari`at dan hakekat.
Kalau kita lihat dalam ajaran Islam,  sebenarnya pelaksanaan talqin dan  bai’at itu sudah ada pada zaman Rasulullah Muhammad saw. Dalam salah satu Hadits yang terdapat dalam kitab At-Tasawuf Al-Islam Al-Khalis karya Abul Faidh al-Manufi hal. 74 dijelaskan bahwa: “Rasulullah Muhammad saw mentalqin (membisikkan dzikir) kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan Al-Bishri juga meminta ditalqin  oleh Ali dan kata-katanya sama seperti apa yang datang dari Nabi” (Afandi, 2009: 36). Selain itu, Syekh Abdul Qadir Jailani  dalam kitab Sirrul Asrar pasal 5 tentang taubah dan talqin menegaskan sebagai berikut: “Ketauhilah, bahwa untuk mencapai martabat haqiqatul insan itu harus dengan jalan taubatan nasuha dan dengan jalan talqin  yang diperoleh dari ahlinya”.
Dikatakan dalam kitab Asy-Syari’ah bahwa orang pertama yang berkehendak memperoleh jalan yang paling dekat, paling mulia, dan paling mudah bertemu Tuhan dari Nabi Muhammad saw adalah Ali bin Abi Thalib. Sesaat Nabi menunggu wahyu, maka turunlah malaikat Jibril, lalu membisikkan kalimat ini tiga kali, kemudian Nabi berkata sebagaimana apa yang dikatakan Jibril. Setelah itu, Nabi mentalqin Ali, kemudian datang kepada para sahabatnya dan mentalqin mereka (Afandi, 2009: 37).            
Dari beberapa hadits yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa bai’at itu merupakan suatu perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad saw. Karenanya, dapat dikatakan bahwa bai’at merupakan suatu prinsip ajaran Islam, dan  merupakan tradisi kenabian yang senantiasa dilakukan umat Islam sejak zaman dulu sampai sekarang. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan: “Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, bai’at tetap dilaksanakan kepada para pengganti beliau yang memperoleh petunjuk atau orang-orang tertentu yang memimpin umat Islam.
Begitu juga dengan bai’at, pada dasarnya bai’at itu merupakan perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad saw. Abdurrahman (1993, J.1: 58) mengemukakan bahwa di dalam Hadits diceriterakan, Nabi Muhammad saw telah meminta kepada para sahabatnya melakukan bai’at pada beliau lebih dari satu kali. Imam Bukhari meriwayatkan suatu Hadits yang sanadnya datang dari Ubadah ibn Ash-Shamit, sebagai berikut:
Nabi saw memanggil kami, kemudian kami berbai’at kepadanya seraya ia berkata dalam bai’at yang diambil dari kami, bahwa kami berbai’at kepadanya untuk mendengar, menaatinya dalam keadaan suka maupun duka, kesukaran maupun kemudahan, dan telah mengarahkan kami kepada sesuatunyang terbaik, bukan sebaliknya; dan agar kami tidak mendebat penguasa, kecuali apabila merreka terlihat jelas-jelas kufur terhadap Allah dengan tanda-tanda yang terang.
 Dalam sebuah hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Utsman bin Khaitsam bahwa Muhammad bin Aswad bin Khalaf mengabarkan perihal bapaknya, Al-Aswad r.a. yang melihat Rasulullah membai’at manusia pada hari futuh Makkah. Ia berkata:
Nabi duduk di atas puncak bukit yang berhadapan, maka beliau membai’at manusia untuk membela Islam dan syahadat. Saya berkata, apakah syahadat itu? Ia berkata,  Ia mengabariku Muhammad bin al-Aswad bin Khalaf bahwa ia (Nabi) membai’at manusia  untuk iman dan syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Nabi saw membai’at laki-laki dan wanita setelah Futuh Makkah, Hundun binti Utbah, isteri Abu Sufyan, termasuk yang dibai’at.

F.   Proses Pembinaan Keimanan Berbasis Tasawuf Syathariah
Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah swt  sehingga sampai kepada-Nya dan memperoleh kebahagiaan di sisi-Nya, maka seseorang  harus melakukan mujahadah (memerangi hawa nafsu). Bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berjihadunnafsi (memerangi nafsunya sendiri) dalam cita-cita dan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt,  sehingga sewaktu-waktu mati, ditarik fadhal-Nya didekatkan kepada-Nya dimasukkan hamba yang akan memperoleh kebahagiaan, maka ibadah yang dilakukannya semata-mata ikhlas liwajhillah. Sama sekali sepi dan kosong dari segala macam pamrih baik tentang perihal bangsa dunia maupun bangsa akherat. Apa yang dilakukan adalah merupakan kerangka memproses diri membuktikan kebenaran kalimat tauhid: “Laailaaha illallah” yang mengandung makna nafi (la ilaha) dan itsbat (illallah). Yakni memproses diri untuk menafikan (meniadakan) Dzat, sifat dan af’al dirinya (hamba) dan juga segala apa saja perihal dunia. Sebab itu semua adalah menjadi hijab bertemunya mata hatinya dengan Tuhannya yang senantiasa diitsbatkan (ditetapkan) dengan cara  diingat-ingat dan dihayati dalam hatinurani, roh dan rasanya.
Proses pembinaan dalam kehidupan sehari-hari untuk mendekatkan diri kepada Tuhan hingga sampai selamat bertemu dengan-Nya setelah mendapatkan ilmu tentang mengenal dan mengetahui Diri-Nya Dzat yang Al-Ghaib,  kemudian jalan pemrosesan diri dapat diringkas menjadi tiga tingkatan:
Tingkat pertama, yaitu senang melakukan amal perbutan yang mudah dikerjakan oleh tingkah lakunya jasad. Seperti memperbanyak shalat (disamping yang wajib) juga melakukan shalat-shalat sunnat, shalat malam, memperbanyak puasa, memperbanyak membaca Al-Quran dan amal-amal perbuatan lain sebagaimana yang  disabdakan oleh hadits Nabi Muhammad saw hingga sampai dengan memindahkan sesuatu yang membahayakan orang lain dari jalan, seperti memindahkan duri.
Tingkat kedua, senang bersama-sama saudara setujuan untuk senantiasa mujahadah (memerangi nafsunya sendiri-sendiri) yang harus disertai dengan:
a.    Bagusnya budi pekerti. Budi pekerti yang bagus yakni seseorang yang hidupnya tidak mementingkan diri sendiri, kelompoknya dan golongannya. Senang meringankan beban orang lain. Menolong sesama yang membutuhkan pertolongan. Mempunyai tingkat etika dan moral yang bisa diteladani. Mengetahui bala tentaranya nafsu amarah dan lawwamah untuk tidak dibiarkan hidup subur menguasai diri pribadi dan sebagainya.
b.    Tazkiyatunnafsi, yaitu sucinya jiwa raga. Jiwa raga yang suci ini manakala apa saja yang dimakan adalah makanan yang halal. Begitu pula dengan yang disandang dan ditempati. Oleh karena itu sejak dari zaman para Nabi-nabi dan Wali kekasih Allah, para shalihin dan ‘arifin, mereka adalah pekerja keras. Manusia-manusia “ukril”. Banyak inisiatif, kreatif, ulet, tahan uji, tidak kenal putus asa dan tidak kecil hati, hidup penuh harap dan bersemangat dalam mengelola garapan dunia supaya dapat dijadikan pancatan yang kokoh bagi cita-cita mendekat kepada-Nya sehingga selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya.
c.    Tashfiyatul qalbi, yaitu membeningkan hati. Hati yang bening adalah hati yang tidak pernah digunakan untuk mengingat-ingat segala hal yang tidak diridhai Allah SWT. Keadaan demikian bisa terjadi karena ditarik fadhal-Nya Allah atas kesungguhan diri dalam mendidik dan melatih diri pribadi untuk itu.
d.   Senang  melakukan  kegiatan  bersama  dalam  kebersamaan  dengan  sesama saudaranya guna meramaikan syiar agama Allah, yaitu dengan membangun semua hal yang besar guna dan faedahnya bagi kehidupan ummat manusia sejalan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya. Inilah mereka yang disebut ahli bagus.
Tingkat ketiga, yaitu tingkatnya orang-orang yang muhibbah ilallah. Orang-orang yang mencintai Allah. Merekalah yang disebut Asy-Syaththar. Meski pada lahirnya tetap sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia, namun semua hal tentang dunia telah keluar dari dalam hatinya. Mereka ini adalah orang-orang yang maqamnya tetap berada dalam sabda Nabi Muhammad Saw: “Muutu qabla anta muutu”. Senantiasa mendidik diri merasakan betapa nikmatnya mati sebelum mati. Dan karena mati yang selamat adalah kembali ke Tuhannya di akherat, maka dalam rasa hatinya yang dirasakan lezat dan nikmat adalah mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzat Al-Ghaib, Allah Asma-Nya dan Wajib Wujud-Nya.
Kemudian guna memperoleh tingkat yang demikian (sebagaimana derajadnya para wali kekasih Ilahi), ada beberapa dasar yang harus senantiasa ada dalam rasa hati. Bagi seorang murid, agar supaya dapat lulus  menempuh jalan untuk dapat bertemu dengan Tuhan, maka  harus menempuh dasar taubat, dasar zuhud, dasar wara’, dasar tawakkal ‘alallah, dan dasar uzlah (Afandi, 2002: 57).

G.  Kesimpulan
1.    Kesimpulan Umum
Proses internalisasi nilai-nilai keimanan untuk dapat membentuk karakter ‘Arifun Billah  yaitu dilakukan melalui proses pemberkahan (talqin) oleh Guru Wasithah. Di dalam proses pemberkahan (talqin) ada bai’at kepada Guru Wasithah yang hakekatnya berbai’at kepada Tuhan.  Saat pemberkahan (talqin) itu Guru Wasithah menanamkan benih iman ke dalam rasa hati calon muridnya yang ditiupkan melalui telinga kirinya. Sejak itulah iman kepada Allah itu mulai muncul dan sejak itulah seorang murid itu mulai mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal.  Dengan demikian, pemberkahan (talqin) itu merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin mengenal Allah.
Dalam pemberkahan (talqin) itu di dalamnya juga ada proses bai’at kepada Guru Wasithah, yang hakekatnya bai’at kepada Allah sendiri. Dan bai’at itu  pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad saw. Karenanya, dapat dikatakan bahwa bai’at itu merupakan suatu prinsip ajaran Islam, dan  merupakan tradisi kenabian yang senantiasa dilakukan umat Islam sejak zaman dulu sampai sekarang. Sesungguhnya baiat adalah sesuatu yang disyariatkan, yakni sebagaimana Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah membaiat para Shahabat radliallahu ‘anhum . Dengan baiat ini, dimaksudkan agar bisa memberikan bekas (atsar) pada jiwa mereka (yang akan bergabung dengan kelompoknya), sehingga mereka bisa tunduk dan patuh (itba’) kepada aturan yang telah ditetapkan oleh imamnya.
Proses pembinaan keimanan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga bisa sampai kepada Allah itu ada langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu  mujahadah (jihadunnafsi) atau memerangi hawa nafsu, yang dibarengi dengan menjalankan: (1) ibadah yang dapat dilakukan oleh anggota badan, seperti memperbanyak shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak sedekah, melakukan haji bagi yang mampu, dan memperbanyak membaca al-Qur’an, (2) memperbagus akhlak, (3) tazkiatunnafsi, dan (4) tashfiyatul qolbi. 
Sebagai wujud dari jihadunnafsi (memerangi hawa nafsu), maka setiap murid harus melakukan:  (1) berupaya menjalankan syari’at yang telah ditetapkan oleh Guru Wasithah, (2) berusaha untuk memperbagus akhlak, (3) berusaha untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, dan (4) berusaha untuk menjernihkan hati dengan diisi dan dipenuhi dzikirullah (selalu ingat kepada Allah), sehingga dengan selalu berdzikir kepada Allah tidak tersisa ruang di dalam hati untuk selain Allah. Untuk menuju ke arah sana memang tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum mengenal Allah.

2.    Kesimpulan Khusus
a.    Untuk dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter ‘Arifun Billah, Pendidikan Keimanan harus dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf yang  menekankan kepada kajian hati,  sehingga Pendidikan Keimanan tersebut tidak hanya dapat mengantarkan seseorang  percaya akan adanya Allah, tetapi  dapat mengantarkan orang tersebut mengimani Allah dengan seyakin-yakinnya (ma’rifatullah), sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan  merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
b.    Untuk dapat mengantarkan seseorang agar dapat beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya, maka perlu adanya suatu proses internalisasi nilai keimanan yang dilakukan melalui pemberkahan (talqin) oleh Guru Wasithah, yang dibarengi dengan bai’at dan sumpah janji yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c.    Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga sampai kepada-Nya dan merasakan kebahagiaan di sisi-Nya, maka harus adanya suatu proses pembinaan berupa mujahadah  sesuai dengan petunjuk Guru Wasithah.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M.M. (2002), Risalah Ilmu Sythariah, Bandung: Pustaka Pondok Sufi.  
Afandi, A.Kh. (2009), Tasawuf: Menghidupkan Hati Bersinar, Surabaya: Visi Humanika.
Al-Maududi, A.A. (1983), Prinsip-Prinsip Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif.
 Al-Qarni, 'A. (2007), La Tahzan: Jangan Bersedih (terj.), Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qur'an dan Terjemah (1984), Jakarta: Kemeterian Agama Republik Indonesia.
Asmuni, Y. (1996), Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
As-Sarraj, Abu N. (2009), Al-Luma’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf,  Surabaya: Risalah Gusti.
Aziz,  M.A. (2008), The Power of Al-Fatihah, Jakarta: Pinbuk Press.
Hawwa, S. (2008), Makrifatullah: Izinkan Aku Mengenal-Mu, ya Allah (terj.), Jakarta: Aula Pustaka.
Isma’il,  I. et.al. (2008), Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, Bandung: Angkasa.
Isa, S.A. (2010), Hakikat Tasawuf (terj.), Jakarta Timur: Qisthi Press.
Majhudin  (2009), Akhlak Tasawuf Jilid I, Jakarta: Kalam Mulia.
Nasution, H. (1996), Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Permenag Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Sabiq, S. (1990), Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro.
Taimiyah, I.  (2010), Tazkiyatun Nafs, Jakarta: DarussunAH Press.
Ulwan, A.N. (2007), Pendidikan Anak dalam Islam (terj.), Jakarta: Pustaka Amani.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar