Selasa, 30 April 2013

Dinamika Pemikiran Politik Umat Islam di Indonesia

PADA MASA ORDE BARU DAN ORDE  REFORMASI
-------------------------------------------------------------------------
Oleh: Drs. Fahrudin, M.Ag.

Abstraksi
Politik umat Islam pada masa Orde baru, di kancah politik nasional tidak begitu nampak, karena partai-partai Islam tidak diperkenankan tumbuh pada masa itu. Bahkan partai Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno tidak diperkenankan muncul kembali walaupun diganti dengan Parmusi.   Para politikus Islam banyak yang ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, sehingga umat Islam banyak yang merasa ketakutan pada masa itu. Pada masa Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah.
Di era Orde reformasi umat Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, khususnya dalam masalah politik. Umat Islam dalam mengadakan gerakan tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan subversif seperti yang terjadi pada era orde baru, sehingga bermunculanlah partai-partai Islam dan gagasan-gagasan untuk menerapkan syari’at Islam di Indonesia. Semua itu, tiada lain merupakan salah satu wujud politik umat Islam di era Orde Reformasi.
                     
Kata-kata Kunci: Politik, Umat Islam, Orde Baru, Orde Reformasi
A. Pendahuluan
            Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim, namun umat islam, khasusnya  dalam kancah politik nasional, selalu mengalami kekalahan dan tidak pernah  memegang kendali pemerintahan. Sejarah membuktikan, bahwa sejak menjelang Indonesia merdeka, umat Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Yang menyakitkan lagi, “Piagam Jakarta” yang telah disepakati, dan di dalamnya ada tujuh kata kunci  bagi umat Islam untuk dapat menjalankan syari’at Islam  di Indonesia baru satu hari setelah kemerdekaan  diganti kembali.
            Perjuangan umat Islam tidak berhenti sampai di sana. Bagi para tokoh militan Islam yang tidak puas dengan Pancasila sebagai dasar negara dan digantinya Piagam Jakarta itu, mereka akhirnya mendeklarasikan sebuah Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori oleh Kartosuwirjo. Namun, gerakan ini akhirnya dapat dilumpuhkan oleh pemerintah Indonesia.
Pada masa Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah, sehingga pemerintahan dikendalikan oleh orang-orang nasionalis, dan partai-partai Islam tidak diberikan kebebasan untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga Partai, yaitu wakil partai Islam, wakil partai nasionalis dan Golongan Karya yang berada di bawah kendali pemerintah Orde Baru.    
Sejak runtuhnya orde baru, umat Islam telah mengalami suatu perubahan pemikiran, baik dalam segi politik pemerintahan, ekonomi dan lain-lainnya, khususnya setelah reformasi digulirkan oleh para tokoh-tokoh muslim. Dengan adanya reformasi tersebut, umat Islam telah mengalami suatu kebebasan dalam berpikir dan bergerak yang tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan subversif seperti yang terjadi pada era Orde Baru.  Untuk lebih jelasnya bagaimana  dinamika pemikiran politik umat Islam  Indonesia pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi akan dijelaskan pada tulisan ini.    
           
B. Politik Umat  Islam pada Masa Orde Baru
Seiring dengan runtuhnya Orde Lama, maka pada masa awal Orde Baru, partai-partai Islam banyak mengambil kesempatan dari jatuhnya PKI  yang melakukan “silent coup d’etat” yang gagal terhadap pemerintahan Orde Lama Soekarno. Naiknya ABRI sebagai pemenang atas PKI, tidak memberikan angin segar kepada umat Islam. ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi, maupun usaha para bekas anggota Masyumi untuk mendirikan Parmusi. Partai Politik Islam ditekan untuk berorientasi pada program dan meninggalkan orientasi ideologi. Orientasi ideologi ini, tidak hanya berfungsi membedakan kelompok dalam struktur politik, tapi juga sebagaimana terlihat dalam pengalaman masa Orde Lama dapat memecah-belah rakyat. Rakyat yang mulai dinamis dalam berpolitik, akhinya hanya mampu menghela napas panjang ketika kebijakan-kebijakan Orde Baru yang muncul satu per satu hanya menghasilkan pengekangan bagi “room for improvement” politik Islam yang makin menyempit. Akomodasi Islam masa Orde Baru lebih banyak pada hal-hal yang non-politik. Hal ini lantaran orientasi pragmatis pemerintahan Orde Baru yang lebih memperhatikan pembangunan ekonomi dan membatasi pembangunan politik
Pada masa Orde Baru, isu modernisasi telah menimbulkan persoalan di kalangan umat Islam, terutama, dalam kaitannya dengan pemahaman umat terhadap ajaran Islam ketika itu. Adalah Deliar Noer, salah seorang intelektual modernis Muslim yang pertama kali berbicara tentang persoalan tersebut. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Umat Islam dan Masalah Modernisasi” , ia berpendapat bahwa modernisasi sesungguhnya tidak akan menimbulkan suatu problema teologis. Sebab, menurutnya, inti modernisasi adalah sesuai dengan ajaran-ajaran sosial Islam. Suatu masyarakat modern bagi Deliar noer bukan saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan merupakan suatu yang harus diwujudkan oleh setiap Muslim
Sehubungan dengan adanya isu modernisasi ini, bermunculanlah berbagai respon dari kalangan intelektual Islam yang dimuat di berbagai media massa pada waktu itu, yang pada dasarnya respon mereka berawal dari pemikiran tentang hubungan antara modernisasi dan agama Islam serta implikasinya terhadap kehidupan politik umat Islam. Hamka salah seorang tokoh senior, dalam sebuah tulisannya, mencoba memberi respon dengan menitik-beratkan persoalan modernisasi dalam dimensi politiknya. Menurutnya, proses modenisasi dalam perkembangannya akan melibatkan persoalan bantuan luar negeri, baik yang bersifat finansial maupun teknikal. Jika hal demikian berlangsung dan memang demikianlah yang diha.rapkan negara-negara eks kolonial Barat, maka yang akan terjadi adalah neo-kolonialisme dalam bentuk baru di mana masyarakat dunia ketiga akan terus bergantung pada kekuasaan perekonomian negara maju. Indonesia, dengan rancangan modernisasi yang dilakukannya, bukan tidak mustahil terperangkap dalam desain kolonialisme baru semacam itu.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan eksistensi umat Islam, jika modernisasi mempunyai implikasi sebagaimana disebutkan di atas, maka modernisasi tidak lebih merupakan kamuflase sebuah rencana besar untuk mendegradasikan nilai­nilai Islam yang telah lama tertanam pada diri umat Islam. Bagi kelompok yang melakukan reaksi semacam ini, modernisasi yang benar adalah suatu transformasi dan situasi penjajahan ke situasi merdeka, dan suatu struktur budaya masyarakat feodalistik ke terciptanya suasana demokrasi, dan dari suatu masyarakat agraris menuju terciptanya masyarakat industri. Jika hal demikian menjadi tujuan modernisasi, maka kita berjalan menuju arah yang benar.
Sementara itu Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh dan pimpinan organisasi Mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebelum sampai pada pikiran-pikiran pembaruannya yang mengejutkan berbagai pihak pada awal tahun 1970-an, sehubungan dengan gagasan modernisasi ini, berpendapat bahwa modernisasi merupakan sesuatu yang identik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Di dalamnya terkandung suatu proses penghilangan pola-­pola ppikir ttidak rnasionalistik. Hal ini menurutnya, dimaksudkan untuk memperoleh kegunaan maksimal dan efisiensi sebuah pekerjaan. Proses demikian didapat berdasarkan penerapan-penerapan temuan-temuan ilmu pengetahuan mutakhir. Karena ilmu pengetahuan merupakan hasil sebuah pemahaman manusia atas hukum­-hukum oobyektif yang mengatur alam semesta  ini, maka penerapannya pun bersifat rasional dan karenanya dapat disebut modern.
“Bagi seorang muslim”, kata Nurcholish Madjid, “modernisasi merupakan suatu keharusan mutlak. Sebab, modernisasi dalam pengertian demikian itu, berarti bekerja dan berfikir menurut aturan hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berfikir secara ihmiah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal.” Pernyataan demikian tampaknya bukan tanpa dasar. Beberapa ayat di dalam Al Quran memberikan panduan kehidupan, sedangkan modernisasi, dalam pengertian sebagaimana di atas, sepenuhnya dapat dirujukkan dalam ayat-ayat Quran tersebut.
Dan pembicaraan singkat tentang respon ideologis kalangan intelektual Is­lain Indonesia terhadap isu modernisasi yang diketengahkan oleh pemerintahan Orde Baru, dapat kita peroleh gambaran umum tentang pola dasar pemikiran umat Islam. Secara umum dapat disimpulkan bahwa para intelektual Islam justeru lebih cenderung mempersoalkan terlebih dahulu apa itu modernisasi dan apa implikasinya bagi kehidupan keagamaan mereka. Karenanya, persoalan modemnisasi kemudian untuk kepentingan legalisme, dan boleh jadi juga untuk kepentingan justifikasi selalu dirujukkan ke prinsip-prinsip ajaran Islam. Alasan konvensional untuk melihat persoalan ini biasanya adalah untuk kepentingan legalistis: apakah gagasan modeniisasi dapat diterima atau tidak. Sepanjang gagasan modernisasi ini tidak berarti westernisasi, maka hal itu tidak menjadi persoalan bagi umat Islam. Justru modernisasi dalam pengertian rasionalisasi atau suatu proses untuk maju itulah yang ingin dilakukan umat Islam. Sebab, dalam proses modernisasi semacam itu terdapat hubungan erat dengan konsepsi ijtihad. Karenanya, hal demikian ini tidak saja menjadi kebutuhan masyarakat Islam, tetapi sekaligus merupakan kewajiban keagamaan yang harus dilaksanakan. Sayangnya, tanggapan kemudian terhadap persoalan demikian itu, sebagian umat Islam hanya berhenti sampai pada statement of intent. Hal ini terlihat dalam kenyataan bahwa umat Islam masih berada pada posisi marjinal dalam arus proses modernisasi dan pembangunan. Akibatnya, sebagian besar pemegang kebijaksanaan kunci modernisasi berasal dari kalangan non-Islam atau kalangan Islam dalam pengertian non-santri.
Pola kecenderungan umat Islam semacam mi mengandung bahaya. Selain mengesankan sikap sangat hati-hati, juga mencerminkan kondisi kondisi nyata belum siapnya umat Islam dengan rumusan-rumusan bagaimana memajukan umat ini. Hal itu juga berarti bahwa umat Islam belum mempunyai identifikasi persoalan terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat Islam pada awal kepemimpinan Orde baru. Dalam banyak hal, kasus demikian merupakan kelemahan umat Islam Indonesia yang telah kehilangan semangat, mereka kurang terlatih  untuk melihat persoalan-­persoalan umat secara canggih dan kemudian berfikir ke arah perumusan pikiran-­pikiran alternatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Dalam kondisi demikian, yang muncul justru sikap reaktif terhadap suatu gagasan seperti modernisasi yang tengah dibicarakan ini, dan bukan bagaimana memanfaatkan isu tersebut, yang telah menjadi konsensus nasional, untuk kepentingan umat Islam.
Dalam posisi bertahan sedemikian, umat Islam pada awal pemerintahan Orde Baru semakin tersisih dan kurang mampu berbuat banyak. Proses marjinalisasi umat Islam berjalan deras, bahkan kemudian umat Islam dituduh sebagai tidak siap untuk terlibat dalam proses modernisasi. Karena, umat Islam dianggap tidak mempunyai tradisi intelektual sebagaimana dimiliki kalangan Kristen dan nasionalis sekular (kalangan priyayi), sedang mayoritas mereka merupakan produk didikan Barat. Bahkan, umat Islam, karena menempati posisi marjinal dalam proses pembangunan nasional (modernisasi), acapkali dianggap sebagai “anti pembangunan” dan “anti modernisasi” dan lain sebagainya.
Selain persoalan-persoalan modernisasi yang disorot kalangan Islam, umat Islam juga melihat hubungan antara pemerintah Orde Baru dan Islam politik. Semula, kehadiran Orde Baru dianggap membawa angin segar bagi kemungkinan naiknya kekuatan Islam di panggung politik nasional. Harapan itu semakin memudar ketika maujud realitas bahwa Masyumi tetap tidak mendapatkan hak hidupnya. Sementara itu, pemerintah Orde Baru enggan melihat persaingan tak sehat antar berbagai partai politik yang ada. Untuk itu, pemerintah membekukan segala kegiatan politik.
Sementara itu, restrukturisasi politik dimaksudkan sebagai dasar untuk meneguhkan pendapat bahwa ketidakstabilan politik masa lalu disebabkan adanya sistem banyak partai. Dalam pandangan para pemimpin Islam, sistem politik Indo­nesia yang berorientasi ke program dan didominasi kalangan militer, merupakan strategi untuk marjinalisasi keterlibatan pemimpin Islam dalam panggung politik nasional. Tumbuhnya pengaruh kuat kalangan Sosial dan Kristen pada pemerintah Orde Baru merupakan strategi yang telah dirancang, terutama setelah kemenangan Golkar pada tahun 1971, yang disebabkan oleh adanya kekhawatiran kemungkinan munculnya Islam sebagai kekuatan politik. Untuk itu, semenjak dini Islam sebagai kekuatan politik memang sudah harus didomestikasikan. Faksionisme muslim­nonmuslim segera terbentuk ketika banyak kalangan Kristen muncul dalam susunan Kabinet Pembangunan I, dan terlebih lagi, setelahi umat Islam merasa sering kali dipojokkan dengan tuduhan “anti pembangunan dan anti Pancasila”. Tuduhan itu muncul, selain dikarenakan sikap umat Islam terhadap gagasan modernisasi, sebagaimana terlihat di atas, berawal dari kesulitan pemerintahan Orde Baru dalam meyakinkan umat Islam agar mau menerima “tafsiran formal” tentang Pancasila.
Hubungan antara pemimpin politik Islam dan pemerintahan Orde Baru menjadi semakin buruk ketika muncul isu kristenisasi dalam panggung politik nasional. Namun, setelah sepuluh tahun usia Orde Baru, orientasi pemerintah terhadap umat Islam mulai menunjukkan perubahan. Kali ini terdapat angin segar yang dihembuskan pemerintah untuk mendekati umat Islam. Dengan alasan untuk meningkatkan stabilitas nasional, keamanan dan keharmonisan kehidupan umat beragama, pemerintah pada tahun 1967 mulai menutup lembaga missi dan zendmg Dua tahun kemudian, Departemen Agama mengeluarkan peraturan yang mengatur bantuan­-bantuan aasing untuk lembaga-lembaga keagamaan. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan larangan kegiatan mempengaruhi kelompok masyarakat yang sudah memeluk sesuatu agama tertentu untuk diajak masuk ke dalam agama lain. Begitu pula, kesediaan pemerintah untuk menarik kembali rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) pada tahun 1973 yang sulit untuk dapat diterima kalangan Is­lam, kkarena dinilai bertentangan dengan hukum Islam; serta penolakan pemerintah pada tahun 1970-an atas tuntutan kalangan Abangan agar kepercayaan mereka diakui sebagai salah satu agama (resmi) oleh pemerintah Indonesia merupakan serangkaian tindakan yang cukup menggembirakan umat Islam.
Alasan yang banyak dikemukakan oleh para pengamat tentang orientasi baru kebijaksanaan Pemerintah terhadap umat Islam ini adalah demi keseimbangan kekuasaan. Namun demikian, perkembangan baru ini tidak berarti melicinkan jalan politik Islam ke arah partisipasi dalam kehidupan pembangunan politik nasional. Sebagai indikasi kasar adalah bahwa keadaan demikian tidak juga mengubah posisi Masyumi sebagai partai politik Islam yang tidak pernah dicairkan hak-haknya untuk bergerak. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, peta politik Islam tidak lagi mengenal sistem banyak partai. Aspirasi politik umat Islam disalurkan melalui suatu institusi politik yang merupakan gabungan partai politik Islam yang pernah ada, yang dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
 Sementara itu, di dalam tubuh PPP sendiri, apa yang disebut sebagai fusi, sebenarnya, tidak pernah terjadi. Karenanya, wajar jika agenda persoalan yang dihadapi partai Islam ini (PPP), atau lebih tepatnya perjuangan partai, bukan lagi bagaimana menyalurkan aspirasi politik umat Islam, tetapi bagaimana mengatasi konflik-konflik intern kepartaian antar sesama unsur partai. Perkembangan demikian, hingga dewasa ini, dalam tubuh PPP, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa aspirasi politik umat Islam tidak sepenuhnya dapat disalurkan atau terwakili oleh PPP.
Kendatipun dibidang politik, perkembangan Islam kurang menggembirakan, namun Islam tetap berkembang pada dua dimensinya yang lain, yaitu dimensi ritual dan kemasyarakatan. Bahkan, pada masa pemerintahan Orde Baru ini pula, Islam mengalami perkembangan fundamental dalam kehidupan keagamaan. Betapapun, mendiang Presiden Soekarno adalah yang pertama kali memaldumkan gagasan agama (Islam) sebagai sarana mutlak untuk membangun bangsa, namun pada kenyataannya, pemerintah Orde Barulah yang mewujudkan gagasan-gagasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Analisis teoritis demikian dapat menjelaskan munculnya fenomena baru kebangkitan Islam sejak beberapa tahun terakhir ini. Kebangkitan itu ditandai dengan semakin semaraknya kehidupan keagamaan Islam, kendatipun dilihat dari sisi eksoteriknya saja; banyaknya bangunan Masjid, munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan lain sebagainya, serta lembaga-lembaga studi Islam lainnya. Demikian pula, kebangkitan pesantren di tengah masyarakat kota itu ditandai dengan munculnya berbagai kelompok remaja Masjid, kelompok studi Is­lam, baik yang berada di lingkungan Universitas maupun lembaga non formal lainnya. Pesantren telah memainkan peran aksi keagamaan penting bagi rakyat, namun tak mendapat tempat dalam Orde Baru. Kesemuanya itu merupakan data fisik perkembangan Islam di Indonesia. Kenyataan ini pulalah yang menyebabkan, Islam tetap bertahan sebagai agama utama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
            Gagasan “pemikiran baru” Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika Nurcholish Madjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah lntegrasi umat”. Di dalam makalah itu yang kemudian menimbulkan polemik dan kritikan tajam dan sayangnya para pengkritik tidak menghiraukan orientasi empirisisme yang ada dalam “pemikiran baru” itu karena dianggap kontroversial dan bahkan mengesankan pemikiran seorang sekularis. Nurcholish mengawali konstatasinya dengan pernyataan bahwa “umat Islam Indonesia telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan daya gerak psikologis. Untuk menjaga keberlangsungan umat, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antar keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap tradisionalisme. Pilihan-pilihan tersebut mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu. Pilihan pada keharusan pembaruan tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat, sementara pilihan mempertahankan tradisionalisme dan konservatisme Islam, berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual umat Islam.
Bagi Nurcholish, mempertahankan persatuan umat, dengan konsekuensi menghindar melakukan penyegaran pemahaman keagamaan-Islam, bukanlah suatu bentuk pendekatan praktis dalam mengikuti proses modernisasi. Kondisi politik pemerintahan Orde Baru tampaknya mengharuskan adanya suatu perubahan, baik dalam sikap maupun dalam pikiran msyarakat Islam Indonesia. Dengan demikian, mempertahankan konsepsi persatuan umat, yang juga belum jelas sosoknya, justru tidak akan menghasilkan sesuatu, sebab memang tidak melakukan perubahan apa­-apa, bahkan hanya akan menyebabkan kemandulan dan kejumudan berpikir umat Islam sendiri. Hilangnya apa yang disebut Nurcholish sebagai  daya gerak psikologis, yang menurut Mintareja telah menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran sampai pada masa dua puluh lima tahun yang silam, merupakan suatu persoalan yang sulit diselesaikan melalui upaya-upaya yang berorientasi ke persatuan umat. Sebab, persoalannya memang tidak terletak pada masalah persatuan atau bukan persatuan umat. Sementara, pendekatan gerakan “pemikiran baru” yang bersifat liberalistis, kendatipun tampaknya hal ini mempunyal potensi membahayakan persatuan umat, merupakan suatu alternatif yang dianggap mampu mendobrak kejumudan dan stagnasi berpikir umat Islam. Karenanya, bagi Nurcholish, perpecahan umat merupakan resiko yang masih lebih baik untuk diterima. Kendatipun gerakan “pemikiran baru” semacam ini nantinya akan menemui kegagalan, hal ini masih lebih baik dan cukup bermanfaat, sebab bagaimanapun upaya melepaskan diri dari tirai Jumud dan stagnasi berpikir telah dilakukan. Memulai menggerakkan usaha-­usaha semacam inilah tampaknya yang diperlukan masyarakat Muslimin Indone­sia, apalagi mengingat ketertinggalan umat Islam dalam merebut kesempatan­-kesempatan ekonomi dan pendidikan selama masa pembangunan Orde Barn ini. Gerakan pemikiran baru ini sekaligus mentransformasikan gerakan Islam di Indone­sia, ddan aktivisme politik kepada idealisme pemikiran.
Melihat realitas kondisi umat Islam pra-tahun 1970-an, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa gerakan “pemikiran baru” memang sudah waktunya dirumuskan. Banyak indikasi untuk menyatakan bahwa kondisi umat Islam pada waktu itu tidak menggembirakan. Berbagai organisasi seperti Muhammadiyah, Al­Irsyad, Persis (Persatuan Islam) dan lain sebagainya, yang dulunya merupakan organisasi pembaru Islam Indonesia pada awal abad kedua puluh itu, ternyata kini telah kehilangan ruh dinamika atau pembaruannya. Bahkan, dalam segi tertentu, misalnya dilihat dan segi perjuangan politik, organisasi-organisasi pembaru ini telah jauh mundur ke belakang— walaupun dibandingkan dengan manuver-manuver yang diciptakan oleh organisasi yang dianggap tradisionalis seperti NU.

C.  Politik Umat Islam di Era Reformasi
Ketika mantan Presiden Soeharto membaca “surat pengunduran” dirinya pada tanggal 21 Mei 1998, maka berakhirlah sudah suatu era yang dinamakan Orde Baru, kemudian diganti dengan Orde Reformasi. 
            Runtuhnya orde baru ini memberikan harapan angin segar kepada umat Islam untuk bangkit kembali dalam percaturan politik nasional yang pada masa Orde Baru termarjinalkan. Apabila melihat ke belakang, khususnya pada awal-awal kemerdekaan bahwa kegagalan politik umat Islam pada saat itu, terutama dalam hubungannya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara memang merupakan suatu kenyataan pahit. Oleh karena itu, sehubungan dengan bergulirnya era reformasi ini banyak ide dan gagasan dari umat Islam untuk mengangkat kembali citra umat Islam, sehingga dapat memegang peran dalam percaturan politik nasional.
            Pada tahun 1999, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya di era reformasi ini mengadakan pemilu yang diikuti oleh 48 partai politik yang terdiri dari partai berhaluan Kristen, partai nasionalis, dan partai Islam. Partai Islam sendiri terbagi dua, ada partai nasionalis Islamis yang plat formnya berasas Pancasila, seperti PAN dan PKB dan ada pula partai Islam yang plat formnya berasaskan Islam, seperti PPP, PBB, PK dan PNU.   Dan pada pemilihan presiden, dengan adanya pembentukan fraksi reformasi, maka dapat menggolkan seorang presiden dari kalangan “ulama” yakni KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Ini suatu bukti bahwa apabila umat Islam itu bersatu, sesungguhnya masih memiliki kekuatan yang solid. Namun, baru satu tahun berjalan, dan tepatnya pada sidang MPR yang pertama, Gus Dur dilengserkan, dan digantikan oleh Megawati sebagai presiden dari kalangan partai Nasionalis PDI Perjuangan. . 
Di masa pemerintahan Megawati, umat Islam terus memperjuangkan hak-haknya, khususnya dari kalangan intelektual muslim untuk memunculkan kembali gagasan penerapan syari’at Islam. Di era reformasi ini, UUD 45 yang pada era Orde Baru dianggap suatu hal yang sakral, yang tidak boleh diubah-ubah, namun hal itu tidak berlaku lagi di era reformasi ini, sehingga pada sidang MPR, UUD 45 berhasil diamandemen pada beberapa pasal. Dari kalangan umat Islam, muncul gagasan untuk mengamandemen UUD 45 pasal 29 tentang masalah kehidupan beragama. Kalangan Islam mengusulkan agar Piagam Jakarta diberlakukan kembali, untuk dijadikan landasan bagi umat Islam untuk memberlakukan syari’at Islam di Indonesia. Namun, karena orang-orang Islam yang ada di Parlemen itu terbagi dua: ada yang berpikiran bahwa syari’at Islam harus diundang-undangkan dan ada juga yang menganggap tidak perlu, melainkan Islam harus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan, maka lagi-lagi umat Islam mengalami kekalahan politik seperti yang terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan.
            Melihat kegagalan politik umat Islam di tingkat nasional yang tidak berhasil mengangkat kembali Piagam Jakarta,  seiring dengan digulirkannya program otonomi daerah, maka sebagai salah satu wujud perjuangan politik umat Islam, bermunculanlah ide dan gagasan pada setiap kabupaten/kota untuk mendeklarasikan berlakunya syari’at Islam di daerah masing-masing, seperti di kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Garut dan lain-lainnya. Namun, karena kurang dukungan dari umat Islam itu sendiri, maka ide dan gagasan penegakan syari’at Islam di daerah itu kurang berkembang dengan baik, di tambah lagi kurang adanya dukungan dari pemerintah pusat.
            Berkaitan dengan pemikiran politik umat Islam di era reformasi ini, salah satu sosok intelektual Muslim, Nurcholis Madjid yang gencar dengan konsep-konsep pembaharuannya, di era reformasi ini ia memunculkan kembali pandangannya, bahwa karena Islam merupakan agama mayoritas di Indo­nesia, hhal itu semakin  mendorong dirinya untuk merasa lebih terikat pada Islam dan umatnya, bukan pada kelembagaan umat Islam, seperti partal politik Islam atau wadah persatuan umat Islam. Hal demikian tercermin dalam pemikiran barunya tentang “Islam, yes, Partai Islam, No”. Pikiran Nurcholish pada tabun 1970-an ini   dihidupkan kembali. Dengan gagasan ini jelas terlihat komitmen Nurcholish kepada Islam, bukan kepada institusi ke-Islaman. Karena penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam harus dipahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkah laku pemanfaatan terhadap Islam secara demikian ini, menurut Nurcholish, justru menjatuhkan nilai-mlai ajaran Islam sebenarnya. Buat apa partai-partai Islam kalau pemilu-pemilu yang diadakan di negeri ini hanya semacam demoknasi kosmetik. Dan kalau ada yang berani menandinginya, maka dengan rekayasa kaki tangannya, ia bisa membabat mereka sampai habis. Untuk menuntaskan ini semua, peradilan dan terutama pengadilan dijadikan bastion bahwa “L’etate c’est Moi’ (Negara adalah saya). Praktis para hakim tidak berani berkutik dan mereka betul-betul menyuarakan ‘his master voice”. Sri Bintang Pamungkas betul-betul dipangkas dan Mochtar Pakpahan yang sangat benci terhadap umat Islam, tanpa rasa belas kasihan terhadap penyakit yang dideritanya, juga dijungkir balik melalui ketentuan hukum yang tidak mungkin diberikan hak “Peninjauan Kembali” kepada jaksa. Situasi benar-benar anarkis. Tapi, meski demikian, Islam mencintai orang-orang yang membencinya. Memang dalam beberapa hal Soeharto harus dipuji, bukan saja tentang keberhasilan di bidang ekonomi dengan dasamya yang kropos, kendatipun rakyat terus menderita melalui kepanjangan tangan para birokrat demi kepentingan dan kerakusan konglomerat yang memelaratkan rakyat. Semua itu harus dibayar dengan harga yang kini begitu tinggi lagi mahal oleh dirinya sendiri. Para pembantunya yang berbintang perlu pula diminta pertanggungjawaban secara yuridis, terutama yang bertalian dengan perkosaan HAM, tindakan penculikan dan peristiwa berdarah tanggal 27 Juli 1998 di Jakarta dan tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti di Jakarta.
            Bukan hanya Nurcholish yang sesungguhnya membangun “pemikiran-pemikiran baru” untuk Indonesia masa depan itu. Gagasan persatuan umat Islam yang tidak mesti diletakkan di atas segala-segalanya tercermin dari pandangan Ahmad Wahib beserta teman-temannya yang tergabung dalam kelompok diskusi Limited Group, di bawah bimbingan Prof. Dr. Mukti Ali. Kelompok ini, sebagaimana tercermin dalam catatan harian Ahmad Wahib yang telah dibukukan, berpendapat bahwa komitmen seorang muslim, pertama-tama dan terutama, adalah pada nilai-nilai Islam, pada kedaulatan rakyat, bukan pada organisasi atau tokoh Islam. Bahkan dalam diri Ahmad Wahib mengkristal “pemikiran-pemikiran baru” yang tak kalah dahsyatnya dan, jika diungkapkan secara keseluruhan, akan menimbulkan kritikan-kritikan tajam pula. Tapi pikiran-pikiran itu kini harus segera diaplikasi dalam Indonesia modern sekarang ini. Karena hal itu memang terasa sangat kontroversial dan melawan arus pemikiran yang berkembang pada waktu ini. Potret institusi politik Islam seperti sekarang ini jelas hanya dapat berperan sebagai lembaga yang memberi keuntungan-keuntungan tertentu kepada kelompok umat tertentu pula. Melihat kondisi demikian, tampaknya akan sangat sulit mengharapkan partai-partai politik Islam untuk dapat menyalurkan aspirasi umat Islam secara menyeluruh. Bahkan seandainya partai-partai Islam dapat berperan sebagai wadah ide dan gagasan-gagasan ke-Islaman, tampaknya hal ini bukan merupakan sesuatu yang menarik. Sebab, ide-ide yang hendak diperjuangkan ini telah kehilangan dinamikanya.
   
D. Kesimpulan
            Keberadaan umat Islam, khususnya dalam kancah politik nasional, baik di masa Orde baru maupun di masa Orde Reformasi belumlah menunjukkan tanda-tanda akan bangkitnya politik umat Islam di Indonesia. Kalau di masa Orde baru umat Islam tidak mendapatkan kesempatan untuk bergerak, karena tidak adanya kebebasan dalam berpolitik, bahkan umat Islam tersisihkan dalam kancah politik nasional, maka pada masa Orde Reformasi ini sesungguhnya tidak jauh berbeda.
            Pada masa Orde Reformasi yang telah memberikan kebebasan dalam berpolitik, umat Islam belum bisa menunjukkan kekuatannya. Banyaknya partai Islam di era Orde Reformasi ini, belumlah menunjukkan tanda-tanda bahwa umat Islam akan menang dan akan memegang kendalai pemerintahan di Indonesia. Kegagalan umat Islam untuk mengangkat kembali “Piagam Jakarta” pada sidang MPR tahun 2003 sebagai suatu bukti bahwa Umat Islam belum memiliki kekuatan. Bahkan, justru banyak di antara politisi Islam yang berubah orientasi dengan tidak lagi menjadikan syari’at Islam sebagai isu sentral dalam politik nasional, melainkan bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara modern. Itu suatu bukti bahwa pemikiran politik umat Islam sudah berubah orientasi dan pada saatnya nanti umat Islam akan mengalami kehancuran. Namun begitu, masih banyak para politikus Islam yang tetap bercita-cita mewujudkan syari’at Islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
                       
            Al-Chaidar (1419 H.),  Reformasi Prematur: Jawaban Islam terhadap Reformasi Total,  Jakarta: Darul Falah.

            Fachry Ali dan Bahtiar Effendy (1986), Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde baru, Bandung: Mizan.
   
Iran Arnayadi, Fragmentasi Kondisi Umat Islam Indonesia Pasca Orde baru, Paradigma Polistaat, Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung, Vol.4 Juni-Agustus 2003.
                                               
            M. Muchsin Jamil, dkk. (2007), Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan NU,  Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.






























Selasa, 16 April 2013

Peranan Pendidikan Keluarga dalam Pembentukan Kepribadian Anak Menurut Islam

PERANAN PENDIDIKAN KELUARGA  
DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK  MENURUT ISLAM
--------------------------------------------------------------------------------------------  
Oleh: Fahrudin

A. Pendahuluan
            Orang tua memegang peranan yang sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Baik buruknya anak-anak di masa yang akan datang banyak ditentukan oleh pendidikan dan bimbingan orang tuanya. Karena, di dalam keluarga itulah anak-anak pertama kali memperoleh pendidikan  sebelum pendidikan-pendidikan yang lain. Sejak anak-anak lahir dari rahim ibunya, orang tua tua selalu memelihara anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang dan mendidiknya dengan secara baik dengan harapan anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang baik. Pendidikan yang diberikan di lingkungan keluarga berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah, karena pendidikan dalam keluarga bersifat informal yang tidak terikat oleh waktu dan program pendidikan secara khusus.
            Pendidikan dalam keluarga berjalan sepanjang masa, melalui proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga itu sendiri. Esensi pendidikannya tersirat dalam integritas keluarga, baik di dalam komunikasi antara sesama anggota keluarga, dalam tingkah laku keseharian orang tua dan anggota keluarga lainnya juga dalam hal-hal lainnya yang berjalan dalam keluarga semuanya merupakan sebuah proses pendidikan bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus selalu memberikan contoh tauladan yang baik kepada anak-anak mereka, karena apa pun kebiasaan orang tua di rumah akan selalu dilihat dan dicerna oleh anak-anak.
            Walaupun di dalam keluarga tidak ada kurikulum khusus tentang pendidikan anak-anak, tetapi orang tua  harus tetap dapat memberikan bimbingan kepada anak-anaknya dengan metode yang baik, baik yang berkaitan dengan pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anak maupun pendidikan agama, akhlak, psikologi, sosial dan pendidikan lainnya yang diperlukan oleh anak-anak dalam rangka menyongsong hari esok agar menjadi manusia yang berpribadi luhur. Dengan kata lain, bahwa orang tua memiliki peran penting  dalam pendidikan anak di lingkungan keluarga. Dan agar pendidikan dalam keluarga tersebut dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan suatu metode transformasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak dalam keluarga tersebut.        
Oleh karena itu, masalah utama yang aka dibahas dalam tulisan ini yaitu: “Bagaimana Peranan Keluarga dalam Penanaman Pendiikan Nilai  Bagi Anak Menurut Islam”.  Dari tulisan ini diharapkan dapat menghasilkan sesuatu konsep tentang cara-cara menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak dalam keluarga menurut Islam yang tentunya akan sangat bermanfaat, khususnya bagi orang tua yang mempunyai cita-cita agar anaknya kelak menjadi manusia yang baik dan berpribadi luhur.   

B. Makna Keluarga dan Peranannya
             Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. Lingkungan keluarga merupakan tempat di mana anak-anak dibesarkan dan merupakan lingkungan yang pertama kali dijalanai oleh seorang anak di dalam mengarungi hidupnya, sehingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh anak-anak dalam keluarga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak.
Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebahagian besarnya bersifat hubungan langsung dan di situlah berkembang individu dan di situ pulalah terbentuknya tahap-tahap awal proses sosialisasi bagi anak-anak.  Dari interaksi dalam keluarga inilah anak-anak memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu pulalah mereka  memperoleh ketenteraman dan ketenangan.
            Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan tersebut. Oleh karena itu, kedua suami dan isteri itu merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi, keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain, keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus di mana yang satu merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika kedua suami isteri itu dikaruniai seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di samping dua unsur sebelumnya.
            Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap individu di mana ia berinteraksi. Dari interaksi dengan lingkungan pertama inilah individu memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar daripada kepribadiannya. Juga dari situlah ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan emosinya dan dengan itu ia merobah banyak kemungkinan-kemungkinan, kesanggupan-kesanggupan dan kesediannya menjadi kenyataan dalam hidup dan tingkah laku yang tampak. Jadi keluarga itu bagi seorang individu merupakan simbol atas nilai-nilai yang mulia, seperti keimanan yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban untuk kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain lagi nilai mulia yang dengannya keluarga dapat menolong individu untuk menanamkannya pada dirinya.
            Individu itu perlu pada keluarga bukan hanya pada tingkat awal hidupnya dan pada masa kanak-kanak, tetapi ia memerlukannya sepanjang hidupnya, sebab di dalam keluargalah, baik  anak-anak, remaja, orang dewasa, orang tua maupun  manula mendapatkan rasa kasih sayang, rasa tenteram dan ketenangan.
            Keberadaan keluarga bukan hanya penting bagi seorang individu, tetapi juga bagi masyarakat, sehingga masyarakat menganggap keluarga sebagai institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial yang utama melalui individu-individu yang telah dipersiapkan di dalamnya, baik berupa nilai-nilai, kebudayaan, kebiasaan maupun tradisi yang ada di dalamnya. Dari segi inilah, maka keluarga dapat menjadi ukuran dalam sebuah masyarakat, dalam arti apabila masing-masing keluarga itu berada dalam keluarga yang sehat, maka akan sehatlah suatu masyarakat. Dan sebaliknya, jika masing-masing keluarga itu tidak sehat, dampaknya terhadap masyarakat pun akan menjadi tidak sehat.
       
C. Peranan  Pendidikan Keluarga 
            Keluarga sebagai tempat di mana anak-anak dibesarkan memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak, karena pertama-pertama yang akan dilihat dan dirasakan oleh anak sebelum orang lain adalah keluarga. Peranan pendidikan keluarga tidak akan tergeser oleh banyaknya institusi-institusi dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada, seperti Taman Kanak-kanak, Sekolah-sekolah, Akademi-akademi dan lain-lainnya. Begitu juga dengan bertambahnya lembaga-lembaga kebudayaan, kesehatan, politik, agama tidak akan menggeser fungsi pendidikan keluarga.
            Walaupun begitu tingginya tingkat perkembangan dan perubahan yang berlaku disebahagian besar masyarakat modern, termasuk masyarakat muslim sendiri, tetapi keluarga tetap memelihara fungsi pendidikannya dan menganggap bahwa hal itu merupakan sebagian tugasnya, khususnya  dalam rangka menyiapkan sifat cinta mencintai dan keserasian di antara anggota-anggotanya. Begitu juga ia harus memberi pemeliharaan kesehatan, psikologikal, spiritual, akhlak, jasmani, intelektual, emosional, sosial di samping menolong mereka menumbuhkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kebiasaan yang diingini yang berguna dalam segala lapangan hidup mereka serta sanggup mengambil manfaat dari pelajaran lembaga-lembaga lain.
            Peranan pendidikan yang sepatutnya dipegang oleh keluarga bagi anggota-anggotanya secara umum adalah peranan yang paling pokok dibanding dengan peranan-peranan lain. Lembaga-lembaga lain dalam masyarakat, misalnya lembaga politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain tidak dapat memegang peranan itu. Walaupun lembaga-lembaga lain dapat menolong keluarga dalam tindakan pendidikan, akan tetapi ia tidak sanggup menggantikan, kecuali dalam keadaan-keadaan luar biasa, seperti ketika ibu bapak meninggal atau karena ibu bapak rusak akhlak dan menyeleweng dari kebenaran, atau mereka acuh tak acuh dan tidak tahu cara-cara yang betul dalam mendidik anak.  Orang tua semacam ini tidak akan sanggup mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik dan terhormat, karenanya akan menjadi mashlahat apabila anak-anak itu dididik di luar keluarga mereka, misalnya dalam institusi-institusi yang yang baik, teratur dan bertanggungjawab atas baik dan buruknya kepribadian.
            Apabila fungsi keluarga dalam kajian psikologikal modern menekankan pendidikannya kepada  pembinaan jiwa mereka dengan rasa cinta, kasih sayang dan ketenteraman, justeru para ahli ilmu jiwa Muslim jauh sebelum itu telah menekankan perkara ini dalam berbagai tulisannya. Ulama-ulama Muslim dahulu kala menekankan pentingnya peranan pendidikan keluarga itu pada tahun-tahun pertama usia anak-anak yang berdasar kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Di samping itu, nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah banyak yang menekankan pentingnya pendidikan dalam keluarga, di antaranya: Allah berfirman: “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Q.S.(66):6). Juga Rasulullah bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani atau Majusi (H.R.Tabrani dan Baihaqi). Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah menjelaskan: “Awasilah anak-anakmu dan perbaikilah adabnya” (H.R.Ibnu Majah).
            Dari bukti-bukti yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa mendidik anak dalam keluarga kewajiban paling utama. Kewajiban ini tidak dapat ditinggalkan kecuali karena udzur, dan juga tidak akan membebaskan ia dari tanggungjawab ini dengan adanya institusi-institusi pendidikan yang didirikan khusus untuk anak-anak dan generasi muda. Sebab, institusi itu tidak akan sanggup menggantikan keluarga dalam menanamkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anak-anak.
             
D. Peranan Pendidikan Sosial dalam Keluarga
Keluarga belum melengkapi tugasnya dengan sempurna dalam pendidikan anak-anak, sehingga ia menolong anak-anak memberikan pertumbuhan dari segi sosial. Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka mengokohkan akidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan, adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.
Di antara dalil-dalil agama yang menjadi dasar pentingnya pendidikan sosial dalam keluarga ialah: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu” (HR.Muslim). Dan banyak lagi ayat al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan pendidikan sosial bagi anak-anak dalam keluarga. Sedangkan di antara metode yang patut digunakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya dari segi sosial ini menurut Hasan Langgulung (1989) adalah sebagai berikut:
1.      Memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya dalam tingkah laku sosial yang sehat berdasar pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama.
2.      Menjadikan keluarga sebagai tempat yang tercipta di dalamnya hubungan-hubungan sosial yang baik.
3.      Membiasakan anak-anak secara berangsur-angsur berdikari dan memikul tanggungjawab dan membimbingnya jika mereka bersalah dengan lemah lembut.
4.      Menjauhkan mereka dari sifat manja dan berfoya-foya dan jangan menghina dan merendahkan mereka dengan kasar, sebab sifat memanjakan dan kekasaran itu dapat merusak kepribadian anak-anak.
5.      Menolong anak-anaknya menjalin persahabatan dengan kawan-kawannya yang baik-baik, sebab anak  akan ikut terbawa baik jika berkawan dengan orang baik.
6.      Menggalakkan mereka mendapatkan kerja yang dapat menolong mereka berdikari dari segi ekonomi.
7.      Membiasakan mereka hidup sederhana supaya lebih bersedia menghadapi kesulitan hidup sebelum terjadi.
8.      Membiasakan mereka dengan cara-cara Islam dalam makan, minum, duduk, tidur, memberi salam, masuk rumah dan lain-lain lagi yang berkaitan dengan kegiatan hidup.
9.      Membiasakan bersifat adil dalam memecahkan masalah yang terjadi di antara anak-anak   

E.   Peranan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan dalam Keluarga
Keluarga mempunyai peranan penting dalam menolong pertumbuhan anak-anaknya dari segi jasmani, baik aspek perkembangan atau aspek  dalam hal memperoleh pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan-keterampilan, kebiasaan-kebiasaan, dan sikap terhadap kesehatan yang harus dimiliki untuk mencapai kesehatan jasmani yang sesuai dengan usia menurut kematangan dan pengamatan mereka.
Peranan keluarga dalam menjaga kesehatan anak-anaknya dapat dilaksanakan sebelum bayi lahir, yaitu melalui pemeliharaan terhadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik dan sehat selama mengandung, sebab hal itu akan berpengaruh terhadap anak dalam kandungan. Sehingga apabila bayi lahir, maka tanggungjawab keluarga terhadap kesehatan anak dan ibunya akan semakin banyak.
Di dalam al-Qur’an dan al-Hadits banyak dikemukakan tentang bagaimana cara mendidik anak-anak dalam bidang pendidikan jasmani dan kesehatan, agar anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat kelak.  Di antaranya, Allah berfirman: “Makan dan minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan” (QS.(7):51). “Bersihkanlah pakaianmu” (QS (74):4). “Hendaklah ibu-ibu menyusukan anak-anaknya dua tahun penuh” (QS (2):233). Selain dalam al-Qur’an, dalam Hadits juga banyak dijelaskan, di antaranya: Berobatlah, sebab yang menciptakan penyakit juga menciptakan obat (H.R. Ahmad).   “Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah dan suruhlah mereka melompat ke atas kuda” (H.R.Muslim). Selain dalam al-Qur’an dan Al-Hadits, ada juga perkataan Sahabat Umar RA: “Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah dan suruhlah mereka melompat ke atas kuda.
Dari ayat al-Qur’an dan Hadits serta perkataan sahabat di atas, jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan tentang pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anaknya. Hanya saja, bagaimana metode penyampaiannya itu diserahkan kepada para ahli dalam bidangnya, yang dalam hal ialah para ahli pendidikan. Di antara metode  yang dapat menolong untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anak itu adalah:
1. Memberi peluang yang cukup untuk menikmati air susu ibu, jika kesehatan ibu memungkinkan, sebab pada air susu ibu, terkandung makanan jasmani, psikologikal dan spiritual yang tidak terdapat pada susu botol, walau bagaimanapun kandungan dan susunan bahan-bahannya.
2. Menjaga kesehatan dan kebersihan jasmani dan pakaiannya dan melindunginya dari serangan angin, panas, terjatuh, kebakaran, tenggelam, meminum bahan-bahan berbahaya, dan lain sebagainya.
3. Menyiapkan makanan yang cukup yang mengandung unsur-unsur makanan pokok dan kalori yang sesuai dengan tingkat umur anak-anak. 
4.  Memberikan imunisasi, seperti imunisasi polio, difteria, campak, lumpuh anak-anak, TBC dan lain-lainnya berupa penyakit anak-anak yang telah ditemukan oleh para ahli kedokteran.
5. Selalu memeriksakan ke dokter terhadap berbagai alat tubuh dan memberi peluang untuk bergerak badan dan mengajarnya berbagai kegiatan dan permainan yang berfaedah dan dapat menolong pertumbuhan dan menguatkan otot-otot dan berbagai anggota tubuhnya, juga harus diberi peluang untuk istirahat yang diperlukan untuk kesehatan jasmaninya.
6. Diberi pengetahuan tentang konsep-konsep kesehatan yang baik sesuai dengan usianya dan menolong membentuk kebiasaan dan sikap kesehatan yang baik dan menjadi tauladan yang baik dalam menjalani konsep hidup sehat.
7. Memberi contoh yang baik dalam kebersihan, cara-cara duduk, makan, minum dan membimbing anak-anak ke arah pertumbuhan kesehatan jasmani yang normal.
h. Menyiapkan tempat tinggal yang sehat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan selalu meneliti penyakit yang diidapnya sejak awal pertumbuhannya dan berusaha mengobatinya.
   
F.   Peranan Pendidikan Intelektual dalam Keluarga
Walaupun pendidikan akal telah dikelola oleh institusi-institusi yang khusus semenjak dulu, tetapi keluarga masih tetap memegang peranan penting dan tidak dapat dibebaskan dari tanggungjawab ini. Bahkan ia memegang tanggungjawab besar sebelum anak-anaknya memasuki sekolah. Di antara tugas-tugas keluarga dalam hal ini adalah untuk menolong anak-anaknya menemukan, membuka dan menumbuhkan kesediaan-kesediaan bakat-bakat, minat dan kemampuan akalnya dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan sikap intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut.
Islam sangat memperhatikan pendidikan akal bagi anak-anak dan ini terbukti dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan As-Sunnah yang menekankan keutamaan akal, ilmu dan perintah untuk merenung dan berpikir tentang kekuasaan Allah, di antaranya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan adanya pergantian siang dan malam itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal” (QS (3):190).
Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dalam mengaplikasikan pendidikan akal dalam keluarga, maka di antara metode yang dapat digunakan ialah:
1. Mempersiapkan peralatan di rumah  dengan segala macam perangsang intelektual dan budaya. Di anatara berbagai perangsang ini adalah permainan-permainan pengajaran, gambar-gambar, buku-buku dan majalah yang dapat menyebabkaan anak-anak gemar menelaah kandungan buku-buku dan majalah-majalah dan bersedia membaca sebelum ia belajar membaca dan menulis.
2. Membiasakan anak-anak secara umum berpikir logis dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dan memberi contoh yang baik  dalam berpikir logis tersebut.
3. Membiasakan mereka mengaitkan akibat-akibat dengan sebabnya dan pendahuluan dengan kesimpulannya. Begitu juga dengan membiasakan berfikir objektif, kejernihan dalam mengambil keputusan, terus terang dalam perkataan dan jangan membelok dalam pemikiran, dan lain-lain lagi cara yang dapat menolong keluarga dal;am mendidik anak-anaknya dari segi intelektual sebelum dan sesudah masuk sekolah.

G.  Peranan Pendidikan Psikologi dalam Keluarga
Di antara bidang-bidang yang mana keluarga dapat memainkan peranan penting adalah pendidikan psikologikal dan emosional. Melalui pendidikan itu, keluarga dapat menolong anak-anaknya dan anggota-anggotanya secara umum untuk menciptakan pertumbuhan emosi yang sehat menciptakan kematangan emosi yang sesuai dengan umurnya, menciptakan penyesuaian psikologikal yang sehat dengan dirinya sendiri dan dengan orang-orang lain di sekelilingnya. Begitu juga dengan menumbuhkan emosi kemanusiaan yang mulia, seperti cinta kepada orang lain, mengasihani orang lemah dan teraniaya, menyayangi dan mengasihani fakir miskin, kehidupan emosi yang rukun dengan orang-orang lain dan menghadapi masalah-masalah psikologikal secara positif dan dinamis.
Berkaitan dengan pendidikan psikologi dalam keluarga ini dalam Hadits banyak dikemukakan, di antaranya: Hadits yang diriwayatkan dari  Aisyah RA: “Telah datang orang Badwi kepada Nabi dan Nabi bersabda: “Adakah kamu suka mencium anak-anakmu?. Kami tidak pernah menciumnya. Nabi bersabda: Tidakkah Allah telah mencabut dari hatimu rasa kasih sayang (HR.Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata:  Bahwa Nabi SAW mencium Hasan bin Ali, sedang al-‘Aqra bin Habits al-Tamimi duduk di sampingnya. Kemudian Al-‘Aqra berkata: Aku mempunyai sepuluh orang anak, belum pernah aku seorang pun di antara mereka. Rasulullah memandang Semua cara-cara di atas telah dibuktikan oleh penmuan-penemuan para peneliti dalam bidang psikologi dan pendidikan dan diterima oleh logika yang waras. Juga dikuatkan oleh ajaran agama yang bertujuan untuk menanamkan rasa tenteram, harapan, dan kepercayaan diri dan menguatkan unsur kebenaran, kebaikan, keadilan dan persamaan bagi anak-anak. kepadanya, lalu bersabda: Barangsiapa tidak mengasihani dia, maka tidak akan dikasihani (HR.Bukhari dan Muslim).
            Untuk dapat mengaplikasikan pendidikan psikologi dalam keluarga agar memperoleh hasil sesuai dengan apa yang diharapkan, maka  langkah-langkah yang harus diambil oleh orang tua dalam mendidik dan memelihara anak-anaknya dari segi psikiologi adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui segala keperluan psikologi dan sosialnya serta mengetahui kepentingan tentang cara-cara memuaskannya untuk mencapai penyesuaian psikologi bagi anak-anak.
2.      Mengetahui gejala-gejala dan sifat-sifat merasa puas atau ketidak puasannya dalam tingkah laku anak-anak.
3.      Berusaha memberikan kesempatan bergerak dan cara-cara bergaul yang akan menolong ia memuaskan kebutuhan tersebut supaya mereka jangan merasa tidak tenteram dan juga merasa tidak mendapat perhatian dan penghargaan.
4.      Dalam memberikan hukuman jangan menggunakan cara-cara ancaman, kekejaman dan siksaan badan, dan juga jangan sampai menimbulkan perasaan diabaikan.
5.      Jangan melukai perasaan anak-anak dengan kritikan tajam, ejekan, cemoohan, menganggap enteng pendapat anak-anak, membandingkan mereka dengan anak-anak tetangga dan kaum kerabat dan lain-lainnya.
6.      Memberikan kepada mereka peluang untuk menyatakan diri, keinginan, pikiran, dan pendapat mereka dengan sopan dan hormat, di samping menolong mereka berehasil dalam pelajaran dan menunaikan tugas yang dipikulkan kepadanya.


H.  Peranan Pendidikan Spiritual dalam Keluarga
Pendidikan spiritual termasuk bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh dari orang tua kepada anak-anaknya. Pendidikan spiritual ini akan dapat membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam al-Qur’an dan As-Sunnah banyak dikemukakan tentang perlunya pendidikan spiritual dalam keluarga, di antaranya: Ketika lukman mendidik anaknya dan berkata: “Hai anakku, dirikanlah sholat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (QS (31):17). Dalam Hadits dijelaskan: “Perintahlah anak-anakmu sholat ketika mereka berumur tujuh tahun” (HR.Abu Dawud).
Agar pendidikan spiritual dalam keluarga mencapai hasil yang memuaskan, maka di antara metode praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk menanamkan semangat keagamaan pada diri anak-anak adalah sebagai berikut:
1. Memberi tauladan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu.
2. Membiasakan mereka melaksanakan syi’ar-syi’ar agama sejak kecil, sehingga pelaksanaan itu menjadi kebiasaan  yang mendarah daging  dan mereka melakukannya dengan kemauan sendiri serta merasa tenteram dengan melakukannya.
3. Menyiapkan suasana  spiritual yang sesuai di rumah di mana mereka berada.
4.    Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas pembinaan spiritual.

I.     Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga
Pendidikan agama erat kaitannya dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai akhlak, keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama. Dan seorang Muslim tidak sempurna agamanya sehingga akhlaknya menjadi baik. Para filosof pendidikan Islam hampir semuanya sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab, tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
Keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan akhlak untuk anak-anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi dengannya. Oleh karena itu, keluarga harus mengambil porsi yang banyak tentang pendidikan akhlak ini. Mengajar mereka akhlak yang mulia yang diajarkan Islam, seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, berani dan lain-lainnya. Orang tua juga harus mengajarkan nilai dan faedah berpegang teguh pada akhlak di dalam hidup, dan membiasakan mereka berpegang kepada akhlak sejak kecil.
Di antara dalil yang digunakan pendidik Islam tentang pentingnya pendidikan akhlak dan pentingnya peranan keluarga dalam hal itu adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, di mana Nabi pernah bersabda: “Tidak ada pemberian seorang Bapak kepada anaknya yang melebihi dari akhlak yang baik” . Juga dalam hadits riwayat At-Turmudzi dan At-Tabrani, bahwa Rasulullah bersabda: Jika seseorang mengajar anaknya, lebih baik baginya daripada ia bersedekah setiap hari setengah gantang kepada orang miskin”. Ada pula Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas, ia berkata: Wahai Rasulullah: Engkau telah mengajar kami tentang hak orang tua terhadap anaknya. Maka apa pula hak anak terhadap orang tuanya. Beliau bersabda: “Bahwa engkau memberinya nama yang baik dan memperbaiki adabnya”. Juga ada Hadits riwayat Ibnu Majah, bahwa Nabi bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”.
Sedangkan metode penanaman akhlak  kepada anak dalam keluarga menurut Hasan Langgulung (1989) dapat menggunakan cara-cara sebagai berikut:
1.      Memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak akan sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya.
2.      Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka dapat memperaktekkan akhlak yang diterima dari orang tuanya.
3.      Memberi tanggungjawab yang sesuai kepada anak-anaknya supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak tanduknya.
4.      Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana.
5.      Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat kerusakan.
 
J.     Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang metode pendidikan keluarga menurut Islam di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.      Keluarga dalam Islam memegang peranan penting dalam membentuk pribadi anak, karena keluarga merupakan institusi pertama yang yang secara langsung berinteraksi dengan anak, sehingga apa pun yang terjadi dalam keluarga akan berdampak terhadap anak.
2.      Pendidikan dalam keluarga yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sampai dengan dewasa, yang berupa pendidikan social,  pendidikan jasmani dan kesehatan, pendidikan akal (intelektual), pendidikan psikologi, pendidikan agama, dan pendidikan akhlak sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan pribadi anak, karena pendidikan tersebut berlangsung sepanjang masa oleh orang tua kepada anak-anaknya dan disertai dengan rasa kasih sayang, keikhlasan dan tanggungjawab yang penuh dari orang tua kepada anak-anaknya.
3.      Metode penanaman nilai-nilai pendidikan dalam keluarga menurut Islam pada dasarnya mengacu kepada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits. Namun, karena Al-Qur’an dan Hadits tidak memberikan rincian tentang metode tersebut, maka realisainya disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan tujuan yang diharapkan diperoleh pendidikan yang diberikannya, sehingga metode tersebut bersifat fleksibel.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemah (1984), Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Pepartemen Agama RI.  

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Taomy (1979), Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang.

Abu Ahmadi, dkk (1991),  Ilmu Pendidikan,  Jakarta: Rineka Cipta

Hasan Langgulung (1989), Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna

M.Arifin (1991), Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.





PENDIDIKAN KEIMANAN BERBASIS TASAWUF

Internalisasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis tasawuf di SMA POMOSDA

INTERNALISASI PENDIDIKAN NILAI KEIMANAN
BERBASIS TASAWUF SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK KARAKTER MANUSIA ‘ARIFUN BILLAH DI SMA POMOSDA
TANJUNG ANOM – NGANJUK – JAWA TIMUR

A.  Latar Belakang Penelitian
Pada saat ini Pendidikan Nilai  merupakan salah satu masalah yang sering dibicarakan dan dianggap menarik dalam dunia pendidikan. Berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, selama beberapa tahun terakhir ini ketertarikan dan penekanan pada nilai  telah  dianggap penting dalam dunia pendidikan.  Ketertarikan dan aktifitas yang meningkat ini telah mempengaruhi dunia pendidikan, khususnya para pendidik  untuk menjadikan Pendidikan  Nilai sebagai suatu hal yang sangat penting (Mulyana, 2011: i).
Berbicara masalah nilai, tidak bisa lepas dari masalah nilai-nilai agama. Nilai agama, yaitu suatu nilai yang memiliki dasar kebenaran paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang lainnya, karena nilai ini bersumber dari Tuhan. Berbicara masalah nilai agama juga tidak bisa lepas dari masalah nilai keimanan, karena inti dari agama adalah iman. Di era globalisasi yang dihadapkan kepada berbagai  tantangan ini, masalah nilai keimanan merupakan suatu  hal yang paling mendasar yang dianggap penting ada pada setiap orang. Pentingnya mengangkat nilai keimanan dalam segala aspek kehidupan, dikarenakan banyak sekali saat ini terjadi pelanggaran nilai keimanan sebagai akibat dari semakin merosotnya kepedulian manusia akan pentingnya makna nilai keimanan dalam kehidupan.
Iman memegang peranan penting bagi manusia, karena dari iman inilah akan lahir perbuatan dan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-qur’an, iman yang kuat diibaratkann seperti pohon yang baik  yang akarnya tertancap dengan kokoh, dahannya menjulang tinggi ke langit, dan pohon itu akan menghasilkan buah setiap kali musim dengan seizin Tuhannya (QS.Ibrahim: 24). Oleh karena itu, Al-Qarni (2007: 25) mengatakan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang yang  paling menderita yaitu mereka yang miskin iman dan mengalami krisis  keyakinan”.
Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Al-qarni tersebut, bahwa orang-orang yang tidak beriman itu  selamanya akan mengalami  kesengsaraan, kepedihan, kemurkaan, dan kehinaan. Tidak ada hal  yang bisa membuatnya bahagia, dan menghilangkan kegundahan darinya, selain keimanan yang benar kepada Tuhan semesta alam. Kalau kita perhatikan qisah dalam Al-qur’an, banyak sekali umat terdahulu yang ditimpa adzab oleh Allah, karena mereka tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka hidupnya mnderita kesengsaraan. Sejalan dengan itu, Sabiq (1990:15) menjelaskan bahwa:  “Keimanan itu merupakan keyakinan yang pokok yang di atasnya berdiri syari’at Islam, dan dari pokok-pokok itu, muncullah cabang-cabangnya”.
Apabila melihat kondisi dan mutu keimanan umat Islam di Indonesia saat ini sungguh sangat memperihatinkan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa umat Islam saat ini sedang mengalami krisis iman. Aziz (2008: 318) mengatakan bahwa:  “Krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia itu sesungguhnya berasal dari krisis iman”. Krisis iman di antaranya ditandai dengan banyaknya orang yang lupa pada Allah. Dengan lupa kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-qur’an, akhirnya Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Banyak orang-orang Islam yang hatinya sudah berpenyakit, sudah tertutup untuk menerima kebenaran. Banyak orang-orang Islam yang tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama dalam hidupnya. Al-qur’an sudah tidak lagi dijadikan pedoman dalam hidupnya,  banyak orang yang menuruti hawa nafsunya, sehingga kemaksiatan merajalela di mana-mana. Dengan adanya krisis iman tersebut telah membuat umat manusia mendapat bencana  dari Allah sebagai ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Bencana itu dalam beberapa tahun belakangan dan yang terjadi pada tahun-tahun ini berbentuk bencana  yang bertubi-tubi, mulai dari tsunami, gempa bumi, longsor, banjir dan lain-lainnya yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
Oleh karena itu, masalah nilai keimanan  merupakan  suatu masalah yang harus menjadi perhatian semua orang di mana saja, baik di dalam masyarakat yang telah maju, maupun di dalam masyarakat yang masih terbelakang, karena rusaknya nilai keimanan  seseorang  aka mengganggu ketenteraman orang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak yang rusak nilai keimanannya, maka akan hancurlah  keadaan masyarakat itu. Sehubungan dengan masalah di atas, Aziz (2008: 1) mengemukakan bahwa: “Kualitas masyarakat muslim di abad ke-21 sekarang ini tidak lebih baik dari abad-abad sebelumnya. Itu suatu bukti bahwa kualitas umat Islam sekarang ini tidak pernah mengalami perbaikan secara mendasar”. Kalau kita perhatikan umat Islam saat ini banyak sekali yang lupa pada ajaran-ajaran agama mereka, dan itu sebenarnya telah banyak diperingatkan oleh Allah swt di dalam Al-qur'an. Al-qur'an memperingatkan bahwa banyak orang yang mengaku beriman, tetapi sebenarnya merupakan musuh Islam yang paling tangguh, dan merekalah yang disebut Al-qur'an sebagai orang kafir dan munafiq (QS. 63: 3).  Sejalan dengan hal itu, Muhammad Quthub (Aziz, 2008: 458) mengemukakan bahwa: “Umat Islam  saat ini sedang mengalami krisis iman. Hal itu ditandai dengan banyaknya umat Islam yang  melupakan Allah”.
Jika kita amati fenomena keadaan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar sekarang ini, sebagian anggota masyarakat telah banyak terjadi pelanggaran nilai-nilai keimanan  atau dapat dikatakan nilai-nilai keimanan  masyarakat sudah mulai merosot. Pada kebanyakan orang kepentingan umum tidak lagi menjadi diprioritaskan, akan tetapi kepentingan pribadilah yang ditonjolkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran telah tertutup oleh penyimpangan-penyimpangan, baik yang terlihat ringan maupun berat; banyak terjadi saling menghasud,  saling menfitnah, saling menjilat, saling menipu, berdusta, mengambil milik  orang lain seenaknya, dan juga banyak lagi kelakuan-kelakuan pelanggaran nilai keimanan  lainnya. Bahkan yang dihinggapi oleh kemerosotan nilai keimanan itu tidak saja orang yang telah dewasa, akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan negara kita.         
Apabila melihat tujuan pendidikan nasional yang terdapat di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 bab II pasal 3, disebutkan bahwa:
 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa  kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Berdasarkan  UUSPN di atas, seharusnya Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan itu menjadi core pendidikan, tapi kenyataannya tidaklah demikian (Tafsir, 2010: 156).  Pada tataran implementasi kurikulum  pendidikan nasional di sekolah, bobot pada ranah afektif bila dibandingkan dengan bobot pada ranah kognitif dan psikomotor masih jauh dari harapan. Contoh kongkrit yang mewakili masalah ini adalah bahwa yang terjadi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pada umumnya hanyalah bersifat pengajaran yang lebih menekankan kepada aspek kognitif bukan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek nilai. Hal ini dapat dilihat dari struktur kurikulum dan buku teks  yang ada di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang secara umum mengesankan seperti tersebut di atas. Akibatnya, tugas guru dan dosen hanya menyampaikan materi pelajaran dengan target tersampaikannya semua materi yang ada dalam buku teks (target pencapaian kurikulum), yang konsekuensinya mengukur dan menilai keberhasilan proses pengajarannya hanya dengan tes. Siswa dan mahasiswa yang dianggap berhasil dalam pendidikan adalah siswa yang memiliki ranking dengan rata-rata nilai yang tinggi. Sedangkan aspek moral, akhlak dan kepribadian siswa dan mahasiswa hanya sedikit yang disentuh dan tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam kelulusan siswa dan mahasiswa.
Selain daripada itu, bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan pendidikan akademik dan kurang diimbangi pendidikan karakter, budi pekerti, akhlak, moral dan dimensi mental. Apa artinya menghasilkan anak yang pintar, jika tidak dilengkapi dengan karakter yang kuat, budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia, moral dan mentalitas yang tinggi.
Pendidikan di Indonesia memiliki ketidakseimbangan antara pendidikan akademik, pendidikan nilai, dan pendidikan keterampilan. Dari sudut pendidikan nilai, khususnya nilai keimanan  sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan di Indonesia dapat dikatakan gagal atau kurang berhasil. Fenomena kegagalan ini misalnya dapat dilihat dari produk pendidikan yang menghasilkan generasi yang kurang hormat pada guru/dosen, orang tua, sering terjadi tawuran, pergaulan bebas, gaya hidup hedonisme, kebarat-baratan (meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa) dalam beberapa hal seperti dalam fashion, musik, makanan dan  lain-lainnya.
Penyebab semua itu, di antaranya karena Pendidikan keimanan dan Ketakwaan belum mendapatkan porsi seperti yang diharapkan. Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan belum menyentuh akar permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya manusia tidak beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya. Pendidikan keimanan di Indonesia baru dapat mengantarkan para siswa untuk percaya kepada Allah, tetapi belum mengantarkan siswa mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Penyebab gagalnya  pendidikan nilai keimanan tersebut terletak pada kelirunya  pola pembinaan nilai  keimanan itu sendiri. Secara umum, pembinaan nilai-nilai keimanan kepada para pelajar  dan mahasiswa: (1) lebih banyak menekankan kepada aspek-aspek kognitif, (2) hanya sebatas mengantarkan keyakinan bahwa Allah itu ada dengan mengenal sifat, asma dan  af'al (ciptaan) Nya, tetapi tidak sampai kepada mengenal Dzat-Nya (ma'rifat bi Dzatillah).
Oleh karena itu, disinilah perlunya kita merancang sebuah Pendidikan Keimanan yang berorientasi kepada pembinaan hati atau Pendidikan Keimanan yang berbasis tasawuf yang dapat mengantarkan para siswa menjadi “Al-‘Arif Billah”.  
Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf itu penting, karena  dengan tasawuf akan mengantarkan orang tersebut untuk dapat membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati yang ada dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Zaruq (Isa, 2010: 5), bahwa: “Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata”. Juga sejalan dengan pendapat Ujaibah (Isa, 2010: 6), yang menyatakan bahwa: “Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasinya dengan akhlak terpuji”.
Untuk dapat tercapainya target dari pendidikan keimanan, maka perlu adanya suatu  bentuk  atau pola pendidikan dan pembinaan yang terarah dan terstruktur,  karena tanpa adanya  pola pendidikan  dan pembinaan seperti itu, maka tujuan sulit untuk bisa tercapai. Pola pendidikan dan pembinaan  merupakan hal yang paling urgen berkenaan dengan efektifitas hasil pembelajaran, artinya efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran dalam mencapai hasil ditentukan oleh pola  yang digunakan dalam perbuatan pendidikan, yaitu proses mendidik dan dididik. Inti dari realitas pendidikan yang terdapat dalam fenomena pendidikan ialah perbuatan pendidikan.
Pola  pendidikan dan pembinaan yang dimaksudkan di sini yaitu menyangkut tujuan, program, proses, dan cara evaluasi dan segala sarana dan sumber yang mungkin digunakan dalam mencapai tujuan. Dalam proses pendidikan, pola  merupakan cara mengelola segala sumber belajar oleh pendidik dalam upaya membantu  para pelajar mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya pola  yang tepat dalam pendidikan keimanan  dalam rangka pembinaan kepribadian sesuai dengan karakter yang diharapkan.
Dalam hal Pendidikan Nilai Keimanan, pola pembinaan  menjadi sesuatu  aspek yang sangat menentukan dalam mencapai target pendidikan, karena efek yang dimaksudkan tidak berada di dalam objek ajar secara langsung, artinya sebagai instructional effect.  Objek ajar dalam Pendidikan Nilai Keimanan  bersifat instrumental yang berfungsi sebagai penggoyang, pengguncang dan penggerak jiwa.
Nilai keimanan hanya akan fungsional apabila ia sangup menembus kesadaran nurani terdalam kemanusiaan, sebaliknya nilai keimanan tidak akan fungsional apabila hanya sampai pada ranah kognitif, yaitu sebagai pengetahuan. Oleh karena itu, sasaran pendidikan keimanan lebih berada di balik nilai yang diajarkan itu sendiri, artinya merupakan nurturant-effect dari hasil pembelajaran, yang justeru diperoleh selama proses pembelajaran itu sendiri sedang berlangsung. Dalam hal inilah Pendidikan Nilai Keimanan menjadi berbeda dengan pendidikan lainnya, di mana yang nurturant menjadi tujuan utama dan prioritas, sementara yang instructional  menjadi sasaran antara.
Selain masalah pola pendidikan dan pembinaan, juga masalah kurikulum pendidikan keimanan itu sendiri. Menurut Aziz (2008: 320), bahwa: “Kurikulum Pendidikan Keimanan di kita tidak sanggup memaknai arti dan sifat Robbaniyah ke dalam jiwa anak didik”. Oleh karena itu, cocok sekali  apa yang diungkapkan penyair dan pemikir Islam Muhammad Iqbal (Aziz, 2008: 321), yang mengatakan bahwa: “Sekolah-sekolah modern,  bisa membuka mata generasi muda untuk memahami  berbagai hakikat dan pengetahuan, namun ia tidak mengajarkan matanya bagaimana cara menangis dan tidak mengajarkan hatinya bagaimana supaya bisa khusyu”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu adanya suatu pola pendidikan dan pembinaan  nilai-nilai keimanan  yang  betul-betul dapat mengantarkan para peserta didik menjadi orang yang beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya (ma'rifatullah).
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur dijadikan objek dalam penelitian ini dengan alasan sebagai berikut: (1) POMOSDA  adalah salah satu pondok pesantren yang terkenal dengan Pondok Sufi yang salah satu tekadnya  mendidik para santri agar menjadi hamba yang ‘Arifun Billah, yakni hamba yang dapat mengenal Jati Diri-Nya Tuhan, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan-Nya. Dan berdasarkan pengamatan dalam studi pendahuluan, pondok ini terbukti telah banyak menghasilkan  alumni yang  memiliki karakteristik  seperti tersebut di atas; (2) POMOSDA merupakan sebuah model lembaga pendidikan Islam yang memadukan antara sekolah dan pesantren,  yang sejak awal keberadaannya bertujuan hendak membina individu-individu muslim agar memiliki ciri-ciri kepribadian Islami yang rabbani, yang tampil dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindaknya.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pemikiran-pemikiran logis di atas, maka yang menjadi rumusan masalah utama dalam  penelitian yaitu: “Bagaimanakah Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai Upaya Membentuk Karakter Manusia ‘Arifun Billah  di SMA POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur?”
Rumusan masalah utama tersebut  dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.    Apakah tujuan yang ingin dicapai dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf  di  SMA Pondok  Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom– Nganjuk–Jawa Timur?
2.    Bagaimanakah program yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di  SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom -Nganjuk - Jawa Timur?
3.    Bagaimanakah proses yang dilaksanakan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom Nganjuk Jawa Timur?
4.    Bagaimanakah bentuk evaluasi yang dirancang untuk mengukur  keberhasilan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA POMOSDA  Tanjung Anom - Nganjuk - Jawa Timur?
5.    Bagaimanakah implikasi Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf di SMA POMOSDA terhadap Pendidikan Keimanan di persekolahan?

C.   Tujuan Penelitian
Secara Umum, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran tentang implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia  ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur.
Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini yaitu:
1.    Mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf  di  SMA Pondok  Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom– Nganjuk–Jawa Timur.
2.    Mengetahui program yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom - Nganjuk - Jawa Timur.
3.    Mengetahui proses yang dilakukan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf  sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom - Nganjuk -Jawa Timur.
4.    Mengetahui bentuk evaluasi yang dirancang untuk mengukur keberhasilan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA)  Tanjung Anom - Nganjuk - Jawa Timur.
6.    Menemukan implikasi Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf di SMA POMOSDA terhadap Pendidikan Keimanan di persekolahan.

D.  Metode Penelitian
1.    Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Pondok Modern Sumber Daya at-Taqwa (POMOSDA)  yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Tanjung Anom Nganjuk Jawa Timur. POMOSDA dijadikan lokasi penelitian, karena  POMOSDA merupakan salah satu pondok pesantren modern yang kurikulumnya menggabungkan antara kurikulum dari Kemendikbud dengan kurikulum muatan lokal kepesantrenan. Dalam kurikulum muatan lokal kepesantrenan tersebut terdapat mata pelajaran Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf yang diberi nama Ke-Lilmuqarrabinan yang tujuannya menghasilkan para santri yang "Arifun Billah", yakni santri yang dapat mengenal Jati Diri-Nya Ilahi dengan seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, serta  dapat mengingat-ingat-Nya dalam kehidupan sehari-hari, di mana saja, kapan saja, dan sedang apa saja.

2.    Sumber Data Penelitian
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini yaitu meliputi:
a.    Manusia, yakni Bapak Kyai Mohammad Munawar Afandi selaku pimpinan pesantren, Ustadz Dzoharul Arifin selaku kepala SMA POMOSDA,  ustadz  Drs. Imam Suhudi selaku guru  pendidikan keimanan,  para santri, dan para alumni SMA POMOSDA.
b.    Setting, yaitu  lingkungan pesantren tempat para santri/siswa tinggal,  lingkungan sekolah tempat para santri belajar,  dan masjid tempat para santri melaksanakan ibadah dan kegiatan pengajian sehari-hari.
c.    Kejadian dan proses, yakni kegiatan Proses Belajar Mengajar di kelas, dan Proses Belajar Mengajar di luar kelas, seperti di masjid dan di asrama/kobong.

3.    Desain Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan memaknai fenomena yang terjadi di SMA POMOSDA, khususnya tentang implementasi  Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf yang berlangsung di sana. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1982:3),  bahwa: “Penelitian kualitatif  itu lebih berusaha memahami dan menafsirkan  apa makna  dan perilaku dari  suatu peristiwa dan interaksi dalam situasi tertentu”.  Bogdan dan Biklen (1982: 90) mengatakan bahwa: “Ciri dari penelitian kualitatif  ialah bersifat deskriptif  analitik,  karenanya data yang diperoleh dari lapangan tidak dituangkan dalam bentuk statistik”. Sejalan dengan itu, Nasution (1996: 5) juga  menjelaskan bahwa: “Penelitian kualitatif itu pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk mengamati orang lain dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Artinya, bahwa pendekatan kualitatif akan mengarahkan  peneliti untuk melihat fenomena yang nyata di lingkungan penelitian dan berusaha memahami serta memberi makna terhadap rangkaian peristiwa itu.
Berdasarkan kepada  teori pendekatan kualitatif seperti yang kemukakan di atas, peneliti berusaha untuk terjun sendiri ke lapangan untuk memperoleh data yang dibutuhkan, kemudian mendeskripsikan suatu fenomena yang terjadi yang berkaitan dengan model Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA).
Dalam proses menemukan tentang gambaran implementasi Pendidikan  Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf  di SMA POMOSDA yang dicari melalui penelitian ini, peneliti akan lebih menekankan pada hasil analisis dan interpretasi melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi yang terkait dengan tujuan, program, substansi materi, proses pembelajaran,  proses internanalisasi dan cara evaluasinya. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini lebih berorientasi pada penelitian interpretatif. Dengan pendekatan kualitatif-interpretatif ini peneliti berusaha memotret situasi pendidikan  yang terjadi di   SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), terutama yang berkaitan dengan implementasi Pendidikan Nilai Keimanan sebagai upaya membentuk karakter manusia yang arifun billah,  kemudian mendeskripsikan fenomena pendidikan tersebut dari sudut ilmu kependidikan untuk menggali makna di balik fenomena kependidikan yang tampak.
Metode yang digunakan untuk menganalisis dan mendeskripsikan temuan  dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif – analitik.  Dengan metode deskriptik- analitik ini peneliti setelah berusaha menggali suatu gejala, peristiwa, dan kejadian yang berkaitan dengan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA, kemudian dianalisis dan dideskripsikan  menjadi sebuah rumusan ilmiah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Syaodih (2009: 72) bahwa: “Metode deskriptif itu ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia”.
Tahap-tahap penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa  (POMOSDA) ini meliputi empat hal, yakni: (1) Studi Pendahuluan,   (2) Pengumpulan Data,  dan (3) Analisis Data.
Dalam studi pendahuluan ini, langkah pertama  yang dilakukan oleh peneliti yaitu tahap orientasi.   Orientasi ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas tentang kondisi SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), sehingga memudahkan bagi peneliti mengenai apa yang akan dilakukan oleh peneliti saat di lapangan. Langkah kedua dalam studi pendahuluan ini yaitu tahap eksplorasi. Dalam tahap eksplorasi ini, peneliti di lapangan membangun suatu keakraban dengan responden dengan cara bersilaturahmi dengan pimpinan Pondok Pesantren, kepala sekolah SMA POMOSDA, guru Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf, para pengurus dan para tokoh yang dipercaya untuk  mengelola pendidikan di SMA POMOSDA.
Yang menjadi instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu peneliti sendiri. Peneliti sebagai human instrument terjun sendiri ke lapangan, yakni ke Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), baik dalam melakukan wawancara, observasi di kelas dan di luar kelas, studi dokumentasi, maupun dalam menganalisis dan menyimpulkan hasil penelitian.
Untuk memperoleh data penelitian yang diperlukan, maka  pengumpulan data dilakukan melalui: (1) Wawancara,  (2) Observasi dan observasi partisipan, dan  (3)  Studi dokumentasi.
Langkah yang dilakukan oleh peneliti untuk menganalisis data hasil penelitian yang telah terkumpul yaitu: (1) Reduksi dan Kategorisasi Data, (2) Uji Validitas dan Kreadibilitas, dan (3) melakukan triangulasi.            
Penafsiran dan pemaknaan data hasil penelitian dilakukan melalui tiga tahapan,  yaitu; (1) analisis pada tingkat awal,  (2) analisis pada saat pengumpulan data di lapangan, dan (3) memeriksa keabsahan data, penafsiran dan pemaknaan data.
Dalam penafsiran dan pemaknaan data ini,  khususnya  untuk dapat mencapai rumusan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka  dilakukan hal-hal sebagai berikut: (a) Mendeskripsikan tujuan Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf  di SMA POMOSDA, (b) Mendeskripsikan program Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf  di  SMA POMOSDA, (c) Mendeskripsikan substansi materi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA, (d) Mendeskripsikan proses Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf yang dilaksanakan di SMA POMOSDA, (e) Mendeskripsikan cara evaluasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di  SMA POMOSDA.
Setelah selesai penafsiran dan pemaknaan data hasil penelitian dan semuanya  sudah tersusun dengan baik, kemudian melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang sudah dideskripsikan dengan melalui teknik analisis-deskriptif-eksploratif. Yang dimaksud dengan analisis-deskriptif-eksploratif yaitu peneliti berusaha menganalisis dan mengembangkan apa yang ditemukan dalam penelitian tersebut dengan cara memadukan  dengan teori lain, sehingga dapat memperkaya khazanah pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan Pendidikan keimanan Berbasis Tasawuf yang dikemukakan oleh para ahli.
Sebagai langkah terakhir dalam analisis hasil penelitian ini, peneliti juga menganalisis implikasi model Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf terhadap pendidikan di Indonesia, khususnya Pendidikan Keimanan di sekolah-sekolah, baik sekolah umum (SMA) maupun sekolah keagamaan (Madrasah Aliyah). 
4. Penjelasan  Istilah Penelitian
Judul disertasi ini yaitu:  “Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai Upaya Membentuk Karakter Manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur”. Untuk  dapat memperjelas arti dan makna serta menghindari kesalah pengertian, maka ada beberapa istilah pokok yang perlu dijelaskan oleh peneliti berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah tersebut.    
Yang dimaksud implementasi dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan atau penerapan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia Al-‘Arif Billah di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur, yang meliputi tujuannya, programnya, prosesnya, dan juga evaluasinya.    
Yang dimaksud Pendidikan Nilai dalam penelitian ini yaitu suatu pendidikan dalam bentuk pengajaran dan bimbingan kepada peserta didik agar dapat menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang meliputi nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju pembentukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri, dan kepribadian yang utuh.
Yang dimaksud Pendidikan  Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf dalam penelitian ini yaitu suatu Pendidikan Keimanan yang dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf sebagai upaya untuk mengantarkan peserta didik agar mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati dan memperbagus akhlak, sehingga dapat tampil sebagai sosok pribadi yang ta’at kepada Allah dan berakhlak mulia.
Adapun yang dimaksud dengan karakter manusia yang ‘Arifun Billah ialah manusia yang mengenal Jati Diri-Nya Ilahi sebagai Dzat Yang Ghoib (Allah nama-Nya), sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, serta dapat mengingat-ingat-Nya dalam kehidupan sehari-hari di mana saja, kapan saja, dan sedang apa saja.



              
E.   Kajian Teori
1.    Tujuan Pendidikan Keimanan
Pendidikan Keimanan yaitu suatu pendidikan yang diarahkan agar para siswa dapat beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya, sehingga para siswa dapat terhindar dari kemusyrikan (PERMENAG No. 2 tahun 2008).
Beriman kepada Allah menjadi tujuan dalam Pendidikan Keimanan, karena dengan beriman kepada Allah akan dapat  memberi pendidikan kepada hati untuk dapat menganalisis mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang salah, bahkan dengan beriman kepada Allah akan dapat mendorong seseorang untuk dapat mencari keluhuran, kemuliaan dan ketinggian akhlak,  dan dengan beriman kepada Allah juga akan menjadikan seseorang untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang jelek, rendah, hina, dan tidak berharga.
Mentauhidkan Allah menjadi tujuan Pendidikan Keimanan, karena dengan mentauhidkan Allah seseorang akan terhindar dari bahaya syirik. Syirik merupakan perbuatan dosa yang sangat besar, dan bahkan tidak ada ampunannya, kecuali dengan benar-benar bertaubat kepada Allah.

2.    Program Pendidikan Keimanan
a.    Rancangan Pendidikan Keimanan
Untuk dapat menghasilkan manusia yang beriman sesuai dengan  tujuan yang diharapkan dalam Pendidikan Keimanan,  maka harus disusun suatu perencanaan pendidikan dalam bentuk silabus yang disusun sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa agar dapat berkembang secara optimal, serta harus memperhatikan tantangan moralitas dalam kehidupan. Untuk itu, harus dipilih pokok-pokok materi Pendidikan Keimanan  dengan memperhatikan struktur keilmuan, tingkat kedalaman materi, serta sifat esensial materi dan keterpakaiannya dalam kehidupan sehari-hari (PERMENAG No. 2 tahun 2008).

b.    Substansi Materi Pendidikan Keimanan
Iman yaitu suatu pembenaran yang ada dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan amal perbuatan (Sabiq, 1974: 20). Iman merupakan fondasi dalam kehidupan seseorang, yang dapat menentukan baik buruknya prilaku orang itu, dan  inti iman itu terletak pada kalimah “La ilaha illallah”. Di atas kalimah la ilaha illallah inilah berdiri tegak bangunan Islam seseorang  ( Al-Maududi, 1983: 68).
Tauhidullah merupakan inti dari keimanan, karena dengan mentauhidkan Allah seseorang akan terhindar dari kemusyrikan. Menurut Asmuni  (1996: 1), tauhidullah yaitu  mengesakan Allah,  yakni menanamkan suatu keyakinan dalam hati bahwa tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah Yang Maha Esa. Tauhid  yaitu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya.  
Tauhidullah merupakan dasar pertama dan utama dalam Islam, dan Rasulullah selama hayatnya berjuang dengan gigih menegakkan tauhid di tengah masyarakat yang hidup dalam kekafiran dan kemusyrikan. Beliau mengajak umat manusia untuk bertauhid  dan memberikan pendidikan ketauhidan secara terus menerus kepada para sahabat dan pengikutnya. Beliau memberikan contoh kongkrit dan teladan yang baik bagaimana sikap hidup manusia bertauhid yang tercermin dalam perkataan, sikap hidup, kepribadian, dan perilaku beliau sehari-hari (Asmuni, 1996: 3).

c.    Substansi Materi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf
Yang dimaksud Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf ialah suatu Pendidikan Keimanan yang dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf, yang menekankan kepada kajian hati, sehingga Pendidikan Keimanan tersebut tidak hanya mengantarkan peserta didik percaya akan adanya Allah, tetapi dapat mengantarkan peserta didik dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya (ma’rifatullah), sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
Ma’ritatullah dalam kajian tasawuf menurut Dahlan (Isma’il, 2008: 794),  maksudnya pengetahuan tentang Allah”. Ma’rifatullah menurut Hawwa (2008: 1) merupakan dasar yang paling utama dalam Islam, karena tanpa ma’rifatullah setiap amal tidak ada nilainya”. Menurut Sabiq (1990: 30), “ma’rifatullah merupakan seluhur-luhurnya ma’rifat, sebab  ma’rifatullah itu merupakan azas atau fundamen yang di atasnya didirikan segala kehidupan kerohanian”.  Masalah ma'rifatullah mulai banyak diperbincangkan dalam kalangan para zahid dan sufi pada abad ke tiga Hijriyah”, dan  Ma'rifatullah itu memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma'rifah yang dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma'rifah hakiki. Dan orang-orang yang telah memperoleh ma'rifah hakiki itu disebut Arifun billah. 

d.    Substansi Materi Pendidikan Tasawuf
Tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. (Nasution, 1995: 56). Menurut Al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya (Majhuddin, 2009: 66). Menurut Al-Nuri, tasawuf adalah penyangkalan semua kesenangan diri sendiri.  Penyangkalan ada dua macam, yaitu formal dan hakiki. Jika seseorang menyangkal suatu kesenangan dan mendapatkan kesenangan dalam penyangkalan, inilah yang disebut penyangkalan formal; tetapi jika kesenangan menyangkal dia, kemudian kesenangan lenyap, dan masalah ini ada dalam kontemplasi yang sesungguhnya ketika sufi menyaksikan Tuhan dengan bashirahnya (musyahadah), maka dari itu, penyangkalan kesenangan adalah tindakan manusia, tetapi pelenyapan kesenangan adalah tindakan Tuhan. Tindakan manusia adalah resmi (formal) dan bersifat majazi atau metamorphosis, sedangkan tindakan Tuhan adalah hakiki (Isma’il, 2008: 89).
Untuk dapat menuju kehidupan tasawuf, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah, maka ada  langkah-langkah atau upaya yang harus dilakukan oleh seseorang. Langkah-langkah tersebut, yaitu: (1) Tazkiyah al-Nafs, (2) Mujahadah dan riyadhah.
Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk menjadikan hati  menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun  keyakinannya” (Taimiyah, 2010: 117). Azra (Isma’il, 2008: ix), menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu terfokus pada tiga hal sebagai berikut: (1) tazkiyat  an-nafs, yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa kecil, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela; (2) taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher (QS.50:16). Persoalannya, kedekatan Allah dengan manusia tidak selalu dapat dirasakan manusia; (3) hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni menfokuskan diri kepada usaha untuk merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan dengan Allah
Mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) adalah menyapih nafsu, membawanya keluar dari keinginan-keinginan yang tercela dan mengharuskannya untuk melaksanakan syari’at Allah, baik perintah maupun larangan (Isa, 2010: 72).  Menurut Al-Shadiqi, bahwa mujahadah itu ialah kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa nafsu yang selalu ingin berbuat hal-hal yang tidak benar, lalu mampu memaksanya untuk berbuat hal-hal yang baik (Majhudin, 2010, J. 2: 200).
Rosyidi (Isma’il, 2008: 871),  menjelaskan pengertian mujahadah dengan mengutip beberapa pendapat para sufi, yaitu bahwa kata mujahadah berasal dari kata jihad, yang artinya "berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan pada jalan yang diyakini baik dan benar". Dalam pengertian kaum sufi, mujahadah yaitu "upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa rendah". Mujahadah adalah perang terus menerus melawan hawa nafsu, dan perang ini dianggap sebagai perang besar (al-jihad al-akbar), dan perang ini menggunakan senjata samawi  berupa dzikir kepada Allah. Sedangkan menurut Al-Qusyairi, mujahadah ialah suatu upaya untuk membebaskan diri dari kekangan hawa nafsunya yang menjadi sifat manusiawi, dan berusaha mengendalikan diri serta tidak memperturutkan kehendaknya dalam kebanyakan waktu. Al-Ghazali mendefinisikan mujahadah sebagai pengerahan kesungguhan dalam menyingkirkan nafsu dan syahwat atau menghapuskannya sama sekali. Sedangkan menurut Ali Ar-Rudzbari, bahwa prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang waktu       
 Riyadhah menurut Ash-Shidiqi ialah latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara perkataan, perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang benar, yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan kedekatan hamba dengan Tuhannya (Majhudin, 2010, J.2: 201). Tiga macam cara tersebut, yaitu: Pertama, riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan cara berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, berbuat dengan sikap yang ikhlash, tidak tercampur dengan sikap riya, dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan hidupnya. Riyadhah tersebut ditentukan oleh tuntunan teks agama mengenai sesuatu yang akan dilakukan, baik dilakukan dengan perbuatan nyata maupun dengan perbuatan yang tidak nyata. Kedua, riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan sekelilingnya, penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan kata hatinya. Ketiga, riyadhah orang khowasul khowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu dengan Allah dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalik dan manusia yang bersatu dengan Allah tetap makhluk. Termasuk juga proses riyadhah yang dilakukan oleh peserta tasawuf (al-mutasawwif) ketika melakukan suluk (kegiatan dzikir dan tafakur) untuk memperoleh kedudukan spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal) hingga mencapai ma’rifah sebagai tujuan tasawuf.
Bagi orang yang menjalani  tasawuf, untuk bisa mencapai kedekatan dengan Allah swt, maka harus menempuh tahapan-tahapan spiritual  yang  disebut dengan maqamat. Menurut Zainul Bahri, maqamat itu ialah kedudukan atau tahapan-tahapan spiritual dalam menempuh jalan menuju Tuhan (Isma’il, 2008: 781). Maqam adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah), dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya. Al-Maqamat tersebut meliputi: taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridha  (As-Sarraj, 2009: 89).  
Bagi seseorang yang telah lulus dalam melalui maqamat, maka akan lahirlah yang disebut al-ahwal yakni suatu kondisi spiritual yang akan dirasakan oleh seorang yang menjalani kehidupan tasawuf. Ahwal adalah keadaan-keadaan spiritual yang menguasai qalbu dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Istilah ahwal dalam tasawuf digunakan untuk menunjukkan keadaan spiritual. Al-ahwal  merupakan sebuah kondisi yang melekat dalam qalbu, merupakan efek dari peningkatan maqomat seseorang. Secara teoritis memang bisa dipahami, bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memancarkan cahaya dalam qalbu hamba tersebut. Yang termasuk kepada al-ahwal menurut yaitu muraqabah, qurbah, mahabbah, khauf dan   roja, syauq, uns, thuma’ninah, musyahadah, dan yaqin (As-Sarraj, 2009: 88).
Setiap orang yang ingin menempuh jalan kebenaran yang dapat menunjukkan jalan menuju Allah dan mengantarkannya untuk sampai kepada derajat ma’rifatullah itu memerlukan mursyid. Mursyid yaitu orang yang menunjukkan kepada jalan yang benar.  Kata mursyid berasal dari bahasa Arab, arsyada yang berarti memberi petunjuk.  Kata mursyid ditemukan di dalam Al-qur'an, misalnya dalam Al-qur'an surat al-Kahfi: 17, seperti berikut: "Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk (waliyyan mursyida) kepadanya".
Mursyid mempunyai peranan penting dalam tarekat, karena ia bukan hanya sebagai pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dari penyimpagan ajaran Islam, tetapi ia juga sebagai pemimpin keruhanian yang tinggi dalam tarekat. Rahman menjelaskan bahwa “mursyid itu sebagai penuntun yang akan membawa murid-muridnya kepada tujuan tarekat, dan sebagai penghubung dalam ibadah antara murid dan Tuhan” (Isma’il, 2008: 896). Sejalan dengan itu, Al-Suhrawardi menjelaskan bahwa mursyid itu memiliki peranan yang sangat penting terhadap muridnya. Mursyid (Syaikh) adalah  khalifah Nabi saw, karena ia mewakili Nabi saw menyeru kepada Allah (Isma’il, 2008: 901).
Karena itu, kedudukan mursyid di kalangan sufi sangat tinggi dan luhur, karena mursyidlah yang membimbing muridnya untuk mensucikan hati. Dari hati yang suci ini akan terpancar  cahaya ketuhanan (nur ilahi) dan mendapatkan ma'rifah yang menyebabkan ia mendapat keuntungan. Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Sungguh telah beruntung orang yang bersihkan hatinya" (QS. Al-syams: 31).

3.    Proses Pendidikan Keimanan
Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan dalam Pendidikan Keimanan, harus ada suatu proses yang dirancang secara matang.  Dalam proses pembelajaran tersebut harus lebih mementingkan aktivitas peserta didik ketimbang subjek matter. Sebab, jika mementingkan subjek matter   daripada peserta didik, akibatnya peserta didik seringkali merasa dipaksa untuk menguasai pengetahuan dan melahap informasi dari para guru, tanpa memberi peluang kepada peserta didik untuk melakukan perenungan secara kritis. Karena itu, suasana dialogis dalam proses pembelajaran adalah mutlak diperlukan. Agar suasana dialogis itu terasa dalam proses pembelajaran, seyogyanya dikembangkan berdasar pada prinsip-prinsip berikut ini:
1)   Berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Proses pembelajaran menempatkan pesera didik sebagai subjek yang belajar. Artinya, proses pembelajaran harus memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi belajar, dan latar belakang sosial peserta didik. Dengan demikian, proses pembelajaran mendorong peserta didik mengembangkan bakat dan potensi secara optimal.
2)   Belajar dengan melakukan. Proses pembelajaran memberikan pengalaman nyata dalamkehidupan sehari-hari, terutama yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip-prinsip ilmu yang dipelajari.
3)   Mengembangkan kemampuan sosial. Peserta didik lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya dengan yang lainnya atau dengan guru. Proses pembelajaran mendorong anak didik untuk menyampaikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada peserta didik yang lain, guru atau pihak-pihak lainnya. Dengan begitu, proses pembelajaran memungkinkan anak didik bersosialisasi dengan menghargai perbedaan pendapat, sikap, kemampuan, dan prestasi,  dan berlatih untuk bekerjasama.
4)   Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan. Potensi ini menjadi modal dasar untuk dapat bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif, serta membina keimanan dan ketaqwaan. Proses pembelajaran harus memperhatikan rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan supaya bermakna bagi peserta didik.
5)   Mengembangkan kreatifitas dan keterampilan Memecahkan Masalah. Proses pembelajaran dipilih dan dirancang agar mampu mendorong dan melatih anak  didik dalam mengidentifikasi masalah dan memecahkannya dengan menggunakan kemampuan kognitif dan meta kognitif dengan menggunakan prosedur ilmiah. Proses pembelajaran juga harus dipilih dan dirancang agar dapat memberi kesempatan berkreasi secara berkesinambungan untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kreatifitas peserta didik.
6)   Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi. Proses pembelajaran harus memberikan peluang supaya anak didik bisa memperoleh informasi dari multi media, paling tidak dalam penyajian materi dan pengunaan media pembelajaran.
7)   Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik. Proses pembelajaran perlu memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosal yang dapat membekali peserta didik agar menjadi warga masyarakat dan warga negara yang bertanggungjawab. Proses pembelajaran juga hendaknya mampu menggugah kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
8)   Belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran perlu mendorong peserta didik untuk dapat melihat dirinya secara positif, mengenali dirinya sendiri untuk kemudian dapat mensyukuri anugerah Tuhan kepadanya.
9)   Perpaduan kompetisi kerjasama dan solidaritas. Proses pembelajaran harus  memberi kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan semangat berkompetisi secara sehat, dapat bekerjasama, dan menunmbuhkan sikap solidaritas  (http://blogspot.com/Silabus-Aqidah–Akhlak-Madrasah Aliyah). 


Selain harus adanya proses seperti tersebut di atas, juga harus disertai dengan metode dan pendekatan yang tepat. Ada tiga macam metode yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai keimanan kepada anak-anak secara efektif, yaitu: (1)  pendidikan dengan keteladanan, (2) pendidikan dengan adat kebiasaan, (3) pendidikan dengan nasehat (Ulwan, 2007: 141).
Yang dimaksud metode keteladanan dalam pendidikan yaitu merupakan suatu metode yang besar pengaruhnya dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena, pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk dan sopan santunnya  akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.        
Pendidikan dengan  kebiasaan memiliki peranan yang sangat penting, terutama dalam menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang lurus. Termasuk masalah yang sudah menjadi ketetapan dalam syari’at Islam bahwa anak sejak lahir telah diciptakan denga fitrah tauhid yang murni, agama yang benar, dan iman kepada Allah. Namun tidak serta merta setiap anak akan tumbuh dan berkembang dengan tetap memiliki tauhid sesuai dengan fitrahnya, kalau tidak dibiasakan hidup dengan berlandaskan kepada nilai-nilai tersebut, karena banyak hal yang mempengaruhinya.
Pendidikan dengan  nasehat termasuk metode pendidikan yang cukup berhasil dalam pembentukan aqidah anak dan mempersiapkannya, baik secara moral, emosional maupun sosial. Karena nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak-anak terhadap kesadaran akan hakekat sesuatu , mendorong mereka menuju harkat dan martabat yag luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Karenanya, tidaklah heran kalau di dalam Al-qur’an banyak menggunakan metode nasehat dalam menanamkan keimanan kepada manusia. 
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam  Pendidikan Keimanan, yaitu: “Pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional, pendekatan fungsional,  pendekatan keteladanan, dan  pendekatan terpadu” (Ramayulis, 2011: 170). Menurut An-Nahlawi  pendekatan untuk menanamkan rasa iman itu bisa menggunakan: (a) pendekatan hiwar Qur’ani dan Nabawi, (b) pendekatan kisah Qur’ani dan Nabawi, (c) pendekatan amsal Qur’ani dan Nabawi, (d) pendekatan keteladanan, (e) pendekatan pembiasaan, (f) pendekatan ibrah dan mau’idhoh, dan (g) pendekatan targhib dan tarhib (Sudiyono, 2009: 276).

4.    Evaluasi Pendidikan Keimanan
Untuk dapat mengukur keberhasilan suatu proses pendidikan, maka harus ada bentuk evaluasi yang tepat yang diberikan kepada peserta didik. Berdasarkan kepada silabus Pendidikan Keimanan  sebagai lampiran dari PERMENAG Nomor 2 Tahun 2008, tentang pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi di Madrasah Aliyah,  bahwa evaluasi hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi yaitu dilakukan dengan penilaian kelas, tes, kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan, dan penilaian program.
Penilaian kelas dilaksanakan melalui ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran  dan satuan bahasan atau kompetensi tertentu. Ulangan harian terdiri atas seperangkat soal yang harus dijawab oleh anak didik, dan tugas-tugas terstruktur yang berkaitan dengan konsep yang sedang dibahas. Ulangan harian paling tidak dilakukan tiga kali per semester. Ulangan harian ini  terutama dimaksudkan  untuk memperbaiki bahan ajar dan program pembelajaran, namun begitu tidak menutup kemungkinan juga dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain, seperti untuk bahan pertimbangan dalam memberikan nilai bagi para aak didik.
Ulangan umum dilaksanakan pada setiap akhir semester, dengan bahan yang diujikan sebagai berikut: (a) Ulangan umum semester pertama bahan  ulanganya diambil dari materi semester pertama, (b) Ulangan umum semester kedua bahan  ulangannya gabungan dari materi semester satu dan kedua, dengan penekanan pada semester kedua.
Ujian akhir dilaksanakan  pada akhir program pendidikan. Bahan-bahan yang diujikan meliputi seluruh materi bahan ajar yang telah diberikan, dengan lebih menekankan pada bahan-bahan yang telah diberikan pada kelas-kelas tinggi. Hasil evaluasi akhir ini  dipergunakan untuk menetapkan kelulusan bagi setiap anak  didik, dan untuk mengukur layak tidaknya  melanjutkan pendidikan ke  tingkat di atasnya.
Penilaian kelas dilaksanakan oleh guru untuk mengetahui sampai dimana kemajuan hasil belajar anak didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran, dan juga untuk penentuan kenaikan kelas.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam Penilaian Berbasis Kelas (PBK) adalah: (a) Valid, (b) Mendidik, (c) Berorientasi pada Kompetensi, (d) Adil, (e) Terbuka, (f) Berkesinambungan, (g) Menyeluruh, dan (h) Bermakna.

F.    Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.    Ma’rifatullah sebagai Tujuan Akhir Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
Tujuan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA dirancang sesuai dengan tujuan didirikannya pondok itu sendiri. Pondok ini didirikan dengan diberi label sebagai “Pondok Sufi”, yang tujuannya pembina para santri agar dapat memahami nilai-nilai tasawuf untuk dapat mengantarkan para santrinya agar dapat mengenal Allah seyakin-yakinnya. Adapun tujuan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf  yang ingin dicapai di SMA POMOSDA, yaitu: (1) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama  dan berakhlak mulia  yaitu manusia yang berpengetahuan, disiplin, dan bersemangat dalam  beribadah, cakap, ukril dan kreatif, jujur, adil, pandai mengalah dan pandai bersyukur, serta mengembangkan ajaran Islam sebagai agama tauhid dalam komunitas apa saja, kapan saja dan di mana saja dalam hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam lingkungan untuk proses pulang kembali kepada Allah dengan selamat bertemu lagi dengan Diri-Nya Ilahi, dan (2) Menjanjikan kesiapan insan masa depan sebagai hamba Allah yang ’Arifun Billah atau mengenal Tuhannya Dzat Al-Ghaib, Allah Asma-Nya, supaya menjadi sumber daya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.



Tujuan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA  yang dikemukakan di atas secara garis besar terdiri atas dua hal, namun yang menjadi tujuan akhir ialah menjadi hamba Allah yang ’Arifun Billah.  Yang dimaksud ‘Arifun Billah  yaitu mengenal Jati Diri Allah (Dzat Allah) yang Al-Ghaib yang keberadaan-Nya sangat dekat dengan manusia, sehingga dengan mengenal Dzat Allah itu kita akan bisa melihat Allah dengan mata hatinya dan  benar-benar akan merasakan kedekatan dengan-Nya.Yang dimaksud mengenal Dzat Allah  di sini ialah mengenal Dzat Allah dalam rasa yang ada dalam hati, sehingga rasa tersebut bisa merasakan kedekatan dan kehadiran Allah. Untuk bisa sampai ke arah sana, maka kita harus memenuhi perintah Allah dalam Al-qur’an yaitu bertanya kepada ahli dzikir. Allah berfirman: “Fas-alu ahladzdzikri in kuntum la ta’lamun” (Bertanyalah kepada Ahli dzikir jika kamu tidak tahu (tentang Tuhan) (QS. Al-anbiya: 7).

2.    Program Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
a.    Kurikulum Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Untuk dapat menghasilkan manusia yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya (ma’rifatullah), maka harus ada suatu program yang dirancang dengan baik sesuai dengan kebutuhan.   Program Pendidikan Pendidikan Keimana di SMA POMOSDA disusun dengan menggunakan kurikulum perpaduan antara kurikulum Kemendikbud dengan kurikulum muatan lokal kepesantrenan. Dalam  kurikulum muatan lokal kepesantrenan ada mata pelajaran Ke-Lilmuqarrabinan,  sebagai mata pelajaran Pendidikan Keimanan yang menjadi ciri khas  di POMOSDA sebagai pondok sufi, yang silabusnya disusun berdasarkan KBK yang di dalamnya mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran yang lebih menekankan kepada kajian tasawuf. Untuk dapat mencapai tujuan dan kompetensi yang diharapkan diperoleh dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA, maka diadakan suatu program pembelajaran di luar sekolah, berupa keharusan untuk mengikuti kajian-kajian tasawuf yang disampaiakan oleh Bapak Kyai pada setiap malam Jum’at, dan setiap malam Ahad Pahing. Selain itu, agar program pendidikan dapat terlaksana dengan baik, setiap siswa yang sekolah di SMA POMOSDA wajib tinggal di pesantren, sehingga proses belajar mengajar dan pembinaannya dapat  berlangsung selama 24 jam dan selalu berada dalam pengawasan dan bimbingan para guru.

b.    Materi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA  Lain daripada yang Lain
Materi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan materi Pendidikan Keimanan yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada:
1)   Makna iman. Iman itu dimaknai  ma’rifatun wa tashdiqun. Yang dimaksud ma’rifatun ialah mengenal Dzat Allah dengan seyakin-yakinnya mengenal, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya, dan bahkan dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Dan yang dimaksud wa tashdiqun ialah membenarkan bahwa yang telah secara hak dan sah mengenalkan Allah itu ialah utusan-Nya. Beriman kepada Allah, berarti beriman Dzat-Nya bukan beriman kepada nama-Nya, karena  Allah itu merupakan salah satu nama dari Dzat Yang Ghaib yang wajib wujud-Nya dan sangat dekat keberadaan-Nya dengan manusia.  Untuk dapat mengenal Dzat Allah itu tidak bisa dipikirkan melalui akal, karena akal manusia tidak akan sampai kepadanya, melainkan harus sesuai dengan perintah Allah dalam al-Qur’an, yaitu bertanya kepada ahli dzikir.  Dengan bertanya kepada ahli dzikir (orang yang sudah mampu mengingat Tuhan dalam hidupnya) karena sudah mengenal-Nya, maka kita akan mengetahui-Nya, dan akan bisa mengingat-ingat-Nya dalam rasa hati kita. 
2)   Makna  syahadatain, yaitu “Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan  Rasulullah”. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.  Yang dimaksud saya bersaksi itu ialah hatinya betul-betul menyaksikan “Dzat al-Ghaib yang Wajibul wujud (Allah namanya). Ungkapan saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, berarti suatu kesaksian yang melekat di hati karena terbukanya mata hati setelah melalui “proses pemberkahan” oleh Guru Wasithah. Adapun syahadat yang kedua, “Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”, juga harus benar-benar menyaksikan keberadaan Muhammad saat ini.  Bagaimana kita mengatakan saya bersaksi, padahal kita tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad. Oleh karena itu, yang harus kita pahami bahwa hakikat Nabi Muhammad itu ialah “Nur Muhammad”. Nabi Muhammad itu jasadnya telah mati,  tetapi Nur Muhammad (cahaya terpuji-Nya Allah)  itu tidak mati, dan terus mengalir kepada penerus-penerusnya. Oleh karena itu, makna saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, yaitu bersaksi kepada penerus atau pengganti Nabi Muhammad yang ada saat ini, yakni Guru Wasithah yang hak dan sah.
3)   Makna Tauhidullah. Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di POMOSDA bahwa tauhidullah itu maksudnya menafikan segala sesuatu selain Allah, “la maujuda illallah”. Kita harus menanamkan keyakinan dalam hati kita bahwa secara hakiki tidak ada yang ada di alam ini kecuali Allah. Kalau kita masih merasa wujud, maka  itu termasuk kepada dosa besar, sesuai dengan keterangan yang sering dijadikan rujukan dalam tasawuf  dijelaskan: “wujuduka dzanbun kabirun wala yunqashu dzanbun akhor” (wujudmu yang kamu aku (merasa wujud) itu merupakan dosa besar, dan tidak ada dosa lain yang lebih besar dari  itu). Namun begitu, tetap saja kita ini masih merasa wujud, karenanya kita harus selalu bertaubat kepada Allah. 
4)   Makna masuk Islam secara kaffah.  Dalam memaknai masuk Islam secara kaffah, kita harus kembali kepada unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia, bahwa manusia itu terdiri dari jasad, hati nurani, ruh, dan rasa.  Jadi, yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah: Jasad yang dijadikan tunggangan hati nurani, ruh, dan rasa untuk mendekat kepada Tuhan hingga selamat sampai kepada-Nya harus menjalankan kewajiban syari’at yang tiangnya shalat dengan khusyu’. Hati nurani kewajibannya melaksanakan tarekat. Tarekat adalah jalan menuju Tuhan. Dan karena yang dituju adalah Tuhan, maka hati ini harus mengenal Diri-Nya Tuhan Dzat yang Ghaib, lalu berusaha terus menerus mengingat-Nya serta dengan sungguh-sungguh memerangi nafsunya agar mau tunduk dan patuh memenuhi petunjuk dan perintah Guru Wasithah. Ruh kewajibannya mencapai hakikat. Jika ingin sampai kepada hakikat, maka harus dapat memenuhi kewajiban syari’at dan menjalankan tarekat. Rasa adalah inti  atau dasar (fitrah) manusia. Rasa ini mempunyai tugas merasakan kehadiran Tuhan, sehingga apabila telah sampai ajalnya dapat merasakan betapa nikmat, indah, dan bahagia merasakan pertemuan dengan Tuhannya kembali. Itulah yang dimaksud “Udkhulu fissilmi kaffah”.     
5)   Keharusan adanya Imam. Dalam ajaran tasawuf yang diajarkan kepada para santri/siswa di SMA POMOSDA yaitu mengharuskan adanya imam yang dijadikan panutan, yang dalam hal ini adalah Guru Wasithah. Keberadaan mursyid dalam tasawuf di SMA POMOSDA adalah hal yang sangat mutlak, karena  imam  adalah orang yang dapat menunjukkan para muridnya  kepada jalan yang lurus (shirathal mustaqim).
6)   Tata cara dzikir. Dzikir yang diajarkan di POMOSDA ada dua macam, yaitu dzikir hati dan dzikir lisan. Dzikir hati yaitu dzikir yang dilakukan dalam hati dengan tanpa bersuara dengan cara mengingat-ingat Dzat Allah (isinya “Hu”)  yang dibisikkan oleh Guru Wasithah pada proses pentalqinan atau pemberkahan ketika berbai’at.   Sedangkan dzikir lisan dikenal dengan tujuh macam dzikir yang harus dilakukan oleh para santri/siswa atau murid, yaitu dzikir thawaf, dzikir nafi itsbat, dzikir itsbat faqot, dzikir Ismu Dzat, dzikit taroqi, dzikir tanazul, dzikir Ismul Ghoib yang dilakukan ketika setelah shalat Maghrib dan shalat malam yang penjelasannya telah dikemukakan secara rinci di atas.
7)   Macam-macam shalat. Shalat yang diperintahkan dalam ajaran tasawuf di POMOSDA sangat banyak jumlahnya dan terdapat perbedaan dengan shalat pada umumnya. Shalat tersebut mengacu kepada shalat yang dicontohkan oleh Wasithah sebagai orang yang dijadikan panutan dan rujukan oleh para murid-muridnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Peliharalah shalat yang lima waktu dan shalat wustha” (QS.al-Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustha ialah shalat  yang dicontohkan oleh Wasithah. Shalat-shalat yang dicontohkan oleh Wasithah itu yaitu, seperti: shalat qadha setiap waktu shalat, shalat sunnah awwabin dan litsubutil iman setiap maghrib, shalat taubat ilallah setiap malam, shalat tha’atan taqarruban ilallah setiap malam, shalat nishfu sya’ban setiap tanggal 15 bulan Sya’ban, dan shalat thalak bala setiap Rabu terakhir di bulan Shafar.

3.    Proses Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
a.    Metode dan pendekatan
Untuk dapat mencapai tujuan Pendidikan keimanan sesuai dengan yang diharapkan, maka dalam proses belajar mengajar  Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di di SMA POMOSDA menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemberian tugas. Adapun pendekatan pembelajaran yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan terpadu, antara pendekatan kajian ayat secara tematik, pendekatan qisah, dan pendekatan targhib-tarhib. Dalam pelaksanaannya, pendekatan tersebut guru/ustadz mengkombinasikan antara pendekatan kajian ayat, qisah-qisah qur’an, dan targhib-tarhib dalam satu paket pembelajaran.

b.    Proses Internalisasi Nilai-nilai keimanan
Proses internalisasi nilai-nilai keimanan yang dilakukan kepada para siswa/ santri di SMA  Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) untuk dapat mengenal Allah  yaitu dilakukan melalui proses pemberkahan (talqin) oleh Guru Wasithah. Di dalam proses pemberkahan (talqin) ada bai’at kepada Guru Wasithah yang hakekatnya berbai’at kepada Tuhan.  Saat pemberkahan (talqin) itu Guru wasithah menanamkan benih iman ke dalam rasa hati calon muridnya yang ditiupkan melalui telinga kirinya. Sejak itulah iman kepada Allah itu mulai muncul dan sejak itulah seorang murid itu mulai mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal.  Dengan demikian, pemberkahan (talqin) itu merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin mengenal Allah.
Dalam pemberkahan (talqin) itu di dalamnya juga ada proses bai’at kepada Guru Wasithah, yang hakekatnya bai’at kepada Allah sendiri. Dan bai’at itu  pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad saw. Karenanya, dapat dikatakan bahwa bai’at itu merupakan suatu prinsip ajaran Islam, dan  merupakan tradisi kenabian yang senantiasa dilakukan umat Islam sejak zaman dulu sampai sekarang. Sesungguhnya baiat adalah sesuatu yang disyariatkan, yakni sebagaimana Rasulullah saw pernah membai’at para sahabat r.a. Dengan bai’at ini, dimaksudkan agar bisa memberikan bekas (atsar) pada jiwa mereka (calon murid), sehingga mereka bisa tunduk dan patuh (itba’) kepada aturan yang telah ditetapkan oleh imamnya.

c.    Proses Pembinaan Keimanan
Proses pembinaan keimanan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga bisa sampai kepada Allah itu ada langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu  mujahadah (jihadunnafsi) atau memerangi hawa nafsu, yang dibarengi dengan menjalankan: (1) ibadah yang dapat dilakukan oleh anggota badan, seperti memperbanyak shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak sedekah, melakukan haji bagi yang mampu, dan memperbanyak membaca Al-qur’an, (2) memperbagus akhlak, (3) tazkiatunnafsi, dan (4) tashfiyatul qolbi. 
Sebagai wujud dari jihadunnafsi (memerangi hawa nafsu), yang dilaksanakan di POMOSDA, maka setiap santri/siswa harus ada hal-hal kongkrit yang harus dijalankan yaitu, (1) berupaya menjalankan syari’at yang telah ditetapkan oleh Guru Wasithah, (2) berusaha untuk memperbagus akhlak, (3) berusaha untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, dan (4) berusaha untuk menjernihkan hati dengan diisi dan dipenuhi dzikirullah (selalu ingat kepada Allah), sehingga dengan selalu berdzikir kepada Allah tidak tersisa ruang di dalam hati untuk selain Allah. Untuk menuju ke arah sana memang tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum mengenal Allah.

4.    Evaluasi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
Untuk dapat mengukur keberhasilan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA, maka diadakan suatu evaluasi  melalui: (a) Ulangan, yang terdiri dari ulangan harian, ulangan tengan semester, dan ulangan akhir semester, (b) Penilaian akhlak mulia dan kepribadian dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan pondok, dan (c) Tugas-tugas harian yang dikerjakan di luar sekolah. Penilaian akhlak dan kepribadian ini meliputi cara berbicara, sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari, ketaatan menjalankan ibadah, kejujuran,  dan lain-lainnya. Inilah kelebihan bentuk evaluasi di SMA POMOSDA yang membedakan  dengan sekolah-sekolah  pada umumnya.

G.  Implikasi Hasil Penelitian
Implikasi hasil penelitian tentang Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berrbasis Tasawuf di SMA POMOSDA terhadap Pendidikan Keimanan di Persekolahan yaitu sebagai berikut:
Pertama, implikasi filosofis. Secara filosofis, Pendidikan Nilai Keimanan itu harus sesuai dengan fitrah manusia, kebutuhan hidup manusia, serta sesuai dengan tujuan akhir hidup mausia itu sendiri.
Kedua, implikasi Teoritis-Pedagogis, yaitu sebagai berikut: (1) Program Pendidikan Nilai Keimanan di persekolahan harus dirancang agar  dapat menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa sesuai dengan amanat yang ada dalam  UUSPN. Oleh karena itu, Pendidikan Keimanan harus diprioritaskan dan tidak hanya diberikan dalam pembelajaran di kelas, tetapi harus ada ada pembinaan di luar kelas, (2) Kurikulum Pendidikan di persekolahan harus bersifat komprehensif, dan memberikan porsi yang seimbang  antara Pendidikan Keimanan dengan kajian yang lainnya, (3) Tujuan Pendidikan di persekolahan tidak hanya  diarahkan kepada tujuan materil, tetapi harus juga diarahkan kepada tujuan spirituil yang dapat mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang benar-benar beriman kepada Allah. Selain itu, tujuan pendidikan di persekolahan harus diarahkan sesuai dengan tujuan akhir hidup manusia itu sendiri.
Ketiga implikasi praktis. Implikasi praktis terhadap Pendidikan Keimanan di persekolahan yaitu: (1) Pendidikan Keimanan tidak hanya diberikan terbatas hanya kepada kegiatan formal di kelas, melainkan harus juga diberiakan pada kegiatan-kegiatan non formal, (2) Pendidikan Keimanan tidak hanya menekankan kepada aspek kognitif, tetapi harus lebih menekankan kepada aspek afektif yang menyentuh kajian hati dengan diberikan kajian tasawuf, (3) Guru Pendidikan Keimanan harus tampil sebagai figur keteladanan bagi murid-muridnya, dan (4) Guru Pendidikan Keimanan harus melakukan peran-peran kenabian, dalam arti bahwa seorang pendidik harus dapat mengambiltentang bagaimana Rasulullah mengajarkan keimanan kepada para pengikutnya.        

H.  Kesimpulan dan Rekomendasi
1.    Kesimpulan
Penelitian ini dapat menghasilkan suatu kesimpulan, sebagai berikut:
a.    Untuk dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter ‘Arifun Billah harus disusun rumusan tujuan pendidikan keimanan yang berorientasi tasawuf, sehingga pendidikan keimanan tidak hanya diarahkan agar peserta didik dapat percaya akan adanya Allah, tetapi harus dapat mengantarkan peserta didik agar mengimani Allah dengan seyakin-yakinnya (ma’rifatullah), sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan dapat merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
b. Untuk dapat menghasilkan karakter manusia yang ‘Arifun Billah, maka perlu disusun suatu program Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf, baik silabusnya maupun materi kajiannya. Silabus dan materi Pendidikan Keimanan tersebut harus disusun tidak hanya menekankan kepada kajian aspek-aspek keimanan, tetapi harus ada aspek  tasawuf yang menekankan kepada kajian hati, karena baik buruknya manusia itu tergantung kepada apa yag ada dalam hatinya.
c.  Untuk dapat mengantarkan para siswa agar dapat beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya, maka perlu adanya suatu proses internalisasi nilai keimanan yang dilakukan melalui pemberkahan (talqin) oleh Guru Wasithah, yang dalam istilah umum biasa disebut  mursyid. Dan untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kelak dapat kembali kepada Allah dengan selamat, maka harus adanya suatu proses pembinaan berupa mujahadah dan riyadhah sesuai dengan petunjuk Guru Wasithah.
d. Untuk dapat mengukur keberhasilan Pendidikan Keimanan, maka bentuk evaluasi harus dilakukan tidak hanya berupa tes, baik lisan maupun tulisan, tetapi harus ada evaluasi yang berkaitan dengan akhlak mulia dan kepribadian yang dilakukan melalui pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, yang berkaitan dengan  ketaatan dalam beribadah, cara berbicara, cara berpakaian, dan pergaulan  dengan sesama teman-temannya.
   
             
2.    Rekomendasi
Dengan telah selesainya penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dan   telah menghasilkan temuan tentang implementasi  Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA)Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur, maka ada beberapa rekomendasi yang perlu diajukan dari hasil penelitian ini. Rekomendasi tersebut, adalah sebagai berikut:

a.    Rekomendasi untuk Pengambil Kebijakan Pendidikan dan Instansi Terkait
 Para pengambil kebijakan pendidikan dan instansi-instansi yang berkaitan dengan pendidikan perlu melakukan penataan ulang berkenaan dengan program Pendidikan Nilai, khususnya Pendidikan Nilai Keimanan di sekolah-sekolah dan hendaknya mengambil contoh dari model  Pendidikan Keimanan yang ada di SMA POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur yang telah banyak menghasilkan alumni yang ‘Arifun Billah, yakni manusia yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga menjadi orang taat beribadah dan berakhlak baik dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1)   Hendaklah Pendidikan Keimanan dijadikan prioritas dalam kurikulum pendidikan nasional sesuai dengan amanat yang tercantum dalam rumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  (UUSPN), dan diaplikasikan di lapangan dengan memperoleh porsi yang sama dengan bidang sain dan bidang-bidang lainnya.   
2)   Hendaklah pada setiap sekolah ada nilai-nilai tasawuf yang diangkat dalam mata pelajaran Pendidikan Keimanan atau Pendidikan Agama Islam (PAI), sehingga para siswa dan mahasiswa mengenal hakikat tasawuf sebagai inti dari ajaran Islam yang diperaktekkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.
3)   Hendaknya pemerintah, khususnya yang terkait dengan penentu kebijakan   pendidikan  merintis sebuah sekolah berasrama, karena dengan sekolah berasrama para siswa akan memperoleh pendidikan selama 24 jam dan akan lebih mudah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap para siswa.
b.    Rekomendasi  untuk Lembaga-lembaga Pendidikan
Setiap lembaga pendidikan pasti memiliki visi dan misi yang ingin dicapai oleh lembaga tersebut. Untuk dapat mencapai visi dan misi tersebut, biasanya setiap kepala sekolah atau pimpinan lembaga membuat kebijakan-kebijakan tertentu untuk mencapai visi dan misinya. Visi dan misi itu, biasanya ada yang menekankan kepada bidang sains, bahasa, dan ada juga yang menekankan kepada bidang IMTAQ dan akhlak mulia. Walau berbeda-beda dalam menetapkan visi dan misi, yang pasti bahwa setiap lembaga pendidikan ingin mendidik para siswanya agar menjadi anak-anak yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, agar setiap sekolah dapat mencapai apa yang diharapkan seperti di atas, maka peneliti merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1)   Setiap lembaga pendidikan harus membangun kesadaran bersama antara kepala sekolah, guru-guru, dan semua yang terlibat dalam pendidikan, bahwa menanamkan nilai-nilai keimanan bukan hanya tugas guru Agama, melainkan tugas semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan di lembaga tersebut. Oleh karena itu, mereka berkewajiban menumbuhkan nilai-nilai keimanan kepada para siswa, baik melalui mata pelajaran yang diajarkan maupun melalui sikap dan penampilan yang memberikan contoh keteladanan yang baik kepada para siswa. Selain itu, semua yang terlibat dalam pendidikan harus bekerjasama mengawasi dan mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
2)   Setiap lembaga pendidikan harus menjadikan mata pelajaran Pendidikan Keimanan sebagai mata pelajaran tambahan yang wajib diikuti oleh semua siswa dalam bentuk formal yang dimasukkan ke dalam struktur  kurikulum di samping Pendidikan Agama Islam yang sudah baku.
3)   Setiap lembaga pendidikan harus mengadakan pendalaman tentang Pendidikan Keimanan  dalam bentuk ekstra kurikuler yang harus diikuti oleh setiap siswa  yang dibimbing oleh guru yang kompeten dalam bidangnya.

     
c.    Rekomentasi untuk Guru Pendidikan Keimanan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf  yang dilaksanakan di SMA POMOSDA telah banyak menghasilkan para alumni yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, taat beribadah, dan berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:  
1) Setiap guru Pendidikan Keimanan atau guru Pendidikan Agama Islam harus memahami tentang tasawuf, karena pada dasarnya tasawuf merupakan inti dari ajaran Islam dan merupakan ajaran yang diperaktekkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari. 
2) Setiap guru Pendidikan Keimanan atau guru Pendidikan Agama Islam dalam menyusun silabus pembelajaran harus memasukan pokok bahasan yang berkaitan dengan masalah ketasawufan, sehingga para siswa dapat mengenal tasawuf sejak dini dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari.
3) Pendidikan Nilai Keimanan yang diajarkan kepada para siswa bukan hanya sekedar teori, melainkan harus dapat menyentuh hati, sehingga hatinya tergerak untuk dapat mengimani Allah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

I.     Daftar Pustaka
Al-Jauziyah, I.Q. (2006), Zadul Ma’ad (terj.), Jakarta: Griya Ilmu.
Al-Maududi, A.A. (1983), Prinsip-Prinsip Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif.
 Al-Qarni, 'A. (2007), La Tahzan: Jangan Bersedih (terj.), Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qur'an dan Terjemah (1984), Jakarta: Kemeterian Agama Republik Indonesia.
Asmuni, Y. (1996), Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
As-Sarraj, Abu N. (2009), Al-Luma’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf,  Surabaya: Risalah Gusti.
Aziz,  M.A. (2008), The Power of Al-Fatihah, Jakarta: Pinbuk Press.
Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. (1982), Qualitative Research for Education, London: Allyn and Bacon.
 Hawwa, S. (2008), Makrifatullah: Izinkan Aku Mengenal-Mu, ya Allah (terj.), Jakarta: Aula Pustaka.
Isma’il,  I. et.al. (2008), Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, Bandung: Angkasa.
Isa, S.A. (2010), Hakikat Tasawuf (terj.), Jakarta Timur: Qisthi Press.
Majhudin  (2009), Akhlak Tasawuf Jilid I, Jakarta: Kalam Mulia.
Mulyana, R. (2011), Mengartikulasikan Pendidikan  Nilai, Bandung: AlFabeta.
Nasution, H. (1996), Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Permenag Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Ramayulis (2011), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Sabiq, S. (1990), Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro.
Sudiyono, M. (2009), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syaodih, N. (2009), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.
Tafsir, A. (2010), Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Taimiyah, I.  (2010), Tazkiyatun Nafs, Jakarta: DarussunAH Press.
Ulwan, A.N. (2007), Pendidikan Anak dalam Islam (terj.), Jakarta: Pustaka Amani.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003.


BIODATA PENELITI
Fahrudin, lahir di Serang tanggal 08 Oktober 1959 sebagai anak ke-5   dari enam bersaudara, dari pasangan Sanawiri dan Siti Hajar. Pendidikan diawali dari Sekolah Dasar Negeri Jaha lulus tahun 1973, PGA 4 tahun Anyer lulus tahun  1977,  PGAN 6  tahun  Serang  lulus tahun  1980, S1 Pendidikan Bahasa Arab IKIP Bandung  lulus  tahun 1984,  S2   Pengkajian   Islam
UIN   Sarif   Hidayatullah  Jakarta  lulus tahun 1999, kemudian pada tahun 2010 masuk S3 Pendidikan Umum/Nilai UPI. Selain menempuh pendidikan formal, sejak kecil ikut mengaji di pesantren yang dipimpin oleh orang tua sendiri, kemudian ketika sekolah di PGAN Serang, pernah tinggal dan belajar mengaji di pesantren Miftahul Huda Baros Serang dari tahun 1988 – 1980, dan ketika kuliah di IKIP Bandung pernah tinggal dan belajar mengaji di pesantren Al-Inayah Cijerokaso Bandung dari tahun 1980 – 1984. Pada tahun 1989 menikah dengan Eli Kamilah dan sekarang telah dikaruniai empat orang anak, yaitu Irfan Hakim, Mohamad Iqbal Nikmatullah, Mohamad Rizal Nurfauzi, dan Mohamad Rifqi Ramdani.
Pada tahun 1988 diangkat sebagai dosen tetap MKDU FPIPS IKIP Bandung  (sekarang UPI) dan mengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Seminar Pendidikan Agama Islam (SPAI). Selain itu, sejak tahun tahun 2007 - sekarang mengampu mata kuliah Hadits pada prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam (IPAI). Pada tahun 2007-2008 pernah diangkat sebagai sekretaris jurusan MKDU, dan tahun 2008-2011 sebagai ketua jurusan MKDU.
Penelitian yang pernah dilakukan pada tiga tahun terakhir yaitu: (1)  Efektivitas Model Pembelajaran Tutorial PAI sebagai Upaya Membentuk Kampus UPI yang Religius tahun 2010, Model Pembelajaran Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren  Ar-Rahmaniah Kota Batam tahun 2011, Efektivitas Model Pembelajaran Targhib-Tarhib Berbasis Karakter Inti Sufistik dalam Perkuliahan PAI sebagai Upaya Membina Karakter Jujur dan Anti Menyontek pada Mahasiswa UPI tahun 2012, dan Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai Upaya Membentuk Karakter Manusia 'Arifun Billah di SMA POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur (Disertasi S3) tahun 2012. 
Karya ilmiah yang pernah ditulis dan dimuat dalam jurnal pada tiga tahun terakhir yaitu: (1) Konsep Busana Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah Konsep (Jurnal Sosio Religi tahun 2010), Konsep Pemerintahan dalam Islam (Jurnal Ta'lim tahun 2010), Proses Pendidikan Nilai-nilai Moral di Lingkungan Keluarga sebagai Upaya Mengatasi Kenakalan Remaja (Jurnal Ta'lim tahun 2010),  Konsep Da’wah dan Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar dalam Perspektif Islam (Jurnal Ta'lim tahun 2011), Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga terhadap Pembentukan Kepribadian Anak (jurnal Sosio Religi tahun 2011), Peranan Pendidikan Nilai Moral di Lingkungan Keluarga sebagai Upaya Mengatasi Kenakalan Remaja (Jurnal Sosio Religi tahun 2011).
Dalam bidang organisasi kemasyarakatan: (1) Pengurus MUI Kota Bandung bidang ekonomi umat tahun 2007 – 2012, (2) Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Jabar bidang Bahtsul Masail tahun 2006 – 2011, (3) Pengurus Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam (ADPISI) bidang Penelitian tahun 2007 – 2012.