INTERNALISASI PENDIDIKAN NILAI KEIMANAN
BERBASIS TASAWUF SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK KARAKTER MANUSIA ‘ARIFUN
BILLAH DI SMA POMOSDA
TANJUNG ANOM – NGANJUK – JAWA TIMUR
A. Latar Belakang Penelitian
Pada
saat ini Pendidikan Nilai merupakan
salah satu masalah yang sering dibicarakan dan dianggap menarik dalam dunia
pendidikan. Berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, selama beberapa tahun
terakhir ini ketertarikan dan penekanan pada nilai telah
dianggap penting dalam dunia pendidikan.
Ketertarikan dan aktifitas yang meningkat ini telah mempengaruhi dunia
pendidikan, khususnya para pendidik
untuk menjadikan Pendidikan Nilai
sebagai suatu hal yang sangat penting (Mulyana, 2011: i).
Berbicara
masalah nilai, tidak bisa lepas dari masalah nilai-nilai agama. Nilai agama,
yaitu suatu nilai yang memiliki dasar kebenaran paling kuat dibandingkan dengan
nilai-nilai yang lainnya, karena nilai ini bersumber dari Tuhan. Berbicara
masalah nilai agama juga tidak bisa lepas dari masalah nilai keimanan, karena
inti dari agama adalah iman. Di era globalisasi yang dihadapkan kepada
berbagai tantangan ini, masalah nilai
keimanan merupakan suatu hal yang paling mendasar yang dianggap
penting ada pada setiap orang. Pentingnya mengangkat nilai
keimanan dalam segala aspek kehidupan, dikarenakan banyak
sekali saat ini terjadi pelanggaran nilai keimanan sebagai akibat dari
semakin merosotnya kepedulian manusia akan pentingnya makna nilai keimanan
dalam kehidupan.
Iman
memegang peranan penting bagi manusia, karena dari iman inilah akan lahir
perbuatan dan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-qur’an,
iman yang kuat diibaratkann seperti pohon yang baik yang akarnya tertancap dengan kokoh, dahannya
menjulang tinggi ke langit, dan pohon itu akan menghasilkan buah setiap kali
musim dengan seizin Tuhannya (QS.Ibrahim: 24). Oleh karena itu, Al-Qarni
(2007: 25) mengatakan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang yang paling menderita yaitu mereka yang miskin
iman dan mengalami krisis keyakinan”.
Tepat sekali
apa yang dikatakan oleh Al-qarni tersebut, bahwa orang-orang yang tidak beriman
itu selamanya akan mengalami kesengsaraan, kepedihan, kemurkaan, dan
kehinaan. Tidak ada hal yang bisa
membuatnya bahagia, dan menghilangkan kegundahan darinya, selain keimanan yang
benar kepada Tuhan semesta alam. Kalau kita perhatikan qisah dalam Al-qur’an,
banyak sekali umat terdahulu yang ditimpa adzab oleh Allah, karena mereka tidak
mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka hidupnya mnderita
kesengsaraan. Sejalan dengan itu, Sabiq (1990:15) menjelaskan bahwa: “Keimanan itu merupakan keyakinan yang pokok
yang di atasnya berdiri syari’at Islam, dan dari pokok-pokok itu, muncullah
cabang-cabangnya”.
Apabila melihat
kondisi dan mutu keimanan umat Islam di Indonesia saat ini sungguh sangat
memperihatinkan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa umat Islam saat ini
sedang mengalami krisis iman. Aziz (2008: 318) mengatakan bahwa: “Krisis ekonomi dan politik yang terjadi di
Indonesia itu sesungguhnya berasal dari krisis iman”. Krisis iman di antaranya
ditandai dengan banyaknya orang yang lupa pada Allah. Dengan lupa kepada Allah,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-qur’an, akhirnya Allah
menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Banyak orang-orang Islam yang
hatinya sudah berpenyakit, sudah tertutup untuk menerima kebenaran. Banyak
orang-orang Islam yang tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama dalam
hidupnya. Al-qur’an sudah tidak lagi dijadikan pedoman dalam hidupnya, banyak orang yang menuruti hawa nafsunya,
sehingga kemaksiatan merajalela di mana-mana. Dengan adanya krisis iman
tersebut telah membuat umat manusia mendapat bencana dari Allah sebagai ujian yang diberikan Allah
kepada hamba-Nya. Bencana itu dalam beberapa tahun belakangan dan yang terjadi
pada tahun-tahun ini berbentuk bencana
yang bertubi-tubi, mulai dari tsunami, gempa bumi, longsor, banjir dan
lain-lainnya yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
Oleh
karena itu, masalah nilai keimanan
merupakan suatu masalah yang
harus menjadi perhatian semua orang di mana saja, baik di dalam masyarakat yang
telah maju, maupun di dalam masyarakat yang masih terbelakang, karena rusaknya
nilai keimanan seseorang aka mengganggu ketenteraman orang lain. Jika
dalam suatu masyarakat banyak yang rusak nilai keimanannya, maka akan
hancurlah keadaan masyarakat itu.
Sehubungan dengan masalah di atas, Aziz (2008: 1) mengemukakan bahwa: “Kualitas
masyarakat muslim di abad ke-21 sekarang ini tidak lebih baik dari abad-abad
sebelumnya. Itu suatu bukti bahwa kualitas umat Islam sekarang ini tidak pernah
mengalami perbaikan secara mendasar”. Kalau kita perhatikan umat Islam saat ini
banyak sekali yang lupa pada ajaran-ajaran agama mereka, dan itu sebenarnya
telah banyak diperingatkan oleh Allah swt di dalam Al-qur'an. Al-qur'an
memperingatkan bahwa banyak orang yang mengaku beriman, tetapi sebenarnya
merupakan musuh Islam yang paling tangguh, dan merekalah yang disebut Al-qur'an
sebagai orang kafir dan munafiq (QS. 63: 3). Sejalan dengan hal itu, Muhammad Quthub (Aziz,
2008: 458) mengemukakan bahwa: “Umat Islam
saat ini sedang mengalami krisis iman. Hal itu ditandai dengan banyaknya
umat Islam yang melupakan Allah”.
Jika
kita amati fenomena keadaan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar
sekarang ini, sebagian anggota masyarakat telah banyak terjadi pelanggaran
nilai-nilai keimanan atau dapat
dikatakan nilai-nilai keimanan
masyarakat sudah mulai merosot. Pada kebanyakan orang kepentingan umum
tidak lagi menjadi diprioritaskan, akan tetapi kepentingan pribadilah yang
ditonjolkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, dan keberanian untuk menegakkan
kebenaran telah tertutup oleh penyimpangan-penyimpangan, baik yang terlihat
ringan maupun berat; banyak terjadi saling menghasud, saling menfitnah, saling menjilat, saling
menipu, berdusta, mengambil milik orang
lain seenaknya, dan juga banyak lagi kelakuan-kelakuan pelanggaran nilai
keimanan lainnya. Bahkan yang dihinggapi
oleh kemerosotan nilai keimanan itu tidak saja orang yang telah dewasa, akan
tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan untuk
melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan negara kita.
Apabila melihat tujuan
pendidikan nasional yang terdapat di dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 bab II
pasal 3, disebutkan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Berdasarkan UUSPN di atas, seharusnya Pendidikan Keimanan
dan Ketakwaan itu menjadi core pendidikan, tapi kenyataannya tidaklah
demikian (Tafsir, 2010: 156). Pada
tataran implementasi kurikulum
pendidikan nasional di sekolah, bobot pada ranah afektif bila
dibandingkan dengan bobot pada ranah kognitif dan psikomotor masih jauh dari
harapan. Contoh kongkrit yang mewakili masalah ini adalah bahwa yang terjadi di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pada umumnya hanyalah bersifat pengajaran
yang lebih menekankan kepada aspek kognitif bukan pendidikan yang lebih
menekankan pada aspek nilai. Hal ini dapat dilihat dari struktur kurikulum dan
buku teks yang ada di sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi yang secara umum mengesankan seperti tersebut di atas.
Akibatnya, tugas guru dan dosen hanya menyampaikan materi pelajaran dengan
target tersampaikannya semua materi yang ada dalam buku teks (target pencapaian
kurikulum), yang konsekuensinya mengukur dan menilai keberhasilan proses
pengajarannya hanya dengan tes. Siswa dan mahasiswa yang dianggap berhasil
dalam pendidikan adalah siswa yang memiliki ranking dengan rata-rata nilai yang
tinggi. Sedangkan aspek moral, akhlak dan kepribadian siswa dan mahasiswa hanya
sedikit yang disentuh dan tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
kelulusan siswa dan mahasiswa.
Selain daripada
itu, bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan pendidikan akademik dan
kurang diimbangi pendidikan karakter, budi pekerti, akhlak, moral dan dimensi
mental. Apa artinya menghasilkan anak yang pintar, jika tidak dilengkapi dengan
karakter yang kuat, budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia, moral dan
mentalitas yang tinggi.
Pendidikan di
Indonesia memiliki ketidakseimbangan antara pendidikan akademik, pendidikan
nilai, dan pendidikan keterampilan. Dari sudut pendidikan nilai, khususnya
nilai keimanan sebagaimana yang
dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan di Indonesia dapat
dikatakan gagal atau kurang berhasil. Fenomena kegagalan ini misalnya dapat
dilihat dari produk pendidikan yang menghasilkan generasi yang kurang hormat
pada guru/dosen, orang tua, sering terjadi tawuran, pergaulan bebas, gaya hidup
hedonisme, kebarat-baratan (meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa) dalam beberapa
hal seperti dalam fashion, musik, makanan dan
lain-lainnya.
Penyebab semua
itu, di antaranya karena Pendidikan keimanan dan Ketakwaan belum mendapatkan
porsi seperti yang diharapkan. Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan belum
menyentuh akar permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya manusia tidak
beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya. Pendidikan keimanan di Indonesia
baru dapat mengantarkan para siswa untuk percaya kepada Allah, tetapi belum
mengantarkan siswa mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga dapat
merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Penyebab
gagalnya pendidikan nilai keimanan
tersebut terletak pada kelirunya pola
pembinaan nilai keimanan itu sendiri.
Secara umum, pembinaan nilai-nilai keimanan kepada para pelajar dan mahasiswa: (1) lebih banyak menekankan
kepada aspek-aspek kognitif, (2) hanya sebatas mengantarkan keyakinan bahwa
Allah itu ada dengan mengenal sifat, asma dan
af'al (ciptaan) Nya, tetapi tidak sampai kepada mengenal Dzat-Nya
(ma'rifat bi Dzatillah).
Oleh karena
itu, disinilah perlunya kita merancang sebuah Pendidikan Keimanan yang
berorientasi kepada pembinaan hati atau Pendidikan Keimanan yang berbasis
tasawuf yang dapat mengantarkan para siswa menjadi “Al-‘Arif Billah”.
Pendidikan
Keimanan Berbasis Tasawuf itu penting, karena dengan tasawuf akan mengantarkan orang
tersebut untuk dapat membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati yang
ada dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Zaruq (Isa, 2010: 5), bahwa:
“Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya
hanya untuk Allah semata”. Juga sejalan dengan pendapat Ujaibah (Isa, 2010: 6),
yang menyatakan bahwa: “Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara
untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan
menghiasinya dengan akhlak terpuji”.
Untuk
dapat tercapainya target dari pendidikan keimanan, maka perlu adanya suatu bentuk
atau pola pendidikan dan pembinaan yang terarah dan terstruktur, karena tanpa adanya pola pendidikan dan pembinaan seperti itu, maka tujuan sulit
untuk bisa tercapai. Pola pendidikan dan pembinaan merupakan hal yang paling urgen berkenaan
dengan efektifitas hasil pembelajaran, artinya efektifitas dan efisiensi proses
pembelajaran dalam mencapai hasil ditentukan oleh pola yang digunakan dalam perbuatan pendidikan,
yaitu proses mendidik dan dididik. Inti dari realitas pendidikan yang terdapat dalam
fenomena pendidikan ialah perbuatan pendidikan.
Pola pendidikan dan pembinaan yang dimaksudkan di
sini yaitu menyangkut tujuan, program, proses, dan cara evaluasi dan segala
sarana dan sumber yang mungkin digunakan dalam mencapai tujuan. Dalam proses
pendidikan, pola merupakan cara mengelola
segala sumber belajar oleh pendidik dalam upaya membantu para pelajar mencapai tujuan pendidikan. Oleh
karena itu, perlu adanya pola yang tepat
dalam pendidikan keimanan dalam rangka
pembinaan kepribadian sesuai dengan karakter yang diharapkan.
Dalam hal
Pendidikan Nilai Keimanan, pola pembinaan
menjadi sesuatu aspek yang sangat
menentukan dalam mencapai target pendidikan, karena efek yang dimaksudkan tidak
berada di dalam objek ajar secara langsung, artinya sebagai instructional effect.
Objek ajar dalam Pendidikan Nilai Keimanan bersifat instrumental yang berfungsi sebagai
penggoyang, pengguncang dan penggerak jiwa.
Nilai keimanan hanya akan fungsional apabila ia sangup menembus
kesadaran nurani terdalam kemanusiaan, sebaliknya nilai keimanan tidak akan
fungsional apabila hanya sampai pada ranah kognitif, yaitu sebagai pengetahuan.
Oleh karena itu, sasaran pendidikan keimanan lebih berada di balik nilai yang
diajarkan itu sendiri, artinya merupakan nurturant-effect dari hasil
pembelajaran, yang justeru diperoleh selama proses pembelajaran itu sendiri
sedang berlangsung. Dalam hal inilah Pendidikan Nilai Keimanan menjadi berbeda
dengan pendidikan lainnya, di mana yang nurturant menjadi tujuan utama dan
prioritas, sementara yang instructional
menjadi sasaran antara.
Selain masalah
pola pendidikan dan pembinaan, juga masalah kurikulum pendidikan keimanan itu
sendiri. Menurut Aziz (2008: 320), bahwa: “Kurikulum Pendidikan Keimanan di
kita tidak sanggup memaknai arti dan sifat Robbaniyah ke dalam jiwa anak
didik”. Oleh karena itu, cocok sekali
apa yang diungkapkan penyair dan pemikir Islam Muhammad Iqbal (Aziz,
2008: 321), yang mengatakan bahwa: “Sekolah-sekolah modern, bisa membuka mata generasi muda untuk
memahami berbagai hakikat dan pengetahuan,
namun ia tidak mengajarkan matanya bagaimana cara menangis dan tidak
mengajarkan hatinya bagaimana supaya bisa khusyu”.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dipandang perlu adanya suatu pola pendidikan dan
pembinaan nilai-nilai keimanan yang
betul-betul dapat mengantarkan para peserta didik menjadi orang yang
beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya (ma'rifatullah).
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur dijadikan objek
dalam penelitian ini dengan alasan sebagai berikut: (1) POMOSDA adalah salah satu pondok pesantren yang terkenal dengan Pondok Sufi yang salah
satu tekadnya mendidik para santri agar
menjadi hamba yang ‘Arifun Billah, yakni hamba
yang dapat mengenal Jati Diri-Nya Tuhan, sehingga dapat merasakan kedekatan
dengan-Nya. Dan berdasarkan pengamatan dalam studi pendahuluan, pondok ini terbukti telah banyak menghasilkan alumni yang
memiliki karakteristik seperti
tersebut di atas; (2) POMOSDA merupakan sebuah model lembaga pendidikan
Islam yang memadukan antara sekolah dan pesantren, yang sejak awal keberadaannya bertujuan
hendak membina individu-individu muslim agar memiliki ciri-ciri kepribadian
Islami yang rabbani, yang tampil dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindaknya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan pemikiran-pemikiran logis di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah utama dalam penelitian
yaitu: “Bagaimanakah Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf
sebagai Upaya Membentuk Karakter Manusia ‘Arifun Billah di SMA POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa
Timur?”
Rumusan masalah
utama tersebut dapat dijabarkan ke dalam
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah tujuan
yang ingin dicapai dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(POMOSDA) Tanjung Anom– Nganjuk–Jawa Timur?
2.
Bagaimanakah
program yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya
membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(POMOSDA) Tanjung Anom -Nganjuk - Jawa Timur?
3.
Bagaimanakah
proses yang dilaksanakan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai
upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber
Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom Nganjuk Jawa Timur?
4.
Bagaimanakah
bentuk evaluasi yang dirancang untuk mengukur
keberhasilan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya
membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA POMOSDA Tanjung Anom - Nganjuk - Jawa Timur?
5.
Bagaimanakah
implikasi Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf di SMA POMOSDA terhadap
Pendidikan Keimanan di persekolahan?
C.
Tujuan Penelitian
Secara Umum, tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran tentang implementasi Pendidikan
Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber
Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur.
Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari
hasil penelitian ini yaitu:
1.
Mengetahui
tujuan yang ingin dicapai dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(POMOSDA) Tanjung Anom– Nganjuk–Jawa Timur.
2.
Mengetahui
program yang dirancang dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya
membentuk karakter manusia ‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya
At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom - Nganjuk - Jawa Timur.
3.
Mengetahui proses
yang dilakukan dalam Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia
‘Arifun Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom
- Nganjuk -Jawa Timur.
4.
Mengetahui
bentuk evaluasi yang dirancang untuk mengukur keberhasilan dalam Pendidikan
Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk karakter manusia ‘Arifun
Billah di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom - Nganjuk - Jawa Timur.
6.
Menemukan
implikasi Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf di SMA POMOSDA terhadap
Pendidikan Keimanan di persekolahan.
D. Metode Penelitian
1.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Pondok Modern Sumber Daya at-Taqwa
(POMOSDA)
yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Tanjung Anom Nganjuk Jawa Timur. POMOSDA dijadikan lokasi penelitian, karena POMOSDA merupakan salah satu pondok pesantren
modern yang kurikulumnya menggabungkan antara kurikulum dari Kemendikbud dengan
kurikulum muatan lokal kepesantrenan. Dalam kurikulum muatan lokal kepesantrenan
tersebut terdapat mata pelajaran Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf yang
diberi nama Ke-Lilmuqarrabinan yang tujuannya menghasilkan para santri yang
"Arifun Billah", yakni santri yang dapat mengenal Jati
Diri-Nya Ilahi dengan seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan
dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, serta dapat mengingat-ingat-Nya dalam kehidupan
sehari-hari, di mana saja, kapan saja, dan sedang apa saja.
2.
Sumber Data
Penelitian
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini yaitu meliputi:
a.
Manusia, yakni
Bapak Kyai Mohammad Munawar Afandi selaku pimpinan pesantren, Ustadz Dzoharul
Arifin selaku kepala SMA POMOSDA,
ustadz Drs. Imam Suhudi selaku
guru pendidikan keimanan, para santri, dan para alumni SMA POMOSDA.
b.
Setting,
yaitu lingkungan pesantren tempat para
santri/siswa tinggal, lingkungan sekolah
tempat para santri belajar, dan masjid
tempat para santri melaksanakan ibadah dan kegiatan pengajian sehari-hari.
c.
Kejadian dan
proses, yakni kegiatan Proses Belajar Mengajar di kelas, dan Proses Belajar
Mengajar di luar kelas, seperti di masjid dan di asrama/kobong.
3.
Desain
Penelitian
Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan memaknai
fenomena yang terjadi di SMA POMOSDA, khususnya tentang implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf
yang berlangsung di sana. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Bogdan dan Biklen (1982:3), bahwa:
“Penelitian kualitatif itu lebih
berusaha memahami dan menafsirkan apa
makna dan perilaku dari suatu peristiwa dan interaksi dalam situasi
tertentu”. Bogdan dan Biklen (1982: 90)
mengatakan bahwa: “Ciri dari penelitian kualitatif ialah bersifat deskriptif analitik,
karenanya data yang diperoleh dari lapangan tidak dituangkan dalam
bentuk statistik”. Sejalan dengan itu, Nasution (1996: 5) juga menjelaskan bahwa: “Penelitian kualitatif itu
pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk mengamati orang lain dalam lingkungan
hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran
mereka tentang dunia sekitarnya”. Artinya, bahwa pendekatan kualitatif akan
mengarahkan peneliti untuk melihat fenomena
yang nyata di lingkungan penelitian dan berusaha memahami serta memberi makna
terhadap rangkaian peristiwa itu.
Berdasarkan
kepada teori pendekatan kualitatif
seperti yang kemukakan di atas, peneliti berusaha untuk terjun sendiri ke
lapangan untuk memperoleh data yang dibutuhkan, kemudian mendeskripsikan suatu
fenomena yang terjadi yang berkaitan dengan model Pendidikan Nilai Keimanan
Berbasis Tasawuf di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA).
Dalam
proses menemukan tentang gambaran implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA yang dicari melalui penelitian
ini, peneliti akan lebih menekankan pada hasil analisis dan interpretasi
melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi yang terkait dengan
tujuan, program, substansi materi, proses pembelajaran, proses internanalisasi dan cara evaluasinya.
Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini lebih berorientasi pada penelitian
interpretatif. Dengan pendekatan kualitatif-interpretatif ini peneliti berusaha
memotret situasi pendidikan yang terjadi
di SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(POMOSDA), terutama yang berkaitan dengan implementasi Pendidikan Nilai
Keimanan sebagai upaya membentuk karakter manusia yang arifun billah, kemudian mendeskripsikan fenomena pendidikan
tersebut dari sudut ilmu kependidikan untuk menggali makna di balik fenomena
kependidikan yang tampak.
Metode yang
digunakan untuk menganalisis dan mendeskripsikan temuan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode
deskriptif – analitik. Dengan metode
deskriptik- analitik ini peneliti setelah berusaha menggali suatu gejala,
peristiwa, dan kejadian yang berkaitan dengan Pendidikan Keimanan Berbasis
Tasawuf di SMA POMOSDA, kemudian dianalisis dan dideskripsikan menjadi sebuah rumusan ilmiah. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Syaodih (2009: 72) bahwa: “Metode deskriptif itu
ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada,
baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia”.
Tahap-tahap penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap implementasi
Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA Pondok Modern Sumber Daya
At-Taqwa (POMOSDA) ini meliputi empat
hal, yakni: (1) Studi Pendahuluan, (2)
Pengumpulan Data, dan (3) Analisis Data.
Dalam studi pendahuluan ini, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti yaitu tahap
orientasi. Orientasi ini dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas tentang kondisi SMA Pondok Modern
Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), sehingga memudahkan bagi peneliti mengenai apa
yang akan dilakukan oleh peneliti saat di lapangan. Langkah kedua dalam studi
pendahuluan ini yaitu tahap eksplorasi. Dalam tahap eksplorasi ini, peneliti di
lapangan membangun suatu keakraban dengan responden dengan cara bersilaturahmi
dengan pimpinan Pondok Pesantren, kepala sekolah SMA POMOSDA, guru Pendidikan
Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf, para pengurus dan para tokoh yang dipercaya
untuk mengelola pendidikan di SMA
POMOSDA.
Yang menjadi instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu
peneliti sendiri. Peneliti sebagai human instrument terjun sendiri ke lapangan,
yakni ke Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA), baik dalam melakukan
wawancara, observasi di kelas dan di luar kelas, studi dokumentasi, maupun
dalam menganalisis dan menyimpulkan hasil penelitian.
Untuk memperoleh data penelitian
yang diperlukan, maka pengumpulan data
dilakukan melalui: (1) Wawancara, (2)
Observasi dan observasi partisipan, dan
(3) Studi
dokumentasi.
Langkah yang
dilakukan oleh peneliti untuk menganalisis data hasil penelitian yang telah
terkumpul yaitu: (1) Reduksi dan Kategorisasi Data, (2) Uji Validitas dan
Kreadibilitas, dan (3) melakukan triangulasi.
Penafsiran
dan pemaknaan data hasil penelitian dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu; (1) analisis pada tingkat awal, (2) analisis pada saat pengumpulan
data di lapangan, dan (3) memeriksa keabsahan data, penafsiran dan pemaknaan
data.
Dalam penafsiran dan pemaknaan data ini, khususnya
untuk dapat mencapai rumusan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang
diharapkan, maka dilakukan hal-hal
sebagai berikut: (a) Mendeskripsikan tujuan Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis
Tasawuf di SMA POMOSDA, (b)
Mendeskripsikan program Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA
POMOSDA, (c) Mendeskripsikan substansi materi Pendidikan Nilai Keimanan
Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA, (d) Mendeskripsikan proses Pendidikan Nilai
Keimanan Berbasis Tasawuf yang dilaksanakan di SMA POMOSDA, (e) Mendeskripsikan
cara evaluasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA.
Setelah selesai penafsiran dan pemaknaan data hasil penelitian dan
semuanya sudah tersusun dengan baik,
kemudian melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang sudah dideskripsikan
dengan melalui teknik analisis-deskriptif-eksploratif. Yang dimaksud dengan
analisis-deskriptif-eksploratif yaitu peneliti berusaha menganalisis dan
mengembangkan apa yang ditemukan dalam penelitian tersebut dengan cara
memadukan dengan teori lain, sehingga
dapat memperkaya khazanah pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan
Pendidikan keimanan Berbasis Tasawuf yang dikemukakan oleh para ahli.
Sebagai langkah terakhir dalam analisis hasil penelitian ini,
peneliti juga menganalisis implikasi model Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis
Tasawuf terhadap pendidikan di Indonesia, khususnya Pendidikan Keimanan di
sekolah-sekolah, baik sekolah umum (SMA) maupun sekolah keagamaan (Madrasah
Aliyah).
4. Penjelasan Istilah Penelitian
Judul disertasi ini yaitu: “Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan
Berbasis Tasawuf sebagai Upaya Membentuk Karakter Manusia ‘Arifun Billah di SMA
Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa
Timur”. Untuk dapat memperjelas arti dan
makna serta menghindari kesalah pengertian, maka ada beberapa istilah pokok
yang perlu dijelaskan oleh peneliti berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah
tersebut.
Yang dimaksud implementasi dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan
atau penerapan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai upaya membentuk
karakter manusia Al-‘Arif Billah di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(POMOSDA) Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur, yang meliputi tujuannya,
programnya, prosesnya, dan juga evaluasinya.
Yang dimaksud Pendidikan Nilai dalam penelitian ini yaitu suatu
pendidikan dalam bentuk pengajaran dan bimbingan kepada peserta didik agar
dapat menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang meliputi nilai
agama, budaya, etika, dan estetika menuju pembentukan pribadi peserta didik
yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri, dan
kepribadian yang utuh.
Yang dimaksud Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf dalam
penelitian ini yaitu suatu Pendidikan Keimanan yang dilandasi oleh nilai-nilai
tasawuf sebagai upaya untuk mengantarkan peserta didik agar mengenal Allah
dengan seyakin-yakinnya, membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati
dan memperbagus akhlak, sehingga dapat tampil sebagai sosok pribadi yang ta’at
kepada Allah dan berakhlak mulia.
Adapun yang dimaksud dengan karakter
manusia yang ‘Arifun Billah ialah manusia yang mengenal Jati Diri-Nya Ilahi
sebagai Dzat Yang Ghoib (Allah nama-Nya), sehingga dapat merasakan kedekatan
dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, serta dapat
mengingat-ingat-Nya dalam kehidupan sehari-hari di mana saja, kapan saja, dan
sedang apa saja.
E.
Kajian Teori
1.
Tujuan
Pendidikan Keimanan
Pendidikan Keimanan yaitu suatu pendidikan yang diarahkan agar para
siswa dapat beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya, sehingga para siswa
dapat terhindar dari kemusyrikan (PERMENAG No. 2 tahun 2008).
Beriman kepada Allah menjadi tujuan dalam Pendidikan Keimanan,
karena dengan beriman kepada Allah akan dapat
memberi pendidikan kepada hati untuk dapat menganalisis mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan yang salah, bahkan dengan beriman kepada Allah
akan dapat mendorong seseorang untuk dapat mencari keluhuran, kemuliaan dan
ketinggian akhlak, dan dengan beriman
kepada Allah juga akan menjadikan seseorang untuk menghindarkan diri dari
perbuatan yang jelek, rendah, hina, dan tidak berharga.
Mentauhidkan Allah menjadi tujuan Pendidikan Keimanan, karena
dengan mentauhidkan Allah seseorang akan terhindar dari bahaya syirik. Syirik
merupakan perbuatan dosa yang sangat besar, dan bahkan tidak ada ampunannya,
kecuali dengan benar-benar bertaubat kepada Allah.
2.
Program
Pendidikan Keimanan
a.
Rancangan
Pendidikan Keimanan
Untuk dapat
menghasilkan manusia yang beriman sesuai dengan
tujuan yang diharapkan dalam Pendidikan Keimanan, maka harus disusun suatu perencanaan
pendidikan dalam bentuk silabus yang disusun sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan siswa agar dapat berkembang secara optimal, serta harus memperhatikan
tantangan moralitas dalam kehidupan. Untuk itu, harus dipilih pokok-pokok materi
Pendidikan Keimanan dengan memperhatikan
struktur keilmuan, tingkat kedalaman materi, serta sifat esensial materi dan
keterpakaiannya dalam kehidupan sehari-hari (PERMENAG No. 2 tahun 2008).
b.
Substansi
Materi Pendidikan Keimanan
Iman yaitu suatu pembenaran yang ada dalam hati, diucapkan dengan
lisan dan dikerjakan dengan amal perbuatan (Sabiq, 1974: 20). Iman merupakan
fondasi dalam kehidupan seseorang, yang dapat menentukan baik buruknya prilaku
orang itu, dan inti iman itu terletak
pada kalimah “La ilaha illallah”. Di atas kalimah la ilaha illallah
inilah berdiri tegak bangunan Islam seseorang
( Al-Maududi, 1983: 68).
Tauhidullah merupakan inti dari keimanan, karena dengan
mentauhidkan Allah seseorang akan terhindar dari kemusyrikan. Menurut
Asmuni (1996: 1), tauhidullah yaitu mengesakan Allah, yakni menanamkan suatu keyakinan dalam hati
bahwa tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah Yang Maha Esa.
Tauhid yaitu ilmu yang membahas tentang
wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh
disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib
dilenyapkan pada-Nya.
Tauhidullah merupakan dasar pertama dan utama dalam Islam, dan Rasulullah
selama hayatnya berjuang dengan gigih menegakkan tauhid di tengah masyarakat
yang hidup dalam kekafiran dan kemusyrikan. Beliau mengajak umat manusia untuk
bertauhid dan memberikan pendidikan
ketauhidan secara terus menerus kepada para sahabat dan pengikutnya. Beliau
memberikan contoh kongkrit dan teladan yang baik bagaimana sikap hidup manusia
bertauhid yang tercermin dalam perkataan, sikap hidup, kepribadian, dan perilaku
beliau sehari-hari (Asmuni, 1996: 3).
c.
Substansi
Materi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf
Yang dimaksud Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf ialah suatu
Pendidikan Keimanan yang dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf, yang menekankan
kepada kajian hati, sehingga Pendidikan Keimanan tersebut tidak hanya
mengantarkan peserta didik percaya akan adanya Allah, tetapi dapat mengantarkan
peserta didik dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya (ma’rifatullah),
sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah
dalam dirinya.
Ma’ritatullah dalam kajian tasawuf menurut Dahlan (Isma’il, 2008: 794), maksudnya pengetahuan tentang Allah”. Ma’rifatullah
menurut Hawwa (2008: 1) merupakan dasar yang paling utama dalam Islam, karena
tanpa ma’rifatullah setiap amal tidak ada nilainya”. Menurut Sabiq (1990: 30), “ma’rifatullah
merupakan seluhur-luhurnya ma’rifat, sebab ma’rifatullah itu merupakan azas atau fundamen
yang di atasnya didirikan segala kehidupan kerohanian”. Masalah ma'rifatullah mulai banyak
diperbincangkan dalam kalangan para zahid dan sufi pada abad ke tiga
Hijriyah”, dan Ma'rifatullah itu
memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tertinggi yaitu ma'rifah yang
dicari dan diharapkan oleh sufi yaitu ma'rifah hakiki. Dan orang-orang yang
telah memperoleh ma'rifah hakiki itu disebut Arifun billah.
d.
Substansi
Materi Pendidikan Tasawuf
Tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara
dan jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah.
(Nasution, 1995: 56). Menurut Al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu yang
mempelajari hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari
sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara
melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya
menuju kepada perintah-Nya (Majhuddin, 2009: 66). Menurut Al-Nuri, tasawuf
adalah penyangkalan semua kesenangan diri sendiri. Penyangkalan ada dua macam, yaitu formal dan
hakiki. Jika seseorang menyangkal suatu kesenangan dan mendapatkan kesenangan
dalam penyangkalan, inilah yang disebut penyangkalan formal; tetapi jika
kesenangan menyangkal dia, kemudian kesenangan lenyap, dan masalah ini ada
dalam kontemplasi yang sesungguhnya ketika sufi menyaksikan Tuhan dengan
bashirahnya (musyahadah), maka dari itu, penyangkalan kesenangan adalah
tindakan manusia, tetapi pelenyapan kesenangan adalah tindakan Tuhan. Tindakan
manusia adalah resmi (formal) dan bersifat majazi atau metamorphosis, sedangkan
tindakan Tuhan adalah hakiki (Isma’il, 2008: 89).
Untuk dapat menuju kehidupan tasawuf, sehingga merasakan kedekatan
dengan Allah, maka ada langkah-langkah
atau upaya yang harus dilakukan oleh seseorang. Langkah-langkah tersebut,
yaitu: (1) Tazkiyah al-Nafs, (2) Mujahadah dan riyadhah.
Tazkiyah
al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk menjadikan hati menjadi bersih dan suci, baik dzatnya,
maupun keyakinannya” (Taimiyah, 2010:
117). Azra (Isma’il, 2008: ix), menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan
tasawuf itu terfokus pada tiga hal sebagai berikut: (1) tazkiyat an-nafs, yakni membersihkan diri dari dosa
besar dan dosa kecil, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan
sifat-sifat tercela; (2) taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian
serius kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih
dekat daripada urat nadi yang ada di leher (QS.50:16). Persoalannya, kedekatan
Allah dengan manusia tidak selalu dapat dirasakan manusia; (3) hudlur
al-qalb ma'a Allah, yakni menfokuskan diri kepada usaha untuk merasakan
kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan
dengan Allah
Mujahadah (berjuang
melawan hawa nafsu) adalah menyapih nafsu, membawanya keluar dari
keinginan-keinginan yang tercela dan mengharuskannya untuk melaksanakan
syari’at Allah, baik perintah maupun larangan (Isa, 2010: 72). Menurut Al-Shadiqi, bahwa mujahadah itu ialah
kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa nafsu yang selalu ingin berbuat
hal-hal yang tidak benar, lalu mampu memaksanya untuk berbuat hal-hal yang baik
(Majhudin, 2010, J. 2: 200).
Rosyidi
(Isma’il, 2008: 871), menjelaskan
pengertian mujahadah dengan mengutip beberapa pendapat para sufi, yaitu
bahwa kata mujahadah berasal dari kata jihad, yang artinya "berusaha
dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan pada jalan yang
diyakini baik dan benar". Dalam pengertian kaum sufi, mujahadah
yaitu "upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa
rendah". Mujahadah adalah perang terus menerus melawan hawa nafsu, dan
perang ini dianggap sebagai perang besar (al-jihad al-akbar), dan perang
ini menggunakan senjata samawi berupa
dzikir kepada Allah. Sedangkan menurut Al-Qusyairi, mujahadah ialah suatu upaya
untuk membebaskan diri dari kekangan hawa nafsunya yang menjadi sifat
manusiawi, dan berusaha mengendalikan diri serta tidak memperturutkan
kehendaknya dalam kebanyakan waktu. Al-Ghazali mendefinisikan mujahadah sebagai
pengerahan kesungguhan dalam menyingkirkan nafsu dan syahwat atau
menghapuskannya sama sekali. Sedangkan menurut Ali Ar-Rudzbari, bahwa prinsip
mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan-kebiasaannya dan
memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang waktu
Riyadhah menurut Ash-Shidiqi ialah
latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara
perkataan, perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang benar,
yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan kedekatan hamba dengan
Tuhannya (Majhudin, 2010, J.2: 201). Tiga macam cara tersebut, yaitu: Pertama,
riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan cara
berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, berbuat dengan sikap yang
ikhlash, tidak tercampur dengan sikap riya, dan memperbanyak melakukan
kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia maupun
terhadap lingkungan hidupnya. Riyadhah tersebut ditentukan oleh tuntunan teks
agama mengenai sesuatu yang akan dilakukan, baik dilakukan dengan perbuatan
nyata maupun dengan perbuatan yang tidak nyata. Kedua, riyadhah orang khowas
(sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah
ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh
lingkungan sekelilingnya, penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi
oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan kata
hatinya. Ketiga, riyadhah orang khowasul khowas (nabi, rasul),
yaitu berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau
kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan istilah
penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu dengan Allah
dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalik dan
manusia yang bersatu dengan Allah tetap makhluk. Termasuk juga proses riyadhah
yang dilakukan oleh peserta tasawuf (al-mutasawwif) ketika melakukan
suluk (kegiatan dzikir dan tafakur) untuk memperoleh kedudukan
spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal) hingga
mencapai ma’rifah sebagai tujuan tasawuf.
Bagi orang yang menjalani
tasawuf, untuk bisa mencapai kedekatan dengan Allah swt, maka harus
menempuh tahapan-tahapan spiritual
yang disebut dengan maqamat.
Menurut Zainul Bahri, maqamat itu ialah kedudukan atau tahapan-tahapan
spiritual dalam menempuh jalan menuju Tuhan (Isma’il, 2008: 781). Maqam
adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh
melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah),
dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan
selain-Nya. Al-Maqamat tersebut meliputi: taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar,
tawakal, dan ridha (As-Sarraj, 2009:
89).
Bagi seseorang yang telah lulus dalam melalui maqamat, maka akan
lahirlah yang disebut al-ahwal yakni suatu kondisi spiritual yang akan
dirasakan oleh seorang yang menjalani kehidupan tasawuf. Ahwal adalah
keadaan-keadaan spiritual yang menguasai qalbu dalam menempuh jalan menuju
Tuhan. Istilah ahwal dalam tasawuf digunakan untuk menunjukkan keadaan
spiritual. Al-ahwal merupakan sebuah
kondisi yang melekat dalam qalbu, merupakan efek dari peningkatan maqomat
seseorang. Secara teoritis memang bisa dipahami, bahwa seorang hamba kapan pun
ia mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan
mujahadah, maka Allah akan memancarkan cahaya dalam qalbu hamba tersebut. Yang
termasuk kepada al-ahwal menurut yaitu muraqabah, qurbah, mahabbah, khauf
dan roja, syauq, uns, thuma’ninah,
musyahadah, dan yaqin (As-Sarraj, 2009: 88).
Setiap orang yang ingin menempuh jalan kebenaran yang dapat
menunjukkan jalan menuju Allah dan mengantarkannya untuk sampai kepada derajat
ma’rifatullah itu memerlukan mursyid. Mursyid yaitu orang yang menunjukkan
kepada jalan yang benar. Kata mursyid
berasal dari bahasa Arab, arsyada yang berarti memberi petunjuk. Kata mursyid ditemukan di dalam Al-qur'an,
misalnya dalam Al-qur'an surat al-Kahfi: 17, seperti berikut: "Barangsiapa
diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa
yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin yang
dapat memberi petunjuk (waliyyan mursyida) kepadanya".
Mursyid mempunyai peranan penting dalam tarekat, karena ia bukan
hanya sebagai pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dari penyimpagan ajaran
Islam, tetapi ia juga sebagai pemimpin keruhanian yang tinggi dalam tarekat.
Rahman menjelaskan bahwa “mursyid itu sebagai penuntun yang akan membawa
murid-muridnya kepada tujuan tarekat, dan sebagai penghubung dalam ibadah
antara murid dan Tuhan” (Isma’il, 2008: 896). Sejalan dengan itu, Al-Suhrawardi
menjelaskan bahwa mursyid itu memiliki peranan yang sangat penting terhadap
muridnya. Mursyid (Syaikh) adalah
khalifah Nabi saw, karena ia mewakili Nabi saw menyeru kepada Allah
(Isma’il, 2008: 901).
Karena itu, kedudukan mursyid di kalangan sufi sangat tinggi dan
luhur, karena mursyidlah yang membimbing muridnya untuk mensucikan hati. Dari
hati yang suci ini akan terpancar cahaya
ketuhanan (nur ilahi) dan mendapatkan ma'rifah yang menyebabkan ia mendapat
keuntungan. Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Sungguh telah beruntung
orang yang bersihkan hatinya" (QS. Al-syams: 31).
3.
Proses Pendidikan Keimanan
Untuk
dapat mencapai tujuan yang diharapkan dalam Pendidikan Keimanan, harus ada
suatu proses yang dirancang secara matang.
Dalam proses pembelajaran tersebut harus lebih mementingkan aktivitas
peserta didik ketimbang subjek matter. Sebab, jika mementingkan subjek
matter daripada peserta didik,
akibatnya peserta didik seringkali merasa dipaksa untuk menguasai pengetahuan
dan melahap informasi dari para guru, tanpa memberi peluang kepada peserta
didik untuk melakukan perenungan secara kritis. Karena itu, suasana dialogis
dalam proses pembelajaran adalah mutlak diperlukan. Agar suasana dialogis itu
terasa dalam proses pembelajaran, seyogyanya dikembangkan berdasar pada
prinsip-prinsip berikut ini:
1)
Berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Proses pembelajaran menempatkan
pesera didik sebagai subjek yang belajar. Artinya, proses pembelajaran harus
memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi
belajar, dan latar belakang sosial peserta didik. Dengan demikian, proses
pembelajaran mendorong peserta didik mengembangkan bakat dan potensi secara
optimal.
2)
Belajar dengan melakukan. Proses pembelajaran memberikan
pengalaman nyata dalamkehidupan sehari-hari, terutama yang terkait dengan
penerapan konsep, kaidah dan prinsip-prinsip ilmu yang dipelajari.
3)
Mengembangkan kemampuan sosial. Peserta didik lebih mudah
membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya dengan yang
lainnya atau dengan guru. Proses pembelajaran mendorong anak didik untuk
menyampaikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada peserta didik yang lain,
guru atau pihak-pihak lainnya. Dengan begitu, proses pembelajaran memungkinkan
anak didik bersosialisasi dengan menghargai perbedaan pendapat, sikap,
kemampuan, dan prestasi, dan berlatih
untuk bekerjasama.
4)
Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah
ber-Tuhan. Potensi ini menjadi modal dasar untuk dapat bersikap peka, kritis,
mandiri, dan kreatif, serta membina keimanan dan ketaqwaan. Proses pembelajaran
harus memperhatikan rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan supaya
bermakna bagi peserta didik.
5)
Mengembangkan kreatifitas dan keterampilan Memecahkan
Masalah. Proses pembelajaran dipilih dan dirancang agar mampu mendorong dan
melatih anak didik dalam
mengidentifikasi masalah dan memecahkannya dengan menggunakan kemampuan
kognitif dan meta kognitif dengan menggunakan prosedur ilmiah. Proses
pembelajaran juga harus dipilih dan dirancang agar dapat memberi kesempatan
berkreasi secara berkesinambungan untuk mengembangkan dan mengoptimalkan
kreatifitas peserta didik.
6)
Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi.
Proses pembelajaran harus memberikan peluang supaya anak didik bisa memperoleh
informasi dari multi media, paling tidak dalam penyajian materi dan pengunaan
media pembelajaran.
7)
Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik.
Proses pembelajaran perlu memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosal yang
dapat membekali peserta didik agar menjadi warga masyarakat dan warga negara
yang bertanggungjawab. Proses pembelajaran juga hendaknya mampu menggugah
kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
8)
Belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran perlu
mendorong peserta didik untuk dapat melihat dirinya secara positif, mengenali
dirinya sendiri untuk kemudian dapat mensyukuri anugerah Tuhan kepadanya.
9)
Perpaduan kompetisi kerjasama dan solidaritas. Proses
pembelajaran harus memberi kesempatan
kepada anak didik untuk mengembangkan semangat berkompetisi secara sehat, dapat
bekerjasama, dan menunmbuhkan sikap solidaritas
(http://blogspot.com/Silabus-Aqidah–Akhlak-Madrasah Aliyah).
Selain harus adanya proses seperti tersebut di atas, juga harus
disertai dengan metode dan pendekatan yang tepat. Ada tiga macam metode yang
dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai keimanan kepada anak-anak secara
efektif, yaitu: (1) pendidikan dengan
keteladanan, (2) pendidikan dengan adat kebiasaan, (3) pendidikan dengan
nasehat (Ulwan, 2007: 141).
Yang dimaksud metode keteladanan dalam pendidikan yaitu merupakan
suatu metode yang besar pengaruhnya dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena, pendidik
adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk dan sopan
santunnya akan ditiru oleh mereka.
Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya akan senantiasa tertanam
dalam kepribadian anak.
Pendidikan dengan kebiasaan
memiliki peranan yang sangat penting, terutama dalam menemukan tauhid yang
murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang lurus.
Termasuk masalah yang sudah menjadi ketetapan dalam syari’at Islam bahwa anak
sejak lahir telah diciptakan denga fitrah tauhid yang murni, agama yang benar,
dan iman kepada Allah. Namun tidak serta merta setiap anak akan tumbuh dan
berkembang dengan tetap memiliki tauhid sesuai dengan fitrahnya, kalau tidak
dibiasakan hidup dengan berlandaskan kepada nilai-nilai tersebut, karena banyak
hal yang mempengaruhinya.
Pendidikan dengan nasehat
termasuk metode pendidikan yang cukup berhasil dalam pembentukan aqidah anak
dan mempersiapkannya, baik secara moral, emosional maupun sosial. Karena
nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak-anak
terhadap kesadaran akan hakekat sesuatu , mendorong mereka menuju harkat dan
martabat yag luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya
dengan prinsip-prinsip Islam. Karenanya, tidaklah heran kalau di dalam Al-qur’an
banyak menggunakan metode nasehat dalam menanamkan keimanan kepada
manusia.
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam Pendidikan Keimanan, yaitu: “Pendekatan
pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional,
pendekatan fungsional, pendekatan
keteladanan, dan pendekatan terpadu”
(Ramayulis, 2011: 170). Menurut An-Nahlawi
pendekatan untuk menanamkan rasa iman itu bisa menggunakan: (a)
pendekatan hiwar Qur’ani dan Nabawi, (b) pendekatan kisah Qur’ani dan Nabawi,
(c) pendekatan amsal Qur’ani dan Nabawi, (d) pendekatan keteladanan, (e)
pendekatan pembiasaan, (f) pendekatan ibrah dan mau’idhoh, dan (g) pendekatan
targhib dan tarhib (Sudiyono, 2009: 276).
4.
Evaluasi
Pendidikan Keimanan
Untuk dapat mengukur keberhasilan suatu proses pendidikan, maka
harus ada bentuk evaluasi yang tepat yang diberikan kepada peserta didik. Berdasarkan
kepada silabus Pendidikan Keimanan sebagai
lampiran dari PERMENAG Nomor 2 Tahun 2008, tentang pelaksanaan kurikulum
berbasis kompetensi di Madrasah Aliyah,
bahwa evaluasi hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi yaitu
dilakukan dengan penilaian kelas, tes, kemampuan dasar, penilaian akhir satuan
pendidikan, dan penilaian program.
Penilaian kelas dilaksanakan melalui ulangan harian, ulangan umum,
dan ujian akhir. Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses
pembelajaran dan satuan bahasan atau
kompetensi tertentu. Ulangan harian terdiri atas seperangkat soal yang harus
dijawab oleh anak didik, dan tugas-tugas terstruktur yang berkaitan dengan
konsep yang sedang dibahas. Ulangan harian paling tidak dilakukan tiga kali per
semester. Ulangan harian ini terutama
dimaksudkan untuk memperbaiki bahan ajar
dan program pembelajaran, namun begitu tidak menutup kemungkinan juga
dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain, seperti untuk bahan pertimbangan dalam
memberikan nilai bagi para aak didik.
Ulangan umum dilaksanakan pada setiap akhir semester, dengan bahan
yang diujikan sebagai berikut: (a) Ulangan umum semester pertama bahan ulanganya diambil dari materi semester
pertama, (b) Ulangan umum semester kedua bahan
ulangannya gabungan dari materi semester satu dan kedua, dengan
penekanan pada semester kedua.
Ujian akhir dilaksanakan
pada akhir program pendidikan. Bahan-bahan yang diujikan meliputi
seluruh materi bahan ajar yang telah diberikan, dengan lebih menekankan pada
bahan-bahan yang telah diberikan pada kelas-kelas tinggi. Hasil evaluasi akhir
ini dipergunakan untuk menetapkan
kelulusan bagi setiap anak didik, dan
untuk mengukur layak tidaknya
melanjutkan pendidikan ke tingkat
di atasnya.
Penilaian kelas dilaksanakan oleh guru untuk mengetahui sampai
dimana kemajuan hasil belajar anak didik, mendiagnosa kesulitan belajar,
memberikan umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran, dan juga untuk
penentuan kenaikan kelas.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam Penilaian Berbasis
Kelas (PBK) adalah: (a) Valid, (b) Mendidik, (c) Berorientasi pada Kompetensi,
(d) Adil, (e) Terbuka, (f) Berkesinambungan, (g) Menyeluruh, dan (h) Bermakna.
F. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Ma’rifatullah sebagai Tujuan Akhir Pendidikan Keimanan Berbasis
Tasawuf di SMA POMOSDA
Tujuan Pendidikan Keimanan Berbasis
Tasawuf di SMA POMOSDA dirancang sesuai dengan tujuan didirikannya pondok itu
sendiri. Pondok ini didirikan dengan diberi label sebagai “Pondok Sufi”, yang
tujuannya pembina para santri agar dapat memahami nilai-nilai tasawuf untuk
dapat mengantarkan para santrinya agar dapat mengenal Allah seyakin-yakinnya.
Adapun tujuan Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf yang ingin dicapai di SMA POMOSDA, yaitu: (1)
Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, disiplin,
dan bersemangat dalam beribadah, cakap,
ukril dan kreatif, jujur, adil, pandai mengalah dan pandai bersyukur, serta
mengembangkan ajaran Islam sebagai agama tauhid dalam komunitas apa saja, kapan
saja dan di mana saja dalam hubungannya dengan sesama
manusia, masyarakat, dan alam lingkungan untuk proses pulang kembali kepada
Allah dengan selamat bertemu lagi dengan Diri-Nya Ilahi, dan (2) Menjanjikan kesiapan insan masa depan sebagai hamba Allah yang ’Arifun Billah atau mengenal Tuhannya Dzat Al-Ghaib, Allah Asma-Nya, supaya menjadi sumber daya
Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Tujuan Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA yang dikemukakan di atas secara garis besar terdiri atas dua
hal, namun yang menjadi tujuan akhir ialah menjadi hamba
Allah yang ’Arifun Billah. Yang dimaksud ‘Arifun
Billah yaitu mengenal Jati Diri Allah (Dzat
Allah) yang Al-Ghaib yang keberadaan-Nya sangat dekat dengan manusia, sehingga
dengan mengenal Dzat Allah itu kita akan bisa melihat Allah dengan mata hatinya
dan benar-benar akan merasakan kedekatan
dengan-Nya.Yang dimaksud mengenal Dzat Allah di sini ialah mengenal Dzat Allah dalam rasa yang
ada dalam hati, sehingga rasa tersebut bisa merasakan kedekatan dan kehadiran
Allah. Untuk bisa sampai ke arah sana, maka kita harus memenuhi perintah Allah
dalam Al-qur’an yaitu bertanya kepada ahli dzikir. Allah berfirman: “Fas-alu
ahladzdzikri in kuntum la ta’lamun” (Bertanyalah kepada Ahli dzikir jika
kamu tidak tahu (tentang Tuhan) (QS. Al-anbiya: 7).
2. Program Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
a. Kurikulum Pendidikan Keimanan di SMA POMOSDA
Untuk dapat
menghasilkan manusia yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya
(ma’rifatullah), maka harus ada suatu program yang dirancang dengan baik sesuai
dengan kebutuhan. Program Pendidikan
Pendidikan Keimana di SMA POMOSDA disusun
dengan menggunakan kurikulum perpaduan antara kurikulum Kemendikbud dengan
kurikulum muatan lokal kepesantrenan. Dalam kurikulum muatan lokal
kepesantrenan ada mata pelajaran Ke-Lilmuqarrabinan, sebagai mata pelajaran Pendidikan Keimanan
yang menjadi ciri khas di POMOSDA
sebagai pondok sufi, yang silabusnya disusun berdasarkan KBK yang di dalamnya
mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran yang lebih
menekankan kepada kajian tasawuf. Untuk dapat mencapai tujuan dan kompetensi
yang diharapkan diperoleh dari Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA
POMOSDA, maka diadakan suatu program pembelajaran di luar sekolah, berupa
keharusan untuk mengikuti kajian-kajian tasawuf yang disampaiakan oleh Bapak
Kyai pada setiap malam Jum’at, dan setiap malam Ahad Pahing. Selain itu, agar
program pendidikan dapat terlaksana dengan baik, setiap siswa yang sekolah di
SMA POMOSDA wajib tinggal di pesantren, sehingga proses belajar mengajar dan
pembinaannya dapat berlangsung selama 24
jam dan selalu berada dalam pengawasan dan bimbingan para guru.
b. Materi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA Lain daripada yang Lain
Materi Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA memiliki
kekhasan tersendiri yang berbeda dengan materi Pendidikan Keimanan yang
diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada:
1)
Makna iman.
Iman itu dimaknai ma’rifatun wa
tashdiqun. Yang dimaksud ma’rifatun ialah mengenal Dzat Allah dengan
seyakin-yakinnya mengenal, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan
merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya, dan bahkan dapat melihat Allah
dengan mata hatinya. Dan yang dimaksud wa tashdiqun ialah membenarkan bahwa
yang telah secara hak dan sah mengenalkan Allah itu ialah utusan-Nya. Beriman
kepada Allah, berarti beriman Dzat-Nya bukan beriman kepada nama-Nya,
karena Allah itu merupakan salah satu
nama dari Dzat Yang Ghaib yang wajib wujud-Nya dan sangat dekat keberadaan-Nya
dengan manusia. Untuk dapat mengenal
Dzat Allah itu tidak bisa dipikirkan melalui akal, karena akal manusia tidak
akan sampai kepadanya, melainkan harus sesuai dengan perintah Allah dalam
al-Qur’an, yaitu bertanya kepada ahli dzikir.
Dengan bertanya kepada ahli dzikir (orang yang sudah mampu mengingat
Tuhan dalam hidupnya) karena sudah mengenal-Nya, maka kita akan mengetahui-Nya,
dan akan bisa mengingat-ingat-Nya dalam rasa hati kita.
2)
Makna syahadatain, yaitu “Asyhadu an la
ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah”. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya
bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Yang dimaksud saya bersaksi itu ialah hatinya
betul-betul menyaksikan “Dzat al-Ghaib yang Wajibul wujud (Allah namanya).
Ungkapan saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, berarti suatu kesaksian
yang melekat di hati karena terbukanya mata hati setelah melalui “proses
pemberkahan” oleh Guru Wasithah. Adapun syahadat yang kedua, “Saya bersaksi
bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”, juga harus benar-benar
menyaksikan keberadaan Muhammad saat ini.
Bagaimana kita mengatakan saya bersaksi, padahal kita tidak pernah
bertemu dengan Nabi Muhammad. Oleh karena itu, yang harus kita pahami bahwa
hakikat Nabi Muhammad itu ialah “Nur Muhammad”. Nabi Muhammad itu jasadnya
telah mati, tetapi Nur Muhammad (cahaya
terpuji-Nya Allah) itu tidak mati, dan
terus mengalir kepada penerus-penerusnya. Oleh karena itu, makna saya bersaksi
bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, yaitu bersaksi kepada penerus atau
pengganti Nabi Muhammad yang ada saat ini, yakni Guru Wasithah yang hak dan
sah.
3)
Makna Tauhidullah.
Dalam pandangan tasawuf yang diajarkan di POMOSDA bahwa tauhidullah itu
maksudnya menafikan segala sesuatu selain Allah, “la maujuda illallah”.
Kita harus menanamkan keyakinan dalam hati kita bahwa secara hakiki tidak ada
yang ada di alam ini kecuali Allah. Kalau kita masih merasa wujud, maka itu termasuk kepada dosa besar, sesuai dengan
keterangan yang sering dijadikan rujukan dalam tasawuf dijelaskan: “wujuduka dzanbun kabirun wala
yunqashu dzanbun akhor” (wujudmu yang kamu aku (merasa wujud) itu merupakan
dosa besar, dan tidak ada dosa lain yang lebih besar dari itu). Namun begitu, tetap saja kita ini masih
merasa wujud, karenanya kita harus selalu bertaubat kepada Allah.
4)
Makna masuk
Islam secara kaffah. Dalam
memaknai masuk Islam secara kaffah, kita harus kembali kepada
unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia, bahwa manusia itu terdiri dari
jasad, hati nurani, ruh, dan rasa. Jadi,
yang dimaksud masuk Islam secara kaffah itu ialah: Jasad yang dijadikan
tunggangan hati nurani, ruh, dan rasa untuk mendekat kepada Tuhan hingga
selamat sampai kepada-Nya harus menjalankan kewajiban syari’at yang tiangnya
shalat dengan khusyu’. Hati nurani kewajibannya melaksanakan tarekat. Tarekat
adalah jalan menuju Tuhan. Dan karena yang dituju adalah Tuhan, maka hati ini
harus mengenal Diri-Nya Tuhan Dzat yang Ghaib, lalu berusaha terus menerus
mengingat-Nya serta dengan sungguh-sungguh memerangi nafsunya agar mau tunduk
dan patuh memenuhi petunjuk dan perintah Guru Wasithah. Ruh kewajibannya
mencapai hakikat. Jika ingin sampai kepada hakikat, maka harus dapat memenuhi
kewajiban syari’at dan menjalankan tarekat. Rasa adalah inti atau dasar (fitrah) manusia. Rasa ini mempunyai
tugas merasakan kehadiran Tuhan, sehingga apabila telah sampai ajalnya dapat
merasakan betapa nikmat, indah, dan bahagia merasakan pertemuan dengan Tuhannya
kembali. Itulah yang dimaksud “Udkhulu fissilmi kaffah”.
5)
Keharusan
adanya Imam. Dalam ajaran tasawuf yang diajarkan kepada para santri/siswa di
SMA POMOSDA yaitu mengharuskan adanya imam yang dijadikan panutan, yang dalam
hal ini adalah Guru Wasithah. Keberadaan mursyid dalam tasawuf di SMA
POMOSDA adalah hal yang sangat mutlak, karena
imam adalah orang yang dapat
menunjukkan para muridnya kepada jalan
yang lurus (shirathal mustaqim).
6)
Tata cara
dzikir. Dzikir yang diajarkan di POMOSDA ada dua macam, yaitu dzikir hati dan
dzikir lisan. Dzikir hati yaitu dzikir yang dilakukan dalam hati dengan tanpa
bersuara dengan cara mengingat-ingat Dzat Allah (isinya “Hu”) yang dibisikkan oleh Guru Wasithah pada
proses pentalqinan atau pemberkahan ketika berbai’at. Sedangkan dzikir lisan dikenal dengan tujuh
macam dzikir yang harus dilakukan oleh para santri/siswa atau murid, yaitu
dzikir thawaf, dzikir nafi itsbat, dzikir itsbat faqot,
dzikir Ismu Dzat, dzikit taroqi, dzikir tanazul, dzikir Ismul
Ghoib yang dilakukan ketika setelah shalat Maghrib dan shalat malam yang
penjelasannya telah dikemukakan secara rinci di atas.
7)
Macam-macam
shalat. Shalat yang diperintahkan dalam ajaran tasawuf di POMOSDA sangat banyak
jumlahnya dan terdapat perbedaan dengan shalat pada umumnya. Shalat tersebut
mengacu kepada shalat yang dicontohkan oleh Wasithah sebagai orang yang
dijadikan panutan dan rujukan oleh para murid-muridnya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah: “Peliharalah shalat yang lima waktu dan shalat wustha”
(QS.al-Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustha ialah shalat yang dicontohkan oleh Wasithah.
Shalat-shalat yang dicontohkan oleh Wasithah itu yaitu, seperti: shalat qadha
setiap waktu shalat, shalat sunnah awwabin dan litsubutil iman
setiap maghrib, shalat taubat ilallah setiap malam, shalat tha’atan
taqarruban ilallah setiap malam, shalat nishfu sya’ban setiap
tanggal 15 bulan Sya’ban, dan shalat thalak bala setiap Rabu terakhir di bulan
Shafar.
3.
Proses
Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
a.
Metode dan
pendekatan
Untuk dapat mencapai tujuan Pendidikan keimanan sesuai dengan yang
diharapkan, maka dalam proses belajar mengajar Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di di SMA
POMOSDA menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemberian tugas. Adapun
pendekatan pembelajaran yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan terpadu, antara
pendekatan kajian ayat secara tematik, pendekatan qisah, dan pendekatan targhib-tarhib.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan tersebut guru/ustadz mengkombinasikan antara
pendekatan kajian ayat, qisah-qisah qur’an, dan targhib-tarhib
dalam satu paket pembelajaran.
b.
Proses
Internalisasi Nilai-nilai keimanan
Proses
internalisasi nilai-nilai keimanan yang dilakukan kepada para siswa/ santri di
SMA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(POMOSDA) untuk dapat mengenal Allah
yaitu dilakukan melalui proses pemberkahan (talqin) oleh Guru Wasithah.
Di dalam proses pemberkahan (talqin) ada bai’at kepada Guru Wasithah
yang hakekatnya berbai’at kepada Tuhan.
Saat pemberkahan (talqin) itu Guru wasithah menanamkan
benih iman ke dalam rasa hati calon muridnya yang ditiupkan melalui telinga
kirinya. Sejak itulah iman kepada Allah itu mulai muncul dan sejak itulah
seorang murid itu mulai mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal. Dengan demikian, pemberkahan (talqin)
itu merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin mengenal Allah.
Dalam pemberkahan (talqin) itu di dalamnya juga ada proses bai’at
kepada Guru Wasithah, yang hakekatnya bai’at kepada Allah
sendiri. Dan bai’at itu pada
dasarnya merupakan suatu perbuatan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah
Muhammad saw. Karenanya, dapat dikatakan bahwa bai’at itu merupakan
suatu prinsip ajaran Islam, dan
merupakan tradisi kenabian yang senantiasa dilakukan umat Islam sejak
zaman dulu sampai sekarang. Sesungguhnya baiat adalah sesuatu yang
disyariatkan, yakni sebagaimana Rasulullah saw pernah membai’at para sahabat r.a.
Dengan bai’at ini, dimaksudkan agar bisa memberikan bekas (atsar) pada
jiwa mereka (calon murid), sehingga mereka bisa tunduk dan patuh (itba’)
kepada aturan yang telah ditetapkan oleh imamnya.
c.
Proses
Pembinaan Keimanan
Proses
pembinaan keimanan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mendekatkan diri
kepada Allah, sehingga bisa sampai kepada Allah itu ada langkah-langkah yang
harus dilakukan, yaitu mujahadah
(jihadunnafsi) atau memerangi hawa nafsu, yang dibarengi dengan
menjalankan: (1) ibadah yang dapat dilakukan oleh anggota badan, seperti
memperbanyak shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak sedekah, melakukan haji
bagi yang mampu, dan memperbanyak membaca Al-qur’an, (2) memperbagus akhlak,
(3) tazkiatunnafsi, dan (4) tashfiyatul qolbi.
Sebagai wujud dari jihadunnafsi (memerangi hawa nafsu), yang
dilaksanakan di POMOSDA, maka setiap santri/siswa harus ada hal-hal kongkrit
yang harus dijalankan yaitu, (1) berupaya menjalankan syari’at yang telah
ditetapkan oleh Guru Wasithah, (2) berusaha untuk memperbagus akhlak, (3)
berusaha untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, dan (4)
berusaha untuk menjernihkan hati dengan diisi dan dipenuhi dzikirullah (selalu
ingat kepada Allah), sehingga dengan selalu berdzikir kepada Allah tidak
tersisa ruang di dalam hati untuk selain Allah. Untuk menuju ke arah sana
memang tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum mengenal Allah.
4.
Evaluasi
Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA
Untuk dapat mengukur keberhasilan
Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA, maka diadakan suatu
evaluasi melalui: (a) Ulangan, yang
terdiri dari ulangan harian, ulangan tengan semester, dan ulangan akhir
semester, (b) Penilaian akhlak mulia dan kepribadian dalam kehidupan
sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan pondok, dan (c)
Tugas-tugas harian yang dikerjakan di luar sekolah. Penilaian akhlak dan
kepribadian ini meliputi cara berbicara, sikap dan tingkah laku dalam pergaulan
sehari-hari, ketaatan menjalankan ibadah, kejujuran, dan lain-lainnya. Inilah kelebihan bentuk
evaluasi di SMA POMOSDA yang membedakan
dengan sekolah-sekolah pada
umumnya.
G. Implikasi Hasil Penelitian
Implikasi hasil penelitian tentang Implementasi Pendidikan Nilai
Keimanan Berrbasis Tasawuf di SMA POMOSDA terhadap Pendidikan Keimanan di
Persekolahan yaitu sebagai berikut:
Pertama, implikasi filosofis. Secara
filosofis, Pendidikan Nilai Keimanan itu harus sesuai dengan fitrah manusia,
kebutuhan hidup manusia, serta sesuai dengan tujuan akhir hidup mausia itu
sendiri.
Kedua, implikasi Teoritis-Pedagogis,
yaitu sebagai berikut: (1) Program Pendidikan Nilai Keimanan di persekolahan
harus dirancang agar dapat menghasilkan
manusia yang beriman dan bertaqwa sesuai dengan amanat yang ada dalam UUSPN. Oleh karena itu, Pendidikan Keimanan
harus diprioritaskan dan tidak hanya diberikan dalam pembelajaran di kelas,
tetapi harus ada ada pembinaan di luar kelas, (2) Kurikulum Pendidikan di
persekolahan harus bersifat komprehensif, dan memberikan porsi yang
seimbang antara Pendidikan Keimanan
dengan kajian yang lainnya, (3) Tujuan Pendidikan di persekolahan tidak
hanya diarahkan kepada tujuan materil,
tetapi harus juga diarahkan kepada tujuan spirituil yang dapat mengantarkan
peserta didik menjadi manusia yang benar-benar beriman kepada Allah. Selain
itu, tujuan pendidikan di persekolahan harus diarahkan sesuai dengan tujuan
akhir hidup manusia itu sendiri.
Ketiga implikasi praktis. Implikasi
praktis terhadap Pendidikan Keimanan di persekolahan yaitu: (1) Pendidikan
Keimanan tidak hanya diberikan terbatas hanya kepada kegiatan formal di kelas,
melainkan harus juga diberiakan pada kegiatan-kegiatan non formal, (2)
Pendidikan Keimanan tidak hanya menekankan kepada aspek kognitif, tetapi harus lebih
menekankan kepada aspek afektif yang menyentuh kajian hati dengan diberikan
kajian tasawuf, (3) Guru Pendidikan Keimanan harus tampil sebagai figur
keteladanan bagi murid-muridnya, dan (4) Guru Pendidikan Keimanan harus
melakukan peran-peran kenabian, dalam arti bahwa seorang pendidik harus dapat
mengambiltentang bagaimana Rasulullah mengajarkan keimanan kepada para
pengikutnya.
H. Kesimpulan dan Rekomendasi
1.
Kesimpulan
Penelitian ini dapat menghasilkan suatu kesimpulan, sebagai
berikut:
a.
Untuk dapat
menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter ‘Arifun Billah harus
disusun rumusan tujuan pendidikan keimanan yang berorientasi tasawuf, sehingga
pendidikan keimanan tidak hanya diarahkan agar peserta didik dapat percaya akan
adanya Allah, tetapi harus dapat mengantarkan peserta didik agar mengimani
Allah dengan seyakin-yakinnya (ma’rifatullah), sehingga dapat merasakan
kedekatan dengan Allah dan dapat merasakan kehadiran Allah dalam dirinya.
b. Untuk dapat menghasilkan karakter manusia yang ‘Arifun Billah,
maka perlu disusun suatu program Pendidikan Keimanan berbasis tasawuf, baik
silabusnya maupun materi kajiannya. Silabus dan materi Pendidikan Keimanan
tersebut harus disusun tidak hanya menekankan kepada kajian aspek-aspek
keimanan, tetapi harus ada aspek tasawuf
yang menekankan kepada kajian hati, karena baik buruknya manusia itu tergantung
kepada apa yag ada dalam hatinya.
c. Untuk dapat mengantarkan
para siswa agar dapat beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya, maka perlu
adanya suatu proses internalisasi nilai keimanan yang dilakukan melalui
pemberkahan (talqin) oleh Guru Wasithah, yang dalam istilah umum biasa
disebut mursyid. Dan untuk dapat
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kelak dapat kembali kepada Allah dengan
selamat, maka harus adanya suatu proses pembinaan berupa mujahadah dan riyadhah
sesuai dengan petunjuk Guru Wasithah.
d. Untuk dapat mengukur keberhasilan Pendidikan Keimanan, maka
bentuk evaluasi harus dilakukan tidak hanya berupa tes, baik lisan maupun
tulisan, tetapi harus ada evaluasi yang berkaitan dengan akhlak mulia dan
kepribadian yang dilakukan melalui pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, yang
berkaitan dengan ketaatan dalam
beribadah, cara berbicara, cara berpakaian, dan pergaulan dengan sesama teman-temannya.
2.
Rekomendasi
Dengan telah selesainya penelitian yang dilakukan oleh peneliti,
dan telah menghasilkan temuan tentang
implementasi Pendidikan Nilai Keimanan
Berbasis Tasawuf di SMA POMOSDA)Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur, maka ada
beberapa rekomendasi yang perlu diajukan dari hasil penelitian ini. Rekomendasi
tersebut, adalah sebagai berikut:
a.
Rekomendasi
untuk Pengambil Kebijakan Pendidikan dan Instansi Terkait
Para pengambil kebijakan pendidikan dan instansi-instansi
yang berkaitan dengan pendidikan perlu melakukan penataan ulang berkenaan
dengan program Pendidikan Nilai, khususnya Pendidikan Nilai Keimanan di
sekolah-sekolah dan hendaknya mengambil contoh dari model Pendidikan Keimanan yang ada di SMA POMOSDA
Tanjung Anom – Nganjuk – Jawa Timur yang telah banyak menghasilkan alumni yang ‘Arifun
Billah, yakni manusia yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya,
sehingga menjadi orang taat beribadah dan berakhlak baik dalam kehidupan
sehari-hari. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis merekomendasikan hal-hal
sebagai berikut:
1)
Hendaklah
Pendidikan Keimanan dijadikan prioritas dalam kurikulum pendidikan nasional
sesuai dengan amanat yang tercantum dalam rumusan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN), dan diaplikasikan
di lapangan dengan memperoleh porsi yang sama dengan bidang sain dan
bidang-bidang lainnya.
2)
Hendaklah pada
setiap sekolah ada nilai-nilai tasawuf yang diangkat dalam mata pelajaran
Pendidikan Keimanan atau Pendidikan Agama Islam (PAI), sehingga para siswa dan
mahasiswa mengenal hakikat tasawuf sebagai inti dari ajaran Islam yang
diperaktekkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.
3)
Hendaknya
pemerintah, khususnya yang terkait dengan penentu kebijakan pendidikan merintis sebuah sekolah berasrama, karena
dengan sekolah berasrama para siswa akan memperoleh pendidikan selama 24 jam
dan akan lebih mudah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap para siswa.
b.
Rekomendasi untuk Lembaga-lembaga Pendidikan
Setiap lembaga
pendidikan pasti memiliki visi dan misi yang ingin dicapai oleh lembaga
tersebut. Untuk dapat mencapai visi dan misi tersebut, biasanya setiap kepala
sekolah atau pimpinan lembaga membuat kebijakan-kebijakan tertentu untuk
mencapai visi dan misinya. Visi dan misi itu, biasanya ada yang menekankan
kepada bidang sains, bahasa, dan ada juga yang menekankan kepada bidang IMTAQ
dan akhlak mulia. Walau berbeda-beda dalam menetapkan visi dan misi, yang pasti
bahwa setiap lembaga pendidikan ingin mendidik para siswanya agar menjadi
anak-anak yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, agar
setiap sekolah dapat mencapai apa yang diharapkan seperti di atas, maka peneliti
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1)
Setiap lembaga
pendidikan harus membangun kesadaran bersama antara kepala sekolah, guru-guru,
dan semua yang terlibat dalam pendidikan, bahwa menanamkan nilai-nilai keimanan
bukan hanya tugas guru Agama, melainkan tugas semua orang yang terlibat dalam
proses pendidikan di lembaga tersebut. Oleh karena itu, mereka berkewajiban
menumbuhkan nilai-nilai keimanan kepada para siswa, baik melalui mata pelajaran
yang diajarkan maupun melalui sikap dan penampilan yang memberikan contoh
keteladanan yang baik kepada para siswa. Selain itu, semua yang terlibat dalam
pendidikan harus bekerjasama mengawasi dan mencegah terjadinya
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, baik di dalam
lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
2)
Setiap lembaga
pendidikan harus menjadikan mata pelajaran Pendidikan Keimanan sebagai mata
pelajaran tambahan yang wajib diikuti oleh semua siswa dalam bentuk formal yang
dimasukkan ke dalam struktur kurikulum
di samping Pendidikan Agama Islam yang sudah baku.
3)
Setiap lembaga
pendidikan harus mengadakan pendalaman tentang Pendidikan Keimanan dalam bentuk ekstra kurikuler yang harus
diikuti oleh setiap siswa yang dibimbing
oleh guru yang kompeten dalam bidangnya.
c.
Rekomentasi
untuk Guru Pendidikan Keimanan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan
bahwa Pendidikan Keimanan Berbasis Tasawuf
yang dilaksanakan di SMA POMOSDA telah banyak menghasilkan para alumni
yang dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, taat beribadah, dan
berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peneliti
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1) Setiap
guru Pendidikan Keimanan atau guru Pendidikan Agama Islam harus memahami
tentang tasawuf, karena pada dasarnya tasawuf merupakan inti dari ajaran Islam
dan merupakan ajaran yang diperaktekkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya
sehari-hari.
2) Setiap
guru Pendidikan Keimanan atau guru Pendidikan Agama Islam dalam menyusun
silabus pembelajaran harus memasukan pokok bahasan yang berkaitan dengan
masalah ketasawufan, sehingga para siswa dapat mengenal tasawuf sejak dini dan
dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari.
3) Pendidikan
Nilai Keimanan yang diajarkan kepada para siswa bukan hanya sekedar teori,
melainkan harus dapat menyentuh hati, sehingga hatinya tergerak untuk dapat
mengimani Allah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
I.
Daftar Pustaka
Al-Jauziyah,
I.Q. (2006), Zadul Ma’ad (terj.), Jakarta: Griya Ilmu.
Al-Maududi,
A.A. (1983), Prinsip-Prinsip Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Al-Qarni, 'A. (2007), La Tahzan: Jangan
Bersedih (terj.), Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qur'an dan
Terjemah (1984), Jakarta: Kemeterian Agama Republik Indonesia.
Asmuni, Y.
(1996), Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
As-Sarraj, Abu
N. (2009), Al-Luma’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, Surabaya: Risalah Gusti.
Aziz, M.A. (2008), The Power of Al-Fatihah,
Jakarta: Pinbuk Press.
Bogdan, R.C.
dan Biklen, S.K. (1982), Qualitative Research for Education, London: Allyn and
Bacon.
Hawwa, S. (2008), Makrifatullah: Izinkan Aku
Mengenal-Mu, ya Allah (terj.), Jakarta: Aula Pustaka.
Isma’il, I. et.al. (2008), Ensiklopedi Tasawuf Jilid
I, Bandung: Angkasa.
Isa, S.A.
(2010), Hakikat Tasawuf (terj.), Jakarta Timur: Qisthi Press.
Majhudin (2009), Akhlak Tasawuf Jilid I, Jakarta:
Kalam Mulia.
Mulyana, R. (2011), Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: AlFabeta.
Nasution, H. (1996), Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Permenag Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Ramayulis (2011), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Sabiq, S.
(1990), Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro.
Sudiyono, M.
(2009), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syaodih, N.
(2009), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.
Tafsir, A.
(2010), Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Taimiyah,
I. (2010), Tazkiyatun Nafs, Jakarta:
DarussunAH Press.
Ulwan,
A.N. (2007), Pendidikan Anak dalam Islam (terj.), Jakarta: Pustaka Amani.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003.
BIODATA
PENELITI
Fahrudin, lahir di Serang tanggal 08 Oktober 1959 sebagai anak ke-5 dari enam
bersaudara, dari pasangan Sanawiri dan Siti Hajar. Pendidikan diawali dari
Sekolah Dasar Negeri Jaha lulus tahun 1973, PGA 4 tahun Anyer lulus tahun 1977,
PGAN 6 tahun Serang
lulus tahun 1980, S1 Pendidikan
Bahasa Arab IKIP Bandung lulus tahun 1984, S2 Pengkajian Islam
UIN Sarif Hidayatullah
Jakarta lulus tahun 1999, kemudian pada tahun 2010
masuk S3 Pendidikan Umum/Nilai UPI. Selain menempuh pendidikan formal, sejak
kecil ikut mengaji di pesantren yang dipimpin oleh orang tua sendiri, kemudian
ketika sekolah di PGAN Serang, pernah tinggal dan belajar mengaji di pesantren
Miftahul Huda Baros Serang dari tahun 1988 – 1980, dan ketika kuliah di IKIP
Bandung pernah tinggal dan belajar mengaji di pesantren Al-Inayah Cijerokaso
Bandung dari tahun 1980 – 1984. Pada tahun 1989 menikah dengan Eli Kamilah dan
sekarang telah dikaruniai empat orang anak, yaitu Irfan Hakim, Mohamad Iqbal
Nikmatullah, Mohamad Rizal Nurfauzi, dan Mohamad Rifqi Ramdani.
Pada tahun 1988
diangkat sebagai dosen tetap MKDU FPIPS IKIP Bandung (sekarang UPI) dan mengampu mata kuliah
Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Seminar Pendidikan Agama Islam (SPAI). Selain
itu, sejak tahun tahun 2007 - sekarang mengampu mata kuliah Hadits pada prodi
Ilmu Pendidikan Agama Islam (IPAI). Pada tahun 2007-2008 pernah diangkat
sebagai sekretaris jurusan MKDU, dan tahun 2008-2011 sebagai ketua jurusan
MKDU.
Penelitian yang
pernah dilakukan pada tiga tahun terakhir yaitu: (1) Efektivitas Model Pembelajaran Tutorial PAI
sebagai Upaya Membentuk Kampus UPI yang Religius tahun 2010, Model Pembelajaran
Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
Ar-Rahmaniah Kota Batam tahun 2011, Efektivitas Model Pembelajaran
Targhib-Tarhib Berbasis Karakter Inti Sufistik dalam Perkuliahan PAI sebagai
Upaya Membina Karakter Jujur dan Anti Menyontek pada Mahasiswa UPI tahun 2012,
dan Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf sebagai Upaya
Membentuk Karakter Manusia 'Arifun Billah di SMA POMOSDA Tanjung Anom – Nganjuk
– Jawa Timur (Disertasi S3) tahun 2012.
Karya ilmiah yang pernah ditulis dan dimuat dalam jurnal pada tiga
tahun terakhir yaitu: (1) Konsep Busana Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah Konsep
(Jurnal Sosio Religi tahun 2010), Konsep Pemerintahan dalam Islam (Jurnal
Ta'lim tahun 2010), Proses Pendidikan Nilai-nilai Moral di Lingkungan Keluarga
sebagai Upaya Mengatasi Kenakalan Remaja (Jurnal Ta'lim tahun 2010), Konsep Da’wah dan Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar
dalam Perspektif Islam (Jurnal Ta'lim tahun 2011), Peranan Pendidikan Agama
dalam Keluarga terhadap Pembentukan Kepribadian Anak (jurnal Sosio Religi tahun
2011), Peranan Pendidikan Nilai Moral di Lingkungan Keluarga sebagai Upaya
Mengatasi Kenakalan Remaja (Jurnal Sosio Religi tahun 2011).
Dalam bidang organisasi kemasyarakatan: (1) Pengurus MUI Kota
Bandung bidang ekonomi umat tahun 2007 – 2012, (2) Pengurus Nahdlatul Ulama
(NU) Jabar bidang Bahtsul Masail tahun 2006 – 2011, (3) Pengurus Asosiasi Dosen
Pendidikan Agama Islam (ADPISI) bidang Penelitian tahun 2007 – 2012.